Radio Rodja 756AM

Minggu, 08 Juli 2012

MUQADDIMAH



Segala puji bagi Allah, yang telah menurunkan kepada hamba-Nya kitab Al-Qur'an sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada hamba dan rasul-Nya Muhammad Shalallahu 'alaihi wasalam, yang diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah subhanahu wa ta'ala, semoga Allah memberikan penjagaan bagi kita yang teguh pada sunnah kekasihnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Seiring dengan kesibukan admin pada akhir-akhir ini, sementara ini sms dakwah qaulan sadida belum berjalan secara optimal, begitu juga materi / artikel pada edisi bulan ini kami tidak banyak memposting artikel, karena tiada daya dan upaya melainkan kekuatan Allah adapun manusia banyak kelemahan yang dimilikinya, seberapa pintarpun manusia mengolah waktunya, namun dengan segala kelemahan yang kami miliki, oleh karena itu kami menyampaikan permohonan ma'af kepada seluruh member SMS Dakwah Qaulan Sadida seluruh Indonesia.

Dan kami berharap kepada pecinta blog Qaulan Sadida yang bertanya dirubrik komentar pada setiap artikel diharapkan mencantumkan identitas diri, agar kami sebagai pengelola blog dapat mengarsipkan pada sistem kami.

Alhamdulillah atas ijin Allah 'azza wa jalla kehadiran blog kami terkhusus berkaitan dengan artikel Syi'ah, membuat para pendukung Syi'ah geram lantaran pemikiran kotor mereka dikupas di blog kami, kami mendapatkan beberapa Yayasan, lembaga, dan website syi'ah melontarkan statement kebencian akan dikupas nya rahasia mereka pada blog kita yang dirahmati oleh Allah, kami pun berharap agar kaum muslimin mempunyai benteng ilmu untuk menghadapi syubhat mereka serta do'akan kami agar senantiasa teguh pada sunnah Rasulillah shalallah 'alaihi wa sallam.

Demikian muqadimah pada edisi bulan ini, dan insya Allah pada bulan Sya'ban ini SMS Dakwah Qaulan Sadida diusahakan untuk di mulai kembali. Baarakallahufikum.

Dirumah tercinta ditengah kesejukan Alam Puncak.
Bogor, 19 Sya'ban 1432H

Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan al Bykazi

Minggu, 01 Juli 2012

MALL PRAKTEK MENURUT ISLAM


Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin, MA


MUQADDIMAH
Berobat merupakan salah satu kebutuhan vital umat manusia. Banyak orang rela mengorbankan apa saja untuk mempertahankan kesehatannya atau untuk mendapatkan kesembuhan. Di sisi lain, para dokter adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan. Demikian juga paramedis yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan. Kemajuan teknologi tidak serta merta menjamin menutup pintu kesalahan. Meski pada dasarnya memberikan pelayanann sebagai pengabdian, mereka juga bisa jadi tergoda oleh keuntungan duniawi, sehingga mengabaikan kemaslahatan pasien.

Karenanya, diperlukan aturan yang adil yang menjamin ketenangan bagi pasien dan pada saat yang sama memberikan kenyamanan bagi para profesional bidang kesehatan dalam bekerja. Tentu Islam sebagai syariat akhir zaman yang sempurna ini telah mengatur semuanya. Tulisan sederhana ini mencoba menggali khazanah literatur para ulama Islam dalam hal persoalan yang akhir-akhir ini mencuat kembali, yakni malpraktek.

PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek berasal dari kata 'malpractice' dalam bahasa Inggris . Secara harfiah, 'mal' berarti 'salah', dan 'practice' berarti 'pelaksanaan' atau 'tindakan', sehingga malpraktek berarti 'pelaksanaan atau tindakan yang salah' [1]. Jadi, malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Artikel ini juga hanya akan menyoroti malpraktek di seputar dunia kedokteran saja.

Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter –atau profesional lain di dunia kedokteran dan kesehatan- kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa pasien harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar bisa mengambil keuntungan dari operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan membahayakan pasien, dokter harus mempertanggungjawabkannya secara etika. Hukumannya bisa berupa ta'zîr [2], ganti rugi, diyat, hingga qishash [3].

Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran. Jenis kesalahan ini yang akan mendapat porsi lebih dalam tulisan ini.

BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa digolongkan sebagai berikut:

1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)
Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ، فَهُوَ ضَامِنٌ

"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian, maka ia bertanggung-jawab" [4]

Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.

2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhâlafatul Ushûl Al-'Ilmiyyah)
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran [5].

Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syâfi'i rahimahullah –misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia bertanggung-jawab."[6] Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah [7].

Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang pelik.

3. Ketidaksengajaan (Khatha')
Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).

4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (I'tidâ')
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga factor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.

PEMBUKTIAN MALPRAKTEK
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.

Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:

1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrâr ).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini menunjukkan kejujuran.

2. Kesaksian (Syahâdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zîr, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya) [8].

3. Catatan Medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.

BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja. [9]"

2. Dhamân (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.

3. Ta'zîr berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain.
Ta'zîr berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah [10].

PIHAK YANG BERTANGGUNG-JAWAB
Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak langsung.

Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-jawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.

PENUTUP
Demikianlah penjelasan secara singkat tentang aturan Islam mengenai malpraktek dalam bidang pelayanan kesehatan. Para dokter dan paramedis hendaknya takut kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjalankan amanat dengan baik, sehingga terhindar dari berbagai tanggung-jawab yang memberatkan diri di dunia sebelum akhirat. Hendaknya mereka bertawakal kepada Allâh Azza wa Jalla dalam menjalankan tugas, karena hanya Allâh Azza wa Jalla yang bisa menghindarkan mereka dari kesalahan. Semoga Allâh melindungi umat Islam dari marabahaya dan berbagai keburukan.

Referensi
1. Ahkâmul Jirâhah ath-Thibbiyyah, Dr. Muhammad asy-Syinqîthi, Maktabah ash-Shahabah.
2. Al-Khatha' ath-Thibbi Mafhûmuhu wa Aatsâruhu, Dr. Wasim Fathullah.
3. 'Aunul Ma'bûd, al-'Azhim Abâdi, Dar Ihya' at-Turats.
4. Sunan an-Nasâ'i, Darul Ma'rifah.
5. Sunan Ibnu Mâjah, tahqîq Muhammad Fuâd 'Abdul Bâqi, Darul Fikr.
6. Al-Umm, Imam asy-Syafi'I, Dar Qutaibah.
7. Tuhfatul Maudûd bi Ahkâmil Maulûd, tahqîq Salim al-Hilâli, Dar Ibnul Qayyim.
8. Al-Mishbâhul Munîr, Muassasah ar-Risalah.
9. Kamus Inggris Indonesia, John M. Echols dan Hassan Shadily, PT Gramedia.
10. Al-Mas`ûliyyah al-Jinâiyyah lil Athibbâ', Dr. Usamah Qayid, Darun Nahdhah al-'Arabiyyah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Kamus Inggris – Indonesia hlm. 371
[2]. Ta'zîr: hukuman di luar hudud yang tidak ditentukan syari'ah. Lihat al-Mishbâhul Munîr hlm. 332
[3]. Ahkâmul Jirâhah ath-Thibbiyyah hlm. 301
[4]. HR. Abu Dâwud no. 4575, an-Nasâi' no. 4845 dan Ibnu Mâjah no. 3466. Hadits hasan. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 635
[5]. Al-Mas`ûliyyah al-Jinâiyyah lil Athibbâ'hlm. 160
[6]. Al-Umm 7/65.
[7]. Lihat: Tuhfatul Maudûd bi Ahkâmil Maulûd hal. 325.
[8]. Lihat: al-Majmû' 20/256, Taisîrul Karîm ar-Rahmân hlm. 118, Ahkâmul Jirâhah ath-Thibbiyyah hlm. 331.
[9]. Mukhtashar Khalîl hlm. 317
[10]. Ahkâmul Jirâhah ath-Thibbiyyah hlm. 351
Ahkâmul Jirâhah ath-Thibbiyyah hlm. 334

NASHIHAT UNTUK PARA DOKTER


Oleh
Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Lukman



Termasuk nikmat Allah atas para hamba-Nya adalah Allah mengajarkan dan melebihkan sebagian orang dalam bidang kedokteran. Mereka membantu orang yang sakit dan menjadi sebab setelah Allah dalam menyembuhkan orang sakit. Berikut ini secercah nasihat yang ingin kami sampaikan kepada segenap saudaraku para dokter, sebagai peringatan dan nasihat dalam kebaikan. Terimalah nasihat sederhana ini dari saudaramu yang tidak menghendaki kecuali kebaikan. Terimalah dengan hati yang lapang, semoga Allah menunjuki kita semua ke jalan yang lurus.

PERTAMA : ALLAH TELAH MELEBIHKANMU
Wahai saudaraku para dokter –semoga Allah menjagamu-. Anda telah diberi nikmat oleh Allah dengan nikmat yang banyak. Salah satunya adalah Allah telah memilihmu untuk menjadi dokter. Keahlian ini tidak dimiliki oleh semua orang. Maka bersyukurlah atas nikmat yang besar ini. Jangan lupa diri. Ingatlah ilmu pengetahuan yang kita miliki adalah pemberian Allah. Tidaklah kita ingat bahwa dahulu kita tidak mengetahui apa pun? Allah berfirman.

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“Dan Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu” [An-Nisa : 113]

Allah berfiman pula

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” [An-Nahl : 78]

Jadi, ilmu kedokteran yang anda –para dokter- miliki adalah pemberian Allah, maka syukurilah dengan cara menggunakan nikmat ilmu tersebut dalam kebaikan.

KEDUA : NIAT YANG SHALIH
Wahai saudaraku para dokter…. Niatkan ketika anda menjalankan tugas dan mengobati untuk mencari pahala dari Allah, jangan semata-mata hanya rutinitas tugas atau ingin meraih rizki yang melimpah. Niatkan dari tugas mulia ini untuk berbuat baik kepada sesama kaum muslimin, jangan tergambar hanya untuk urusan dunia. Ingatlah, tugasmu sangat mulia. Ikhlas dalam beramal. Akan tetapi, hal itu bukan berarti tidak boleh mengambil upah dalam mengobati. Ambillah gaji atau pemberian orang yang sakit, tetapi ingat, jangan membebani hingga si pasien merasa berat. Berilah keringanan kepada saudaramu yang sedang tertimpa musibah, insya Allah ganjaran yang anda dapat akan lebih besar. Allah berfirman.

وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” [Al-Baqarah : 199]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ نَفَّسَ مُسلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الذُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ فِى الدُّنْيَا يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan, maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat” [1]

Demikian pula hendaklah anda amanah dalam menjalankan tugas mulia ini. Jangan mengatakan kepada pasien harus beli ini dan itu padahal tidak dibutuhkan, atau memberi resep obat mahal yang tidak dibutuhkan demi melariskan apotek tempat tugasmu. Takutlah kepada Allah dari dusta ketika bertugas. Bantulah saudaramu sebelum Allah mencabut kenikmatan ini darimu

KETIGA : KERJAKAN SHALAT KETIKA TIBA WAKTUNYA
Termasuk bentuk syukurmu kepada Allah adalah apabila adzan telah berkumandang maka bersegeralah berangkat shalat. Jangan akhirkan shalat, karena anda adalah teladan bagi orang-orang yang disekitarmu. Apabila amalan yang sedang anda kerjakan di rumah sakit sangat mendesak, seperti sedang operasi pasien dan tidak bisa menundanya, maka tidaklah mengapa anda mengakhirkan shalat hingga tugasmu selesai, setelah itu bersegeralah shalat. Allah berfirman.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'” [Al-Baqarah : 238]

KEEMPAT : BELAJAR ILMU AGAMA
Saudaraku, sang dokter..
Mungkin anda sering mendapati pasienmu tidak paham bagaimana tata cara berwudhu dan shalatnya orang yang sedang sakit. Maka tugasmu untuk mengajari mereka, membimbing mereka bagaimana tetap beribadah ketika sakit. Kewajibanmu wahai para dokter untuk belajar ilmu agama, agar anda bisa mengarahkan pasien ke jalan yang benar dan beribadah dengan benar pula.

