Radio Rodja 756AM

Senin, 01 Oktober 2012

MUQADDIMAH


Aku bertanya : “Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan lagi ?”
Beliau menjawab :”Ya, (akan muncul) para dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam


Oleh
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali


Dari Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyalahu ‘anhu beliau berkata : “Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang baik tapi aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal yang buruk agar jangan sampai menimpaku”
Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam,-pent) ini, apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan ?”
Beliau berkata : “Ya”
Aku bertanya : “Dan apakah setelah kejelekan ini akan datang kebaikan?”
Beliau menjawab : “Ya, tetapi didalamnya ada asap”.
Aku bertanya : “Apa asapnya itu ?”
Beliau menjawab : “Suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku, dan menunjukkan (manusia) kepada selain petunjukku. Engkau akan mengenal mereka dan engkau akan memungkirinya”
Aku bertanya : “Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan lagi ?”
Beliau menjawab :”Ya, (akan muncul) para dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam.
Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka merekapun akan menjerumuskan ke dalam neraka”
Aku bertanya : “Ya Rasulullah, sebutkan cirri-ciri mereka kepada kami ?”
Beliau menjawab : “Mereka dari kulit-kulit/golongan kita, dan berbicara dengan bahasa kita”
Aku bertanya : “Apa yang anda perintahkan kepadaku jika aku temui keadaan seperti ini”
Beliau menjawab : “Pegang erat-erat jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”
Aku bertanya : “Bagaimana jika tidak imam dan jama’ah kaum muslimin?”
Beliau menjawab :”Tinggalkan semua kelompok-kelompok sempalan itu, walaupun kau menggigit akar pohon hingga ajal mendatangimu”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini memiliki banyak jalan, diantaranya :

[1]. Dari jalan Walid bin Muslim (dia berkata) : Menceritakan kepada kami Ibnu Jabir (dia berkata) : Menceritakan kepada kami Bisr bin Ubeidillah Al-Hadromy hanya dia pernah mendengar Abu Idris Al-Khaoulani dari Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘anhu …….[HR Bukhari 6/615-616 dan 13/35 beserta Fathul Baari. Muslim 12/235-236 beserta Syarh Nawawi. Baghowi dalam Syarhus Sunnah 14/14. Dan Ibnu Majah 2979]

[2]. Dari jalan Waki’ dari Sufyan dari ‘Atho’ bin Saib dari Abi Al-Bukhari dia berkata : Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata ….. [HR Ahmad dalam musnad 5/399]

[3]. Dari jalan Abi Mughiroh (dia berkata) menceritakan kepada kami Assafar bin Nusair Al-Azdi dan selainnya dari Hudzaifah bin Al-Yaman, beliau berkata : “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dahulu dalam keburukan lalu Allah menghilangkannya dan mendatangkan kebaikan melalui anda. Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan?”. Beliau berkata : “Ya”. Hudzaifah bertanya lagi : “Apa kejelekan tersebut?” Beliau menjawab : “Akan muncul banyak fitnah seperti malam yang gelap gulita, sebagaimana mengikuti yang lainnya dan akan datang kepada kalian hal-hal yang samar-samar seperti wajah-wajah sapi yang kalian tak mengetahuinya” [HR Ahmad 5/391]

SYARH HADITS
[A]. Mengenal Jalan Orang-Orang Yang Tersesat Merupakan Kewajiban Dalam Syariat.
Ketahuilah -semoga Allah memberkahi anda- sesungguhnya metode Ar-Rabbani (Islam) yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menampilkan generasi pertama yaitu shabat dan para tabi’in (sesungguhnya bertujuan) untuk mejelaskan jalan kebenaran dan agar diikuti.

Allah berfirman.

“Artinya : Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman maka kami palingkan dia kemana dia berpaling dan kami akan memasukkannya kedalam neraka jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” [An-Nisa : 116]

Akan tetapi (metode Islam ini) tidak cukup hanya mejelaskan jalan kebenaran saja bahkan menyingkap kebatilan dan mengungkap kepalsuannya agar jelas dan terang jalan orang-orang yang tersesat (lalu dijauhi dan ditinggalkan,-pent).

Allah ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an, supaya jelas jalan orang-orang yang benar dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang tersesat” [Al-An’am : 55]

Seorang penyair berkata.

“Aku mengenal keburukan bukan untuk keburukan akan tetapi untuk menjauhinya”

“Dan barangsiapa yang tidak mengenal kebaikan dari keburukan dia akan terjerumus kedalam keburukan itu”.

[B]. Islam Terancam Dari Dalam
Sesungguhnya musuh-musuh Allah terus mengintai Islam hingga ketika mereka telah melihat penyakit whan (cinta dunia dan takut mati) telah menjalar dalam tubuh kaum muslimin dan penyakit-penyakit yang lain sudah menyebar mereka langsung menyerang dan menyumbat nafas kaum muslimin.

Sesungguhnya racun-racun berbisa yang membinasakan dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin serta melemahkan gerak mereka bukanlah pedang-pedang orang-orang kafir yang berkumpul untuk membuat makar terhadap Islam. Akan tetapi kuman-kuman yang busuk yang menyelinap didalam tubuh kaum muslimin yang lambat tapi pasti (itulah yang menyebabkan kebinasaan). Itulah asap yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudzaifah diatas : “suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku dan memberikan petunjuk bukan dari petunjukku …..” Didalam ucapan beliau ini ada hal-hal penting diantaranya.

[1]. Sesungguhnya asap itu merupakan penyimpangan yang selalu membuat kabur ajaran Islam (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang terang benderang malamnya bagaikan siangnya.

[2]. Yang nampak pada saat terjadinya hal ini adalah kebaikan akan tetapi dalamnya terdapat hal-hal yang membinasakan. Bukanlah dalam riwayat Muslim Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Akan muncul manusia-manusia yang berhati setan”.

[3]. Asap ini terus tumbuh dan menguasai hingga kejelekan itu merajalela serta merupakan awal munculnya dai-dai penyesat dan kelompok-kelompok sempalan.

[4]. Sesungguhnya yang meniup asap tersebut adalah para dai-dai penyesat. Dan ini menunjukkan bahwa rencana busuk untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin telah mengakar kuat dalam sejarah Islam.

[5]. Sesungguhnya gembong-gembong kesesatan selain giat dalam menyesatkan. Akan tetapi (sebagian) pemegang kebenaran lalai dan tertidur hingga asap tersebut menguasai dan merajalela serta menutupi kebenaran. Dari sini kita ketahui bahwa asap yang menyelimuti kebenaran dan mengkotori kejernihannya adalah bid’ah-bid’ah yang ditebarkan oleh Mu’tazilah, Sufiyah, Jahmiyah, Khowarij, Asy’ariyah, Murji’ah dan Syi’ah Rofidhoh sejak berabad-abd lamanya.

Oleh karena inilah umat Islam mejadi terbelakang dan menjadi santapan bagi setiap musuh serta menyebarnya kebatilan. Dan dengan sebab inilah setiap munafik berbicara dengan mengatas namakan Islam. Dari sini kita mengetahui bahwa bahaya bid’ah lebih besar daripada musuh-musuh yang lainnya (orang-orang kafir), karena bid’ah merusak hati dan badan tapi musuh-musuh tersebut hanya merusak badan. Para salaf telah bersepakat akan kewajiban memerangi ahli bid’ah dan menghajr (memboikot) mereka. Imam Dzahabi mengatakan : “Para salaf sering mentahdzir ahli bid’ah, mereka mengatakan : Sesungguhnya hati-hati ini lemah sedangkan syubhat (dari ahli bid’ah itu) cepat mencengkram”.

[C]. Hati-Hati Antek-Antek Yahudi !!!
Sesungguhnya para gembong-gembong kekafiran telah memproduksi antek-anteknya dalam negeri kaum muslimin dua cara.

[1]. Pengiriman para pelajar ke negeri kafir (seperti di Cihicago Univerity,-pent) yang disanalah para pelajar kaum muslimin di cuci otak-otak mereka lalu jika mereka pulang mereka sebarkan racun-racun itu kepada kaum muslimin.

[2. Dengan menyelinapnya para orientalis dibawah simbol-simbol penelitian ilmiah. Sesunggunya para orientalis-orientalis itu merupakan antek-antek/tangan-tangan Yahudi dan Nashrani.

Di dalam hadits Hudzaifah ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri mereka, beliau bersabda :

“Akan muncul dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam, barangsiapa yang menerima seruan mereka maka mereka akan menjerumuskannya ke dalam jahannam”. Hudzaifah bertanya : “Wahai Rasululah sebutkan cirri mereka ?” Rasulullah menjawab : “Mereka dari golongan kita dan berbicara dengan lisan-lisan kita”.

[a]. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Baari 13/36 : “Yaitu dari kaum kita dan yang berbicara dengan bahasa kita serta dari agama kita. Didalamnya ada isyarat bahwa mereka itu dari Arab”.

[b]. Ad-Dawudi berkata : “Mereka itu dari keturunan Adam”.

[c]. Al-Qoobisy berkata : Maknanya, secara dhohir mereka itu dari agama kita tapi secara batin mereka menyelisihi (agama kita)”.

Mereka menampakkan kesungguhan dalam memberi solusi, dan maslahat bagi umat. Tapi mereka menipu umat dengan gaya bahasa mereka, dan hati-hati mereka menginginkan untuk menjalankan misi-misi tuan-tuan mereka dari kalangan Kristen dan Yahudi. Allah berfirman.

“Artinya : Tidak akan ridho orang-orang Yahudi dan Narani hingga kalian mengikuti agama mereka” [Al-Baqarah : 120]

Diantara mereka adalah Thoha Husein (dari Mesir, pent) yang dijuluki oleh tuan-tuannya sebagai pujangga Arab. Orang ini mengatakan bahwa syair orang-orang jahiliyah itu lebih baik kesasteraannya daripada Al-Qur’an. Inilah pemikiran Marjilius seorang orientalis Yahudi yang diadopsi oleh Thoha Husein dan dipropagandakannya. Contoh-contoh seperti ini banyak sekali, mereka turun temurun dari waktu ke waktu di setiap tempat.

