Radio Rodja 756AM

Jumat, 01 Juli 2011

MUQADDIMAH


Penulis: Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz-rahimahullah
( MUFTI BESAR KERAJAAN SAUDI ARABIA KSA )

Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, pengajak ke pintu taubat dan pembawa rahmat. Amma ba’du : Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maidah, 3).

“Apakah mereka mempunyai sesembahan sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridloi Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang dhalim itu akan memperoleh azab yang pedih.” (QS. Asy-Syuro, 21).

Dari Aisyah, Radliyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka tidak akan diterima”.

Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda:“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak.”

Dalam shahih Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata: bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu khutbah Jum’at nya: “Amma ba’du: sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah Kitab Allah (Al Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan (dalam agama) adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) itu sesat” (HR. Muslim).

Masih banyak lagi hadits hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya, Dia telah mencukupkan nikmat-Nya bagi mereka, Dia tidak akan mewafatkan Nabi Muhammad kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umatnya, dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Beliau menjelaskan bahwa segala sesuatu yang akan diada adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbatkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid’ah yang ditolak, meskipun niatnya baik.Para Sahabat dan para ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari perbuatan perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita dari padanya, hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang penerapan Sunnah dan pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Waddhoh At Thorthusyi dan Asy Syaamah dan lain lain.Di antara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban (tanggal 15 sya’ban, red), dan menghususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu, padahal tidak ada satu pun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadits-hadits yang menerangkan tentang fadhilah malam tersebut, tetapi hadits-hadits tersebut dhoif sehingga tidak dapat dijadikan landasan, adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan sholat pada hari itu adalah maudlu/palsu.

Dalam hal ini, banyak diantara para ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan penghususan puasa dan fadlilah sholat pada hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka.Pendapat para ahli Syam di antaranya Al Hafidz Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathoiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya semuanya lemah, hadits yang lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits yang shohieh, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar yang shohih, sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits-hadits yang dlo’if.

Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini, dan kami akan menukil pendapat para ulama kepada para pembaca, sehingga masalahnya menjadi jelas. Para ulama telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (Al Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu dari padanya, maka wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan, apalagi mengajak untuk mengerjakannya dan menganggapnya baik.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat An Nisa’:“Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesutu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Al Hadits), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An nisa’, 59).

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat sifat demikian), itulah Tuhanku, KepadaNya-lah aku bertawakkal dan kepadaNya-lah aku kembali” (QS. Asy syuro, 10).

“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu ” (QS. Ali Imran, 31).

NISHFU SYA'BAN (1)


Penulis: Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz-rahimahullah
( MUFTI KERAJAAN SAUDI ARABIA )

Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, pengajak ke pintu taubat dan pembawa rahmat. Amma ba’du : Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maidah, 3).

“Apakah mereka mempunyai sesembahan sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridloi Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang dhalim itu akan memperoleh azab yang pedih.” (QS. Asy-Syuro, 21).

Dari Aisyah, Radliyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka tidak akan diterima”.

Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda:“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak.”

Dalam shahih Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata: bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu khutbah Jum’at nya: “Amma ba’du: sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah Kitab Allah (Al Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan (dalam agama) adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) itu sesat” (HR. Muslim).

Masih banyak lagi hadits hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya, Dia telah mencukupkan nikmat-Nya bagi mereka, Dia tidak akan mewafatkan Nabi Muhammad kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umatnya, dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Beliau menjelaskan bahwa segala sesuatu yang akan diada adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbatkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid’ah yang ditolak, meskipun niatnya baik.Para Sahabat dan para ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari perbuatan perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita dari padanya, hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang penerapan Sunnah dan pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Waddhoh At Thorthusyi dan Asy Syaamah dan lain lain.Di antara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban (tanggal 15 sya’ban, red), dan menghususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu, padahal tidak ada satu pun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadits-hadits yang menerangkan tentang fadhilah malam tersebut, tetapi hadits-hadits tersebut dhoif sehingga tidak dapat dijadikan landasan, adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan sholat pada hari itu adalah maudlu/palsu.

Dalam hal ini, banyak diantara para ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan penghususan puasa dan fadlilah sholat pada hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka.Pendapat para ahli Syam di antaranya Al Hafidz Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathoiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya semuanya lemah, hadits yang lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits yang shohieh, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar yang shohih, sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits-hadits yang dlo’if.

Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini, dan kami akan menukil pendapat para ulama kepada para pembaca, sehingga masalahnya menjadi jelas. Para ulama telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (Al Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu dari padanya, maka wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan, apalagi mengajak untuk mengerjakannya dan menganggapnya baik.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat An Nisa’:“Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesutu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Al Hadits), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An nisa’, 59).

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat sifat demikian), itulah Tuhanku, KepadaNya-lah aku bertawakkal dan kepadaNya-lah aku kembali” (QS. Asy syuro, 10).

“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu ” (QS. Ali Imran, 31).

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” (QS. An Nisa’, 65).

Dan masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an yang semakna dengan ayat ayat diatas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al Qur’an dan Al Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya.

Sesungguhnya hal itu adalah konsekwensi iman, dan merupakan perbuatan baik bagi para hamba, baik di dunia atau di akherat nanti, dan akan mendapat balasan yang lebih baik. Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban, Ibnu Rajab berkata dalam bukunya “Lathoiful Ma’arif” : para Tabi’in penduduk Syam (Syiria sekarang) seperti Kholid bin Ma’daan, Makhul, Luqman bin Amir, dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfi Sya’ban, kemudian orang-orang berikutnya mengambil keutamaan dan bentuk pengagungan itu dari mereka. Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, ketika masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin, ada yang menerima dan menyetujuinya, ada juga yang mengingkarinya, golongan yang menerima adalah ahli Bashrah dan lainnya, sedangkan golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas penduduk Hijaz (Saudi Arabia sekarang), seperti Atho dan Ibnu Abi Mulaikah, dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Ulama fiqih Madinah, yaitu ucapan para pengikut Imam Malik dan lain lainnya; mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah, adapun pendapat ulama Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan adanya dua pendapat:

1- Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamaah adalah mustahab (disukai Allah). Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar kemenyan, memakai sipat (celak), dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid, ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih, ia berkata: “Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara berjamaah tidak dibid’ahkan”, keterangan ini dicuplik oleh Harbu Al Karmaniy.