KELIMA : JANGAN BERDUA-DUAAN DENGAN WANITA YANG BUKAN MAHRAM.
Saudaraku, sang dokter…
Terkadang pasienmu adalah seorang wanita. Apabila anda bisa mencari dokter wanita yang bisa menanganinya maka itulah yang seharusnya. Akan tetapi, jika tidak ada maka tetaplah anda menanganinya dengan didampingi mahram si pasien. Jangan hanya berdua-duan dengan pasien wanitamu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْمَحْرَمٍ

“Janganlah seorang laki-laki berdua-duan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya” [2]

Apabila mahram si pasien wanita tidak ada, dan tidak ada pula dokter wanita yang lain, maka tetaplah anda mengobati sewajarnya dengan tetap menjaga rasa takut kepada Allah. Obatilah seperlunya, jangan tambahi dengan obrolan yang keluar batas.

KEENAM : MEMBUKA AURAT WANITA?
Nasihatku selanjutnya, apabila kondisimu terpaksa dan menuntut membuka aurat pasien wanitamu, maka bukalah aurat tempat yang sakit yang perlu diobati saja, jangan berlebih-lebihan. Ini dibolehkan karena termasuk kondisi darurat. Dan darurat itu diukur sekedarnya saja, apabila telah selesai maka tutuplah kembali. Takutlah selalu kepada Allah untuk membuka aurat pasien wanita tanpa ada kebutuhan yang mendesak.

KETUJUH ; JAGALAH RAHASIA PASIEN
Sebagian pasien ada yang menyampaikan permasalahannya dan menceritakan rahasia dan isi hatinya kepada anda. Maka sebagai bentuk amanat sesama muslim, jagalah rahasia ini dan berilah solusi yang terbaik dan sesuai dengan kondisinya, jangan anda sebarkan aibnya di khalayak manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.

آيَةُ اْلمُنَا فِقِ ثَلاَ ثٌ : إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga : apabila berkata dia dusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan apabila diberi amanat dia khianat” [3]

KEDELAPAN : MENASIHATI DENGAN KEBAIKAN
Apabila anda melihat atau mengetahui bahwa pasienmu tatkala sehat adalah orang yang sombong, sering mengganggu orang lain, dan sering berbuat dosa misalnya, kemudian sifat ini melemah ketika dia sakit atau bahkan jiwanya menjadi lemah, dan berbalik senang menerima nasihat, maka manfaatkanlah peluang emas ini dengan menasihatinya secara halus dan baik. Tunjukilah ke jalan kebenaran. Semoga ketika sembuh pasienmu menjadi baik dan anda pun meraih pahala yang setimpal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa yang menunjuki kebaikan, maka baginya semisal pahala orang yang mengerjakannya” [4]

KESEMBILAN : BERLEMAH LEMBUT KEPADA PASIEN
Barangsiapa anda mendapati di antara pasienmu yang sakit ada yang sulit untuk paham anjuranmu, bandel dalam minum obat, sering melanggar pantangan makanan, atau banyak bertanya dan lain-lain. Menghadapi watak pasien yang beragam seperti ini adalah dengan bersabar dan berlemah lembut kepada mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ الرِّفْقَ لاَيَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Tidaklah kelembutan berada dalam sebuah perkara kecuali akan membaguskannya. Dan tidaklah dicabut kelembutan dari suatu perkara kecuali akan mengotorinya” [5]

Bersabarlah dalam melayani tingkah polah pasienmu yang beragam, berlemah lembutlah kepada mereka. Tebarkan senyum, jangan bermuka masam, semoga dengan sikapmu seperti ini dapat membantu kesembuhan mereka.

KESEPULUH : SIAP KETIKA DIMINTA KAPANPUN
Nasihatku yang terakhir, bahwa keahlianmu dalam mengobati menuntut agar anda selalu siap bila ada orang yang membutuhkanmu. Siap di setiap waktu dan tempat. Barangkali dengan kamu bersegera berangkat ketika dimintai bantuan adalah sebab –setelah Allah- bagi hidupnya nyawa saudaramu sesama muslim. Ingatlah, mungkin dengan selamatnya saudaramu adalah sebab anda meraih pahala karena kebaikan yang dia kerjakan ketika sembuh. Renungkanlah selalu firman Allah ini.

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.[Al-Maidah : 32]

Demikain kajian kita kali ini. Perlu kiranya diketahui bahwa kajian ini disarikan dari Rasa’il Ila al-Thabib al-Muslim karya Dr Thoriq bin Muhammad al-Khuwaithir dengan beberapa tambahan oleh penulis.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 08, Tahun ke-10/Rabi'ul Awal 1432 (Feb - 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim 2699
[2]. HR Al-Bukhari : 3006 dan Muslim : 1341
[3]. HR Al-Bukhari : 33 dan Muslim : 59
[4]. HR Muslim : 1893
[5]. HR Muslim : 2594

DO'A MALAIKAT UNTUK SHAF PERTAMA


Oleh
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi


Di antara orang-orang yang beruntung dengan shalawat para Malaikat kepada mereka adalah orang-orang yang berada pada shaff bagian depan ketika shalat, baik itu pada shaff pertama, kedua atau shaff bagian depan lainnya.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa para Malaikat bershalawat kepada orang-orang yang ada pada shaff pertama ketika shalat adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahiihnya, beliau meriwayatkannya dari al-Barra’ Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصَّفِ اْلأَوَّلِ.

‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang) yang berada pada shaff pertama.’” [1]

Al-Mulla ‘Ali al-Qari ketika menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah dan para Mala-ikat-Nya bershalawat,” beliau berkata: “Hal tersebut dengan turunnya kasih sayang Allah, do’a agar pertolongan Allah selalu untuknya dan permohonan lainnya yang dilakukan oleh para Malaikat untuknya.” [2]

Imam Ibnu Hibban memberikan bab pada hadits ini dengan judul: “Penjelasan Tentang Ampunan Allah جلّ وعلا Beserta Permohonan Ampun Para Malaikat Bagi Orang yang Shalat pada Shaff yang Pertama.” [3]

Adapun yang menjadi dalil tentang shalawat para Malaikat untuk orang-orang yang ada pada shaff kedua di dalam shalat beserta orang yang ada pada shaff pertama adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat bershalawat kepada orang-orang yang ada pada shaff pertama (di dalam shalat).’ Lalu para Sahabat berkata: ‘Dan kepada orang-orang yang ada pada shaff kedua, wahai Rasulullah!’ [4] Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat bershalawat kepada orang-orang yang berada pada shaff pertama (di dalam shalat).’ Lalu para Sahabat berkata: ‘Dan shaff kedua, wahai Rasulullah!’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Dan kepada (orang-orang yang berada) pada shaff kedua.’” [5]

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang berada pada shaff kedua dalam shalat, akan tetapi dengan penjelasan bahwa orang yang berada pada shaff pertama lebih utama dari mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang shalawat Allah dan para Malaikat-Nya kepada orang-orang yang berada pada shaff pertama sebanyak dua kali. Di dalam pengulangan tersebut -sebagaimana yang diungkap oleh Syaikh Ahmad bin ‘Abdirrahman al-Banna- bahwa ada sebuah keutamaan yang lebih bagi mereka yang berada pada shaff pertama, dan keutamaan tersebut sangat berlipat dibandingkan dengan keutamaan shaff yang kedua, karena itulah orang yang meninggalkan shaff pertama harus selalu berjaga-jaga dengan merasa kekurangan sehingga ia tidak masuk ke dalam shaff yang lainnya, hingga ia tidak terhalang dari keutamaan yang besar tersebut. [6]

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa para Malaikat bershalawat bagi orang-orang yang berada pada shaff-shaff terdepan dalam shalat adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua Imam (yaitu Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah) dari al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhuma, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ اْلأُوَلِ.

‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang) yang berada pada shaff-shaff terdepan.’” [7]

Imam Ibnu Khuzaimah memberikan bab pada hadits ini dalam Shahiihnya dengan judul: “Bab Tentang Shalawat Allah dan Para Malaikat-Nya kepada Shaff-Shaff Terdepan.” [8]

Di dalam riwayat Imam an-Nasa-i, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ الْمُتَقَدِّّمَةِ.

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang) yang berada pada shaff-shaff terdepan.” [9]

Kesimpulannya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang berada pada shaff pertama dalam shalat, orang-orang yang berada pada shaff kedua, dan orang-orang yang berada pada shaff-shaff terdepan. Akan tetapi shalawat bagi orang-orang yang berada pada shaff pertama jauh lebih utama daripada shaff-shaff lainnya.

Demikianlah, bahkan terdapat riwayat lain yang mengungkapkan keutamaan orang-orang yang berada pada shaff pertama ketika shalat, di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا.

"Seandainya orang-orang mengetahui (pahala) yang ada pada adzan dan shaff yang pertama, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan cara diundi [10], tentu mereka akan melakukan undian.’” [11]

Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu berada pada shaff pertama dengan keutamaan-Nya. Kabulkanlah ya Allah, yaa Hayyu yaa Qayyuum.

[Disalin dari buku Man Tushallii ‘alaihimul Malaa-ikatu wa Man Tal‘anuhum, Penulis Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Penerbit Idarah Turjuman al-Islami-Pakistan, Cetakan Pertama, 1420 H - 2000 M, Judul dalam Bahasa Indonesia: Orang-Orang Yang Di Do'aka Malaikat, Penerjemah Beni Sarbeni]
_______
Footnote
[1]. Al-Ihsaan fii Taqriib Shahiih Ibni Hibban kitab ash-Shalaah, bab Fardhu Mutaaba’atil Imam (V/530-531 no. 2157). Syaikh al-Arna-uth berkata: “Isnadnya shahih, perawinya adalah perawi yang shahih kecuali ‘Abdurrahman bin ‘Ausijah, ia seorang yang tsiqat dan penulis kitab Sunan meriwayatkan dari beliau.” (Catatan pinggir kitab al-Ihsaan V/531).
[2]. Mirqaatul Mafaatiih (III/178).
[3]. Al-Ihsaan fii Taqriibi Shahiih Ibni Hibban (V/530).
[4]. وَعَلَى الثَّانِي : “Yaitu katakanlah, ‘Dan kepada shaff kedua.’” Huruf و (wawu) ini dinamakan al-‘athaf, yaitu al-‘athaf talqin wa iltimaas (Mirqaatul Mafaatiih III/530).
[5]. Al-Musnad (V/262, potongan sebuah hadits, cet. Al-Maktab al-Islami). Al-Hafizh al-Mundziri mengomentari hadits ini: “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad laa ba’-sa bihi. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan selainnya.” (At-Targhiib wat Tarhiib I/318). Al-Hafizh al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani dalam kitab al-Kabiir, dengan para perawi yang mautsuq” (Majma’uz Zawaa-id II/91). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani, lihat kitab Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (I/269).
[6]. Lihat kitab Buluughul Amaani min Asraaril Fat-h ar-Rabbaani (V/320). Al-Mulla ‘Ali al-Qari berkata: “Pengulangan tersebut mengandung makna penguat dan adanya kesempur-naan bagi orang yang berada pada shaff pertama.” (Mirqaatul Mafaatiih III/178).
[7]. Sunan Abi Dawud, pada cabang-cabang bab ash-Shufuuf, bab Taswiyatush Shufuuf (II/257 no. 660), Shahiih Ibni Khuzaimah kitab al-Imaamah fish Shalaah (III/26 no. 1557). Al-Imam an-Nawawi telah menghasankan sanadnya, lihat Riyaadhush Shaalihiin (hal 446). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani (lihat Shahiih Sunan Abi Dawud I/130).
[8]. Shahiih Ibni Khuzaimah (III/26).
[9]. Sunan an-Nasa-i kitab al-Imaamah, Kaifa Yuqawwimul Imaam ash-Shufuuf (II/90), hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani (lihat kitab Shahiih Sunan an-Nasa-i I/175).
[10]. إِلاَّ أَنْ يَسْتَهَمُوْا عَلَيْهِ diambil dari kata اْلإِسْتِهَامُ (taruhan), yaitu اْلإِقْتِرَاعُ (pengundian). Lihat kitab ‘Umdatul Qaari (V/125).
[11]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Adzaan bab al-Istihaam fil Adzaan (II/97 no. 615).