[D]. Siapa Jama’ah Kaum Muslimin ?
Setelah melihat kenyataan yang pahit dan getir ini, mulailah sebagian kaum muslimin bangkit, setiap kelompok dari kaum muslimin melihat realita ini dari kaca mata tersendiri, kelompok yang lain juga demikian. Oleh karena itulah bisa dikatakan bahwa kelompok-kelompok yang ada sekarang ini yang katanya berjuang atau berdakwah, mereka itu saling berselisih dalam metode dan cara berdakwah. Dan perselisihan yang paling parah yang menghalangi persatuan mereka adalah dua hal :

[1]. Peselisihan mereka dalam pengambilan sumber ilmu dan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah.
[2]. Ketidakmengertian mereka tentang diri mereka sendiri, sehingga pada saat ini kita sering menyaksikan bahwa hizbiyyah dan fanatik golongan ini masih menyumbat akal pikiran para dai-dai yang turun di medan dakwah. Mereka membanggakan diri mereka sendiri dan meremehkan yang lainnya. Sebagiannya menganggap bahwa kelompoknya itulah yang dinamakan jama’ah kaum muslimin dan pendirinya adalah imam kaum muslimin yang wajib di bai’at atau disumpah setia. Dan sebagiannya lagi mengkafirkan kaum muslimin. Sebenarnya mereka hanya jama’ah atau kelompok-kleompok kaum muslimin, karena kaum muslimin sekarang tidak memiliki jama’ah ataupun imam/pemimpin.

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa jama’ah kaum muslimin adalah (Negara Islam) yang bersatu atau berkumpul didalamnya seluruh kaum muslimin. Mereka hanya punya satu imam/pemimpin yang menerapkan hukum-hukum Allah dan wajib untuk di taati serta diba’iat.

[E] Tinggalkan Kelompok-Kelompok Sempalan Itu
Hadits Hudzaifah diatas memerintahkan kepada kita untuk meninggalkan semua kelompok-kelompok sesat ketika terjadi fitnah dan kejelekan serta disaat tidak ada jama’ah kaum musilimin dan imam mereka.

Kelompok-kelompok sempalan ini yang menyeru manusia kepada kesesatan, bersatu diatas kemungkaran dan diatas hawa nafsu atau berkumpul diatas pemikiran-pemikiran kufur seperti sosialisme, komunisme, kapitalisme, demokrasi atau bersatu berdasarkan fanatik golongan dan lain sebagainya.

Inilah kelompok-kelompok sesat yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudziafah untuk ditinggalkan dan dijauhi karena menjerumuskan manusia ke dalam neraka jahanam dengan sebab ajaran mereka yang bukan dari Islam.

Adapun kelompok yang menyeru kepada Islam (yang benar), memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar maka inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti dan ditolong. Allah ta’ala berfirman.

“Artinya : Hendaklah ada diantara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung” [Ali-Imran : 104]

[E]. Jalan Keluar Dari Problematika Umat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Hudzaifah untuk meninggalkan semua kelompok sempalan yang menyeru ke neraka jahannam meskipun sampai menggigit akar pohon hingga ajal menjemput. Adapun penjelasannya, maka sebagai berikut :

[1]. Ini adalah perintah untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Dan barangsiapa yang hidup diantara kalian maka dia akan melihat perselisihan yang banyak sekali, maka berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru dalam agama karena itu kesesatan. Dan barangsiapa diantara kalian yang mendapatkan hal ini maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa ‘ar-rasyidin, gigitlah erat-erat dengan gigi geraham kalian”. [HR Abu Dawud (4607). Tirmidzi (2676) dan Ibnu Majah (440) dan selain mereka]

Didalam hadits Hudzaifah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menggigit akar pohon ketika terjadi perpecahan sambil menjauhi semua kelompok sesat. Dan didalam hadits Al-Irbadh beliau memerintahkan untuk berpegang teguh dengan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih radhiyallahu anhum, ketika munculnya kelompok-kelomok sesat dan ketika tidak adanya jama’ah kaum muslimin serta imam mereka.

[2]. Sesungguhnya perintah untuk menggigit akar pohon dalam hadits Hudzaifah maknanya adalah istiqomah atau tetap dalam sabar dalam memegang kebenaran dan dalam meninggalkan semua kelompok sesat yang menyelisihi kebenaran. Atau maknanya bahwa pohon Islam akan diguncang dengan angin kencang hingga merontokkan semua ranting dan cabangnya, tidak ada yang tersisa melainkan akarnya yang masih tegar. Karena itulah wajib bagi setiap muslim untuk memegang erat akar tersebut dan mengorbankan semua yang berharga dalam dirinya karena akar tersebut akan tumbuh dan tegar kembali.

[3]. Ketika itu juga wajib bagi setiap muslim untuk menolong dan membantu kelompok (yang berpegang teguh dengan sunnah tersebut, -pent) dari setiap fitnah yang mengancam. Karena kelompok ini yang selalu tampak diatas kebenaran hingga akhirnya mereka membunuh Dajjal.

[Ringkasan darp kitab Al-Qaulul Mubin Fii Jama’atil Muslimin]

[Disalin dari majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi 13 Th. III Shafar 1426H/ April 2005M, hal. 22-26. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad. Jl. Sultan Iskandar Muda No. 45 Surabaya]

USTADZ 'GADUNGAN' BERTARIF GEDONGAN^


lebih aneh lagi sang ustadz tidak akan ceramah jika jama'ah nya tidak membayar dari apa-apa yang telah ditetapkan oleh sang ustadz tersebut. hendaknya bertakwalah dijalan Allah bagi seseorang yang mempunyai sikap seperti ini

USTADZ 'GADUNGAN' BERTARIF GEDONGAN^

Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

Segala puji bagi Allah, yang telah menurunkan kepada hamba-Nya kitab Al-Qur'an sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada hamba dan rasul-Nya Muhammad Shalallahu 'alaihi wasalam, yang diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta.

Fenomena yang sangat mengiris hati, laksana melebihi irisan pisau nan tajam atau melebihi tebasan samurai yang panjang membentang, Fenomena tersebut adalah munculnya para Da'i yang seyogyanya tidaklah pantas dipanggil Da'i lantaran kemiskinan keilmuaanya patut dipertanyakan lantaran dirinya menjual ilmu dengan Rupiah-Rupiah yang hakikatnya bukanlah dakwah sebagai prioritas namun UANG ADALAH PRIORITAS, Untukmu Para USTADZ Gadungan bertarif Gedongan, Sadarlah dirimu berdakwah atau berkicau dengan kicauan tak secantik burung BEO..?

WAHAI USTADZ GADUNGAN... SAMPAI KAPAN KALIAN BERKICAU, MEMERAS HARTA UMAT..??

Untukmu Ustadz Gadungan...

Berdakwahlah dengan ila Allah yakni mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah, merupakan suatu jalan orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka begitu mulianya amanah ini, sehingga berdakwah ila Allah Adalah suatu amanah yang diemban oleh da'i dijalan Allah, sebagaimana Firman Allah 'azza wa jalla (yang artinya), “Katakanlah, Inilah jalanku; aku menyeru kepada Allah di atas landasan ilmu yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Qs. Yusuf: 108)

Oleh karena itu sungguh aneh, jika ada oknum-oknum pengaku sebagai Da'i, dimana ia menjadikan dakwah sebagai profesi dengan memasang tarif per-Jam.. Allahu yahdik, saya pernah membaca di sebuah media dimana ada beberapa ustadz yang honornya sampai ratusan juta bahkan lebih.

lebih aneh lagi sang ustadz tidak akan ceramah jika jama'ah nya tidak membayar dari apa-apa yang telah ditetapkan oleh sang ustadz tersebut. hendaknya bertakwalah dijalan Allah bagi seseorang yang mempunyai sikap seperti ini.

WAHAI USTADZ GADUNGAN BERHARTA GEDONGAN... TUJUANMU ILA ALLAH ATAU ILA FULUS

Sebagaimana yang telah di jelaskan diatas, bahwa Dakwah adalah amanah yang mulia, tentu kemuliaan berbalas dengan agungnya pahala yang diraih, terlebih lagi jika seorang Da'i tidak mengambil upah, sebagaimana Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah mengabarkan kepada kita tentang perkataan di antara mereka:

وَيَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى اللَّهِ

“Dan (Dia berkata): “Hai kaumku, Aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku, upahku hanyalah dari Allah” (QS. Huud: 29)

Firman Allah :

يَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلا تَعْقِلُونَ

“Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?” (QS. Huud: 51)

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٠٩)
“Dan Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-Syu’ara`: 109)

Ayat-ayat diatas setidaknya dijadikan sebagai bahan renungan untuk para Da'i pengemban amanah mulia dalam berdakwah ila Allah, ku nasihatkan kepada mereka yang memasang tarif dalam berdakwah, sungguh hina dirinya kiranya kalian menjadikan amanah dakwah sebagai profesi, amanah yang sedianya ila Allah menjadi ila Fulus..

BAGAIMANA JIKA DA'I MENGHABISKAN WAKTUNYA UNTUK DAKWAH, SEHINGGA TIDAK ADA PENGHASILAN MELAINKAN UANG AMPLOP DARI CERAMAH-CERAMAH..?

jika seorang da’i tersebut benar-benar mencurahkan waktu dan tenaganya untuk dakwah, maka tidak mengapa dia mengambil upah darinya namun tanpa mematokan tarif harus sekian-dan sekian, tanpa memberatkan umat dengan mengharapkan amplop. Yang demikian ini berdasarkan riwayat al-Bukhari dan lainnya, bahwa ada sekelompok dari sahabat Rasulullah r yang turun ke sebuah perkampungan dari perkampungan badui. Kemudian kepala kampung tersebut terpatuk ular, maka salah seorang sahabat membacakan atasnya al-Quran yang mulia, dan Allahpun menyembuhkannya. Kemudian mereka mengambil upah atas hal tersebut. Kemudian mereka mengabarkan kejadian ini kepada Rasulullah r, maka beliau bersabda kepada mereka:

« إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ »

“Sesungguhnya pahala yang paling berhak kalian ambil atasnya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari: 5296)

Namun jika seorang da'i memiliki penghasilan bulanan maka menolak amplop dari jama'ah lebih baik dan besar pahalannya.

