Radio Rodja 756AM

Senin, 01 April 2013

REALITA KEBANGKITAN ISLAM

REALITA KEBANGKITAN ISLAM


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly


Mulailah kaum muslimin sadar setelah melihat kenyataan pahit, negeri yang tercabik dan banyaknya orientalis yang mengajak mereka untuk meninggalkan agama dan sumber kejayaannya. Setiap kelompok dari kaum muslimin selanjutnya mulai memandang kenyataan yang ada dari sisi yang berbeda dari pandangan kelompok yang lain. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa jama'ah-jama'ah yang begerak di medan dakwah pada masa ini saling berselisih seputar manhaj dakwah, dari mana memulai dan bagaimana memulainya.

Perselisihan yang paling bebahaya yang menghalangi persatuan mereka diatas satu kata adalah dua hal :

Pertama : Ketidak Tahuan akan Besarnya Kekuatan Mereka.

Kita masih terus melihat hizbiyah yang sempit telah menguasai banyak akal pemikiran dan jama'ah yang bergerak dalam medan dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga mereka tidak melihat kecuali diri mereka sendiri dan meniadakan keberadaan yang lain disekitarnya. Berkembanglah hal ini hingga kita melihat sebagian mereka mengaku sebagai jama'ah muslimin dan pemimpin mereka sebagai imam muslimin, lalu menetapkan dengan dasar itu beberapa prasangka :

Sebagiannya mengklaim kewajban berba'iat kepada imamnya dan yang lain mengkafirkan kaum muslimin setelah generasi-generasi terbaik yang dimuliakan. Sekelompok lainnya mengklaim bahwa merekalah jama'ah induk yang wajib bagi selainnya untuk berhimpun dan berlindung di bawah benderanya. Kebanyakan mereka telah melupakan bahwa mereka bergerak untuk mengembalikan jama'ah muslimin, maka seandainya jama'ah muslimin sudah ada dan imamnya pun ada maka kita tidak akan melihat perselisihan dan berbilangnya kelompok yang tidak diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala keterangan astasnya. Pada hakikatnya mereka yang bergerak untuk Islam tersebut adalah jama'ah dari sebagian kaum muslimin yaitu dari ahlil kiblat dan bukan jamaah muslimin.

Ketahuilah wahai muslim, jama'ah muslimin adalah jama'ah yang seluruh kaum muslimin bergabung dalam menjalankannya dan memiliki seorang imam yang melaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga diwajibkan taat kepadanya dan diberikan kepatuhan dan ketundukan kepadanya. Itulah negara Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah yang melaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun jama'ah-jama'ah yang bergerak untuk mengembalikan daulah kekhilafahan maka dia adalah jama'ah dari sebagian kaum muslimin yang wajib saling tolong menolong di antara mereka dan menghilangkan penghalang yang memisahkan pribadi-pribadi mereka agar berpadu di atas kata yang satu yaitu kalimat tauhid dan assunnah serta pemahaman salaf umat ini.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam Fathul Bariiy 13/37 perkataan Ath-Thabariy Rahimahullah : Masalah ini dan masalah jama'ah telah diperselihkan : berkata satu kaum : itu untuk wajib, dan Al-Jama'ah adalah kelompok yang paling besar, kemudian membawakan dalil dari Muhammad bin Siriin Rahimahullah dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman terbunuh : wajib atas kamu berpegang teguh dengan Al-Jama'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan mengumpulkan umat Muhammad diatas kesesatan. Dan berkata yang lain : yang dimaksud dengan Al-Jama'ah adalah para sahabat dan orang yang setelahnya dan berkata yang lain lagi : yang dimaksud adalah ahli ilmu, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai hujjah atas makhluknya dan manusia ikut mereka dalam masalah agama.

Dan yang benar bahwa maksud dari hadits yang memerintahkan untuk berpegang teguh kepada Al-Jama'ah adalah jama'ah yang manusia bersepakat untuk menjadikan seorang amir atasnya, maka siapa yang melepas ba'iatnya berarti telah keluar dari Al-Jama'ah. Dan dalam hadits disebutkan : Ketika terjadi pada manusia tidak ada imam dan mereka berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah seorang itu ikut dalam perpecahan tersebut dan hendaklah dia meninggalkannya semua kalau mampu, khawatir terjatuh dalam keburukan dan dengan demikian maka semua hadits dapat ditempatkan dan dapat dikompromikan apa yang dianggap berbeda darinya.