DEFINISI TAWAKAL



Oleh
Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji


A. Pengertian Lughawi (Secara Bahasa).

Kata “اَلتَّوَكُّلُ” berasal dari kata “وَكَلَ”. Dikatakan,
“ِوَتَوَكَّلَ عَلَيْهِ وَاتَكَّلَ وَكَلَ باللهِ” berarti berserah diri kepada-Nya.[1] Juga, “وَكَلَ إِلَيْهِ َاْلأَمْرَ وَكْلاً وَوَكُوْلاً” yang berarti menyerahkan dan meninggal-kannya.[2]

Serta, “رَجُلٌ وَكَلٌ وَوُكَلَةٌ” semisal dengan kata “humazah” dan “tukalatun” yang berarti orang lemah yang mewakilkan urusannya kepada orang lain sekaligus bersandar padanya.[3] Al-Azhari mengatakan:

رَجُلٌ وُكَلَةٌ إِذَا كَانَ يَكِلُ أَمْرَهُ إِلَى النَّاسِ

“Seseorang disebut ‘Wukalatun,’ jika dia menyerahkan urusannya kepada orang lain.”[4]

Dan kalimat, “وَفَرَسٌ وَاكِلٌ” berarti bersandar pada penunggangnya dalam melompat dan memerlukan pukulan.

Dan kata “اَلْوَكِيْلُ” berwazan fa’iil yang berarti maf’ul, yaitu orang yang diserahi urusan oleh pemilik urusan tersebut. Al-Azhari mengatakan, “Disebut ‘وَكِِيْلُ’, karena pemilik urusan itu telah melimpahkan (mewakilkan) wewenang kepadanya untuk menyelesaikan urusannya dan ia disebut sebagai [5] ‘مَوْكُوْلٌ إِلَيْهِ’”

Sebagian dari mereka menafsirkan kata “اَلْوَكِيْلُ” sebagai “اَلْكَافِلُ” yaitu pihak yang memberi jaminan. Ar-Raghib mengatakan, “Kata ‘اَلْوَاكِيْلُ’ lebih umum, karena setiap kafiil itu pasti wakiil, tetapi tidak setiap wakiil itu sebagai kafiil.” [6]

Kata “اَلتَّوْكِيْلُ” berarti, jika Anda bersandar kepada orang lain dan Anda jadikan ia sebagai wakil bagi diri Anda.

Kata “تَوَكُّلٌ” berwazan “تَفَعُّلٌ”dari kata “اَلْوَكَلَةُ” atau “وِكَلَةٌ” yang berarti memperlihatkan ketidak mampuan dan bersandar pada orang lain[7]. Dan isimnya adalah [8] “اَلتِّكْلاَنُ”.

Ibnul Atsir mengatakan, “Dikatakan ‘تَوَكُّلُ بِالأَمْر’, jika pelaksanaan sebuah urusan ditanggung. ‘وَكَّلْتُ أَمْرِيْ إِلَى فُلاَنٍ’, berarti saya berlindung sekaligus bersandar kepadanya dalam urusan itu. Dan juga menyerahkan pelaksanaan urusan itu sendiri [9]. Dan terkadang keduanya bersatu.

Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan, “Kata ‘اَلتَّوَكُّلُ’ dikatakan pada dua sisi. Dikatakan, ‘تَوَكَّلْتُ لِفُلاَنٍ’, yang berarti aku serahi kekuasaan padanya. Dan dikatakan pula, ‘وَكَّلْتُهُ فَتَوَكَّلَ لِيْ’ yang berarti saya serahkan urusan kepadanya sehingga dia mewakili diri saya. Dan kata ‘تَوَكَّلْتُ عَلَيْهِ’ berarti saya bersandar kepadanya.” [10]

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan kata اَلْوَكَالَةُ ada dua:

Pertama: اَلتَّوْكِيْلُ, yaitu mewakilkan sekaligus menyerahkan.

Kedua: اَلتَّوَكُّلُ yang berarti menjalankan tugas berdasarkan perwakilan yang diberikan oleh si pemberi hak tersebut.[11]

Demikianlah itu beberapa makna kata ini. Dan masih ada beberapa makna lainnya, dan di sini sengaja tidak saya sampaikan karena tidak adanya kaitan dengan apa yang dimaksudkan di sini.

B. Pengertian secara Istilah.


Adapun makna istilah kata “تَوَكُّلٌ” (Tawakkul), maka dilihat dari posisinya yang mengungkapkan salah satu dari keadaan hati yang sulit untuk diterka pada batasan tertentu. Karenanya, muncul berbagai penafsiran para ulama dalam bermacam bentuk. Ada di antaranya yang menafsirkannya secara lazimnya dan ada juga yang menafsirkannya dengan menggunakan sebab-sebab dan faktor-faktornya, atau dengan nilai atau sebagian dari maknanya, sebagai-mana yang menjadi kebiasaan para ulama Salaf dalam penafsiran mereka.

Di antara sebab perbedaan itu adalah bahwa keadaan dan amal perbuatan hati itu sulit sekali diterka secara pasti dan pengungkapannya (pembatasannya) dengan kata-kata. Oleh karena itu, mengenai tawakkal ini. Al-Ghazali mengungkapkan, “… Tidak jelas dari segi makna dan sulit dari segi amal.”[12]

Sebagaimana mereka tidak mengarahkan pengertian-pengertian itu dengan pengertian istilah yang hakiki, tetapi mereka hanya bermaksud untuk menjelaskan pentingnya kriteria ini atau memelihara keadaan orang yang mengatakan atau bahkan sampai pendengar sekalipun atau sebab-sebab lainnya.
Oleh karena itu, muncul berbagai penafsiran mereka dan seakan-akan lahiriyahnya tampak ada suatu perbedaan dan perubahan, yang pada hakikatnya ia terdiri dari beberapa bagian makna umum dari kata tawakkal itu sendiri atau dari kelaziman, pengaruh, dan nilainya.

Di antara yang terpenting dari penafsiran-penafsiran itu adalah:


1. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan,“Yaitu, percaya sepenuhnya kepada Allah [13]".

2. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk [14]."

Dan dia juga mengatakan, “Kata tawakkal berarti penyerahan urusan kepada Allah Jalla Tsanuhu sekaligus percaya sepenuhnya hanya kepada-Nya.” [15]

3. ‘Abdullah bin Dawud al-Khuraibi [16] mengatakan, “Saya melihat tawakkal sebagai husnuzhan (prasangka baik) kepada Allah.” [17]

4. Syaqiq bin Ibrahim [18] mengatakan, “Tawakkal berarti ketenangan hati pada apa yang dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla.” [19]

5. Al-Hasan pernah ditanya tentang tawakkal, maka dia menjawab, “Yaitu, ridha pada Allah Azza wa Jalla ”

6. Setelah ditanya tentang tawakkal, ‘Ali bin Ahmad al-Busyanji [20] mengatakan, “Melepaskan diri dari daya dan kekuatanmu serta daya dan kekuatan orang sepertimu.” [21]

7. Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan dari sebagian mereka, “Yaitu penyerahan urusan kepada Allah, sebagai bentuk kepercayaan penuh pada kebaikan pengelolaan-Nya.” [22]

8. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yaitu, bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam memperoleh kemaslahatan dan menolak mudharat dari urusan dunia dan akhirat secara keseluruhan.” [23]

9. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ada yang mengatakan, ‘Yaitu, memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah disiapkannya sebab.’” [24]

10. Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab mengatakan, “Yaitu tindakan seorang hamba menyandarkan urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, yang tiada sekutu bagi-Nya dalam semua urusannya, baik urusan agama maupun urusan duniawinya.” [25]

11. Mungkin definisi yang paling dekat yang mungkin dapat menggabungkan berbagai bagian di atas adalah dengan mengatakan, “Yaitu keadaan hati yang berasal dari pengetahuannya pada Allah, iman pada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengendalikan, memberi mudharat dan manfaat, memberi dan menolak. Apa yang Dia kehendaki, pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki, pasti tidak akan pernah terjadi. Sehingga ada keharusan untuk bersandar kepadanya sekaligus menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya sekaligus merasa tenang dan percaya diri padanya. Juga yakin secara penuh pada kecukupan yang ada pada-Nya atas apa yang dia sandarkan pada-Nya.” [26]