2- Berkumpulnya manusia pada malam Nisfi Sya’ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdoa adalah makruh hukumnya, tetapi boleh dilakukan jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri.Ini pendapat Auza’iy, Imam ahli Syam, sebagai ahli fiqh dan ulama mereka, Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkan pendapat Imam Ahmad tentang malam Nisfu Sya’ban ini, tidak diketahui.

Ada dua riwayat yang menjadi sebab cenderung diperingatinya malam Nisfu Sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha), dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, riwayat yang lain berpendapat bahwa memperingati malam tersebut dengan berjamaah disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk Tabi’in.

Begitu pula tentang malam nisfu sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan Tabiin ahli fiqh (yuris prudensi) yang di Syam (syiria), demikian maksud dari Al Hafidz Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya). Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfi Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para Sahabat.

Adapun pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan sholat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al Hafidz Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dloif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil dalil syar’i tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada-adakan dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu maupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi sembunyi ataupun terang terangan, landasannya adalah keumuman hadits Nabi:“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.

Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.

Imam Abu Bakar At Thorthusyi berkata dalam bukunya “Al Hawadits wal bida” : diriwayatkan oleh Wadhoh dari zaid bin Aslam berkata : kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqh kami yang menghadiri perayaan malam nisfu sya’ban, tidak mengindahkan hadits Makhul yang dloif, dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam malam lainya.

Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwasanya Zaid An numairy berkata : “Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala lailatul qadar, Ibnu Abi Mulaikah menjawab : “Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat pasti saya pukul, Zaid adalah seorang penceramah”.

Al ‘Allamah Asy Syaukani menulis dalam bukunya “Al Fawaidul Majmuah” sebagai berikut: bahwa hadits yang mengatakan:“Wahai Ali, barangsiapa yang melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, ia membaca setiap rakaat Al fatihah dan Qul huwallah ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya … dan seterusnya.” Hadits ini adalah maudhu’, pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal), hadits ini diriwayatkan dari kedua dan ketiga jalur sanad, kesemuanya maudhu dan perawi-perawinya tidak diketahui.

Dalam kitab “Al Mukhtashor” Syaukani melanjutkan: hadits yang menerangkan tentang sholat Nisfu Sya’ban adalah bathil, Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu: jika datang malam Nisfu Sya’ban bersholat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dloif.

Dalam buku “Allaali” diriwayatkan bahwa: “Seratus rakaat pada malam Nisfi sya’ban (dengan membaca surah) Al ikhlas sepuluh kali (pada setiap rakaat) bersama keutamaan keutamaan yang lain, diriwayatkan oleh Ad Dailami dan lainya bahwa itu semua maudlu’ (palsu), dan mayoritas perowinya pada ketiga jalur sanadnya majhul (tidak diketahui) dan dloif (lemah).

Imam As Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan (membaca surat) Al Ikhlas tiga puluh kali itu maudlu’ (palsu), dan hadits empat belas rakaat… dan seterusnya adalah maudlu’ (tidak bisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).

Para fuqaha (ahli yurisprudensi) banyak yang tertipu dengan hadits hadits diatas, seperti pengarang Ihya Ulumuddin dan lainnya, juga sebagian dari para ahli tafsir, karena sholat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya’ban telah diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudlu’. Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat Turmudzi dan hadits Aisyah, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban, untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing, karena pembicaraan kita berkisar tentang sholat yang diadakan pada malam Nisfu Sya’ban itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqothi’ (tidak bersambung) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan diatas, mengenai malam Nisfu Sya’ban, jadi dengan jelas bahwa sholat (khusus pada) malam itu juga lemah dasar hukumnya.

Al Hafidz Al Iraqi berkata: hadits (yang menerangkan) tentang sholat Nisfi Sya’ban itu maudlu dan pembohongan atas diri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.Dalam kitab “Al Majmu” Imam Nawawi berkata: shalat yang sering kita kenal dengan sholat Roghoib ada (berjumlah) dua dua belas rakaat, dikerjakan antara maghrib dan Isya’, pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban, dua sholat ini adalah bid’ah dan munkar, tidak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu, hanya karena disebutkan di dalam buku “Quutul qulub” dan “ Ihya Ulumuddin” (Al Ghozali, red) sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut bathil (tidak boleh diamalkan), kita tidak boleh cepat mempercayai orang orang yang tidak jelas bagi mereka hukum kedua hadits itu, yaitu mereka para imam yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits itu, karena ia telah salah dalam hal ini.

Syekh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al Maqdisi telah mengarang sebuah buku yang berharga, beliau menolak (menganggap bathil) kedua hadits diatas (tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin, dalam hal ini telah banyak pendapat para ulama, jika kita hendak menukil pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita.

Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq. Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al Qur’an dan beberapa hadits, serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa, itu semua adalah bid’ah dan munkar, tidak ada landasan dalilnya dalam syariat Islam, bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, marilah kita hayati ayat Al Qur’an di bawah ini: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah, 3).

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas, selanjutnya marilah kita hayati sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka ia tertolak.”

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at dari pada malam malam lainnya dengan sholat tertentu, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya dari pada hari-hari lainnya dengan berpuasa tertentu, kecuali jika hari bertepatan dengan hari yang ia biasa berpuasa (bukan puasa khusus tadi)” (HR. Muslim).