Maka wajib atas setiap muslim membantu jama'ah-jama'ah ini pada kebenaran yang dimilikinya dan wajib untuk melakukan nasehat dan arahan pada hal-hal yang menyimpang dari kebenaran atau tidak dapat menunaikannya dengan baik dari kebenaran tersebut. Dan wajib atas jama'ah-jama'ah ini untuk saling tolong menolong pada kebenaran yang telah disepakati dan saling menasehati diantara mereka pada hal-hal yang diperselisihkan serta memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menunjuki mereka dalam hal itu kepada jalan yang lurus. [1]

Wajib bagi jama'ah-jama'ah tersebut untuk menjadi satu tangan dalam membangun istana Islam yang megah dan mengembalikan kejayaannya, karena jika bergerak sendiri-sendiri maka mereka tidak mampu, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala walinya orang-orang yang shalih. Wajib pula atas jama'ah-jama'ah ini untuk mengisi para pengikutnya dengan kebenaran dan kecintaan kepada seluruh kaum muslimin sehingga dapat menghancurkan penghalang hizbiyah (fanatis kelompok) yang telah memporak-porandakan persatuan dan melemahkan kekuatan serta ketangguhan mereka.

Dengan demikian, maka orang yang keluar dari jama'ah-jama'ah ini bukanlah orang yang keluar dari jama'ah muslimin karena jama'ah-jama'ah ini tidak memiliki sifat tersebut dan tidak juga pendirinya pantas mengaku sebagai imam.

Kedua : Perbedaan Mereka dalam Sumber Pengambilan dan Pemahaman Al-Kitab dan Assunnah

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu untuk meninggalkan semua kelompok yang mengajak kepada neraka pada masa-masa keburukan dan fitnah ketika kaum muslimin tidak memiliki jama'ah dan imam.

Beragam perkataan para ulama dalam menjelaskan hadits ini dan yang saya anggap lebih sesuai adalah perintah kenabian ini berisi kewajiban berpegang teguh kepada kebenaran, menolong ahlinya dan tolong menolong di atas dasarnya, dan inilah penjelasannya :

[1]. Ini merupakan perintah berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih, hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Irbaadh bin Saariyah radhiyallahu 'anhu.

"Artinya : Barangsiapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para Khalifah rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) karena hal itu adalah kebid'ahan dan setiap kebid'ahan adalah kesesatan" [Akan datang Takhrijnya]

Dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, terdapat perintah untuk menggigit pokok-pokok ketika terjadi perselisihan dalam rangka berlepas diri dari kelompok-kelompok sesat dan dalam hadits Irbadh Radhiyallahu 'anhu terdapat perintah menggigit As-Sunnah yang Shahih yang dipahami dengan paham As-Salaf Ash-Shalih dengan geraham ketika terjadi perselisihan dan untuk menjauhi dari hal-hal yang baru karena dia adalah kesesatan.

Jika kita kompromikan antara kedua hadits ini akan tampak satu makna yang indah yaitu berpegang teguh kepada sunnah nabi dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih ketika muncul kelompok-kelompok sesat dan lenyapnya jama'ah muslimin dan Imamnya.

[2]. Yang menunjukkan hal itu bahwa perintah menggigit pokok pohon dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu bukanlah yang dimaksud lahiriyahnya, akan tetapi yang dimaksud adalah tetap sabar di atas kebenaran dan berlepas dari kelompok-kelompok sesat yang menyalahi kebenaran. Atau maknanya pohon Islam yang rindang dan subur akan diterpa badai angin sehingga mematahkan ranting-rantingnya dan tidak tingga kecuali pokoknya saja yang kokoh berdiri menantang badai-badai tersebut. Di saat itu wajib atas kaum muslimin untuk memelihara pokok ini dan mengorbankan jiwa dan harta yang berharga karena pokok tadi akan tumbuh kembali walaupun dahsyatnya badai angin tersebut.

[3]. Pada waktu itu wajib atas seorang muslim untuk memberikan bantuan kepada kelompok yang merangkul pokok pohon yang kokoh ini untuk menolak darinya serangan fitnah dan ujian.