[Disalin dari kitab At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa, Penulis Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji, Edisi Indonesia MEMAHAMI TAWAKKAL Menyandarkan Semua Urusan kepada Allah Azza Wa Jalla, Penerjemah M. Abdul Ghaffar E.M. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Rabi’ul Awwal 1426H April 2005M]
_______
Footnote
[1]. Kitab Lisaanul ‘Arab (XI/734), karya Ibnu Manzhur: Jamaluddin Muhammad bin Mukarram, wafat tahun 711 H. Cetakan tahun 1388, diterbitkan oleh Daar Shaadir dan Daar Beirut. Materi: Wakala.
[2]. Kitab Al-Qaamuus al-Muhiith (IV/67), karya Fairuz Abadi: Majduddin Muhammad bin Ya’qub. Cetakan kedua, tahun 1371 H, diterbitkan oleh Maktabah dan Mathba’ah Mushthafa, al-Baabi al-Halabi. Materi: Wakala.
[3]. Kitab Taajul Lughah wa Shihaah al-‘Arabiyah (V/1845), karya al-Jauhari: Isma’il bin Hamad, wafat 393 H, diterbitkan oleh Maktabah dan Mathba’ah Mushthafa, al-Baabi al-Halabi. Dan lihat juga kitab Lisaanul ‘Arab (XI/734).
[4]. Kitab Tahdziib al-Lughah (X/371), karya al-Azhari: Abu Manshur Muhammad bin Ahmad al-Azhari, wafat tahun 370 H. Tahqiq: ‘Abdussalam Harun. Cetakan tahun 1384 H, dipublikasikan oleh ad-Daar al-Mishriyah Lit-ta’liif wan Nasyr.
[5]. Ibid.
[6]. Kitab Al-Mufradaat fii Ghariib al-Qur-an, hal. 532, karya ar-Raghib al-Ashfahani: Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad, wafat tahun 502 H. Tahqiq: Muhammad Sayyid Kailani. Terbitan Daar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon.
[7]. Kitab Mujmal al-Lughah (III/934), karya Abu al-Husain Ahmad bin Faris, wafat tahun 395 H. Tahqiq: Zahir ‘Abdul Muhsin Khilkan. Cetakan pertama 1404 H Muasasah. Materi: “Wakala”.
[8]. Kitab As-Shihhaah (V/185), karya al-Jauhari, Isma’il bin Hamad, wafat tahun 393 H, tahqiq oleh Ahmad Abdul Ghafur Athar, cetakan ketiga, 1404 H, Daar al-‘Ilm lil Malaayin. Materi: “Wakala”.
[9]. Kitab An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Atsar (V/221), karya Ibnul Atsir: Abu as-Sa’adah al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari, wafat tahun 606 H. Tahqiq: Thahir az-Zawi dan Mahmud ath-Thanahi. Cetakan 1383 H. Distributor: al-Maktabah al-Islamiyyah. Materi: “Wakala”.
[10]. Kitab Al-Mufradaat fii Ghariib al-Qur-an, hal 531, karya ar-Raghib al-Ashfahani.
[11]. Kitab Madaarijus Saalikiin baina Manaazil Iyyaaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’iin, karya Ibnul Qayyim Muhammad bin Abi Bakar az-Zar’i, wafat tahun 751 H. Tahqiq: Muhammad Hamid al-Faqi. Cetakan ketiga, 1393 H.
[12]. Kitab Ihyaa’ Uluumuddin (IV/243), karya Imam al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, wafat tahun 505 H. Dipublikasikan oleh Darul Ma’rifah.
[13]. Kitab Zaadul Masiir fii ‘Ilmi at-Tafsiir (II/24), karya Ibnul Jauzi Abul Faraj Jamaluddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad, wafat tahun 597 H. Tahqiq: Muhammad bin ‘Abdirrahman ‘Abdillah, takhrij hadits oleh: As-Sa’id bin Basyuni Zaghlul. Cetakan pertama, tahun 1407 H, Daar al-Fikr.
[14]. Kitab Thabaqaat al-Hanaabilah (I/416), karya al-Qadhi Abul Husain Muham-mad bin Abi Ya’la, wafat tahun 526 H. Didistribusikan oleh Dar al-Ma’rifah.
[15]. Kitab Syu’abul Iimaan (II/57), karya al-Baihaqi Abul Husain Ahmad bin al-Husain, wafat 458 H. Tahqiq: Muhammad as-Sayyid Ibnu Basyuni Zaghlul. Cetakan pertama, tahun 1410. Didistribusikan Darul Kutub al-‘Ilmiah.
[16]. Yaitu, ‘Abdullah bin Dawud bin Amir bin Rabi’, Imam panutan. Ibnu Sa’ad mengatakan, Dia seorang yang dapat dipercaya dan taat beribadah, wafat tahun 213 H. Biografinya ada di dalam kitab Siyar A’laam an-Nubalaa’ (IX/346), karya adz-Dzahabi. Dan kitab Tadzkiratul Huffaazh (I/337).
[17]. Kitab At-Tawakkul ‘alaallah (XXX/65), karya al-Hafizh Abu Bakar bin Abid Dunya, wafat tahun 281 H. Tahqiq: Jasim al-Fuhaidi. Cetakan pertama, 1407 H. didistribusikan oleh Daar al-Basyaa’ir. Juga kitab Syu’abul Iimaan (II/97), karya al-Baihaqi. Serta kitab Siyar A’laam an-Nubulaa’ (IX/349).
[18]. Yaitu, Syaqiq bin Ibrahim Abu ‘Ali al-Balkhi, termasuk seorang ahli zuhud terkemuka. adz-Dzahabi mengatakan: “Dia termasuk salah seorang mujahid terkemuka. Dan dia meninggal sebagai syahid dalam peperangan Kaulan, tahun 194 H.” Kitab Miizaan al-I’tidaal (II/ 279).
[19]. Kitab Syu’abul Iimaan (II/98).
[20]. ‘Ali bin Ahmad bin Ibrahim al-Busyanji, seorang sufi, zuhud, dan wara’, yang wafat pada tahun 347 H. Ada juga yang mengatakan, 348 H di wilayah Naisabur. Biografinya ada di dalam kitab Hilyatul Auliyaa’ (X/379). Juga kitab al-Muntazhim (VI/391), karya Ibnul Jauzi. Serta kitab Thabaqaat asy-Syafi’iyyah (III/344), karya as-Subki.
[21]. Kitab Syu’abul Iiimaan (II/99).
[22]. Kitab Zaadul Masiir (II/24). Lihat juga penafsiran seperti ini dalam Syu’abul Iimaan (III/95), karya al-Baihaqi dan setelahnya. Juga kitab Ihyaa’ Uluumuddin (IV/265) serta kitab Madaarijus Saalikiin (II/116).
[23]. Kitab Jaami’ al-‘Uluum wal Hikam fii Syarhi Khamsiin Hadiitsan min Jawaami’ al-Kalim, hal. 409, karya Ibnu Rajab al-Hanbali Abul Faraj ‘Abdurrahman bin Syihabuddin, wafat tahun 795 H. Didistribusikan oleh Daar al-Ma’rifah.
[24]. Kitab Fat-hul Baari Syarhu Shahiih al-Bukhariy (III/449), karya Imam al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani, wafat tahun 852 H. Cetakan ketiga, tahun 1407 H. Didistribusikan oleh al-Maktabah as-Salafiyah, Kairo.
[25]. Kitab Al-Kalimaat an-Naafi’ah fii al-Mukaffiraat al-Waaqi’ah, hal 6-7, karya Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab. Cetakan kedua, tahun 1400 H. Diterbitkan oleh Maktabah as-Salafiyah, Kairo.
[26]. Lihat Kitab Madaarijus Saalikin (I/82). Dan lihat juga yang dekat darinya Tajriid at-Tauhiid, hal 28, karya al-Muqrizi

HAKIKAT TAWAKAL



Oleh
Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji


Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwa tawakkal merupakan keadaan yang muncul dari sekumpulan urusan, di mana hakikat tawakkal tidak akan sempurna, kecuali dengannya. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Telah dikemukakan bahwa banyak dari ummat manusia yang menafsirkan tawakkal sebagai percaya sepenuhnya dan menjadikannya sebagai hakikat tawakkal itu sendiri. Dan sebagian lagi ada yang menafsirkannya sebagai penyerahan diri. Ada pula yang menafsirkannya sebagai penyerahan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kedudukan tawakkal adalah menyatukan hal tersebut secara keseluruhan.”[1]

Beberapa ulama yang telah disebutkan namanya telah menafsirkan tawakkal sebagai salah satu, dua atau tiga dari urusan-urusan ini. Dan Ibnul Qayyim menyebutnya dengan beberapa tingkatan [2], yaitu sebagai berikut:

1. Mengenal Rabb dan Sifat-Sifat-Nya, baik itu kemampuan, kekuasaan, kecukupan, berakhirnya segala urusan pada ilmu-Nya, kemunculannya dari kehendak-Nya, keyakinan pada kecukupan dari lindungan-Nya, dan kesempurnaan pelaksanaan apa yang ditugaskan kepadanya Dan bahwasanya makhluk tidak dapat menduduki posisi ini.[3]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ma’rifat (pengetahuan) ini merupakan tingkatan yang pertama, di mana seorang hamba meletakkan kakinya di (kedudukan) tawakkal.”[4]

Dia juga pernah menukil ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu: “Karena itu, tawakkal tidak akan menjadi benar dan sulit dibayangkan bisa dilakukan seorang filosof ataupun golongan Qadariyah (golongan yang menolak sifat-sifat Allah), yang mengatakan bahwa di alam kekuasaan Allah ada sesuatu yang tidak bisa dikehendaki-Nya atau dari golongan Jahmiyah yang meniadakan sifat Allah Azza wa Jalla. Dan tidaklah tawakkal akan benar, kecuali dari ahlul Itsbat (Ahlus Sunnah).”[5]

Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Mereka itu, yakni para filosof dan penganut paham Qadariyah merupakan pemutus jalanan bagi hati, antara hati itu sendiri dengan Pencipta dan kecintaan hati terhadap Allah Subhanahu wa Ta’la.”[6]

Bagaimana mungkin mereka akan membayangkan hal tersebut -yakni, tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala-, sedang mereka mengingkari ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap perkara-perkara kecil serta menafikan dari-Nya sifat-sifat al-fi’il al-ikhtiyariyah (perbuatan yang dikehendaki-Nya), iradah, dan kehendak.

2. Penetapan sebab-sebab, pemeliharaan, dan penerapannya.
Artinya, tawakkal seorang hamba tidak akan lurus dan benar, kecuali dengan menetapkan sebab-sebab, karena tawakkal merupakan sebab yang paling kuat dalam mengantarkan pelakunya untuk sampai kepadanya. Sebagian kaum sufi memahami bahwa penetapan sebab-sebab itu bisa menodai tawakkal dan penafiannya (peniadaannya) merupakan kesempurnaan tawakkal.

Dalam hal ini, mereka memiliki beberapa pendapat yang cukup terkenal, yang pembahasannya sekaligus bantahan terhadapnya akan disampaikan lebih lanjut, insya Allah. Tetapi, yang termasuk kesempurnaan tawakkal adalah tidak bersandar kepada sebab-sebab ini dan bergantung kepadanya serta pemutusan hubungan hati darinya, sebagaimana yang akan dijelasskan lebih rinci nantinya.

Oleh karena itu, tawakkal tidak akan sempurna, kecuali dengan menghilangkan sebab-sebab dari hati dan ketergantungan anggota tubuh padanya, sehingga terkadang ia terputus darinya dan terkadang bersambung dengannya. Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang lebih tahu.[7]

3. Memantapkan hati pada pijakan tauhid.
Tidaklah tawakkal seorang hamba dinilai benar sampai tauhidnya dinilai benar pula. Bahkan, hakikat tawakkal adalah tauhid yang ada pada hati. Oleh karena itu, selama di dalam hati itu masih terdapat kaitan-kaitan syirik, maka tawakkalnya dinilai cacat. Seberapa jauh tingkat kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakkal dinilai. [8]

4. Menyandarkan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa tenang dan tenteram serta percaya sepenuhnya terhadap pengelolaan-Nya, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian kaum cerdik pandai: “Orang yang bertawakkal itu seperti anak bayi, tidak mengetahui apa-apa yang bisa dia jadikan perlindungan, kecuali payudara ibunya. Maka seperti itu pula orang yang bertawakkal, di mana dia tidak dapat berlindung, kecuali kepada Rabb-nya semata.”[9]

Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tawakkal merupakan satu makna yang menempel pada dua dasar: percaya dan bersandar. Hal tersebut merupakan hakikat: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu pula aku memohon pertolongan.’ ”[10][11]

5. Berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla.
Hal tersebut telah ditafsirkan oleh sebagian orang yang telah lebih dulu berbicara tentang hal itu. Hal tersebut merupakan salah satu pilar tawakkal, di mana tawakkal tidak bisa digambarkan, kecuali dari orang-orang yang berhusnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah bahwa husnuzhan kepada Allah itu mengajaknya untuk bertawakkal kepada-Nya, karena tawakkal itu tidak bisa dibayangkan kepada pihak yang dijadikan sebagai sasaran buruk sangka dan tidak juga ada tawakkal pada pihak yang tidak diharapkan. hanya Allah Yang Mahatahu.”[12]

Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla telah berfirman di dalam satu hadits qudsi, “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku.” [13]

Tiga hari sebelum wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى

“Jangan sampai salah seorang di antara kalian meninggal dunia, melainkan dia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah Ta’ala.” [14]

6. Kepasrahan hati kepada-Nya dan menarik semua faktornya yang mengarah kepadanya serta memotong semua perintangnya.
Ini merupakan bentuk kepasrahan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dia tidak akan pernah berkehendak, kecuali apa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak mencintai, kecuali apa yang Dia cintai, tidak juga membenci, kecuali apa yang dibenci-Nya, dan tidak mengerjakan atau meninggalkan, kecuali apa yang diperintahkan oleh Allah untuk mengerjakan atau meninggalkannya.

Dan inilah makna realisasi ‘ubudiyah (penghambaan) yang sempurna kepada Allah Ta’ala. Dan itulah makna hadits mengenai wali (Allah), yang di dalamnya disebutkan:

...وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي َلأُعِيْذَنَّهُ...