Seandainya pengkhususan malam itu dengan ibadah tertentu diperbolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik dari pada malam malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari oleh matahari? hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang shohih.

NISHFU SYA'BAN (2)


Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk mengkhususkan sholat pada malam hari itu dari pada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lainpun lebih tidak boleh dihususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shohih yang mengkhususkan/menunjukkan adanya pengkhususan, ketika malam Lailatul Qadar dan malam malam bulan puasa itu disyariatkan supaya sholat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu, maka Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih:“Barangsiapa yang berdiri (melakukan sholat) pada bulan Ramadlan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosanya yang telah lewat, dan barang siapa yang berdiri (melakukan sholat) pada malam lailatul qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lewat” (Muttafaqun ‘alaih). Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab, serta malam isra’ dan mi’raj itu diperintahkan untuk dikhususkan, dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya, atau beliau melaksanakannya sendiri, jika memang hal itu pernah terjadi niscaya telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan paling banyak memberi nasehat setelah para Nabi.

Dari pendapat para ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah, ataupun dari para sahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab.

Dan dari sini kita mengetahui bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid’ah yang diada adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan malam tersebut dengan ibadah tertentu adalah bid’ah mungkar, sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, begitu juga tidak boleh dihususkan dengan ibadah ibadah tertentu, selain tidak boleh dirayakan dengan upacara upacara ritual, berdasarkan dalil dalil yang disebutkan tadi. Hal ini, jika (malam kejadian Isra’ dan Mi’raj itu) diketahui, padahal yang benar adalah pendapat para ulama yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra’ dan Mi’raj secara tepat.

Omongan orang bahwa malam Isra’ dan Mi’raj itu pada tanggal 27 Rajab adalah bathil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits yang shahih, maka benar orang yang mengatakan:“Sebaik-baik perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para Salaf, yang telah mendapatkan petunjuk dan sejelek-jelek perkara (dalam agama) adalah yang diada adakan berupa bid’ah bid’ah”

Allahlah tempat bermohon untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten kepada ajarannya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah lah Maha Pemberi dan Maha Mulia. Semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada hamba-Nya dan RasulNya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula kepada keluarga dan para sahabatnya, Amien.

(Dikutip dari الحذر من البدع Tulisan Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz, Mufti Saudi Arabia dalam Majmu’ Fatawa Samahat al-Shaykh ‘Abdul-‘Aziz ibn Baz, 2/882. Penerbit Departemen Agama Saudi Arabia. Edisi Indonesia “Waspada terhadap Bid’ah”.).

PUASA SYA'BAN


Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
(Anggota Majelis Kibar Ulama dan Pengajar Masjidil Haram KSA).

Berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkait dengan bulan Sya’bân Diterjemahkan dengan sedikit ringkas dari Majmu’ Fatawa Beliau, 20/25-33 .

[Pertama] : Tentang Keutamaan Puasa Bulan Sya’bân
Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah radhiyallâhu'anha menceritakan “Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan dengan puasa Beliau pada bulan Sya’bân.”[2]

Dalam riwayat Bukhâri, ada riwayat lain : “Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa penuh pada bulan Sya’bân.”[3]

Dalam riwayat lain Imam Muslim,
“Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân kecuali sedikit.”[4]

Imam Ahmad rahimahullâh dan Imam Nasa’i rahimahullâh meriwayatkan sebuat hadits dari Usâmah bin Zaid radhiyallâhu'anhu , beliau mengatakan : “Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan sebagaimana Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân. Lalu ada yang berkata, ‘Aku tidak pernah melihat anda berpuasa sebagaimana anda berpuasa pada bulan Sya’bân.’ Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, ‘Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan Ramadhân. Padahal pada bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat kehadirat Rabb, maka saya ingin amalan saya diangkat saat saya sedang puasa."[5]

Dari hadits ini dapat diambil kesimpulan. Bahwa puasa dibulan Sya’ban adalah disyariatkan dan disunnahkan. Adapun mengkhususkan pada hari tertentu inilah yang perlu kita lihat lagi.

HADIST PUASA NISFHU SYA'BAN



oleh : Syaikh Ibnu Utsaimin

Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan dalam al- Lathâ’if, (hlm. 143, cet. Dar Ihyâ’ Kutubil Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah (Dhaif) dari ‘Ali radhiyallâhu'anhu bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya. Karena Allâh Ta'ala turun pada saat matahari tenggelam, lalu berfirman, “Adakah orang yang memohon ampun lalu akan saya ampuni ? adakah yang memohon rizki lalu akan saya beri ? …”[6]

Saya (Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin) mengatakan, “Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits PALSU oleh penulis kitab al Mannâr. Beliau rahimahullâh mengatakan (Majmu’ Fatawa beliau 5/622), ‘Yang benar, hadits itu MAUDHU’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad rahimahullâh dan Imam Yahya bin Ma’in rahimahullâh mengatakan, ‘Orang ini pernah memalsukan hadits.”

Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya’bân itu bukan amalan sunah (yang disyariatkan). Karena berdasarkan kesepakatan para ulama’, hukum syari’at tidak bisa ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini bisa naik derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Dan ketika itu boleh dijadikan landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh).

Dari sini jelaslah bahwa mengkhususkan untuk puasa pada Nisfu Sya’ban dan Shalat pada malam nya adalah Amalan yang Tidak ada dasarnya didalam agama ini. Karena hadits ini itu derajatnya PALSU (MAUDHU’). Dan hadits yang Lemah, Palsu dan Tidak ada Asal Usul nya, Tidak dapat dijadikan sandaran didalam beramal. Maka dari itu, tidak ada shalat khusus pada malam Nisfu Sya’ban dan tidak ada Puasa khusus pada siang hari Nisfu Sya’ban. Barangsiapa yang berpuasa khusus pada Nisfu Sya’ban maka amalan nya tertolak. Sebagaimana didalam hadits yang Shahih.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : ‘Barang siapa berbuat suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami (Allah dan Rasul-Nya), maka amalan itu tertolak.”