WAHAI USTADZ GADUNGAN... PROFESIMU LAKSANA SETENGAH ARTIS

Renungilah bahwa Ustadz sungguhan tidak terlepas dari Perpustakaan dan kitab-kitab bacaan, jika ustadz gadungan tidak terlepas dari bayaran dan televisi, oleh karena itu jika ustadz gadungan ingin menjadi Artis, maka jadilah artis sepenuhnya, Berikut adalah perbedaan antara Ustadz setengah Artis dengan Ustadz Sungguhan :

1. Artis butuh manager, tapi ustadz butuh perpustakaan.
2. Artis lewat manager minta bayaran tinggi dan pakai tarif, tapi ustadz lebih sering dibayar dengan ucapan “syukran”.
3. Artis tampil sesuai selera dan permintaan pasar, tapi ustadz menyampaikan risalah langit.
4. Artis tidak belajar ilmu agama, tapi ustadz wajib nyantri dan kuliah bertahun-tahun.
5. Artis haus popularitas, tapi ustadz haus ilmu dan hidayah.
6. Artis hidup akrab dengan dusta, gosip dan kepalsuan, ustadz akrab dengan kewaraan, kesederhaan dan kerendahan hati.
7. Artis mengumpulkan penonton yang membeludak, ustadz mendidik dan melahirkan calon ulama.
8. Artis butuh yel-yel, kostum, joget, nyanyi dan akting, ustadz mengajar lewat hati.
9. Artis ceramah biar orang tertawa menangis dan menghibur, ustadz mengajarkan ilmu agar Allah turunkan hidayah.
10. Artis butuh media, TV dan wartawan khususnya infoteinmen, tapi ustadz butuh majelis ilmu, kitab dan perpustakaan.
11. Artis sering jadi bintang iklan, tapi ustadz lebih suka bicara kebenaran.
12. Artis dikerumuni sesama artis dan fans, sementara ustadz dikerumuni orang-orang yang ingin mengaji dan mensucikan diri.

PENGALAMAN PRIBADI : PENULIS KETIKA SMK PERNAH JADI AKTIVIS ROHIS YANG MENGUNDANG USTADZ SETENGAH ARTIS

Saya pribadi ketika masih duduk di bangku sekolah menengah kejuruan adalah aktivis ROHIS dan menjabat sebagai Ketua ROHIS, saya ketika itu didesak sekolah untuk mendatangkan USTADZ SETENGAH ARTIS, Ustadz tersebut sebut saja J.B saya beserta teman-teman menghubungi tim manajemen si J.B tersebut, dimana manajemennya pun diberi nama dengan nama J.B dan di tambah kalimat "center management" jadi masya Allah seorang ustadz Narsis ini bener-bener setengah artis.

Lanjut cerita, kami ditawari dengan manajemen J.B tarif, karena kami sekolah maka tarifnya pun sekolah... yakni dari 3 juta/jam
kami tawar menawar :"bisa atau tidak dengan tarif 3 juta tapi satu jam setengah aja deh..".
lalu menejemennya mengatakan : "tidak ada nego mas, itu udah harga sekolah.. kalau tidak mau ya sudah."
dengan hati yang tertekan dimana sekolah menginginkan 2 jam ustadz setengah artis itu tampil di sekolah kami, namun disisi lain sekolah hanya bisa menganggarkan maksimal 3 juta saja, dimana 3 juta hanya upah ustadz gadungan saja, belum lagi tenda, belum lagi konsumsi tamu terhitung jika keseluruhan total anggaran kami 15 juta.

Saya sebagai ketua ROHIS kala itu, segera membuat revisi anggaran untuk bayaran Ustadz J.B tersebut dengan tampilan 2 jam, maka saya revisi menjadi 6 juta hanya untuk si Ustadz saja. dengan kata lain anggaran untuk sarana dan konsumsi dan lainya sebesar 12 juta dari seluruh total anggaran 15 juta, maka untuk sarana dan konsumsi serta lainya terpaksa diturunkan hanya 9 juta lantaran dipotong harga ustadz gadungan setengah artis sebesar 6 juta/dua jam. allahuyahdik.

LURUSKAN NIAT DALAM BERDAKWAH


قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَKatakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [Yûsuf/12:108]

Dakwah adalah tugas yang berat dan pekerjaan yang serius yang hanya bisa dipikul oleh orang-orang yang mulia.Ustadz yang mengajak kepada agama Allah Azza wa Jalla pasti menghadapi gangguan dalam dakwah sebagaimana yang dihadapi oleh siapa saja yang mengemban tugas dakwah ini, dari dahulu sampai sekarang. Itu sudah menjadi sunnatullâh pada orang-orang terdahulu dan sekarang. Para nabi juga telah menghadapi gangguan serupa berupa penentangan, penolakan, keengganan dan kesombongan dari berbagai pihak dan tingkatan manusia.

Maka dalam mengemban tugas dakwah yang berat dan penuh resiko ini seorang Ustadz harus menghiasi dirinya dengan sikap santun dan sabar, bijaksana dan arif.

oleh karena itu tugas yang mulia ini janganlah kita kotori dengan embel-embel komersil apalagi lelucon atau lawakan secara fulgar (yakni ceramah isinya 100% lawakan tidak ada ilmu sedikitpun) maka setidaknya sebagai da'i dalam menashihati umat untuk mengarahkan pada kebaikan dan menghilangkan kebodohan dalam agama hendaknya bersabar, rintangan fisik, ekonomi, dan lainya adalah lika-liku dakwah yang pahalannya besar. sebagaimana firman Allah :

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [An-Nahl/16:125]

ayat diatas merupakan sandaran / prioritas kita dalam berdakwah, dan berdakwah bukanla untuk uang tapi untuk menyeru umat kepada Rabbul 'alamin. Wallahu'alam










UNTUKMU... PENGEMBAN DAKWAH


TUGAS DAKWAH

Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari


Mengajak manusia menuju agama Allah merupakan salah satu ibadah yang agung, manfaatnya menyangkut orang lain. Bahkan dakwah menuju agama Allah merupakan perkataan yang paling baik. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ

"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". [Fushshilat:33].

Dakwah mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para nabi, maka cukuplah sebagai kemuliaan bahwa para da’i mengemban tugas para nabi. Allah Azza wa Jalla memerintahkan RasulNya untuk mengatakan, dakwah merupakan jalan Beliau, dengan firmanNya:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَ مَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

"Katakanlah: "Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu dan keyakinan). Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [Yusuf:108].

Karena dakwah merupakan ibadah, maka harus dilakukan dengan keikhlasan dan mengikuti Sunnah Nabi. Sebagaimana telah maklum, dua perkara ini merupakan syarat diterimanya ibadah.

IKHLAS DALAM DAKWAH
Seorang da’i harus memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama Allah, semata-mata mencari ridhaNya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri, kelompoknya, atau pendapat dan fikirannya. Juga tidak dengan niat untuk mengumpulkan harta, meraih jabatan, mencari suara, atau tujuan dunia lainnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni (ikhlas) untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasa-i, no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63].

Oleh karena itulah, Allah k memerintahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengatakan, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meminta upah dalam menyampaikan Al Qur`an kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُل لآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ

"Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur`an)". Al Qur`an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat." [Al An’am : 90].

Karena, jika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta upah, maka hal itu akan menyebabkan umat menjadi keberatan dan menjauh. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di t berkata di dalam tafsirnya: “Yaitu: Aku tidak meminta pajak atau harta dari kamu sebagai upah tablighku dan dakwahku kepada kamu; karena itu akan menjadi sebab-sebab penolakan kamu. Tidaklah upahku, kecuali atas tanggungan Allah”. [Taisir Karimir Rahman, surat Al An’am : 90].

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَمْ تَسْئَلُهُمْ أَجْرًا فَهُم مِّن مَّغْرَمٍ مُّثْقَلُونَ

"Ataukah engkau meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang". [Ath Thur : 40].

Dakwah dengan tanpa meminta upah, itu merupakan bukti kebenaran dakwah tersebut. Allah Azza wa Jalla mengisahkan tiga rasulNya yang diutus bersama-sama, kemudian semuanya diingkari oleh kaum mereka. Selanjutnya:

وَجَآءَ مِنْ أَقْصَا الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْئَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ

"Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota dengan bersegera, ia berkata: "Hai kaumku ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tidak meminta upah (balasan) kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". [Yasin : 20-21].

Nabi-nabi zaman dahulu juga tidak meminta upah kepada kaum mereka. Allah Azza wa Jalla memberitakan bahwa Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Luth, Nabi Syu’aib -‘alaihimus salam- berkata kepada kaumnya masing-masing:

وَمَآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

"Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam". [Asy Syu’ara’ ayat 109, 127, 145, 164, 180].

Maka fenomena pada zaman ini, yang sebagian “mubaligh” membuat tarif untuk tablighnya, merupakan perkara yang menyelisihi syari’at. Sebagian ada yang memasang tarif untuk berceramah di kota yang dekat dengan Rp. 500.000,00 setiap jamnya. Jika bersama group musiknya (rebana!) tarifnya meningkat menjadi 1.500.000,00. Semakin jauh tempat yang dituju untuk berceramah, semakin tinggi pula tarifnya!

Seandainya yang disampaikan oleh para mubaligh itu merupakan kebenaran, maka memasang tarif dalam dakwah itu merupakan kesalahan, apalagi jika yang disampaikan di dalam ceramah-ceramah itu ternyata dongeng-dongeng, lelucon-lelucon dan nyanyian-nyanyian yang dibumbui dengan nasihat-nasihat agama, maka itu merupakan kemungkaran, walaupun dinamakan dengan nama yang indah. Karena hal itu bertentangan dengan jalan para nabi dalam berdakwah.

Namun, jika seseorang berdakwah dengan benar dan ikhlas, kemudian dia diberi harta, sedangkan dia tidak mengharapkannya dan tidak memintanya, tujuannya hanyalah berdakwah, baik dia mendapatkan harta itu atau tidak, maka –insya Allah- menerimanya tidak mengapa. Umar Radhiyallahu 'anhu berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ

"Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan pemberian kepadaku, kemudian aku mengatakan: “Berikan kepada orang yang lebih miskin daripadaku,” maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Ambillah itu! Jika datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak memperhatikan (yakni mengharapkan, Pen) dan tidak meminta, maka ambillah itu! Dan yang tidak, maka janganlah engkau mengikuti hawa-nafsumu terhadapnya!" [HR Bukhari, no. 14734].

Dengan demikian maka sepantasnya seorang da’i juga memiliki pekerjaan dan usaha untuk mencukupi kebutuhannya, sehingga dia tidak menggantungkan kepada umat. Karena sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang ialah hasil keringatnya sendiri. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

"Tidaklah seorangpun memakan makanan sama sekali yang lebih baik daripada dia makan dari pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Allah, Dawud Alaihissallam, dia makan dari pekerjaan tangannya" [HR Bukhari, no. 2072].

Selain ikhlas, di dalam berdakwah wajib mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga seseorang berdakwah berdasarkan ilmu, hikmah dan kesabaran. Tidak berdakwah dengan bid’ah dan kemaksiatan. Karena memang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan panutan terbaik bagi umat Islam dalam segala perkara, termasuk di dalam berdakwah menuju agama Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kamu (umat Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (pahala) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah". [Al Ahzab:21].

DAKWAH, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Setelah kita mengetahui keutamaan dakwah menuju agama Allah, kemudian apakah hukum dakwah ini dan siapakah yang bertanggung jawab terhadapnya?

Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa dakwah menuju agama Allah hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan perintah Allah untuk berdakwah sebagaimana terdapat di beberapa tempat di dalam Al Qur`an.

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". [Ali Imran:104].

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ

"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik". [An Nahl:125].

وَلاَ يَصُدَّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللهِ بَعْدَ إِذْ أُنزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

"Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka ke (jalan) Rabb-mu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb". [Al Qashshash:87].

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah". [Ali Imran:110].

Ayat-ayat di atas secara tegas memerintahkan berdakwah, oleh karenanya para ulama sepakat tentang kewajiban dakwah ini. Akan tetapi, kemudian mereka berselisih menjadi dua pendapat:
1). Hukum dakwah adalah fardhu kifayah.
2). Hukum dakwah adalah fardhu ‘ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang.

Perbedaan pendapat ini, antara lain disebabkan oleh pemahaman terhadap firman Allah Azza wa Jalla surat Ali Imran ayat 104, artinya : Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.

Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini:
1). Bahwa مِنْ di dalam firman Allah مِنْكُمْ (dari kamu) untuk menjelaskan jenis. Yaitu, “jadilah kamu semua demikian”, bukan satu orang tanpa yang lain. Dan yang sama semisal ayat ini ialah firman Allah Ta’ala:

وَإِن مِّنكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا

"Dan tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb-mu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan". [Maryam:71].

Ayat di atas tidak membedakan antara manusia satu dengan lainnya, tetapi ditujukan kepada umat semuanya, masing-masing orang sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya.

2). Bahwa مِنْ di sini untuk menunjukkan sebagian. Maknanya ialah, bahwa orang-orang yang menyuruh (kepada yang ma'ruf) wajib menjadi ulama, dan tidak setiap orang itu ulama.[1]

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Umat di sini (pada ayat 104 surat Ali Imran) adalah umat ulama, orang-orang yang Allah menjadikan baik kebanyakan umat dengan mereka (ulama itu)”.[2]

Di antara ulama yang berpendapat hukum berdakwah fardhu kifayah ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau rahimahullah menyatakan: “Dan dengan ini telah menjadi jelas, dakwah menuju (agama) Allah wajib atas setiap muslim. Akan tetapi kewajiban itu adalah fardhu kifayah. Dan sesungguhnya, hal itu menjadi wajib ‘ain atas seseorang yang dia mampu, jika tidak ada orang lain yang melakukannya. Inilah urusan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), nahi mungkar (melarang kemungkaran), tabligh (menyampaikan) yang dibawa oleh Rasul, jihad fi sabililah, mengajarkan iman dan Al Qur`an”.[3]

Demikian juga Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, beliau rahimahullah berkata: “Para ulama telah menerangkan, bahwa dakwah menuju (agama) Allah Azza wa Jalla (hukumnya) fardhu kifayah berkaitan dengan daerah-daerah yang para da’i tinggal padanya. Karena sesungguhnya setiap daerah dan penjuru membutuhkan dakwah dan kegiatan padanya. Maka hukumnya adalah fardgu kifayah. Jika orang yang telah mencukupi telah melakukan dakwah, kewajiban itu gugur dari orang-orang yang lain. Dan jadilah hukum dakwah atas orang-orang yang lain itu menjadi sunnah muakaddah (sunnah yang ditekankan) dan sebuah amalan shalih yang agung". [4]

Adapun di antara ulama yang berpendapat hukum dakwah fardhu ‘ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang, yaitu Imam Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, beliau rahimahullah berkata: Allah Ta’ala berfirman, hendaklah ada dari kamu satu umat yang bangkit untuk melaksanakan perintah Allah di dalam dakwah (mengajak) menuju kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. Adh Dhahhak mengatakan, mereka adalah para sahabat Nabi yang khusus, dan para perawi (hadits) yang khusus, yakni para mujahidin dan ulama… Dan maksud dari ayat ini (ialah), hendaklah ada sekelompok dari umat ini yang mengurusi perkara ini, walaupun itu merupakan kewajiban atas setiap pribadi dari umat ini sesuai dengan (keadaan atau kemampuan) nya. Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu [5], dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

"Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman.

Dalam satu riwayat disebutkan :

وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

"Dan tidak ada di belakang itu keimanan seberat sebiji sawi". [6]

Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهُ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلَا يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

"Demi (Allah) Yang jiwaku di tanganNya, sungguh benar-benar kamu memerintahkan yang ma’ruf dan sungguh benar-benar kamu melarang yang mungkar, atau sungguh benar-benar Allah hampir akan mengirimkan siksaan kepada kamu dari sisiNya, kemudian kamu sungguh-sungguh akan berdoa kepadaNya, namun Dia tidak mengabulkan bagi kamu".

Juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Amr bin Abi Amr dengan hadits ini. Tirmidzi mengatakan: “Hasan”.[7] Dan hadits-hadits dalam masalah ini banyak, serta ayat-ayat yang mulia sebagaimana akan datang tafsirnya pada tempat-tempatnya. Lihat Tafsir Al Qur’anil Azhim, surat Ali Imran ayat 104.

KAPAN DAKWAH MENJADI FARDHU ‘AIN?
Kemudian hukum dakwah yang asalnya fardhu kifayah, (atau fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap orang, sebagaimana telah dijelaskan di atas) menjadi fardhu ‘ain dalam keadaan-keadaan tertentu.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Dan terkadang kewajiban (dakwah) itu menjadi fardhu ‘ain, jika engkau berada di suatu tempat yang di sana tidak ada orang yang menunaikannya selainmu”.[9]

Beliau rahimahullah juga menjelaskan: “Di saat sedikitnya da’i, di saat banyaknya kemungkaran-kemungkaran, di saat dominannya kebodohan, seperti keadaan kita hari ini, dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya".

Jika keadaan kita pada zaman ini demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah, maka siapakah yang akan ikut berlomba di dalam kebaikan, berdakwah menuju agama Allah, dengan ilmu, ikhlas dan mengikuti Sunnah? Hanya Allah tempat mohon pertolongan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat Ad Dakwah Ila Allah, hlm. 115-116, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi Al Atsari.
[2]. Hukmul Intima’, hlm. 132.
[3]. Majmu’ Fatawa (15/166).
[4]. Wujubu Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hlm. 16, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerbit Darul Wathan.
[5]. Beginilah yang tertulis di dalam Tafsir Ibnu Katsir, namun yang benar ialah dari Abu Sa’id Al Khudri sebagaimana tersebut di dalam Shahih Muslim, no. 49, Pen.
[6]. Hadits ini bukan lafazh lain dari hadits di atas, tetapi hadits lain riwayat Muslim, no. 50, dari Abdullah bin Mas’ud, Pen.
[7]. Syaikh Salim Al Hilali menyatakan, hadits ini berderajat hasan dengan seluruh penguatnya. Lihat Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin (1/283), no. Hadits 193.
[8]. Yakni dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap orang, Pen.
[9]. Wujubu Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hlm. 17, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerbit: Darul Wathan.

BEKAL SEORANG USTADZ


BEKAL SEORANG USTADZ

Ustadz Abu Yahya Marwan Bin Musa

Bekal yang perlu disiapkan seorang da'i (juru dakwah) dalam berdakwah adalah sebagai berikut:

1. Memiliki ilmu dan mengamalkannya

Perlu diketahui, bahwa sebelum berdakwah, seseorang harus memiliki ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut. Demikianlah keadaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam; di mana Beliau diutus Allah di atas hudaa (ilmu) dan diinul haq (amal saleh),

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (Terj. QS. Ash Shaff: 9)

Mendahulukan ilmu kemudian amal adalah manhaj (jalan yang ditempuh) oleh para nabi dalam berdakwah, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

“Katakanlah, "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik." (Terj. QS. Yusuf: 108)

Bashirah atau hujjah yang nyata di sini adalah ilmu yang yakin; yang tidak disusupi syubhat dan keraguan, ilmu ini tegak di atas dalil naqli (Al Qur’an dan As Sunnah). Oleh karena itu, hendaknya seorang da’i benar-benar paham dan yakin dengan ilmu yang diketahuinya serta mengamalkannya.

Di antara ulama ada yang menafsirkan bashirah di ayat tersebut dengan memiliki ilmu terhadap tiga perkara:

1. Memiliki ilmu terhadap dakwah yang diserukannya.

Oleh karena itu, seorang da'i tidak berbicara kecuali jika diketahuinya bahwa hal itu benar, atau menurut perkiraannya yang kuat bahwa seruannya benar, jika memang yang diserukan itu masih dalam perkiraan. Adapun jika ia berdakwah di atas kejahilan, maka kerusakan yang diakibatkan masih jauh lebih besar daripada perbaikan yang dilakukannya.

2. Mengetahui kondisi mad'u (orang yang didakwahi).

3. Mengetahui uslub (cara) berdakwah.

Mengetahui kondisi mad'u dimaksudkan agar para da'i dapat memposisikan manusia pada tempatnya. Tidak mungkin seorang da'i menyamaratakan antara berdakwah kepada orang yang masih awam sama sekali dengan yang sudah mengetahui, namun tetap berpaling.

Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, "Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[i], dan katakanlah, "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri." (Terj. QS. Al 'Ankabut: 46)

Terhadap orang-orang yang zalim, maka kita tidak membantah dengan cara sama dengan yang lain, bahkan membantah mereka dengan cara yang layak bagi mereka.

Demikian juga seorang da'i harus mengetauhui uslub (cara) berdakwah. Apakah dalam berdakwah ia menampakkan kekerasan dan kemarahan serta mengkritik langsung aliran yang mereka ikuti ataukah dalam berdakwah kepada manusia ia menampakkan kelembutan serta menghias seruannya agar mereka mau menyambutnya tanpa perlu menyudutkan langsung aliran mereka?

Perhatikanlah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada Nabi-Nya dan sekaligus kepada hamba-hamba-Nya, "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. " (Terj. QS. Al An'am: 108)

Kita semua mengetahui, bahwa memaki sesembahan kaum musyrik adalah perkara yang diperintahkan, karena memang penyembahan kepada mereka adalah hal yang batil, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar." (Terj. QS. Al Haj: 62)

Memaki hal yang batil dan menerangkan kebatilannya di tengah-tengah manusia adalah perkara yang diperintahkan. Akan tetapi, apabila yang demikian dapat menimbulkan mafsadat yang lebih besar, padahal masih ada cara lain untuk menyingkirkan kebatilan itu maka memaki sesembahan tersebut dilarang.