Kelompok ini senantiasa menegakkan kebenaran sampai akhir mereka memerangi Dajjal. [Akan datang keterangan tentang hadits-hadits yang ada tentang hal ini]

Dengan ini dapat disimpulkan penutup hadits Hudzaifah dalam tiga hal :

[a]. Kewajiban berpegang teguh kepada jama'ah muslimin dan taat kepada para pemimpin mereka walaupun mereka bermaksiat, bukanlah Rasulullah telah bersabda dalam riwayat yang lain.

"Artinya : Saya bertanya : Apa yang saya perbuat wahai Rasulullah jika hal itu menimpaku ? Beliau menjawab : patuh (dengar) dan taatilah amir (pemimpin) walaupun dia memukul punggungmu dan megambil hartamu, patuhlah (dengarlah) dan taatilah" [Diriwayatkan Muslim 12/236-237]

Ini merupakan perkara yang tidak diketahui kebanyakan dari kaum muslimin ketika mereka melihat kerusakan dan kedzaliman para khalifah terakhir dalam negara kekhalifahan, lalu berusaha bekerja sama dengan orang-orang kafir untuk melenyapkan negara kekhalifahan dan mereka lupa akan larangan memberontak dari para pemimpin selama belum melihat pada mereka kekafiran dan kesyirikan yang jelas sekali yang dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan diputuskan oleh para Ulama robbani berdasarkan kaidah-kaidah fiqih dakwah yang diambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta sikap-sikap As-Salaf Ash-Shalih.

[b]. Jika tidak ada jama'ah muslimin dan imam mereka, maka wajib bagi setiap muslim untuk meninggalkan kelompok-kelompok dan sekte yang sesat tersebut.

[c]. Meninggalkan kelompok-kelompok sesat tidak berarti beruzlah (mengasingkan diri) secara keseluruhan dan membiarkan kebatilan bertebaran dan berkembang tanpa ada yang menghalanginya ; bahkan seharusnya kaum muslimin berpegang teguh kepada pokok-pokok agama ini berdasarkan Kitabullah dan As-Sunnah dan memahami keduanya dengan pemahaman sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang telah berjalan diatas manhaj mereka dari para imam-imam petunjuk, mengajak manusia kepada dua pokok yang agung ini yang akan menjadi hakim bagi bumi dan seisinya dan agar kamu ketahui berita kebenarannya setelah ini karena keberadaan kelompok-kelompok sesat ini tidak berarti kosongnya dunia dari orang yang menegakkan kebenaran dengan hujjah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhabarkan dalam hadits-hadits mutawatir tentang keberadaan kelompok yang membawa kebenaran pada setiap masa hingga datang hari kiamat sedangkan dalam keadaan itu tidak merugikan mereka orang yang menyelisihi dan menghina mereka.


[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_________
Foote Note.
[1] Berbeda dengan kaidah : Kita saling tolong menolong pada apa saja yang kita sepakati dan kita saling memaafkan pada apa yang kita perselisihkan. Dan telah menjelaskan rusak dan bahayanya oleh Al-Akh Hamd Al-Utsmaan dalam kitabnya : Zajrul Mutahaawin bin dhorori qaidah Al-uzru wat Ta'awun. Adapun saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan diantara kaum muslimin merupakan perkara wajib syar'i lebih-lebih pada orang-orang yang bergerak di medan dakwah, akan tetapi tidak sempurna ta'awun ini kecuali dengan dua pokok, yaitu :
[a] Manhaj As-Salaf Ash-Shalih
[b] Meninggalkan Tahazzub (fanatisme golongan).
Jika setiap jama'ah atau kelompok tetap berada pada aqidah mereka yang menyimpang dari As-Salaf dan memiliki tatanan yang terpisah dari yang lainnya maka tidak ada tolong menolong kecuali tolong menolong yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka menganggap bersatu akan tetapi pada kenyataannya hati-hati mereka......, adapaun usaha sekelompok orang yang mengaku ahlus sunnah untuk meremehkan pentingnya permasalahan ini dan mengklaim itu sebagai dakwah salafiyah yang benar maka janganlah kamu termasuk orang yang tertipu, karena ucapan mereka seperti madu dan sikap mereka terhadap manhaj salaf dan ulamanya seperti duri yang tajam.

