Radio Rodja 756AM

Jumat, 03 Januari 2014

PRINSIP MUAMALAH KEPADA PENGUASA [3]






Prinsip Keempat : Tidak Sembrono Untuk Melontarkan Takfir Kepada Penguasa Muslim. Takfir Merupakan Hak Allah, Tidak Boleh Dilontarkan Kecuali Kepada Orang Yang Berhak Dikafirkan Dan Termasuk Layak Mendapatkannya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Kalau ada seseorang mengatakan 'wahai kafir' kepada saudaranya, maka akan kembali kepada salah satu dari keduanya.”

Kaitannya dengan penguasa, maka (lontaran ini) akan lebih merisaukan lagi. Sebab, pengkafiran terhadap penguasa akan menimbulkan berbagai masalah. Oleh karena itu, Ahli Sunnah wal Jama'ah menetapkan, seorang penguasa tidak boleh dikafirkan kecuali bila memenuhi tiga syarat.

Pertama : Kita melihat ada kekufuran yang nyata (buwah). Dalam bahasa Arab, kata buwah berarti, yang jelas tampak, tidak kabur, diketahui oleh setiap orang.

Kedua : Adanya burhan. Para imam mengartikannya dengan dalil yang tidak mengandung multi interpretasi (multi takwil). Seorang penguasa tidak boleh dikafirkan dengan dalil yang masih mengandung takwil makna lebih dari satu.

"‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu berkata,"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendakwahi kami. Maka kami berbai'at kepada beliau. Di antara (tuntutan) yang beliau ambil dari kami, kami berbai'at kepada beliau untuk selalu mendengar dan taat (kepada pimpinan) dalam keadaan suka atau benci, serta kesewang-wenang kepada kami dan tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya. Kecuali kalian menyaksikan adanya kekufuran buwah, dan kalian memiliki burhan dari Allah." [HR Bukhari 13/192, Muslim 3/1470]

Ketiga : Pihak yang berhak memutuskan takfir ialah para ulama, dari kalangan Ahli Sunnah, ahlul haq, ahlul ‘ilmi wal bashirah. Sebab pengkafiran terhadap penguasa akan mendatangkan kekhawatiran pada diri kaum Muslimin. Dalam masalah ini, Allah telah menjelaskan kondisi kaum munafiqin dan sikap orang-orang yang berada di atas jalan al haq. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)". [An Nisaa`/4 : 83]

Kaum munafiqin, apabila mereka menjumpai permasalahan besar yang akan mendatangkan stabilitas keamanan, atau mendatangkan rasa ketakutan, mereka mencoba menanganinya, menyiarkannya, dan berkomentar tentangnya. Inilah sifat sebagai orang-orang yang lemah (ilmu dan imannya, pent), tidak segan mengkafirkan penguasa. Maka kita dapati seorang dokter ikut-ikutan mengkafirkan. Seorang insinyur ikut mengkafirkan. Ada sopir yang ikut mengkafirkan. Dan masih banyak lagi yang mengkafirkan. Darimana mereka bisa menyimpulkan demikian? Ini adalah sikap melampui batas terhadap ketetapan syariat.

Adapun sifat orang-orang mu'min, orang-orang yang beriman, jika mereka menjumpai masalah yang punya relevansi dengan keamanan dan ketakutan, mereka menyerahkannya kepada Rasulullah dan Sunnah Rasul serta kepada ulil amr. Dan yang dimaksud dengan ulil amri adalah para ulama. Bukan setiap orang 'alim dapat memutuskan. Tetapi orang 'alim yang ingin mengetahui kebenarannya (melakukan istimbath) dari kalangan ulama. Mereka adalah ulama-ulama khusus.

Perhatikanlah wahai saudaraku, hikmah agung ini; "dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka," agar kita mengetahui bahwa, yang dimaksud dengan ulil amri yang menjadi rujukan penyelesaian masalah, mereka adalah Ahli Sunnah. Karena, arti menyerahkan masalah kepada Rasul adalah mengembalikannya kepada Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud dengan ulul amri, yaitu orang-orang yang menguasai Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian pihak yang berwenang untuk menetapkan hukum adalah ahlil' ilmu wal bashirah.

Inilah yang wajib ditempuh, tidak boleh ada yang mengkafirkan seorang penguasa kecuali ahlil bashirah, ahli sunnah, yang menguasai dalil dari kalangan ulama. Kalau tidak, hukum ini tidak boleh dipegang oleh siapa saja, tidak boleh melihat pendapat setiap orang yang mengkafirkan penguasa tertentu. ini adalah tiga syarat yang sangat jelas lagi terang. Di dalamnya terdapat kandung tawasuth (sikap tengah) dan i’tidal (keseimbangan), kebenaran, dan bebas dari kesesatan. Kewajiban seorang mu'min agar memegangi prinsip agung ini.

Inilah sebagian dari agama kalian. Kami tidak mengambilnya dari diri kami sendiri, tetapi berasal dari Kitabullan dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, saya ingatkan dengan firman Allah Ta’ala :

"Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka". [Al Ahzab/33 : 36]

"Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". [An Nisaa`/4 : 65].

Teguhlah bersama dengan Sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan selamat. Jauhilah perasaan dan emosi, karena tidak mendatangkan kebaikan. Tidak ada keselamatan di dunia dan saat perjumpaan dengan Allah, kecuali dengan qaala Allah, qaala Rasulullah.

Semoga Allah menjadikan kita sekalian bagian dari orang-orang yang mengikuti Nabi dengan sebenarnya, mendengarkan dan menaati sabda-sabda beliau.
Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M, Rubrik Mabhats, Alamat Redaksi : Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo - Solo 57183, Telp. 0271-5891016]
________
Footnote
[1]. Fathul Bari (13/7) Maktabah Riyadh Haditsah
[2]. HR Abu Dawud (3/322). At-Tirmidzi (5/33), Ahmad (5/183), Al-Albani menshahihkannya dalam Zhilalul Jannah hlm. 504
[3]. Hadits shahih. HR Ahmad 3/340, Ibnu Abi Ashim 2/507, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hlm. 507. Syaikh Al-Albani menerangkan : "Maksudnya (dengan) bersikap terang-terangan dalam mengingkari penguasa (Utsman) di depan massa. Sebab pengingkaran dengan terang-terangan dikhawatirkan akan mengakibatkan bahaya, sebagaimana yang terjadi pada Utsman yang berakhir dengan kematiannya akibat pengingkaran dengan terang-terangan (yang dilakukan kaum Khawarij). Mukhtashar Shahih Muslim, hlm. 335
[4]. Hadits Hasan, HRTirmidxi 4/502, Musthafa Al-Babi, Cet II, Ash-Shahihah 5/376
[5]. HR At-Tirmidzi 4/502, Musthafa Al-Babi, Cet II, Ash-Shahihah, 5/376
[6]. Hadits Hasan li Ghairihi, As-Sunnah Ibnu Abi Ashim (2/494)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Article's :

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!