“…Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dia pergunakan untuk mendengar, pandangannya yang dia pergunakan untuk memandang, tangannya yang dia pergunakan untuk menyerang, dan kakinya yang dia pergunakan untuk berjalan. Dan jika meminta kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika memohon perlindungan kepada-Ku pasti Aku akan melindunginya...” [15]

7. Pasrah Diri. [16]
Inilah yang ditafsirkan oleh Imam Ahmad dan lain-lainnya. Ibnul Qayyim mengatakan, “Penyerahan diri merupakan ruh, subtansi, sekaligus hakikat tawakkal. Yakni, sikap menyerahkan semua urusan kepada Allah, dan menempatkannya pada-Nya dengan penuh harapan, tanpa pemaksaan dan tuntutan.”[17]

Dengan demikian, pasrah diri berarti keterlepasan sekaligus keluar dari daya dan kekuatan serta penyerahan semua urusan hanya kepada Penguasannya [18] Yang Mahamulia lagi Mahaperkasa. Di dalam do’anya, Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan:

اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ.

“Ya Allah, aku serahkan wajahku kepada-Mu serta aku pasrahkan urusanku kepada-Mu.” [19]

Dan tentang orang yang beriman dari kalangan keluarga Fir’aun ia berkata dalam firman Allah Ta’ala:

وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

“...Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” [Al-Mu’min: 44]

Dilanjutkan dengan pemberian pahala atas kepasrahan tersebut, di mana Dia berfirman:

فَوَقَاهُ اللَّهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا

“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka...” [Al-Mu’min: 45]
.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dengan sanadnya kepada as-Sya’abi, dia berkata, “Syatir [20] Ibnu Sahl pernah duduk mendekati Masruq, lalu Syatir berkata, bisakah engkau ceritakan apa yang engkau dengar dari Ibnu Mas’ud, sehingga aku akan membenarkan-mu atau aku yang akan memberitahumu sehingga engkau akan membenarkan diriku? Maka Masruq berkata, ‘Tidak. Tetapi, engkau saja yang memberitahu sehingga aku akan membenarkan-mu.’ Maka dia berkata, ‘Aku pernah mendengar Ibnu Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya ayat yang paling agung di dalam al-Qur-an adalah mengenai: Tafwiidhan [21] (penyerahan diri), yaitu, ‘Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.’ [22] Masruq berkata, ‘Engkau memang benar.’” [23]

8. Ridha.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ridha merupakan buah dari tawakkal. Dan orang yang menafsirkannya dengan hal itu [24], maka dia menafsirkannya dengan nilai dan faedah yang besar. Oleh karena itu, jika dia benar-benar bertawakkal, niscaya dia akan meridhai apa yang dikerjakan oleh pihak yang dipasrahinya.” [25]

Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ridha dan tawakkal mengelilingi apa yang ditakdirkan (dimana tawakkal sebelum kejadian, sementara ridha setelah kejadian).[26]

Oleh karena itu, orang yang bertawakkal kepada Allah sebelum perbuatan dan ridha pada apa yang ditetapkan baginya setelah perbuatan, berarti dia telah melakukan ‘ubudiyah, atau makna ini.[27]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyandingkan keduanya dalam firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang di-berikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami orang-orang yang berharap kepada Allah,’ (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” [At-Taubah: 59].

Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyandingkan antara keduanya di dalam do’a Istikharah yang beliau ajarkan kepada para Sahabatnya, sebagaimana beliau juga mengajarkan suatu surat dari al-Qur-an kepada mereka, di mana di awal do’anya itu, beliau mengucapkan:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ

“Ya Alah, sesungguhnya aku memohon petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu, memohon ketetapan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang sangat agung.”

Dan ini merupakan tawakkal dan tafwidh (penyerahan diri). Kemudian beliau menutup do’anya itu dengan meminta keridhaan di dalam ucapan beliau:

وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ, ثُمَّ أَرْضِنِي بِهِ

“Tetapkanlah yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridha dengan ketetapan tersebut.” [28]

Dan di antara do’a yang beliau panjatkan di dalam shalatnya adalah sebagai berikut: "...وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاء" (“…Dan aku memohon keridhaan setelah qadha’ (ketetapan)).” [29]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintah keridhaan setelah qadha’, karena pada saat itu antara hakikat ridha sebelumnya, karena sesungguhnya ia merupakan ketetapan bahwa beliau ridha jika mendapatkannya, karena ke-ridhaan itu akan teralisasi setelahnya.” [30]

Demikianlah kedelapan tingkatan, yang di antaranya ada yang merupakan bagian dari sebab-sebab dan sendi-sendi tawakkal, dan ada juga yang merupakan bagian dari nilai dan pengaruhnya, dan ada juga di antaranya yang merupakan bagian dari maknanya. Barangsiapa yang menyempurnakannya berarti dia telah menyempurnakan maqam tawakkal sekaligus teguh padanya. Dan jika kurang salah satu darinya, berarti berkurang pula nilai tawakkalnya sesuai kekurangannya itu. Wallahu a’lam.

[Disalin dari kitab At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa, Penulis Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji, Edisi Indonesia MEMAHAMI TAWAKKAL Menyandarkan Semua Urusan kepada Allah Azza Wa Jalla, Penerjemah M. Abdul Ghaffar E.M. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Rabi’ul Awwal 1426 H – April 2005 M]
_______
Footnote
[1]. Kitab Madaarijus Salikin (I/144).
[2]. Kitab Madaarijus Saaliikin (II/117).
[3]. Kitab Thariiqul Hijrataini wa Baab Sa’adataini, hal. 234, karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Muhammad bin Abu Bakar, wafat tahun 571 H. Cetakan ketiga, tahun 1400 H.
[4]. Kitab Madaarijus Saaliikin (III/118).
[5]. Kitab Madaarijus Saaliikin (II/118).
[6]. Kitab Madaarijus Saaliikin (III/17).
[7]. Kitab Madaarijus Saaliikin (II/120). Lihat tambahan penjelasan tentang sebab-sebab dan hubungannya dengan tawakkal dari pembahasan ini.
[8]. Kitab Madaarijus Salikin, (II/120). Topik tentang hubungan tawakkal dan tauhid akan dijelaskan lebih lanjut sebagai penjelasan tambahan, insya Allah.
[9]. Kitab Madaarijus Saaliikin (II/121). Topik tentang hubungan tawakkal dan tauhid akan dijelaskan lebih lanjut sebagai penjelasan tambahan, insya Allah.
[10]. Al-Qur-an Surat Al-Faatihah: 5.
[11]. Kitab Madaarijus Saaliikin (I/75).
[12]. Kitab Madaarijus Saaliikin (II/121).
[13]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab at-Tauhiid, bab Qaulullah Ta’ala: “Wayuhadzdzirukumullah Nafsah”. Hadits nomor 7405 -Fat-hul Baari (XIII/ 295).- Muslim di dalam kitab at-Taubah, bab al-Haddhu ‘alaa at-Taubah. Hadits nomor 2675 (IV/2102). At-Tirmidzi di dalam kitab Az-Zuhud, bab Maa Jaa fii Husnizh-Zhann Billah. Hadits nomor 2388 (IV/596). Dan Ibnu Majah di dalam kitab al-Adab, bab Fadhlul ‘Amal. Hadits nomor 3822 (II/1255). Ad-Darimi di dalam kitab ar-Riqaaq, bab Husnuzh-Zhann Billah. Hadits nomor 2734 (II/214). Dan Ahmad di dalam kitab al-Musnad (II/251, 315, 391).
[14]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Jannah, bab: al-Amr bihusni azh-Zhann billah. Hadits nomor 2877 (IV/2205). Abu Dawud didalam kitab al-Janaa-iz, bab Maa Yustahabbu min Husni azh-Zhann billah ‘indal Maut. Hadits nomor 2097-‘Aunul Ma’bud (VIII/382).- Ibnu Majah dalam kitab az-Zuhud, bab at-Tawakkul wal Yaqiin. Hadits nomor 4167 (II/1395). Serta Ahmad (III/293 dan 315).
[15]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, didalam kitab ar-Riqaaq, bab at-Tawadhu’. Nomor 6502 -Fat-hul Baari (XI/348).
[16]. Penulis kitab Manaazil as-Saa-iriin, Imam al-Harawi berpendapat bahwa berserah diri memiliki pengertian lebih luas dari tawakkal. Tetapi hal itu disanggah oleh Ibnul Qayyim, sekaligus didiskusikan dalil-dalilnya seraya meringkasnya sampai pada ungkapannya, “Dan pendapat yang menjadi pegangan kami adalah bahwa tawakkal itu lebih luas dari penyerahan diri, dan lebih tinggi.” Lihat kitab Madaarijus Saalikiin (II/137-139). Sebagaimana Syaikhul Islam juga telah melakukan kesalahan, di mana dia telah menjadikan tawakkal pada posisi hakikat kepasrahan murni. Lihat kitab Majmuu’ al-Fataawaa (X/22).
[17]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/123).
[18]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/138).
[19]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Wudhuu’, bab Fadhlui man Baata ‘alaa wudhuu’in. Hadits nomor 247 -Fat-hul Baari (I/426).- Muslim di dalam kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a, bab Maa Yaquulu ‘inda an-Naum wa Akhdzu al-Madhji’. Hadits nomor 2710 (IV/2081). Abu Dawud di dalam kitab al-Adab, hal. 98. At-Tirmidzi di dalam kitab ad-Da’waat. Hadits nomor 161. Ad-Darimi di dalam kitab al-Isti’dzaan. Hadits nomor 51. Serta Ahmad di dalam kitab al-Musnad (IV/285 dan 290).
[20]. Syatir bin Syakl bin Hamid al-‘Abbasi Abu ‘Isa al-Kufi. Dikatakan bahwa dia sempat mengalami masa Jahiliyyah, yang meninggal dunia pada pemerintahan Ibnu Zubair. Dan dia termasuk tsiqah, dengan sedikit hadits. (Tahdziib at-Tahdziib (IV/311)).
[21]. Menurut Ibnu Jarir: Tafwidhan.
[22]. Al-Qur-an Surat Ath-Thalaaq: 3.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab at-Tafsiir (XXVIII/140). Ibnu Abid Dun-ya tentang at-Tawakkul ‘alallahi Hadits 50, hal. 87, dengan sanad jayyid. Diriwayatkan Abdurrazaq di dalam kitab al-Mushannaf. Hadits nomor 6002 (III/370). Diriwayatkan ath-Thabrani di dalam kitab al-Mu’jam al-Kabiir, hadits nomor 8659 (IX/142), dengan yang lebih panjang darinya, hanya saja ayat: “Man yattaqillah yaj’al lahu makhrajan” diganti dengan ayat: “Wa man yatawakkal ‘alaallahi fahuwa hasbuhu”. Al-Haitsami di dalam kitab al-Majma’ (VII/126), mengatakan, “Semuanya diriwayatkan oleh ath-Thabrani dengan beberapa sanad. Dan para perawi pertama adalah para perawi shahih selain ‘Ashim bin Bahdalah, di mana dia tsiqah dan padanya terdapat ke-lemahan.”
[24]. Sebagaimana yang telah dikemukakan dari al-Hasan t, juga pendapat Yahya bin Mu’adz. Dan pernah ditanyakan, “Kapan seseorang disebut bertawakkal?” Maka dia menjawab, “Jika dia telah ridha sepenuhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai pelindung.” Basyar al-Hafi mengatakan, “Salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Saya bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,’ berarti dia berdusta kepada Allah. Sebab, jika dia bertawakkal kepada Allah, niscaya dia akan meridhai apa yang dilakukan oleh Allah terhadap. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/123).
[25]. Kitab Madaarij as-Saaliikin (II/123).
[26]. Kitab Majmuu’ al-Fataawaa (X/37), di dalam risalah at-Tuhfah al-‘Iraqiyah fii al-A’maal al-Qalbiyah, Syaikhul Islam, hal. 87. Lihat terbitan tersendiri bersamaan dengan Amraadhul Quluub wa Syifaa’uhaa. Tahqiq: Dr. Mahmud Muthraji. Cetakan pertama, tahun 1406 H, didistribusikan oleh Daarul Qalam.
[27]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/122).
[28]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab at-Tauhid, bab Qul Huwa al-Qaadir. Hadits nomor 739 (XIII/387). At-Tirmidzi di dalam al-Witir, bab Maa Jaa’a fii Shalti al-Istikharah. Hadits 480 (II/345). Ibnu Majah dalam kitab Iqamatish Shalah, bab Maa Jaa-a fii Shalati al-Istikharah. Hadits nomor 1383 (I/440). Ahmad di dalam kitab al-Musnad (III/344). Ibnul Qayyim memiliki ungkapan yang sangat berharga sekali terhadap hadits ini ada di dalam kitab Madaarijus Saalikiin (II/123). Bagi yang berminat, silakan merujuknya langsung.
[29]. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i di dalam kitab as-Sahwi, bab (62). Hadits nomor 1305 dan 1306 (III/54). Ahmad di dalam kitab al-Musnad (V/191). al-Hakim di dalam kitab al-Mustadrak (I/524), dari hadits Ammar bin Yasir, dan dinilai shahih oleh al-Hakim yang disepakati oleh adz-Dzahabi, sebagaimana yang dinilai shahih oleh al-Albani di dalam takhrijnya terhadap hadits-hadits al-Kalim ath-Thayyib, karya syaikhul Islam, hal. 66. Dan dia mengatakan, “Disampaikan oleh Atha’ sebelum terjadi pencampuradukan.”
[30]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/223). Dan lihat kitab Majmuu’u al-Fataawaa (X/37

MACAM-MACAM TAWAKAL



Oleh
Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji



Dilihat dari orang yang bertawakkal, tawakkal terbagi menjadi dua macam, yaitu: tawakkal kepada Allah Ta’ala dan tawakkal kepada selain Dia. Dan pada masing-masing bagian ini terdapat beberapa macam tawakkal.