Read more: http://www.abuayaz.co.cc/2010/07/benarkah-shalat-dan-puasa-nisfu-syaban.html#ixzz1PjLj3xm4

MALAM NISHFU SYA'BAN


Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah

Ada beberapa riwayat yang dikomentari sendiri oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullâh setelah membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan para ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibbân rahimahullâh menilai sebagiannya shahih dan beliau membawakannya dalam shahih Ibnu Hibbân.

Diantara contohnya, dalam sebuah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallâhu'anha, : “Sesungguhnya Allâh Ta'ala akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’bân lalu Allâh Ta'ala memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb.” [HADITS INI LEMAH (DHAIF). Dilemahkan oleh Imam Bukhari]

Hadits ini dibawakan oleh Imam Ahmad, Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Mâjah. Tirmidzi rahimahullâh menyebutkan bahwa Imam Bukhâri rahimahullâh menilai hadits ini LEMAH. Kemudian Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan ini seraya mengatakan, “Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki kelemahan. “

As-Syaukâni rahimahullâh menyebutkan bahwa dalam riwayat ‘Aisyah radhiyallâhu'anha tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin Bâz rahimahullâh menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya’bân.

Dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa hadits tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban hadits nya LEMAH (DHAIF). Dan dilemahkan oleh sejumlah ulama ahli hadits, diantara mereka adalah Amirul Mukminin fi hadits Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah.

NASEHAT UNTUK HIZBUT TAHRIR ( NISHFU SYA'BANAN )


Terdapat tulisan dalam buletin Al-Islam yang diterbitkan Hizbut Tahrir Indonesia pada edisi 31/ tahun XVI berjudul : Sya’ban: Jembatan Meraih Keutamaan Ramadhan. Pada tulisan tersebut juga dikupas tentang Malam Nishfu Sya’ban. (Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]” adalah isi tulisan dari buletin Al-Islam terbitan Hizbut Tahrir Indonesia).

NASEHAT UNTUK HIZBUT TAHRIR TERKAIT HADITS NISHFU SYA’BAN

Alhamdulillah, segenap puji hanya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam, keluarga, para Sahabat, dan seluruh kaum mukminin yang mengikuti beliau dengan baik sampai menjelang datangnya hari kiamat.
Terdapat tulisan dalam buletin Al-Islam yang diterbitkan Hizbut Tahrir Indonesia pada edisi 31/ tahun XVI berjudul : Sya’ban: Jembatan Meraih Keutamaan Ramadhan. Pada tulisan tersebut juga dikupas tentang Malam Nishfu Sya’ban. (Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]” adalah isi tulisan dari buletin Al-Islam terbitan Hizbut Tahrir Indonesia).
Disebutkan dalam buletin Al-Islam tersebut:
[[
6. Malam Nishfu Sya’ban.
Pada bulan Sya’ban terdapat malam yang mulia dan penuh berkah, yaitu malam Nishfu Sya’ban. Pada malam ini Allah SWT mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang minta belas kasihan, mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah, memerdekakan orang-orang dari api neraka, dan mencatat bagian rezeki dan amal manusia.
Banyak hadis yang menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ini, sekalipun di antaranya ada yang dha’if (lemah).
Namun demikian, Al-Hafizh Ibn Hibban telah menyatakan kesahihan sebagian hadis-hadis tersebut, di antaranya, bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Allah melihat kepada semua makhluknya pada malam Nishfu Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR ath-Thabrani dan Ibnu Hibban).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika tiba malam Nishfu Sya’ban, shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena sesungguhnya Allah SWT menurunkan rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari. Lalu Dia berfirman: Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni? Adakah orang meminta rezeki, maka akan Aku beri rezeki? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka akan Aku selamatkan? Adakah begini atau begitu? Sampai terbitlah fajar.” (HR Ibnu Majah).

]]

Nasehat dan Koreksi:
1) Kelemahan hadits riwayat Ibnu Majah
Penulis buletin Al-Islam tersebut mengarahkan pemahaman pembaca bahwa memang di antara hadits-hadits yang menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ada yang dhaif, namun ada juga yang shohih. Hadits yang dianggap shohih oleh penulis buletin Al-Islam paling tidak ada 2, yaitu : i) Riwayat Ath-Thabrani dan Ibnu Hibban, dan ii) Riwayat Ibnu Majah. Penulis buletin Al-Islam tersebut benar-benar menguatkan hadits riwayat Ibnu Majah bahkan pada paragraf pertama kalimat-kalimatnya bersumber dari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut. Coba kita perhatikan paragraf pertama, penulis menyatakan: “ Pada bulan Sya’ban terdapat malam yang mulia dan penuh berkah, yaitu malam Nishfu Sya’ban. Pada malam ini Allah SWT mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang minta belas kasihan, mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah, memerdekakan orang-orang dari api neraka, dan mencatat bagian rezeki dan amal manusia”. Sisi pendalilan kalimat tersebut banyak diambilkan dari hadits riwayat Ibnu Majah.
Bagaimana kedudukan hadits riwayat Ibnu Majah tersebut? Mari kita simak kajiannya.
Secara lafadz haditsnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
(Ibnu Majah berkata): telah mengkhabarkan kepada kami al-Hasan bin ‘Ali al-Khollaal (dia berkata): telah mengkhabarkan kepada kami Abdurrazzaq (dia berkata): telah memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Sabroh dari Ibrohim bin Muhammad dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far dari ayahnya dari Ali bin Abi Tholib, beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika datang malam pertengahan dari Sya’ban maka bangunlah (lakukan qiyamul lail) pada malamnya dan shaumlah pada siang harinya karena Allah turun padanya ketika terbenam matahari ke langit dunia, kemudian Ia berkata: Siapakah yang meminta ampunan aku akan ampuni, siapa yang meminta rezeki aku akan beri rezeki, siapakah yang terkena musibah aku akan berikan ‘afiat padanya, adakah yang begini atau begini? Demikian berlangsung sampai terbit fajar” (riwayat Ibnu Majah).
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany –rahimahullah- menjelaskan panjang lebar sisi kelemahan hadits tersebut dalam Silsilah al-Ahaadits Ad-Dhaifah juz 5 halaman 131:
Sanad hadits ini disepakati kelemahannya, dan menurut saya ini adalah maudlu’ (palsu), karena Ibnu Abi Sabroh dituduh oleh para Ulama’ Ahlul hadits sebagai pemalsu (hadits), sebagaimana disebutkan dalam kitab AtTaqriib. AlBushiri menyatakan dalam kitab Az-Zawaaid : sanad hadits ini lemah karena kelemahan Ibnu Abi Sabroh, dan namanya adalah Abu Bakr bin Abdillah bin Muhammad bin Abi Sabroh. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’ain menyatakan tentangnya : “ia memalsukan hadits”. Ibnu Rajab menyatakan dalam kitab Lathaiful Ma’arif halaman 143: sanad hadits ini lemah. AlMundziri juga mengisyaratkan pada hal yang demikian dalam kitab AtTarghib (2/81).