NASEHAT KEBANGKITAN ISLAM

NASEHAT UNTUK JALAN KEBANGKITAN ISLAM


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly


[1]. Kenyataan umat Islam sekarang telah disifatkan dengan huruf-huruf tegas dalam As-Sunnah yang suci, oleh karena itu hendaklah orang yang memandang amal Islami masa kini adalah para Ulama Al-Kitab dan As-Sunnah dan tidak mereka meninggalkan kebijaksanaan satu perkara karena pengalaman, akal dan ilham mereka. Oleh karena itu keberadaan apa yang dinamakan ulama fiqih harokah (ulama pergerakan) atau fuqaha waqi' (ulama fiqih kenyataan) yang tidak mengenal Al-Kitab dan As-Sunnah adalah penjauhan para jama'ah yang bergerak di medan dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari sumber kemuliaan dan petunjuk mereka.

[2]. Diwajibkan kepada para Ulama Al-Kitab dan As-Sunnah untuk mengambil peran dalam mengarahkan orang-orang yang bekerja untuk kejayaan Islam, karena mereka pemimpin dan manusia terbaik umat ini. Maka jika mereka bersandar kepada kekayaan dunia dan tidak ikut berperan aktif, siapakah yang menghalangi badai bahaya tersebut dari para pemuda Islam yang menatap dengan matanya demi kejayaan dan kepemimpinan Islam .?

[3]. Harus ada pemurnian Islam dari Ad-Dakhan yang telah mengeruhkan kebersihannya dan telah mengotori keindahannya agar kembali besinar bersih dalam baju risalah.

[4]. Harus ada pembinaan (tarbiyah) generasi kebangkitan Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membina generasi teladan (sahabat).

[5]. Harus ada kesungguhan yang besar dari seluruh orang yang bergerak untuk Islam agar tercurahkan pada arahan (orientasi) pembentukan jamaah muslimin yang menyatukan seluruh kaum muslimin.

[6]. Titik temu dan sasaran utama orang-orang yang bergerak untuk kejayaan Islam dalam membentuk jama'ah muslimin adalah marhalah kebaikan yang murni yaitu apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya telah berada di atasnya.

Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar memberikan taufiq kepada orang-orang yang ikhlas dalam membentuk jama'ah muslimin yang mengikuti jejak Rasulullah dan para sahabatnya agar bangkit kembali negara Islam mengibarkan benderanya dan pada waktu itu kaum mukminin berbahagia dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah wali orang-orang yang shalih. Itu semua tidaklah akan terwujud kecuali dengan mengikuti manhaj salaf.


[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]

ASWAJA GOLONGAN YANG SELAMAT



Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly



Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Pembicaraan tentang hal ini ditinjau dari beberapa sisi :

Kedua : Ahlus Sunnah wal Jama'ah Adalah Al-Firqatun Najiyah Dan Ath-Thaifah Al-Manshurah Serta Ahlil Hadits.

Berkata Syaikhhul Islam dalam Majmu' Fatawa 3/129 : Amma ba'du, inilah aqidah Al-Firqatun Najiyah Al-Manshurah sampai tegaknya hari kiamat Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan berkata dalam tempat yang lain 3/159 : Dan jalan mereka adalah agama Islam yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus dengannya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkahabarkan bahwa : Umatnya akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di nereka kecuali satu yaitu Al-Jama'ah dan dalam hadits yang lain beliau bersabda : mereka adalah yang berada seperti yang aku dan para sahabatku ada sekarang, maka jadilah orang-orang yang berpegang teguh kepada Islam yang murni dan bersih dari campuran adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ada pada mereka orang-orang Shiddiq, syuhada dan orang-orang shalih dan dari mereka-mereka ini terdapat para tokoh-tokoh Ulama dan pelita umat yang memiliki kebesaran dan keutamaan yang terkenal serta ada pada mereka Al-Abdaal yaitu para imam yang telah disepakati kaum muslimin dalam petunjuk dan ilmu mereka. Merekalah Ath-Thaifah Al-Manshurah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Senantiasa ada dari umatku sekelomok orang yang menegakkan kebenaran tidak merugikannya orang yang menghina sampai datangnya hari kiamat"

Kita memohon kepada Allah yang Maha Agung untuk menjadikan kita termasuk dari mereka dan untuk tidak menyesatkan hati-hati kita setelah mendapat petunjuk serta menganugrahkan kita rahmat dariNya karena Dia adalah Al-Wahaab (yang Maha Pemberi). Wallahu a'lam.