Pertama: Tawakkal Kepada Allah Ta’ala

Sesuai dengan obyeknya, tawakkal ini terbagi menjadi empat macam:

1. Tawakkal kepada Allah Ta’ala dalam meluruskan diri, mengarahkannya, memurnikan tauhid, dan berpegang teguh pada ajaran agama-Nya secara lahir maupun bathin, tanpa berusaha memberikan pengaruh pada orang lain. Dengan pengertian tawakkal kepada Allah dalam memperbaiki diri sendiri tanpa melihat orang lain.

2. Tawakkal kepada Allah dalam meluruskan diri, seperti poin pertama, ditambah dengan tawakkal kepada-Nya dalam menegakkan agama Allah di muka bumi dan mencegah kerusakan, memberantas bid’ah, dan memerangi orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Juga memberikan perhatian terhadap kemaslahatan kaum muslimin, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memberikan pengaruh kepada orang lain sehingga dia benar-benar menyembah Allah semata. Dan inilah tawakkal para Nabi dan para ulama pewaris mereka. Ini pula merupakan macam tawakkal yang paling agung sekaligus paling bermanfaat. [1]

Al-‘Allamah Ibnu as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Dan ketahuilah bahwa tawakkal para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan tuntutan paling tinggi sekaligus tingkatan paling mulia. Dan itulah tawakkal kepada Allah dalam menegakkan dan menolong agama-Nya, memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, dan menyingkirkan kesesatan dari mereka. Yang demikian itu merupakan tawakkal yang paling sempurna.”[2]

Dengan demikian, tawakkal yang paling afdhal adalah tawakkal dalam hal yang wajib. Yang saya (penulis) maksudkan adalah kewajiban dalam menegakkan kebenaran dan kewajiban sesama makhluk, kewajiban pada diri sendiri. Dan yang paling luas serta paling bermanfaat, yaitu tawakkal dalam memberikan pengaruh kepada orang lain demi kemaslahatan agama atau mencegah kerusakan agama. Dan itulah tawakkal para Nabi dalam menegakkan agama Allah dan mencegah kerusakan yang dilancarkan orang-orang yang suka berbuat kerusakan. Dan ini pula tawakkal para pewaris mereka (ulama).[3]

3. Tawakkal kepada Allah dalam memenuhi kebutuhan seorang hamba dan bagiannya yang bersifat duniawi, atau mencegah hal-hal yang tidak disukainya dan juga berbagai musibah duniawi, seperti orang yang bertawakkal dalam meraih rizki atau kesehatan atau istri atau anak atau pertolongan dalam melawan musuh dan lain sebagainya. Tawakkal ini akan memberikan kecukupan kepadanya di dunia maupun di akhirat atas apa yang dia bertawakkal kepada Allah, kecuali jika dia berniat meminta pertolongan dengan hal itu untuk menaati Allah Azza wa Jalla.

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Antara kedua macam tawakkal -yakni, macam yang kedua dan ketiga- terdapat keutamaan yang tidak diketahui jumlahnya, kecuali oleh Allah saja. Oleh karena itu, jika seorang hamba bertawakkal kepada-Nya dengan tawakkal kedua dengan sebenar-benarnya, maka Allah akan memberikan kecukupan yang secukup-cukupnya pada tawakkal macam ketiga. Dan jika seorang hamba bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal macam ketiga, maka dia juga akan diberikan kecukupan pula, tetapi dia tidak akan mendapatkan akibat dari obyek yang ditawakkalinya pada apa yang dicintai dan diridhai-Nya.”[4]

4. Tawakkal kepada Allah dalam melakukan sesuatu yang haram atau menolak apa yang diperintahkan.
Ada orang yang bertawakkal kepada Allah dalam berbuat dosa dan melakukan perbuatan keji. Pada umumnya, orang-orang yang memiliki tujuan seperti ini tidak akan dapat melakukannya, kecuali dengan meminta pertolongan kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Bahkan bisa jadi tawakkal mereka lebih kuat daripada tawakkal kebanyakan orang-orang yang berbuat ketaatan. Oleh karena itu, mereka telah mencampakkan diri mereka ke dalam kehancuran dan kebinasaan sambil bersandar kepada Allah agar Dia menyelamatkan mereka serta mewujudkan tuntutan mereka.[5]

Dengan demikian, seringkali keinginan mereka itu terkabulkan, tetapi mereka berbuat dosa sehingga mereka akan mendapatkan balasan di akhirat kelak. Tawakkal macam ini tampak jelas pada orang-orang yang kemaksiatan mereka bersumber dari penafsiran yang salah atau syubhat yang menyesatkan. Termasuk di dalamnya keadaan banyak orang dari orang-orang yang berorientasi menyimpang, orang-orang yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka banyak memberikan perhatian terhadap masalah ini, bahkan tidak sedikit dari mereka yang meminta tolong kepada Allah dalam melakukannya. Tetapi, karena hal itu tidak sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka mendapatkan balasan yang disegerakan dan mereka mendapatkan akhir (akibat) yang buruk.[6] Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.

Demikianlah pembagian tawakkal kepada Allah ditinjau dari obyeknya. Dan tidak diragukan lagi bahwa tawakkal yang paling baik, paling sempurna, dan paling penting adalah tawakkal macam kedua, yang tercakup di dalamnya tawakkal macam pertama, kemudian yang ketiga. Dan yang paling buruk adalah tawakkal macam terakhir. Kita berlindung kepada Allah darinya.

Kemudian banyak dari orang-orang yang bertawakkal tertipu dalam tawakkalnya, meskipun dia telah benar-benar bertawakkal kepada Allah Ta’ala, seperti orang yang mengarahkan tawakkalnya itu kepada keadaan parsial, yang padanya dia mengerahkan seluruh kekuatan tawakkalnya, padahal ada kemungkinan baginya untuk melakukannya dengan mudah. Dan mengkonsentrasikan hatinya hanya untuk tawakkal dalam menambah iman dan ilmu serta menegakkan agama. Dan memberi pengaruh terhadap alam adalah lebih baik. Dan ini merupakan tawakkal orang yang lemah yang memiliki kemauan sangat rendah, sebagaimana sebagian mereka memalingkan kemauan, tawakkal, dan do’anya pada sakit yang mungkin diobati dengan sesuatu yang sangat ringan, atau rasa lapar yang mungkin dihilangkan dengan setengah potong roti atau setengah dirham. Sementara dia tidak mau berpaling kepada pembelaan terhadap agama dan pemberantasan terhadap segala bentuk bid’ah, menambah keimanan, dan kepedulian terhadap kepentingan kaum muslimin. Wallaahu a’lam.[7]

Dengan demikian, umat manusia ini terdiri dari berbagai macam orang yang berbeda-beda. Mereka banyak yang tertipu, bahkan mereka ada yang tertipu dalam bertawakkal, menyangkut berbagai kepentingan duniawi sesuai dengan kemauan dan tujuan mereka. Oleh karena itu, ada orang yang bertawakkal kepada Allah dalam mencapai kekuasaan dan ada juga orang yang bertawakkal dalam rangka memperoleh sepotong roti.[8]

Jika demikian keadaannya, maka yang wajib dilakukan oleh seorang yang berakal adalah tidak menyibukkan diri dan hatinya, kecuali dalam hal-hal yang lebih sempurna dan lebih baik, yaitu tawakkal kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh apa yang dicintai dan diridhai-Nya, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair:

وَإِذَا عَلِـمْتَ بِـأَنَّهُ مُتَفَاضِلٌ فَاشْغَلْ فُؤَادَكَ بِالَّذِي هُوَ أَفْضَلُ

Dan jika engkau mengetahui bahwa ia [9] begitu berharga,
maka sibukkanlah hati nuranimu dengan hal yang lebih utama.

Kedua: Tawakkal Kepada Selain Allah Ta’ala

Tawakkal macam ini terbagi menjadi dua bagian:

1. Tawakkal Syirki (syirik), yang ia terbagi lagi menjadi dua macam:
a). Tawakkal kepada selain Allah Ta’ala dalam urusan yang tidak ada seorang pun mampu mengerjakannya, kecuali Allah Azza wa Jalla, seperti orang-orang yang bertawakkal kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia dan para thaghut dalam mengharapkan tuntutan mereka, berupa pertolongan, penjagaan, rizki, dan syafa’at. Yang demikian itu merupakan syirik terbesar. Sesungguhnya hal-hal seperti ini dan yang semisalnya tidak ada yang dapat melakukannya, kecuali hanya Allah Tabaraka wa Ta'ala.[10]

Tawakkal macam ini disebut sebagai tawakkal sirri, karena tawakkal ini tidak dilakukan, kecuali oleh orang yang meyakini bahwa orang yang meninggal ini memiliki kemampuan berbuat secara rahasia di alam ini. Tidak ada perbedaan antara Nabi, wali maupun thaghut yang menjadi musuh Allah Ta’ala. [11]

b). Tawakkal kepada selain Allah dalam hal-hal yang mampu untuk dikerjakan -berdasarkan perkiraan- orang yang bertawakkal kepadanya. Dan ini merupakan syirik kecil.[12]

Seperti, tawakkal dalam sebab yang tampak lagi biasa. Misalnya orang yang bertawakkal pada penguasa atau pemerintah dalam hal-hal yang Allah telah berikan kepadanya, baik itu berupa rizki, penolakan gangguan, dan yang lain-lainnya. Yang demikian ini termasuk syirik khafi (tersembunyi).[13]

Oleh karena itu, dikatakan, menolehnya hati kepada sebab-sebab merupakan perbuatan syirik dalam tauhid, karena kuatnya ketergantungan dan sandaran hati padanya.