Berdasarkan hal ini, apabila seorang da'i melihat orang lain berada di atas kebatilan, namun orang itu menyangka dirinya benar, maka bukan termasuk cara dakwah yang diajarkan Allah kepada Rasul-Nya mengkritik langsung apa yang dipegangnya itu, karena yang demikian dapat membuatnya menjauh, bahkan terkadang membuatnya mengkritik kebenaran yang ada pada da'i tersebut. Cara yang benar adalah menerangkan kebenaran dan menjelaskannya, karena kebanyakan manusia –terutama kaum muqallid (yang ikut-ikutan)- tertimpa kesamaran terhadap kebenaran disebabkan hawa nafsu yang dominan dan taqlid (ikut-ikutan).

Kita yakin, bahwa kebenaran akan diterima oleh fitrah yang masih selamat, dan lambat laun kebenaran ini akan mewarnai pikirannya dan membekas di hatinya. Kita tidak mengatakan bahwa pengaruhnya segera, karena merubah hati manusia tidak semudah membalikan tangan, bahkan biasanya pengaruhnya akan tampak setelah beberapa lama.
Di samping hal di atas, seorang da'i harus sudah mengamalkan ilmunya. Janganlah ia seperti lilin yang menerangi sekitarnya namun dirinya habis terbakar.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الَّذِيْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَ يَنْسَى نَفْسَهُ مَثَلُ الْفَتِيْلَةِ تُضِيء ُلِلنَّاسِ وَ تُحَرِّقُ نَفْسَهَا
“Perumpamaan orang yang mengajar kebaikan kepada manusia, namun ia melupakan dirinya sendiri adalah seperti sebuah sumbu, ia menerangi manusia sedangkan dirinya sendiri terbakar.” (HR. Thabrani dari Abu Barzah dan Jundab, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 5837)

2. IKHLAS

Seorang da'i hendaknya Ikhlas dalam berdakwah, tidak ada unsur riya’, mencari popularitas, martabat, jabatan, kekuasaan, harta dan segala ambisi dunia lainnya. Demikian pula tidak berdakwah kepada dirinya dan untuk membesarkan dirinya. Perhatikanlah kata-kata para nabi, “Wahai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?" (Terj. QS. Huud: 51)

Ini salah satu bukti keikhlasan mereka, dimana Perhatian mereka tertuju kepada keridhaan Allah dan pahala-Nya. Ingatlah selalu bahwa orang yang tidak ikhlas itu ibarat seorang musafir yang berbekal dengan mengumpulkan pasir, di mana apa yang dikumpulkannya tidak bernilai apa-apa dan menjadi sia-sia.

3. BERSABAR

Dalam berdakwah hendaknya seorang da’i bersabar ketika menghadapi rintangan dan tantangan. Karena sejak dahulu, dakwah itu tidak berjalan mulus begitu saja, tetapi penuh hambatan dan rintangan, maka hadapilah tantangan dan rintangan itu dengan kesabaran. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Dan Sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” (Terj. QS. Al An’aam: 34)

Lihatlah para nabi, mereka dihina, dicaci-maki, diberi gelar dengan gelaran yang buruk, diancam akan dibunuh atau diusir dan lain-lain, tetapi mereka bersabar dan tidak lekas marah.

Perhatikanlah keadaan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebelum Beliau diutus, Beliau dikenal di kalangan orang-orang Quraisy sebagai orang yang jujur lagi terpercaya, namun setelah Beliau diangkat menjadi rasul, Beliau dikatakan pendusta, pesihir, penyair, dukun, orang gila dan sebutan-sebutan buruk lainnya.

Begitulah seorang da'i, ia akan mengalami rintangan dan gangguan baik dengan lisan maupun perbuatan. Namun semua rintangan itu akan luluh oleh kesabaran yang dimilikinya.

Ketahuilah, semakin besar gangguan yang menimpa da’i, maka semakin dekat pertolongan Allah. Ketahuilah, pertolongan Allah tidak mesti pada masa hidup seorang da’i, bahkan pertolongan Allah bisa diberikan kepada da’i setelah wafatnya, yakni dengan dijadikan-Nya hati-hati manusia menerima dakwahnya.

Tempuhlah jalan para nabi, mereka menghadapi tantangan, rintangan dan gangguan dengan kesabaran dan tidak membalas keburukan orang itu, tetapi membalasnya dengan kebaikan, mereka pun tidak marah karena dirinya disakiti, tetapi marah jika larangan Allah yang dilanggar. Ingatlah baik-baik firman Allah Ta'ala, “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Terj. QS. Asy Syuuraa: 43)

Untuk mencapai kesabaran, hendaknya seorang da’i meminta pertolongan kepada Allah, karena Allah-lah yang memberikan kesabaran dan membantunya untuk bersabar.

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Bersabarlah dan tidak ada kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (penolakan) mereka serta janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (Terj. QS. An Nahl: 127)

4. JANGAN BOSAN

Seorang da’i pun hendaknya tidak bosan dalam berdakwah dan tetap bersabar, karena dengan begitu ia akan mendapatkan pahala kesabaran dan akan mendapatkan kesudahan yang baik. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)

Perhatikanlah Nabi Nuh 'alaihis salam yang berdakwah selama 950 tahun. Beliau berdakwah di siang dan malam tanpa bosan, dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, namun dakwah yang Beliau lakukan tidak membuat kaumnya kembali, bahkan membuat mereka menjauh dan malah menjauh. Setiap kali Beliau berdakwah, kaumnya sengaja menaruh jari-jemarinya ke telinga dan menutup kepala dengan bajunya karena tidak suka terhadap seruan Nabi Nuh 'alaihis salam (lihat Surat Nuh: 5-9).

Namun Beliau menghadapi semua itu dengan bersabar. Bayangkan selama 950 tahun lamanya Beliau berdakwah; waktu yang tidak sebentar (lihat surat Al 'Ankabut: 14), tetapi Beliau tidak bosan.

Jangan pula seorang da’i tidak bersabar sampai langsung mendoakan keburukan kepada mad’unya (orang yang didakwahi).

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (Terj. Al Ahqaaf: 35)
Ingatlah kewajiban da’i hanyalah menyampaikan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Karena Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.” (Terj. QS. Ar Ra’d: 40)

Da’i tidaklah dibebani agar orang-orang menerima hidayah, Allah-lah yang memberi hidayah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan kalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya[i]. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Yunus: 99)


Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah.

Maraaji': Zaadu Daa'iyah (Syaikh Ibnu 'Utsaimin), Silsilah Ta'limil Lughatil 'Arabiyyah (mustawa 4 tentang Uslub dakwah), Ta'aawunud du'aat (Syaikh Ibnu 'Utsaimin), Ad Da'wah Ilallah (Syaikh Ibnu Baaz), Taisirul Karimir Rahman (Syaikh Abdurrahman As Sa'diy), Tafsir Al 'Usyril Akhir wayaliih ahkaam tahummul muslim, Maktabah Syaamilah, Mausu'ah Haditsiyyah Mushaghgharah, dll.

TIPS MENGAJAR DAN BERDAKWAH


TIPS MENGAJAR DAN BERDAKWAH

Ustadz Abu Yahya Marwan Bin Musa

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Risalah ini saya tujukan kepada para da'i dan para pendidik agar dakwah dan pengajaran mereka dipahami dengan baik oleh mad'u (objek dakwah) atau peserta didik dan diterima mereka. Berikut ini poin-poin pentingnya:

1. Sebelum anda berdakwah, niatkanlah ikhlas karena Allah Subhaanahu wa Ta'ala, karena Dia hanya menerima amal yang ikhlas karena-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَ مَاكَانَ لَهُ خَالِصًا، وابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal selain yang ikhlas karena-Nya dan mencari keridhaan-Nya.” (HR. Nasa’i, dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1856)

2. Berdoalah kepada Allah agar diberikan dada yang lapang, dimudahkan urusan, serta dilepaskan kekakuan lisan. Berdoalah seperti doa Nabi Musa 'alaihis salam sebelum berangkat kepada Fir'aun,

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي--وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي--وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي--يَفْقَهُوا قَوْلِي.

"Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku--Dan mudahkanlah untukku urusanku,--Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,--Agar mereka mengerti perkataanku," (Terj. QS. Thaahaa: 25-28)

3. Sebelum memulai pengajaran, mulailah dengan memuji Allah Ta'ala dan bershalawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lebih baik lagi, jika anda mengawali pembicaraan anda dengan khutbatul hajah, yaitu:

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ, أَمَّا بَعْدُ:

Artinya: Sesungguhnya segala puji milik Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, meminta ampunan kepada-Nya, berlindung juga kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya semoga shalawat dan salam terlimpah kepadanya. Amma ba’du:

4. Usahakan agar suara Anda terdengar jelas oleh mad'u.

5. Berbicaralah dengan kata-kata yang bisa menyentuh perasaan mereka. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,

وَعِظْهُمْ وَقُل لَّهُمْ فِي أَنفُسِهِمْ قَوْلاً بَلِيغًا

"Dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka." (QS. An Nisaa': 63)

Di antara cara agar ucapan kita membekas dalam hati mereka adalah dengan menaik-turunkan suara sebagaimana praktek Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menerangkan tentang Dajjal (lihat Shahih Muslim no. 2937). Dan jika perlu adanya pengulangan, maka ulangilah agar nasihat yang engkau sampaikan betul-betul menancap dalam hati mereka. Anas radhiyallahu 'anhu berkata:

أَنَّهُ كَانَ إِذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَعَادَهَا ثَلاَثًا، حَتَّى تُفْهَمَ عَنْهُ

"Bahwa Beliau apabila mengucapkan kalimat, maka Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali agar dapat dipahami." (HR. Bukhari)
Dan usahakanlah olehmu wahai da'i, agar mereka (para mad'u/obkjek dakwah) dapat mengambil pelajaran dari apa yang engkau sampaikan.

6. Berbicaralah secara pelan-pelan dan bertahap (sedikit demi sedikit). Aisyah radhiyallahu 'anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُحَدِّثُ الْحَدِيثَ لَوْ شَاءَ الْعَادُّ أَنْ يُحْصِيَهُ أَحْصَاهُ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyampaikan sesuatu, jika sekiranya ada orang yang mau menghitung kata-katanya tentu mampu menghitungnya." (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)

7. Berbicaralah kepada manusia sesuai tingkat pemahaman mereka. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata:

حَدِّثُوا النَّاسَ، بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ وَرَسُولُه

"Berbicaralah kepada manusia sesuai yang mereka pahami. Sukakah kalian jika Allah dan rasul-Nya didustakan?" (Diriwayatkan oleh Bukhari)

8. Angkat kepala dan jangan anda tundukkan. Usahakan perhatian anda tidak tertuju kepada seorang mad'u, tetapi kepada semuanya.