2) Kesalahan dalam menerjemahkan hadits riwayat Ibnu Majah
Kita lihat penulis buletin Al-Islam Hizbut Tahrir Indonesia juga salah dalam menerjemahkan hadits riwayat Ibnu Majah tersebut. Dia menerjemahkan:
“karena sesungguhnya Allah SWT menurunkan rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari”
Diartikan bahwa Allah menurunkan rahmatNya pada malam tersebut, padahal sebenarnya, lafadz haditsnya adalah:
فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا
“ karena sesungguhnya Allah turun padanya”
Kesalahan menerjemahkan ini bukanlah kesalahan yang ringan, tapi dilatarbelakangi kekeliruan aqidah dalam Asma’ Was Sifat. Penulis buletin Al-Islam telah melakukan takwil yang batil terhadap dzhahir nash, yang nash tersebut dianggapnya sebagai hadits yang shahih.

3) Tidak disampaikannya pemahaman yang benar terhadap hadits yang shohih tentang Nishfu Sya’ban.
Hadits yang diisyaratkan oleh penulis buletin Al-Islam yang diriwayatkan oleh AtThabarani dan Ibnu Hibban, sebagian Ulama menshahihkannya. Di antaranya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany dalam Silsilah al-Ahaadits AshShohiihah. Beliau menguatkan jalur-jalur periwayatan yang banyak terkait hadits tersebut. Terjemahan hadits riwayat AtThabarany dan Ibnu Hibban tersebut adalah: “Allah melihat kepada semua makhluknya pada malam Nishfu Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”
Jika kita cenderung pada Ulama’ yang menshahihkan hadits ini, hadits tersebut memberikan faidah bagi kita:
a) Menjauhi kesyirikan, sehingga kita termasuk yang Allah ampuni pada malam Nisfu Sya’ban tersebut.
b) Tidak melakukan permusuhan dengan sesama muslim dalam urusan pribadi, agar kita juga termasuk orang yang Allah ampuni pada malam Nisfu Sya’ban.
Tidak ada hadits-hadits shahih terkait malam Nisfu Sya’ban yang menganjurkan kita melakukan amalan ibadah tertentu (Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif).
Hadits riwayat AtThabarani dan Ibnu Hibban tersebut sebenarnya mirip dengan hadits tentang keutamaan hari Senin dan Kamis sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dibukakan pintu surga pada hari Senin dan Kami, maka diampunilah semua hamba yang tidak berbuat syirik terhadap Allah sedikitpun, kecuali seorang laki-laki yang ada kebencian antara dirinya dengan saudaranya. Kemudian dikatakan: Beri tangguhlah 2 orang tersebut samapai mereka berdamai, beri tangguhlah keduanya sampai mereka berdamai, beri tangguhlah mereka sampai mereka berdamai (H.R Muslim).
Yang sedikit membedakan adalah bahwa pada hari Senin dan Kamis juga disunnahkan untuk melakukan shaum sunnah, karena adanya hadits shahih lain yang memerintahkannya, sedangkan malam nishfu sya’ban tidak ada hadits yang shahih yang mensunnahkan ibadah khusus padanya.
Terkait puasa hari Senin, disebutkan dalam hadits:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
“ dan Rasul ditanya tentang shaum pada hari Senin, beliau berkata: Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus, dan hari diturunkannya wahyu padaku” (H.R Muslim dari Abu Qotadah).
Demikian juga shaum pada hari Senin dan Kamis, disebutkan dalam suatu hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ditunjukkan amalan-amalan hamba (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku ditunjukkan dalam keadaan aku shaum(puasa) (H.R AtTirmidzi, AnNasaa’i, dan Ahmad),
Demikianlah sedikit koreksi terhadap isi buletin Al-Islam yang juga menyinggung masalah Nisfu Sya’ban, sekedar sebagai nasehat bagi kaum muslimin. Sebenarnya, pemahaman terhadap hadits tersebut juga menunjukkan sisi lain kerancuan aqidah Hizbut Tahrir dalam masalah hadits. Mereka menganggap hadits ahad sekalipun shahih tidak bisa dianggap sebagai hujjah dalam aqidah, namun di sini hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah tersebut sebenarnya mengandung 2 hal sekaligus: aqidah dan hukum. Dari sisi aqidah, mereka akan meyakini bahwa Allah pada malam tersebut akan berkata: Siapa yang memohon ampun akan Aku ampuni, dan seterusnya. Sedangkan dari sisi hukum, hadits itu sebagai dalil bahwa semestinya disunnahkan bagi seseorang untuk qiyamul lail pada malam harinya, dan shaum pada siang harinya. Terbukti dari kajian kita bahwa hadits Ibnu Majah itu tidaklah shohih, Namun, sekalipun hadits itu adalah lemah, tetap saja dijadikan dalil pendukung oleh mereka. Lihatlah kontradiksi yang nampak jelas ini.
Kami nasehatkan kepada Hizbut Tahrir untuk mengkaji Dien ini dengan pemahaman Salafus Sholih, mengkaji hadits-hadits yang shahih dengan pemahaman para Ulama’ Ahlul hadits, memahami ayat dan hadits dengan pemahaman para Sahabat Nabi dan para Ulama’ yang mengikuti jejak para Sahabat tersebut. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan hidayahNya kepada kita semua.