Yang demikian itu, karena hati tidak akan bertawakkal, kecuali pada pihak yang diharapkannya. Oleh karena itu, barangsiapa berharap kepada kekuatan, perbuatan, ilmu, keadaan, teman, kerabat, syaikh, kekuasaan atau hartanya, tanpa melihat kepada Allah Ta’ala, maka di dalamnya terkandung semacam tawakkal karena ada sebab (sarana) tersebut. Tidaklah seseorang berharap kepada makhluk atau bertawakkal kepadanya, melainkan dia akan mendapatkan kegagalan, maka sesungguhnya ia termasuk syirik.[14]

Allah Ta’ala telah berfirman:

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ

“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [Al-Hajj: 31]

Syaqiq al-Balakhi mengatakan, “Setiap orang memiliki maqam (kedudukan), di mana dia bisa bertawakkal pada hartanya, dirinya sendiri, lidahnya, pada pedangnya, atau kekuasaannya, dan juga kepada Allah Azza wa Jalla.
Adapun orang yang bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, maka dia telah mendapatkan ketenangan. Yang dengannya, Allah akan meninggikan kedudukannya. Allah Ta’ala berfirman:

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

‘Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati...’ [Al-Furqaan: 58]

Sedangkan orang yang merasa tenang kepada selain Allah, maka dikhawatirkan ia akan terputus dari-Nya sehingga dia akan hidup sengsara.” [15]

Tetapi, jika dia mengambilnya dengan anggapan ia sebagai sarana, sedangkan Allah Ta’ala yang menetapkan semuanya pada dirinya, maka yang demikian itu tidak ada masalah, jika apa yang ditawakkali itu memiliki pengaruh yang baik dalam pencapaiannya.

2. Wakalah (mewakilkan) yang dibolehkan.

Yang dimaksudkan di sini adalah seseorang yang mewakilkan kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu yang mampu untuk dikerjakan, sehingga dengan demikian itu akan dicapai apa yang diinginkan.

Wakalah di sini berarti penyerahan dan pemeliharaan. Misalnya, Anda katakan, “وَكَّلْتُ فُلاَناً” (jika Anda memintanya untuk menjaganya). Dan “وَوَكَّلْتُ اْلأَمْرَ إِلَيْهِ” (jika Anda menyerahkan urusan kepadanya).

Dan menurut syari’at, wakalah berarti seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menggantikan dirinya secara mutlak atau terbatas. [16]
Wakalah dalam bentuk seperti ini, dibolehkan oleh al-Kitab, as-Sunnah maupun ijma’. [17] Allah Ta’ala telah berfirman melalui lisan Ya’qub Alaihissallam yang berbicara kepada anak-anaknya:

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya...” [Yuusuf: 87]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan kepada para pekerja dan penjaga.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu telah berkata,

وَكَّلَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ...

“Rasulullah n pernah menjadikan diriku sebagai wakil untuk menjaga zakat di bulan Ramadhan…” [18]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan dalam menetapkan hukuman hadd dan pemberlakuannya, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Unais. ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu juga pernah menjadi wakil Rasul di dalam penyembelihan hewan kurban beliau pada waktu haji Wada’ untuk menyedekahkan kulit dan sebagian besarnya. Dan memerintahkan untuk menyembelih seratus hewan kurban yang masih tersisa setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih enam puluh tiga ekor dengan tangan beliau sendiri.

Penjelasan rinci mengenai wakalah ini terdapat di dalam kitab-kitab fiqih.[19]
Tetapi, dia tidak boleh bertawakkal padanya, meskipun dia telah mewakilkan kepadanya. Melainkan, dia harus bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mempermudah apa yang diwakilkan kepada orang lain itu. [20] Sebab, seorang makhluk tidak akan dapat menanggung semua kebutuhan hamba dan tidak pula mampu memenuhi semua kebutuhannya, juga tidak kuasa untuk melakukan sesuatu untuk orang yang mewakilkan kepadanya, kecuali atas kehendak dan kuasa Allah Azza wa Jalla. [21]

[Disalin dari kitab At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa, Penulis Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji, Edisi Indonesia MEMAHAMI TAWAKKAL Menyandarkan Semua Urusan kepada Allah Azza Wa Jalla, Penerjemah M. Abdul Ghaffar E.M. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Rabi’ul Awwal 1426 H – April 2005 M]
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab Ma’aalim at-Tauhiid, hal. 80.
[2]. Kitab Taisiir al-Kariim ar-Rahmaan (III/11).
[3]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/114).
[4]. Kitab al-Fawaa-id, hal. 71.
[5]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/113-114).
[6]. Kitab Majmuu’ al-Fataawaa (X/276). Dan lihat penjelasan rinci mengenai hal itu di dalam juz XIII, hal. 324 dan setelahnya.
[7]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/125-126).
[8]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/113).
[9]. Yang dimaksudkan oleh penyair di sini adalah ilmu dan bukan tawakkal.
[10]. Kitab Taisiir al-‘Aziiz al-Hamiid, hal. 497-498.
[11]. Kitab Majmuu’ Fatawaa wa Rasaa-il asy-Syaikh Ibnu al-‘Utsaimin (VI/54).
[12]. Kitab Taisiir al-‘Aziiz al-Hamiid, hal. 40.
[13]. Kitab Taisiir al-‘Aziiz al-Hamiid, hal. 498.
[14]. Kitab Majmuu’ al-Fataawaa (X/257), karya Syaikhul Islam.
[15]. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab asy-Syu’ab, hadits nomor 1297 (II/105). Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (VIII/61).
[16]. Kitab Fat-hul Baari (IV/559, V/201).
[17]. Lihat Kitab al-Mughni wa asy-Syarhul Kabiir (V/210).
[18]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitab al-Wakalah, bab Idzaa Wakala Rajulan fataraka al-Wakiil Syai-an, Fa Ajaazahu al-Muwakkil fahuwa Jaa-izun, hadits nomor 2311 (Fat-hul Baari (IV/568)).
[19]. Bab al-Wakalah.
[20]. Risalah Tahqiq at-Tawakkul, hal. 89, yang tercakup di dalam kitab Jaami’ ar-Rasaa-il, karya Syaikhul Islam.
[21]. Ibid, hal. 89. "fullpost

TIDUR DALAM PERCIKAN WUDHU'



Oleh
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi


Di antara orang-orang yang berbahagia dengan do’a para Malaikat adalah orang yang tidur malam dalam keadaan suci. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:

1. Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طَهِّّرُوْا هَذِهِ اْلأَجْسَادَ طَهَّرَكُمُ اللهُ، فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَبِيْتُ طَاهِرًا إِلاَّ بَاتَ مَعَهُ فِيْ شِعَارِهِ مَلَكٌ، لاَ يَنْقَلِبُ سَاعَةً مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَالَ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا.

"Sucikanlah badan-badan kalian, semoga Allah mensucikan kalian, karena tidak ada seorang hamba pun yang tidur malam dalam keadaan suci melainkan satu Malaikat akan bersamanya di dalam syi’aar [1], tidak satu saat pun dia membalikkan badannya melainkan satu Malaikat akan berkata: ‘Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini, karena ia tidur malam dalam keadaan suci.’” [2]

2. Al-Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَاتَ طَاهِرًا بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلاَنٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا.

"Barangsiapa yang tidur dalam kedaan suci, maka Malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dan tidaklah ia bangun melainkan Malaikat berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah hamba-Mu si fulan karena ia tidur dalam keadaan suci.’” [3]

Imam Ibnu Hibban mengawali hadits ini dengan judul: “Permohonan Ampun Para Malaikat Bagi Orang yang Tidur Malam dalam Keadaan Suci ketika Dia Bangun Tidur.”

Di antara kandungan yang dapat kita petik dari kedua hadits di atas adalah:

Pertama : Malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Sungguh teman yang paling baik dan paling mulia, seandainya balasan untuk orang yang tidur dalam kedaan suci hanya itu saja, maka hal tersebut tentu sudah cukup.

Kedua : Malaikat yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala memohon ampunan kepada-Nya setiap ia membalikkan badannya pada malam hari dan ketika ia bangun dari tidurnya.

Allaahu Akbar! Sebuah amal yang sangat mudah dilakukan, tetapi balasannya sangatlah besar!

Dan bukan ini saja, bahkan ada riwayat lain yang menunjukkan keutamaan orang yang tidur malam dalam keadaan bersuci. Demikianlah yang diriwayatkan oleh dua Imam, yaitu Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ عَلَى ذِكْرٍ طَاهِرًا فَيَتَعَارُّ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْياَ وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِياَّهُ.

“Tidaklah seorang muslim bermalam dalam keadaan berdzikir kepada Allah dan dalam keadaan suci, lalu ia bangun [4] pada suatu malam dan berdo’a memohon kebaikan dunia atau akhirat kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkan permintaannya.” [5]

Dari hadits tersebut dapat difahami bahwa tidur dalam keadaan suci termasuk di antara sebab sebuah do’a dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena ash-Shaadiqul Mashduuq (orang yang benar dan dibenarkan) yang berbicara dengan wahyu, yaitu Nabi kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa orang yang tidur dalam keadaan suci dan berdzikir lalu ia bangun dan memohon kebaikan dunia atau akhirat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkan permohonannya tersebut.

Semoga Allah Ta’ala berkenan menjadikan kita semua termasuk ke dalam golongan ini. Kabulkanlah wahai Rabb Yang Mahaagung lagi Mahamulia.

[Disalin dari buku Man Tushallii ‘alaihimul Malaa-ikatu wa Man Tal‘anuhum, Penulis Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Penerbit Idarah Turjuman al-Islami-Pakistan, Cetakan Pertama, 1420 H - 2000 M, Judul dalam Bahasa Indonesia: Orang-Orang Yang Di Do'aka Malaikat, Penerjemah Beni Sarbeni]
_______
Footnote
[1]. شِعَارُهُ (syi‘aaruhu). Al-Hafizh al-Mundziri berkata: “الشِّعَارُ (asy-syi‘aar) dengan syin yang dikasrahkan, maknanya adalah segala sesuatu yang ada pada badan berupa pakaian dan yang lainnya.” (At-Targhiib wat Tarhiib I/408)
[2]. Ibid, kitab an-Nawaafil, at-Targhiib fii an Yanaamal Insaan Thaahiran Naawiyan lil Qiyaam (I/408-409). Al-Hafizh al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thab-rani di dalam kitab al-Ausath dengan sanad jayyid.” (Ibid, I/409). Al-Hafizh Ibnu Hajar menghukumi sanadnya dengan jayyid. Lihat kitab Fat-hul Baari (XI/109).
[3]. Al-Ihsaan fii Taqriib Shahiih Ibni Hibban, kitab ath-Thahaarah, bab Fardhil Wudhu’ (III/ 328-329 no: 1051).
[4]. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani (lihat kitab Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (I/317) dan Silsilah al-Ahaa-diits ash-Shahiihah (VI (bagian pertama)/89-92).
[5]. فَيَتَعَارُّ, al-Imam al-Khaththabi berkata: “يَتَعَارُُّ artinya bangun dari tidur, diambil dari kata التَّعَارُّ yang artinya bangun dan membolak-balikkan badan di atas tempat tidur.” Dikatakan, bahwa التَّعَارُُّ dilakukan dengan ucapan dan suara, yang diambil dari ungkapan عُرَارُ الظَّلِيْمِ (kejahatan orang yang zhalim). (Ma-’aalimus Sunan IV/143).
[6]. Al-Musnad (V/235, cet. Al-Maktab al-Islami), Sunan Abi Dawud, kitab al-Adab bab Fin Naum ‘alaa Thahaarah (XII/262 no. 5042), dengan lafazh miliknya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, lihat kitab Shahiih Sunan Abi Dawud (III/ 951).

HUKUM KELUARGA BERENCANA (KB)



KB yang kami maksud adalah Keluarga Berencana dengan merencanakan dan mengatur jarak kelahiran. Adapun KB dengan maksud membatasi kelahiran, apalagi mengharuskan hanya dua saja maka hal ini adalah bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Kemudian latar belakang kami menulis hal ini adalah ada beberapa ikhwan-akhwat, walaupun tidak banyak, menganggap KB atau menggunakan KB terlarang secara mutlak semuanya. Ada beberapa ikhwan-akhwat yang kurang paham tentang bagaimana mengatur jarak kelahiran. Atau beralasan kaku bahwa kita tidak boleh menolak anak yang akan dianugrahkan kepada kita. Ataupun juga menganggap kaku bahwa tindakan KB yang harus melakukan tindakan invasif pada kemaluan yang kurang sesuai dengan syariat dan alasan lainnya. Padahal mengenai KB ada rincian penjelasan dari para ulama mengenai hukumnya berdasarkan metodenya. Sehingga tidak jarang kita mendengar berita ada ikhwan yang istrinya mengalami rupture rahim/ rahimnya jebol, atau harus operasi caesar atau minimal bayinya kurang sehat dan harus dirawat intensif di NICU [Neonatal Intensif Care Unit] dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini bisa disebabkan jarak kehamilan yang sangat dekat kemudian ditambah lagi kondisi istri yang kurang begitu baik atau sedang mengidap penyakit tertentu.