9. Tunjukkan bahwa apa yang anda terangkan adalah perkara serius dan bukan main-main.

10. Terangkan kepada mad'u seperti anda menerangkan kepada kawan anda di samping anda.

11. Tenangkanlah diri anda.

12. Ingatlah, bahwa ketika anda tidak baik menyampaikan, maka anda akan menyesal setelahnya.

13. Sela-selahi penyampaian anda dengan Dzikrullah.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ يُعَدُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةُ مَرَّةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَقُومَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ

Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Kami pernah menghitung ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di satu majlis sebelum bangun (dari duduknya), “Wahai Tuhanku, ampuni aku dan terimalah tobatku. Sesungguhnya Engkau Maha penerima tobat lagi Maha Pengampun,” sebanyak seratus kali.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)

14. Berikan kesempatan kepada mad'u untuk bertanya.

15. Tutuplah majlis dengan Kaffaratul majlis.

كَفَّارَةُ الْمَجْلِسِ أَنْ يَقُولَ الْعَبْدُ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.
“Kaffaratul Majlis adalah seorang hamba berkata, “Mahasuci Engkau Ya Allah dan dengan memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau saja, dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku meminta ampun dan bertobat kepada-Mu.” (HR. Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 4487)

SEMANGAT BERDAKWAH


SEORANG USTADZ HARUS ISTIQAMAH DAN SEMANGAT BERDAKWAH

Ustadz Abu Yahya Marwan Bin Musa

Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah dalam risalahnya "Ta'awunud du'aat" berkata,

"Kemudian seorang da'i tidak patut berdakwah untuk kepentingan pribadinya, bahkan ia harus berdakwah kepada Allah, yakni ia tidak peduli baik dirinya berhasil atau diterima perkataannya sewaktu hidupnya atau setelah wafatnya, yang penting kebenaran yang diserukannya diterima di kalangan manusia, baik sewaktu hidupnya atau setelah wafatnya. Memang, seorang merasa gembira dan semangat ketika kebenaran yang diserukan diterima sewaktu hidupnya.

Akan tetapi, jika ditaqdirkan, Allah mengujinya untuk mengetahui ia bersabar atau tidak, (misalnya) Allah mengujinya dengan tidak diterima secara langsung atau tidak segera diterima, maka hendaknya ia bersabar dan mengharap pahala terhadapnya. Selama dirinya mengetahui berada di atas kebenaran, maka tetaplah di atasnya, dan ia akan memperoleh kesudahan yang baik, berbeda dengan sebagian da'i yang ketika mendengar perkataan yang menyakitkan atau disakiti dengan perbuatan yang menyakitkan, ia kemudian mundur, ragu atau merasa syak terhadap kebenaran yang dipegangnya.

Allah Ta'ala telah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, karena itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu." (Terj. QS. Yunus: 94)

Seorang da'i, apabila tidak mendapati penerimaan segera terkadang mundur, ragu-ragu dan bimbang, apakah dirinya di atas kebenaran atau tidak di atas kebenaran?
Akan tetapi, Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah menerangkan yang hak, menjadikan untuk kebenaran tanda yang diketahui.

Oleh karena itu, jika anda mengetahui bahwa diri anda di atas kebenaran, maka tetaplah (di atasnya), meskipun anda mendengarkan kata-kata miring atau menyaksikan sesuatu yang tidak anda sukai. Bersabarlah! karena sesungguhnya kesudahan yang baik akan didapatkan oleh orang-orang yang bertakwa."

KEBERHASILAN BUKAN KARENA JUMLAH PENGIKUT


Menurut penulis, keberhasilan dalam dakwah bukanlah terletak pada banyak pengikutnya atau tidak. Lihatlah Nabi Ibrahim 'alaihis salam, pengikut Beliau dari kalangan kaumnya hanya seorang saja, yaitu Luth, selebihnya kafir. Tetapi Beliau adalah orang yang berhasil dalam dakwahnya, yaitu karena Beliau telah menyampaikan risalahnya, menunaikan amanahnya, dan menasihati umatnya. Ketika Beliau telah melakukannya, maka berarti Beliau telah berhasil, meskipun pengikutnya sedikit.

Di bagian akhir risalah "Ta'awunud du'aat", Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Termasuk adab para da'i yang mesti dilakukan adalah saling tolong-menolong, yakni tolong-menolong antara sesama mereka. Jangan ada keinginan salah seorang di antara mereka agar perkataannya diterima dan didahulukan daripada yang lain. Bahkan seharusnya, yang menjadi harapan para da'i adalah agar dakwah diterima, baik dakwah itu muncul darinya maupun dari orang lain, selama anda menginginkan agar kalimat Allah menjadi tegak, baik olehnya maupun oleh yang lain. Jika maksudnya seperti ini, tentu yang lain akan saling bantu-membantu dalam dakwah ilallah, meskipun manusia lebih menerima orang lain daripada dirinya.

Yang wajib bagi para da'i adalah sama-sama satu tangan, saling bahu-membahu, saling bantu-membantu, saling bermusyawarah di antara mereka dan berangkat bersama serta mereka bangkit karena Allah, baik dua orang, tiga orang maupun empat orang."

Apabila kita melihat para penyeru keburukan dan kejahatan berkumpul dan bersatu serta membuat rencana, mengapa para da'i tidak mengamalkan seperti ini, sehingga satu sama lain saling menutupi kekurangan yang ada pada yang lain, baik terkait dengan ilmu maupun sarana dakwah dan sebagainya?!" Apabila kita melihat nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah, tentu kita akan mendapatkan bahwa Allah Ta'ala menyifati kaum mukmin dengan sifat-sifat yang menunjukkan bahwa mereka selalu bersatu dan saling membantu.

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (Terj. QS. At Taubah: 71)

HUJAN TURUN, ANTARA NIKMAT DAN MUSIBAH


Sebagai seorang muslim, tentunya kita diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk mengikuti bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah suri teladan yang terbaik bagi umatnya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (21)

(artinya) : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al Ahzab : 21).

Dan kebahagian atau kesengsaraan seorang hamba di dunia dan di akhirat, itu tergantung bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kehidupannya. Baik itu berupa hubungan dia dengan Allah subhanahu wata’ala atau dengan manusia yang lainnya. Atau hubungan antara dia dengan keluarganya atau dengan dirinya sendiri. Dan demikian pula hubungan antara dia dengan makhluk yang lainnya, baik yang bernyawa seperti hewan atau pun yang lainnya. Seluruh hal ini telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ ، وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.

(artinya) : seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Para shahabat) bertanya : wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, siapa yang enggan? Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : barangsiapa yang mentaatiku, maka dia akan masuk surga dan barangsiapa yang bermaksiat (tidak mentaati beliau) kepadaku maka dia enggan masuk surga. (HR. Al Bukhori no. 7280 dari Abu Hurairah).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ أَبِى مُوسَى عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ مَثَلِى وَمَثَلَ مَا بَعَثَنِىَ اللَّهُ بِهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمَهُ فَقَالَ يَا قَوْمِ إِنِّى رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَىَّ وَإِنِّى أَنَا النَّذِيرُ الْعُرْيَانُ فَالنَّجَاءَ. فَأَطَاعَهُ طَائِفَةٌ مِنْ قَوْمِهِ فَأَدْلَجُوا فَانْطَلَقُوا عَلَى مُهْلَتِهِمْ وَكَذَّبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ فَأَصْبَحُوا مَكَانَهُمْ فَصَبَّحَهُمُ الْجَيْشُ فَأَهْلَكَهُمْ وَاجْتَاحَهُمْ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ أَطَاعَنِى وَاتَّبَعَ مَا جِئْتُ بِهِ وَمَثَلُ مَنْ عَصَانِى وَكَذَّبَ مَا جِئْتُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ ».

(artinya) : sesungguhnya permisalanku dan apa yang Allah subhanahu wata’ala mengutusku dengannya, seperti seorang yang datang kepada kaumnya. Lalu dia mengatakan : wahai kaumku, sesungguhnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ada suatu pasukan (yang akan datang menyerang), dan sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan, maka selamatkanlah (diri kalian). Sekelompok orang dari kaumnya pun mentaatinya, sehingga mereka berjalan (di waktu malam) dan pergi dengan diam-diam (meninggalkan tempat mereka). Dan sekelompok yang lain, mereka mendustakannya. Sehingga tatkala waktu pagi datang, mereka masih berada di tempat mereka. Lalu pasukan tersebut pun menyerang dan membinasakan mereka. Maka yang demikian itu seperti seorang yang mentaatiku dan mengikuti apa yang aku datang dengannya (sehingga dia pun selamat), dan seperti seorang yang bermaksiat kepadaku dan mendustakan apa yang aku datang dengannya berupa kebenaran (sehingga dia pun binasa). (HR. Al bukhori no. 7283 dan Muslim no. 6094 dari Abu Musa).

Maka barangsiapa yang menginginkan keselamatan, baik di dunia atau di akhirat, hendaklah dia mencontoh dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Baik itu dalam urusan dunia dan terlebih lagi urusan akhirat. Dan diantara yang beliau bimbingkan adalah bagaimana sikap yang benar ketika turun hujan dan hukum-hukum yang terkait dengan turunnya hujan.

Hujan merupakan salah satu nikmat yang Allah subhanahu wata’ala turunkan kepada hamba-hambaNya. Namun tidak semua orang mendapatkan nikmat ini. Ada sebagian mereka yang mendapatkannya, sehingga mereka pun hidup dengan bahagia, dan demikian pula hewan-hewan yang ada di sekeliling mereka. Dan ada pula sebagian mereka yang Allah subhanahu wata’ala tidak menurunkan hujan kepada mereka, sehingga mereka pun hidup dalam kesengsaraan. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dalam rangka untuk mencarinya.

TURUNNYA HUJAN, NIKMAT ATAU ADZAB..??

Sebelum hujan turun, biasanya muncul dilangit beberapa tanda. Seperti awan hitam, suara petir, angin yang kencang dan yang lainnya. Bagi sebagian orang, mereka menganggap hal ini adalah hal yang biasa saja. Namun, sesungguhnya ini merupakan salah satu dari tanda kekuasaan Allah subhanahu wata’ala yang Allah subhanahu wata’ala perlihatkan kepada hambaNya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala melihat hal yang semacam ini, beliau merasa takut. Beliau khawatir kalau seandainya itu merupakan adzab dari Allah subhanahu wata’ala.