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman

SHALAT NISHFU SYA'BAN


Syaikh Muhammaad Bin Shalih al Utsaimin

Tentang Shalat Pada Malam Nisfu Sya’bân.
Untuk masalah ini ada tiga tingkatan,

Tingkatan pertama, shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa melakukannya diluar malam nisfu Sya’bân. Seperti orang yang terbiasa melakukan shalat malam. Jika orang ini melakukan shalat malam yang biasa dilakukannya diluar malam nisfu Sya’bân pada malam nisfu Sya’bân tanpa memberikan tambahan khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam ini memiliki keistimewaan, maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa. Karena ia tidak membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allâh Ta'ala

Tingkatan kedua, shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Sya’bân. Ini termasuk bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang menyatakan Beliau memerintahkan, atau mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits Ali radhiyallâhu'anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah rahimahullâh, “Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya.”, sudah dijelaskan (di atas) bahwa Ibnu Rajab rahimahullâh menilainya LEMAH, sementara Rasyid Ridha rahimahullâh menilainya PALSU.

Sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat nisfu Sya’bân, syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi karena perintah ini tidak memiliki dalil yang shahih dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullâh dan yang lainnya.

Dalam al-Lathâif (hlm. 145) Ibnu Rajab rahimahullâh mengatakan,
“Begitu juga tentang shalat malam pada malam nisfu Sya’bân, Tidak ada satu dalil shahih pun dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam maupun dari shahabat.”

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullâh mengatakan,
“Allâh Ta'ala tidak mensyari’atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun pada malam nisfu Sya’bân ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui lisan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga tidak melalui sunnah Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.”

Syaikh Bin Baz rahimahullâh mengatakan,
“Semua riwayat yang menerangkan keutamaan shalat malam nisfu Sya’bân adalah riwayat PALSU.”

Keterangan terbaik tentang shalat malam nisfu Sya’bân yaitu perbuatan sebagian tabi’in, sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathâif (hlm. 144), “Malam nisfu Sya’bân diagungkan oleh tabi’in dari Syam. Mereka bersungguh-sungguh melakukan ibadah pada malam itu. Dari mereka inilah, keutamaan dan pengagungan malam ini diambil.

Ada yang mengatakan, ‘Riwayat yang sampai kepada mereka tentang malam nisfu Sya’bân itu adalah riwayat-riwayat isra’iliyyat.’ Ketika kabar ini tersebar diseluruh negeri, manusia mulai berselisih pendapat, ada yang menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu Sya’bân, sedangkan Ulama Hijâz mengingkarinya. Mereka mengatakan, ‘Semua itu perbuatan Bid’ah (Perbuatan Baru Didalam Agama).’

Tidak diragukan lagi, pendapat ulama Hijaz ini adalah pendapat yang benar karena Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs al-Maidah [5] : 3)

Seandainya shalat malam nisfu Sya’bân itu bagian dari agama Allâh, tentu Allâh Ta'ala jelaskan dalam kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melalui ucapan maupun perbuatan Beliau. Ketika keterangan itu tidak ada, itu berarti shalat khusus ini bukan bagian dari agama Allâh Ta'ala.

Semua (ibadah) yang bukan bagian dari agama Allâh Ta'ala adalah bid’ah, sementara ada dalil shahih dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, bahwa Beliau bersabda, "Semua bid’ah itu sesat.”

Tingkatan ketiga, dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah tertentu dan ini dilakukan tiap tahun. Maka ini lebih parah daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari sunnah.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits PALSU.
As-Syaukâni rahimahullâh mengatakan (al-Fawâidul Majmû’ah, hlm. 15),
“Semua riwayat tentang shalat malam nisfu Sya’bân ini adalah riwayat Bathil dan Palsu.”

Dari penjelasan ini, jelaslah bagi kita. Shalat Khusus pada Malam Nisfu Sya’ban adalah Bid’ah yang Mungkar. Karena hadits – hadits nya Lemah Sekali dan Palsu. Seandainya ada shalat seperti itu, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sudah menyampaikan kepada kita. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin diatas. Akan tetapi, tidak ada satupun hadits yang Sah dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tentang hal itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani rahimahullah diatas.

“Semua riwayat tentang shalat malam nisfu Sya’bân ini adalah riwayat Bathil dan Palsu.”

MAKAN-MAKAN SYA'BAN


SYAIKH IBNU UTSAIMIN rahimhullah

Ada Sebagian Orang Membuat Makanan Pada Hari Nisfu Sya’bân Dan Membagikannya Kepada Fakir Miskin.

Ini yang mereka namakan ‘asyiyâtul wâlidain. Perbuatan ini juga TIDAK ADA DASARNYA dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sehingga mengkhususkan amalan ini pada nisfu Sya’bân termasuk amalan baru didalam agama (Bid’ah) yang telah diperingatkan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dengan sabda Beliau, ”Semua bid’ah itu sesat.”