HUKUM KB

Hukumnya sudah dijelaskan oleh para ulama dengan rinciannya. Kami mendapat faidah dari guru kami, Ustadz Aris Munandar, SS. MA. Hafidzahullah bahwa Secara umum hukum KB sebagai berikut:

1. [تحديد النسل] Tahdidun nasl/ membatasi kelahiran.

Jelas hukumnya terlarang karena bertentangan ajaran Islam. Baik dengan alasan tidak bisa mencari rezeki ataupun susah mengurus anak.

عن أنس بن مالك قال كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ الْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Anas bin Malik berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat ” [HR Ibnu Hibban 9/338,Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no 1784]
Allah Ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيراً


Dan Kami jadikan kelompok yang lebih besar. [Al-Isra’: 6]

Dan jumalah yang banyak adalah karunia semua kaum. Kaum Nabi Syu’aib ‘alaihissalam diperingati tentang karunia mereka,

وَاذْكُرُواْ إِذْ كُنتُمْ قَلِيلاً فَكَثَّرَكُمْ

Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. [Al-A’raf: 86]

2. [تنظيف الاسل] tandzifun nasl/mengatur kelahiran


Hal ini boleh jika dengan alasan kesehatan dan berdasarkan saran dari dokter yang terpercaya, karena jika sudah jelas berdasarkan fakta dan penelitian bahwa itu berbahaya maka tidak boleh dilakukan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” [Al-Baqarah: 195]

CARA AMAN DAN NYAMAN.


Ini berdasarkan penglaman kami dan Alhamdulillah kami berhasil. Cara yang tidak perlu menggunakan hormon dan obat. Yaitu kombinasi antara KB metode penanggalan, coitus interuptus/ ‘azl dan barier seperti kondom.

Cara ini sederhana tetapi butuh kedisiplinan dan kemampuan menahan hasrat. Tidak dianjurkan bagi mereka yang tidak bisa mengendalikan hasrat dan tidak istiqomah menjalankannya

Metode penanggalan

Yaitu mengetahui masa subur istri. Masa subur istri adalah 14 hari setelah hari pertama menstruasi. Masa subur adalah dimana ovum/sel telur wanita telah matang dan siap untuk dibuahi. Para ahli mengambil kemungkinan empat hari sesudah ataupun sebelumnya bisa terjadi masa subur.

Metode KB dengan penanggalan yaitu jangan menumpahkan sperma kedalam rahim saat masa subur.

Misalnya:

Hari pertama menstruasi adalah tanggal 1 oktober. Maka perkiraan tanggal suburnya adalah tanggal 14, berpatokan dengan maka empat hari sebelum dan sesudahnya. Jangan menumpahkan sperma ke dalam rahim pada dari tanggal 10-18 oktober. Jika menstruasi berhenti pada tanggal 7 Oktober,

Berarti waktu yang boleh:

-tanggal 8-9 Oktober kita boleh menumpahkan sperma ke rahim
-tanggal 19 Oktober sampai dengan menstruasi selanjutnya.
Untuk jaga-jaga bisa juga dipakai lima hari sebelum dan sesudahnya. Dan biasanya 1 atau 2 hari setelah mentruasi adalah waktu yang aman.
Bisa juga dibantu menggunakan kalender dengan menandai/membulatkan tanggal hari mulai menstruasi misalnya tanggal 5 Oktober, maka perkiraan hari subur adalah tanggal 19. Empat hari sebelum dan sesudah berarti tanggal 15-23 Oktober. Maka arsir merah atau tandai deretan tanggal tersebut di kalender dan menjadi patokan bahwa rentang tanggal tersebut tidak boleh menumpahkan sperma ke rahim.

Metode coitus coitus interuptus/ ‘Azl

Ibnu Hajar Al-Asqalaniy rahimahullah menukil bab dalam shahih Bukhari menjelaskan tentang ‘Azl,
باب العزل أي النزع بعد الإيلاج لينزل خارج الفرج
“Bab tentang Al-‘Azl yaitu mencabut (penis) setelah penetrasi agar (air mani) tertumpah di luar farji/vagina” [Fathul-Bariy 9/305, Asy-Syamilah]
Hukum ‘Azl ada perselisihan di antara ulama, namun pendapat terkuat adalah mubah. Dengan beberapa dalil.
Perkataan sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu
كنا نعزل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم.
“Kami (para shahabat) melakukan ‘azl di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [HR.Bukhari no. 5207/ 5208-5209, Muslim no. 1440]

Diriwayat lainnya,

كنا نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم ينهنا عنه.

“Kami melakukan ‘azl di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melarang kami darinya” [Shahih Muslim no. 1440, Musnad Abi Ya’laa no. 2255].
Jika ada yang mengatakan bahwa ‘Azl adalah pembunuhan terselubung/kecil-kecilan, maka kita jawab dengan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

عن أبي سعيد الخدري، قال : بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم أن اليهود يقول إن العزل هو الموؤودة الصغرى. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كذبت يهود، ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو أفضيت لم يكن إلا بقدر.
dari Abu Said Al-Khudri, ia berkata : “Telah sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya orang Yahudi berkata : ‘Sesungguhnya ‘azl itu pembunuhan kecil-kecilan’. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang Yahudi telah berdusta. Seandainya engkau menyetubuhinya, tidaklah akan menghasilkan anak kecuali dengan takdir Allah” [HR.Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/31-32 no. 4348 dengan sanad hasan, At-Tirmidzi no. 1136, Abu Dawud no. 2173, Ahmad no. 11110 dengan sanad yang shahih]

Jadi ‘Azl bisa dilakukan pada rentang waktu yang tidak boleh menumpahkan sperma ke dalam rahim. Pada contoh kita yaitu tanggal 10-18 Oktober
Perlu diketahui juga bahwa jika melakukan ‘Azl pada istri kita sebaiknya meminta izin kepada istri terlebih dahulu,
وَقَدْ رَخَّصَ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ فِي العَزْلِ وقَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ: «تُسْتَأْمَرُ الحُرَّةُ فِي العَزْلِ، وَلَا تُسْتَأْمَرُ الأَمَةُ
“Para ahli ilmu dari sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sabahat yang lain memberikan rukshah/keringanan tentang ‘azl.”
Maalik bin Anas radhiallahu ‘anhu berkata,
“Dimintai ijin (untuk melakukan ‘azl) bagi wanita merdeka, dan tidak dimintai ijin bagi budak wanita” [HR. At-Tirmidzi 3/435 no.1137, dishahihkan oleh Al-Albani, tahqiq Ahmad Syakir, Asy-Syamilah].

Metode barier/kondom

Kondom bisa kita kiaskan dengan ‘Azl karena alasan/illat adalah mencegah tertumpahnya sperma ke dalam rahim. Maka hukumnya juga mubah. Karena penggunaan kondom bisa menggantika ‘Azl. Sesuai dengan kaidah fiqhiyah,

حكم البدل حكم المبدل منه

“hukum pengganti sama dengan hukum yang digantikan”

Jika tidak bisa menahan saat akan ejakulasi dengan ‘Azl, maka bisa menggunakan kondom. Kodom bisa digunakan pada rentang waktu yang tidak boleh menumpahkan sperma ke rahim.

Metode yang lainnya yang sederhana

Ada beberapa metode lainnya yang sederhana juga tetapi kurang praktis, misalnya metode lendir yaitu wanita subur jika lendir vagina agak kental, cara mengetahuinya dengan memasukkan sedikit ibu jari dan telunjuk ke vagina kemudian ada lendirnya dan merenggangkan ibu jari dan telunjuk. Jika lendirnya masih menyatu ketika dipisahan oleh kedua jari, berarti kental dan ini adalah waktu subur
Kemudian metode suhu yang menyatakan bahwa wanita yang subur mengalami kenaikan suhu 0,5-1 derajat. Metode ini mengukur suhu setiap hari ketika bangun tidur dan mencatatnya dikalender kemudian akan menjadi sebuah pola. Menurut kami ini tidak praktis.

Metode lainnya yang menggunakan alat dan obat


-Menggunakan hormon baik dengan obat dan suntik KB
kami berpendapat jika ada metode sederhana seperti yang kami jelaskan kemudian ia sanggup melakukannya. Maka sebaiknya ini ditinggalkan. Belum lagi ada pendapat dikalangan medis bahwa penggunaan Obat dan suntikan KB berupa hormon estrogen dan progesteron bisa memacu kanker. Walaupun ini perlu penelitian jangka panjang. Dan juga kita perlu mengingat hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa haid dan nifas adalah ketetapan/kodrat wanita. Sebaiknya kita tidak melawan kodrat kita.

فَإِنَّ ذَلِكَ شَىْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ
“Sesungguhnya, haid adalah ketetapan/kodrat yang Allah tetapkan bagi para wanita keturunan Adam.” [H.R. Bukhari dalam bab Haidh dan Muslim]

-Alat Kontrasepsi Dalam Rahim [AKDR] misalnya spiral


Boleh menggunakannya. Karena secara medis insya Allah tidak merusak rahim. Hanya sebgai pencegah atau mematikan sperma ketika hendak masuk ke rahim. Tetapi hendaknya diperhatikan bahwa ini akan membuka aurat wanita. Jika yang memasang dokter kandungan laki-laki jelas haram jika masih ada dokter wanita atau bidan. Sebenarnya wanitapun tidak boleh melihat aurat sesama wanita begitu juga laki-laki. Tetapi karena ini adalah satu-satunya jalan. Kami tetap menyarankan memakai cara sederhana yang kami paparkan jika ia sanggup.

- Vasektomi dan tubektomi

Jelas metode ini adalah haram karena membuat laki-laki dan wanita tidak bisa membuat keturunan selamanya. Dan ini termasuk menggubah ciptaan Allah dan keluar jauh dari tujuan penciptaannya yaitu untuk memperoleh keturunan. Kita telah jelaskan dalil mengenai perintah agar memperbanyak keturunan. Kemudian ini juga ditempuh dengan metode operasi yang melakukan invasif pada tubuh dengan alasan yang kurang benar.
Penutup
Jika ada cara yang aman dan sederhana sebaiknya kita pakai yaitu kombinasi metode kalender, coitus interuptus/ ‘azl dan barier/kondom. Ini lebih selamat karena terbebas dari efek samping hormon, membuka aurat dan tindakan invasif ada tubuh dengan cara melukai tubuh.
Kami tutup dengan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
كان النبي صلى الله هليه و سلم أجود الناس، و أشجع الناس، ما سئل شيئا قط فقال : لا. و كان دائما البشر، سهل الخلق، لين الجانب، ما خير بين أمرين إلا اختار أيسر هما؛ إلا أن يكون إثما؛ فيكون أبعد الناس عنه
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu orang yang paling dermawan, manusia yang paling pemberani, jika diminta sesuatu tidak pernah mengatakan tidak, dan wajahnya selalu ceria, ahlaknya enak dan orangnya mudah. Jika diberi pilihan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,, maka beliau akan memilih yang paling mudah, kecuali kalau itu mengandung dosa, maka Beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut.” [HR. Bukhari 6/419-420 dan Muslim 2327]

Semoga bermanfaat untuk kita semua
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid

8 Dzulqo’dah 1432 H, Bertepatan 6 Oktober 2011
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen


Dari artikel Cara KB yang Mudah dan Sederhana — Muslim.Or.Id
QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!