Perhatikanlah keadaan kaum ‘Aad. Tatkala mereka melihat awan yang hitam menuju tempat mereka, mereka bergembira dengannya. Mereka menyangka bahwa akan turun kepada mereka hujan sehingga mereka bisa mengambil manfaat darinya. Allah subhanahu wata’ala kisahkan mereka dalam Al Quran:

فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ (24) تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ (25)

(artinya) : Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (Bukan!) bahkan itulah adzab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung adzab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Robbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa. (Al Ahqof : 24-25)

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا قَالَتْ وَكَانَ إِذَا رَأَى غَيْمًا أَوْ رِيحًا عُرِفَ ذَلِكَ فِى وَجْهِهِ. فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَى النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْغَيْمَ فَرِحُوا. رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ الْمَطَرُ وَأَرَاكَ إِذَا رَأَيْتَهُ عَرَفْتُ فِى وَجْهِكَ الْكَرَاهِيَةَ قَالَتْ فَقَالَ « يَا عَائِشَةُ مَا يُؤَمِّنُنِى أَنْ يَكُونَ فِيهِ عَذَابٌ قَدْ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيحِ وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ فَقَالُوا (هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا) ».

Dalam riwayat Al Bukhori dan Muslim, Aisyah menceritakan keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala melihat kondisi langit yang berubah. Beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala melihat mendung atau angin, (terjadi perubahan pada keadaan beliau) hal itu diketahui dari wajah beliau. Maka Aisyah pun bertanya : wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku melihat manusia apabila mereka melihat mendung, mereka senang. Mereka berharap akan turun hujan. (Namun) aku melihatmu, jika engkau melihat mendung, aku melihat di wajahmu ada kebencian (kegelisahan). Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : wahai Aisyah, apa yang bisa membuatku merasa aman, boleh jadi padanya ada adzab, sungguh telah diadzab suatu kaum dengan angin, dan sungguh ada suatu kaum yang mereka melihat adzab mereka justru mengatakan : ini adalah mendung yang akan menurunkan hujan kepada kami. (HR. Al Bukhori no. 4829 dan Muslim no. 2123 dari Aisyah).

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا عَصَفَتِ الرِّيحُ قَالَ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ ». قَالَتْ وَإِذَا تَخَيَّلَتِ السَّمَاءُ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ وَخَرَجَ وَدَخَلَ وَأَقْبَلَ وَأَدْبَرَ فَإِذَا مَطَرَتْ سُرِّىَ عَنْهُ فَعَرَفْتُ ذَلِكَ فِى وَجْهِهِ. قَالَتْ عَائِشَةُ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ « لَعَلَّهُ يَا عَائِشَةُ كَمَا قَالَ قَوْمُ عَادٍ (فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا) ».

Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan (yang artinya) : adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila bertiup angin yang kencang, beliau berdoa : Allahumma inni as aluka khoiroha wa khoiro ma fiiha wa khoiro ma ursilat bihi wa Allah subhanahu wata’ala’udzibuka men syarriha wa syarri ma fiha wa syarri ma ursilat bihi (yang artinya : wahai Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu kebaikannya dan kebaikan yang ada padanya, serta kebaikan yang dia diutus dengannya. Dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekannya dan kejelekan yang ada padanya, serta kejelekan yang dia diutus dengannya).

Dan apabila langit berubah keadaannya, berubah warnanya, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam keluar masuk, ke depan dan ke belakang (yakni beliau gelisah). Dan jika telah turun hujan, maka beliau pun senang. Aku mengetahui hal itu dari raut muka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah pun menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun menjawab : barangkali wahai Aisyah, sebagaimana kaum ‘Aad dahulu mereka mengatakan tatkala mereka melihat mendung menuju tempat mereka, mereka berkata : ini adalah mendung yang akan menurunkan hujan kepada kami (padahal yang sesungguhnya itu adalah adzab dari Allah subhanahu wata’ala). (HR. Muslim no. 2122 dari Aisyah).

Maka dari sini kita mengetahui bahwa tidaklah setiap hujan itu mengandung manfaat bagi orang yang diturunkan kepada mereka hujan. Bahkan ada diantara hujan yang padanya mengandung adzab dari Allah subhanahu wata’ala. Dan kita saksikan di zaman ini, di berbagai tempat turun padanya hujan, namun hujan tersebut bukan membawa kebaikan tapi justru keburukan, seperti banjir bandang, tanah longsor, dan yang lainnya. Oleh karena itu, bagi seorang muslim, tatkala dia melihat tanda-tanda akan diturunkan hujan, hendaklah dia berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala agar menjadikan pada mendung tersebut ada hujan yang bermanfaat. Dan semoga air hujan yang turun tersebut, membawa kebaikan bagi penduduk bumi sehingga dengannya tumbuh berbagai jenis tanaman dan tidak merusak apa yang di bumi.

Sebagian ulama, seperti Al ‘Aini, mengatakan : hujan yang turun ke muka bumi padanya ada dua kenikmatan, yaitu nikmat adanya air sehingga manusia dan hewan bisa mengambil manfaat darinya, dan (hujan) merupakan sebab tumbuhnya berbagai jenis tanaman, (yang manusia dan hewan juga mengambil manfaat darinya).

RAMALAN HUJAN, BOLEHKAH>.??

Kemudian, diantara bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkait permasalahan turunnya hujan adalah meyakini bahwa turunnya hujan merupakan kekhususan ilmu Allah subhanahu wata’ala. Yakni bahwasanya Dialah Allah subhanahu wata’ala satu-satunya yang mengetahui kapan turunnya. Sehingga, tidak ada seorang pun yang mampu mengetahui kapan turunnya hujan. Dalam Al Quran Allah subhanahu wata’ala berfirman :

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (34)

(artinya): Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Luqman : 34)

Lalu bagaimana dengan berita-berita tentang turunnya hujan, baik yang ada di koran, majalah, radio atau yang lainnya?

permasalahan ini telah dijawab oleh para ulama. Mereka mengatakan : hal ini diperbolehkan dengan dua syarat. Yang pertama hendaklah berita-berita tersebut dibangun diatas qorinah (tanda-tanda) yang ada dan dengan menggunakan alat-alat yang sudah diketahui (yakni digunakan untuk meneliti cuaca). Dan yang kedua, hendaklah berita-berita yang semacam ini dibangun diatas persangkaan bukan secara yakin, sekalipun telah menggunakan alat. Karena yang namanya alat, tidak bisa memberikan kepastian, dan kepastian itu hanya dari sisi Allah subhanahu wata’ala. Terkadang dalam penelitian, terdapat tanda-tanda akan diturunkannya hujan, namun tatkala Allah subhanahu wata’ala menghendaki untuk tidak turun hujan, maka hujan pun tidak turun walau hanya setetes air. Sehingga kita tidak boleh memastikan turunnya hujan.

Dan diantara bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain ketika turun hujan adalah menyandarkannya kepada Allah subhanahu wata’ala. Dialah Allah subhanahu wata’ala satu-satunya yang mampu untuk mendatangkan hujan. Dan tidak ada seorang pun yang mampu untuk mendatangkannya. Maka jika ada seorang yang mengaku bisa mendatangkan hujan, maka sungguh dia telah berdusta. Adapun bila turun hujan dengan sebab dia, maka itu merupakan bentuk pancingan dari Allah subhanahu wata’ala untuk menguji hamba-hambaNya. Jika ada yang percaya bahwa dia mampu menurunkan hujan, maka orang tersebut telah kafir kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan orang yang mendustakannya, maka orang tersebut telah beriman kepada Allah subhanahu wata’ala.

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، فَقَالَ : هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ.

Zaid bin Kholid, seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, beliau pernah mengatakan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan sholat subuh bersama kami di Hudaibiyyah. (Waktu itu) masih ada bekas dilangit karena (hujan yang turun) tadi malam. Tatkala telah selesai, beliau menghadap kepada manusia (para jamaah). Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya : apakah kalian tahu apa yang dikatakan oleh Robb kalian? Mereka menjawab : Allah dan RosulNya yang lebih mengetahui. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : (Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya) ) di waktu pagi ini, ada yang beriman kepadaKu dan ada pula yang kafir kepadaKu. Adapun orang yang mengatakan kami diberi hujan dengan keutamaan dari Allah subhanahu wata’ala dan rahmatNya, maka dia beriman kepadaKu dan kafir dengan bintang-bintang. Dan adapun orang yang mengatakan (kami diberi hujan) dengan sebab bintang ini dan bintang itu, maka dia kafir kepadaKu dan beriman dengan bintang-bintang. (HR. Al Bukhori no. 1038 dan Muslim no.240 dari Zaid Bin Kholid).

Adapun mereka yang menyandarkan hujan kepada selain Allah subhanahu wata’ala, maka secara terperinci mereka terbagi menjadi tiga bagian :

Pertama : Orang yang menisbatkan turunnya hujan kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Yakni meyakini bahwa selain Allah subhanahu wata’ala dialah yang menurunkan hujan. Maka orang yang semacam ini, dia telah terjatuh kedalam syirik besar.

Kedua : Orang yang menisbatkan sebab turunnya hujan kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Yakni meyakini bahwa selain Allah subhanahu wata’ala dia adalah sebagai sebab turunnya hujan, adapun yang menurunkan hujan adalah Allah subhanahu wata’ala. Maka orang yang semacam ini, dia telah terjtuh kepada syirik kecil.

Ketiga : Orang yang menisbatkan turunnya hujan kepada waktu tertentu. Sebagai contohnya mereka menisbatkan turunnya hujan di waktu bintang tertentu muncul. Para ulama berselisih dalam menghukumi hal ini, dan pendapat yang shahih Wallahu a’lam, adalah dilihat kepada orang yang melakukannya. Jika dia memiliki ketergantungan terhadap bintang tersebut, maka hendaklah dia dilarang karena bisa menjerumuskan kedalam syirik.

Inilah diantara bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika hujan turun. Semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi kita semuanya. Wallahu a’lam.
http://www.salafybpp.com/5-artikel-terbaru/204-bimbingan-rasulullah-shallallahu-alaihi-wasallam-tatkala-hujan.html

TEMAN DALAM KUBUR (1)


Siapakah yang mengaku mapu menolak kematian..?
Siapakah yang mampu menunda kematian dan mengakhirkan waktu kedatanganya..?
Wahai Manusia, mengapa engkau masih takabur, padahal engkau pasti akan digerogoti Cacing..?


TEMAN DALAM KUBUR
Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah
Penerjemah : Khairi Sutanto, Lc
( diambil dari kitab syarah Hadits Yatbaul Mayyit Tsalatsun )

Rabbi, ya Rabbi, berilah kami kemudahan wahai Yang Maha Mulia. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada penghulu kita Nabi Muhammad shalalllahu 'alaihi wasallam, manusia pilihan, juga bagi keluarga dan sahabatnya.