Ketahuilah, orang yang membuat kebid’ahan dalam agama Allâh Ta'ala ini berarti dia telah terjerumus dalam beberapa larangan :
a. Perbuatannya menyiratkan pendustaan terhadap kandungan firman Allâh Ta'ala, yang artinya

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Qs al-Maidah/5:3).
Karena apa yang dibuat-buat ini dan diyakini sebagai bagian dari agama ini tidak termasuk agama ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari kebid’ahan ini berarti agama itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan-red)

b. Membuat-buat suatu yang baru menyiratkan kelancangan terhadap Allâh dan rasulNya.

c. Orang yang membuat-buat suatu yang baru berarti ia memposisikan dirinya sama dengan Allâh Ta'ala dalam menghukumi manusia. Allâh berfirman, yang artinya,
“Apakah mereka mempunyai sembahan - sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ?” (Qs as-Syuura [42] : 21)

d. Membuat-buat suatu baru berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama dan kedua, Nabi tahu namun Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyembunyikannya. Kedua anggapan ini adalah celaan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam karena yang pertama menuduh Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu syari’at dan kedua menuduh Beliau menyembunyikan bagian dari agama Allâh yang Beliau ketahui.

e. Kebid’ahan menyebabkan manusia berani terhadap syari’at Allâh Ta'ala. Ini sangat dilarang oleh Allâh Ta'ala.

f. Kebid’ahan ini akan memecah belah umat. Karena masing-masing membuat manhaj sendiri dan menuduh yang lain masih kurang. Ini akan menyeret umat kedalam apa yang dilarang Allâh Ta'ala dalam firman-Nya, yang artinya,
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berceraiberai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orangorang yang mendapat siksa yang berat," (Qs Ali Imrân [3] : 105)

dan dalam firman-Nya, yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi bergolonggolong, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allâh, kemudian Allâh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Qs al-An’âm [6] : 159)

g. Kebid’ahan ini membuat pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang disyariatkan. Para pembuat bid’ah itu, tidaklah membuat suatu kebid’ahan kecuali pada saat yang sama dia telah menghancurkan syariat yang sepadan dengannya.

Sesungguhnya apa yang tercantum dalam kitabullah dan sunnah yang shahih itu sudah cukup bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allâh Ta'ala.

Allâh Ta'ala berfirman,
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, “Dengan kurnia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira dengannya. karuniaa Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Qs Yûnus/10:57-58)

Dalam ayat lain Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Qs Thaha [20] : 123)

Akhirnya saya memohon kepada Allâh Ta'ala agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kita dan kepada saudara-saudara kita kaum Muslimin menuju shirâtul mustaqîm dan saya memohon kepada Allâh Ta'ala agar senantiasa menolong kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allâh Maha Dermawan dan Maha Pemurah.

Dari sini jelaslah bagi kita, bid’ah atau perkara – perkara yang diada-adakan didalam agama ini sangatlah berbahaya. Dan semua amal khusus pada malam nisfu sya'ban baik itu puasa maupun shalat. adalah amalan yang baru yang tidak ada dasarnya didalam agama ini. Maka hendaklah seorang muslim, mengecek lagi amalan yang dia lakukan. Ada Dasarnya atau Tidak Didalam Agama ini…?

Sesungguhnya kita sudah dicukupkan dengan al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih. Tidak perlu lagi tambahan dan tidak perlu lagi pengurangan.

Kami nasehatkan kepada pembaca –semoga Allah merahmati dan menjaga kita untuk selalu berhati – hati terhadap bid’ah. Karena pelaku bid’ah tidak akan diterima tobatnya sampai dia meninggalkan bid’ah nya. Dan bid’ah itu lebih dicintai oleh Iblis daripada Maksiat. Kenapa…?

Karena orang yang melakukan maksiat, dia tahu bahwa yang dia lakukan itu adalah maksiat. Dan ada kemungkinan dia akan bertobat. Adapun orang yang melakukan bid’ah, dia menganggap amalan yang dia lakukan itu adalah baik dan disyariatkan. Padahal hal itu adalah perkara yang baru didalam agama. Maka dari itu, tobat nya tertunda sampai dia meninggalkan bid’ah itu, maka dari itu bid’ah itu lebih dicintai oleh Iblis daripada Maksiat. Maka perhatikan masalah ini wahai saudara ku semoga Allah merahmati mu dan menjaga mu dari Bid’ah dan Kesyirikan.

Perhatikan wahai saudara ku, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini :
“Seandainya kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah (Qs:al An’aam :116)

Maka janganlah engkau beramal karena ikut – ikutan tanpa tau dasarnya. Karena engkau bias tersesat, tanpa engkau sadari. Semoga Allah merahmati mu. Akan tetapi ikutilah Apa yang Allah dan Rasulnya ajarkan kepada kita. Semoga Allah merahmati kita semua nya.

MITOS NISFHU SYA'BAN


Tersebar Kabar Di Masyarakat Bahwa Pada Malam Nisfu Sya’bân Itu Ditentukan Apa Yang Akan Terjadi Tahun Itu.
Ini kabar yang bathil. Malam penentuan takdir kejadian selama setahun itu yaitu pada malam qadar (Lailatul Qadar).

Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Haa miim. Demi Kitab (al Qur’ân) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." (Qs ad-Dukhân [44] : 1-4).

Malam diturunkannya al-Qur’ân adalah lailatul qadar. Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qurân) pada malam kemuliaan." (Qs al-Qadr [97] : 1)

yaitu pada bulan Ramadhân, karena Allâh Ta'ala menurunkan al-Qur’an pada bulan itu.

Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur’ân.”(Qs al-Baqarah [2] : 185)

Orang yang mengira bahwa malam nisfu Sya’bân merupakan waktu Allâh Ta'ala menentukan apa yang akan terjadi dalam tahun itu berarti dia telah menyelisihi kandungan al-Qur’an.

SYAIKH RABI' berkata OSAMAH BIN LADEN

Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali tentang Usamah bin Laden

Beliau berkata:
“Termasuk tabiat manusia, khususnya para wartawan, sangat perhatian dengan berbagai peristiwa, banyaknya pembicaraan tentangnya, dan fenomena-fenomenanya. Dan sedikit di antara mereka yang memperhatikan faktor dan rahasia-rahasianya.

Banyak pembicaraan di media masa audio dan video, koran-koran, dan internet tentang kejadian Afganistan, Iraq dan peristiwa-peristiwa pengeboman di negeri-negeri kaum muslimin dan lainnya.

Banyak orang mengaitkan perbuatan ini dengan Jaringan Al-Qaedah yang dipimpin oleh Usamah bin Laden dan pengikutnya semata.

Dimana Usamah bin Laden telah menjadikan orang-orang bodoh dari mereka sebagai para pahlawan Islam mujahid, meskipun mereka adalah orang yang paling cepat larinya dari peperangan. Kebanyakan mereka bersembunyi di gua (dan tempat lainnya, admin), atau hidup di negeri kafir untuk mengatur siasat terhadap kaum muslimin dan berusaha untuk menumpahkan darah mereka.

Meskipun usaha mereka tidaklah mewujudkan kecuali merendahkan kaum muslimin dan meruntuhkan negara-negara mereka, dan tidak menciptakan kecuali kesempatan untuk musuh-musuh Islam dan mempermudah mereka menguasai kaum muslimin.

Kami tidak mengetahui apa analogi kepahlawanan menurut orang-orang ini. Apakah usaha untuk menyerahkan para pemuda Islam kepada musuh, dan mengorbankan mereka seperti ayam dan menjadikan mereka sebagai mangsa dan tawanan seperti burung dara.

Padahal para pemuda yang diprovokasi itu tidak bisa membela diri mereka, terlebih lagi menguasai sarana-prasarana untuk mengalahkan musuh. Betapa besar semangat musuh Islam atas perang yang gagal ini.

Kelompok yang aneh ini memprovokasi para pemuda untuk menyeret kaum muslimin kepada peristiwa-peristiwa berdarah seperti pengeboman dan pengrusakan …

Kaum muslimin tidak sempat bersikap kecuali terkejut dengan banyaknya pembicaraan antara pihak yang pro dan kontra. Sampai batas ini saja berakhir pandangan mereka. Dan sangat sedikit orang yang menunjukkan asal musibah ini.

Kenyataan yang pahit bahwa perbuatan Usamah bin Laden dan orang-orang yang mengikutinya, tidak lain adalah buah dari sebuah pemikiran dan prinsip yang dibawa oleh tulisan-tulisan yang disebarkan di semua media masa, percetakan, dan distribusi dalam berbagai bahasa. Pemikiran ini telah mengisi perpustakaan-perpustakaan. Isinya telah menyusup ke sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Pemikiran itu telah mengisi benak banyak pemuda, bahkan sampai ke pedalaman dan hutan belantara. Ketahuilah penyebab itu asalnya adalah kitab-kitab dan prinsip Sayyid Qutb.

Namun banjir pemikiran Sayyid Qutb yang deras ini, malah mendapati pujian dan promosi dari berbagai media masa, para pengajar dan pendidik. Barangsiapa yang berusaha menghentikannya, dia akan dimusuhi …

Kitab-kitab Sayyid Qutb itu merupakan sumber fitnah, terorisme, pengrusakan di negeri-negeri Islam dan lainnya, karena mengandung berbagai macam pengrusakan asas, aqidah (keyakinan) dan prinsip Islam.” (Yanbu’ Al-Fitan Wa Al-Ahdats dengan penyesuaian).

SYAIKH MUQBIL berkata OSAMAH BIN LADEN

Ucapan Syaikh Muqbil tentang Usamah bin Laden

Sedangkan Ulama Negeri Yaman Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata: “Aku berlepas diri kepada Allah dari Usamah bin Laden. Dia itu celaka dan musibah bagi ummat Islam. Perbuatan-perbuatannya sangat jelek.” (Surat Kabar Ar-Ra’yi Al-‘Am Al-Kuwaitiyyah tertanggal 19-12-1998 vol 11503.)

Syaikh Mukbil rahimahullah juga berkata:
“Dan termasuk contoh fitnah ini adalah fitnah yang hampir menimpa Negara Yaman dari arah Usamah bin Laden, ketika dikatakan kepadanya: ‘Kami ingin jumlah 20.000 real Saudi. Kami ingin membangun sebuah masjid di wilayah …..’ Kemudian dia menjawab: ‘Kami tidak punya kemampuan. Kami akan memberi -Insya Allah- sesuai dengan kemampuan kami.’ Tetapi jika dikatakan kepadanya: ‘Kami ingin cannon, senjata api dan lainnya.’ Dia akan menjawab: ‘Ambil 100.000 real ini atau lebih. Insya Allah akan datang lagi’.” (Tuhfatul Mujib hal 283 karya Syaikh Mukbil)

Perhatikan orang yang menyimpang ini. Bagaimana dia menimbulkan fitnah dengan sebutan jihad. Memang benar dia seorang pengaku jihad dan salah satu tokoh kesesatan dan pengrusakan.

Dia juga memprovokasi orang-orang untuk melakukan teror pengeboman di negeri-negeri kaum muslimin dan menyebut mereka sebagai orang yang mati syahid. Allah lah tempat meminta pertolongan dari orang seperti ini dan perbuatannya.

Article's :

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!