Disebutkan dalam kitab shihain dari riwayat Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm dari anas dari Nabi shalllallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda :

"Tiga Hal yang mengirirngi mayit, dua akan kembali dan satu akan menyertai. Diiringi keluarganya, hartanya, dan amalannya. Keluarga dan hartanya akan kembali, tinggal amal yang menemani" (HR Bukhari no. 6514)

Diriwayatkan Imran al Qathan dan Hajjaj bin Hajjaj dari Qatadah dari Anas Rasulullah bersabda :

"Tidaklah seorang hamba memiliki kecuali 3 Teman. yakni :

1. Teman yang pertama berkata, : "Harta yang telah engkau infakan itulah milikmu, sedangkan yang engkua tahan tidak menjadi milikmu" (maka itulah teman yang pertama yakni) Hartanya.
2. Teman yang kedua berkata, : "Aku bersamamu, manakala engkau mendatangi pintu Raja, aku kembalidan meninggalkanmu" (maka itulah teman yang kedua yakni) keluarga dan keturunannya.
3. Teman yang ketiga berkata , : "Aku bersamamu saat engkau masuk dan keluar" (maka itulah teman yang ketiga yakni) amalnya.

Maka si Hamba tersebut berkata (kpd teman yang ketiga) "Engkaulah yang paling kuanggap ringan dari yang lainya." ( HR AL HAKIM DALAM Mustadrak (I/371) )

TEMAN YANG PERTAMA : KELUARGA

Setelah kematian seseorang, anggota keluarganya tidak dapat memberikan manfaat baginya, kecuali yang memohonkan ampunan dan mendo'akannya.

Betapa jarangnya hal ini dilakukan. bahkan, bisa jadi orang lainlah yang bisa lebih bermafaat bagi mayit tersebut daripada keluarganya sendiri. Sebgaimana yang telah dituturkan seorang yang shalih : "Mana orangnya.. yang kebaikannya seperti saudaraku yang shalih ini...? kalau keluargamu, mereka langsung membagi-bagi harta warisanmu, sedangkan saudara yang shalih itu menyendiri mengetahui kesedihanmu. Dia senantiasa mendo'akanmu. sementara engkau didalam lapisan tanah.

Diantara anggota keluarga juga ada yang bisa menjadi musuh berdasarkan firman Allah : "Hai Manusia yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-nakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.... (At Taghabun:14)

Sebagian lagi melalaikan pengurusan mayit, karena sibuk untuk memperoleh harta warisan sebagaimana ucapan penyair :

Kerabatku mondar-mandir disekitar kuburku..
seolah-olah mereka tak mengetahui keberadaan diriku...
Ahli waris sibuk membagi-bagikan harta kekayaanku..
Tidak berusaha membayar hutang-hutangku...
Mereka mengambil bagian warisan itu dan hidup dengannya...
Ya Allah betapa cepatnya mereka melupakan aku..


al Hasan berkata "Orang yang paling zuhud didunia adalah tetangganya. Dan seburuk-buruk manusia adalah yang ketika sudah menjadi mayi, keluarganya menangisinya akan tetapi mereka tidak membayarkan hutangnya..."

Uangkapan diatas menunjukan bahwa anggota keluarga bisa saja melakukan suatu perbuatan yang dapat membahayakan mayit. misalnya Tangisan yang disertai ratapan terhadap mayit, atau marah atau benci kepada takdir Allah. maka dengan hal tersebut bisa menyebabkan mayit disiksa. Sebagaimana Sabda Nabi : " Sesungguhnya mayit itu akan diadzab karena tangisan keluarganya kepadanya (HR Bukhari No.1286)

Itulah salah satu diantara teman yang tiga.. yakni keluarga. mereka bersama teman-temnnya menghantarkan si mayit hingga pintu sang Raja, yakni liang lahat, lalu mereka pulang meninggalkan mayit.

Untuk teman yang kedua yakni Harta dan Amal, Bersambung..... wallahulmusta'an

SEGERA BERAMAL, SEBELUM AJAL DATANG!


SEGERA BERAMAL, SEBELUM AJAL DATANG!

Oleh
Ustad Muhammad Ashim Musthofa



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi [al-Munâfiqûn/63:9]

PENJELASAN AYAT
Allâh Azza wa Jalla memperingatkan kaum Mukminin dari perilaku kaum munafiqin yang melalaikan dzikrullâh karena sibuk memperhatikan, menangani urusan kekayaan, menikmati dan mengembangkannya; juga lantaran kegembiraan mereka terhadap keberadaan anak-anak dan kesibukan memenuhi kebutuhan para buah hati itu[1]. Kesibukan mereka dengan urusan-urusan tersebut mengakibatkan mereka melalaikan dzikrullâh. Dzikrullâh menurut Syaikh 'Abdul Muhsin al'Abbâd hafizhahullâh di sini adalah segala ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla [2]. Allâh Azza wa Jalla memberitahukan siapa saja yang terlalaikan dari dzikrullâh karena alasan di atas akan mengalami kerugian yang nyata. Hal ini lantaran orang tersebut telah melenceng dari tujuan penciptaannya untuk menaati dan mengingat (beribadah kepada) Rabbnya[3].

Mereka mengalami kerugian yang hebat, karena telah memperjualbelikan kenikmatan yang abadi dengan kesenangan yang bersifat fana dan sementara [4].

Allâh Azza wa Jalla melarang jual-beli setelah adzan shalat Jum'at dengan alasan yang sama, karena akan melalaikan dzikrullâh yang dalam hal ini adalah shalat Jum'at. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui [al-Jumu'ah/62:9]

Allâh Azza wa Jalla menyanjung orang-orang yang tidak terlalaikan oleh kemewahan dunia dari dzikrullâh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُلِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Bertasbih kepada Allâh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allâh memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allâh menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allâh memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas [al-Nûr/24:36-38]

Selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh" [al-Munâfiqûn/63:10]

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menghimbau kaum Mukminin untuk berinfak[5]. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin untuk mengalokasikan sebagian dari harta kekayaan mereka dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan menginfakkannya di jalan-Nya sebelum kedatangan ajal yang menyebabkan kekayaan menjadi tiada harganya bagi pemiliknya lagi. Perintah ini mencakup infak-infak yang wajib seperti zakat, membayar kaffarah, menafkahi istri dan budak, juga mencakup infak-infak yang bersifat mustahab seperti berinfak untuk kemaslahatan umat [6]

Siapapun tidak akan merasakan memiliki harta ketika ia berada dalam kondisi sakaratul maut, karena dirinya terpaku pada dahsyatnya rasa sakit dan ketakutan yang sedang dihadapi. Bahkan ketika dalam kondisi sakit, orang kaya pun tidak merasakan dirinya memiliki kekayaan yang melimpah. Maka, apapun akan diserahkan guna menyelamatkannya dari kondisi yang sulit itu (sakaratul maut). Apapun akan ditebus untuk mengobati penyakitnya. Dari sini sedikit bisa dipahami alasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menjawab pertanyaan seorang Sahabat tentang infak yang paling afdhal.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan ada seorang lelaki mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ia bertanya, :Wahai Rasûlullâh, apakah sedekah yang paling besar pahalanya?”. Beliau menjawab: “Yaitu engkau bersedekah tatkala merasa sehat lagi bakhil, dan mengakhawatirkan kekurangan serta mengimpikan kecukupan" [HR. al-Bukhâri no. 1419 dan Muslim no. 2382]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ

(Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu) dikatakan Syaikh as-Sa'di rahimahullah menunjukkan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak membebani hamba-Nya dengan infak yang menyulitkan mereka. Sebab mereka hanya diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian kecil dari rezeki yang mereka dapat dari Allâh Azza wa Jalla . Karena Dialah yang memberikan kemudahan bagi mereka memperoleh rezeki-Nya. [7]

Beliau menambahkan bahwa berinfak termasuk cermin rasa syukur hamba kepada Allah atas rezeki yang diperoleh dari-Nya. Beliau berkata, "Hendaknya mereka bersyukur kepada Dzat yang memberi mereka (rezeki) melalui cara berbagi dengan kaum yang membutuhkan (orang-orang miskin). Hendaknya mereka bersegera melakukannya sebelum kematian mendatangi mereka. Di saat itu, seorang hamba tiada mampu berbuat kebaikan walau sekecil biji dzarrah sekalipun.[8]

Pada saat kematian datang, jiwa-jiwa penuh dengan penyesalan dan berharap mendapatkan pengunduran waktu ajalnya, -dan ini mustahil- walau sejenak untuk bersedekah dan beramal shaleh yang nantinya akan dapat menyelamatkan mereka dari siksa dan memperoleh pahala besar. Namun permintaan dan harapan ini sudah bukan pada tempat dan waktunya lagi dan tidak mungkin mengalami perubahan.

Imam al-Qurthubi rahimahullah menyampaikan kesimpulan yang menarik dari ayat di atas dengan berkata, "Ayat ini menunjukkan kewajiban menyegerakan pembayaran (penyerahan) zakat dan hukum asalnya tidak boleh menunda-nunda pembayarannya. Demikian juga terhadap seluruh kewajiban ibadah bila telah datang waktunya" [9].

Di akhir surat, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan [al-Munâfiqûn/63:11]

Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla tidak akan menangguhkan ajal seseorang dengan memperpanjang usianya saat kematian tiba. Akan tetapi, langsung mengambilnya. Dan Allâh Azza wa Jalla Maha Mengetahui amalan seluruh hamba-Nya, Dia meliputi seluruhnya, tidak ada sesuatu un yang tersembunyi bagi-Nya. Allâh Azza wa Jalla akan membalas mereka semua, orang baik akan dibalas atas kebaikannya dan orang jelek akan dibalas berdasarkan perbuatan buruknya [10] Wallâhu a'lam .

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir al-Qurthubi 18/116, Fathul Qadîr 5/327, Fathul Bayân fi Maqâshidul Qur`ân 7/100, Rûhul Ma’âni 27/431
[2]. Min Kunûzil Qur`ânil Karîm Tafsîr Ayât minal Kitâbil 'Azîz 1/321
[3]. Tafsir Ibnu Katsir 3/380
[4]. Lihat Fathul Bayân fi Maqâshidul Qur`ân 7/101
[5]. Tafsir Ibnu Katsir 4/380
[6]. Tafsir as-Sa’di hlm. 865
[7]. Ibid
[8]. Ibid
[9]. Tafsir al-Qurthubi 18/116
[10]. Tafsir ath-Thabari 28/133

Article's :

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!