Dan berkata juga dalam 3/345 : Oleh karena itu Al-Firqatun Najiyah disifatkan sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan mereka adalah mayoritas terbesar dan As-Sawadullah Al-A'zham.

Berkata lagi beliau 3/347 : Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang paling berhak dijadikan sebagai Al-Firqatun Najiyah adalah Ahlul Hadits dan As-Sunnah yang tidak memiliki satu tokohpun yang diikuti secara fanatik kecuali Rasulullah sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui ucapan dan perbuatan Rasulullah, yang paling dapat membedakan yang shahih dan yang lemah dari hal tersebut sehingga para imam mereka adalah orang-orang yang faqih dan paling mengenal makna hadits-hadits tersebut dan paling mengikutinya secara keyakinan, amalan, kecintaan dan memberi loyalitas kepada orang-orang yang memiliki loyalitas kepadanya dan membenci orang yang membencinya, merekalah orang-orang yang mengembalikan perkataan-perkataan yang tidak pasti kepada apa yang ada didalam Al-Kitab dan As-Sunnah sehingga mereka tidak menetapkan satu perkataan lalu menjadikannya termasuk pokok-pokok agama dan pendapat mereka jika tidak ada ketetapannya pada apa yang telah dibawa Rasulullah bahkan menjadikan semua yang dibawa Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai pokok (sumber) yang mereka yakini dan sandari.

Ketiga : Antara Ahlus-Sunnah Wal Jamaah Dan Salafiyah

Banyak dari kalangan kelompok Ahlul Bid'ah dan golongan-golongan sesat yang menggunakan nama Ahlus-Sunnah Wal Jama'ah untuk menyimpangkan orang-orang awam dari dari kaum muslimin dari fitrah mereka.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatwa 3/346 "Banyak orang-orang menyebutkan tentang golongan-golongan ini dengan hukum prasangka dan hawa nafsu lalu menjadikan kelompoknya dan orang yang menisbatkan dirinya dan memberikan loyalitas kepada tokoh pemimpin yang diikutinya adalah ahlus-Sunnah Wal Jama'ah dan menjadikan orang-orang yang mnyelisihinya sebagai Ahlul Bid'ah, hal ini merupakan kesesatan yang nyata, karena ahlul Haq was-Sunnah Wal Jama'ah tidak punya panutan kecuali Rosulullah Shalallahu 'Alaihi wasalam ".

Sebagian mereka memasukan kelompok Asyariyah sebagai bagian dari Ahlus-Sunnah Wal Jama'ah sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Qahir bin Thoohir Al Baghdadiy wafat tahun 429 H dalam Al Farqu Bainal Firaq hal.313, dalam perkataannya :"Ketahuilah semoga Allah subhanuhu Wa Ta'ala memberikan kebahagian kepada kalian -Sesungguhnya ahlus-Sunnah Wal Jama'ah ada delapan kelompok :

Sekelompok mereka memiliki ilmu tentang bab-bab pembahasan tauhid dan nubuwah, hukum-hukum Alwa' wal Wa'id, pahala dan dosa, syarat-syarat ijtihad, keimamahan dan kepemimpinan dan mereka ini berjalan pada bidang dari ilmu ini jalannya saufatiyah (orang yang menetapkan sifat) dari kalangan ahlil kalam yang berlepas diri dari Tasybih dan Ta'thil dan dari kebida'han Rafidhoh, Khawarij, Jahmiyah dan An-Najariyah dan seluruh ahli hawa yang sesat.

Sebagian mutaakhirin menyangka bahwa umat Islam telah menyerahkan kepemimpinannya dalam masalah aqidah kepada Asy'ariyah dan Maturidiyah, berkata Sa'id hawa dalam kitab Jaulatun Fil Fiqhaini hal. 22, 66, 81 dan 90 : " Dan umat ini telah menyerahkan permasalahan i'tiqad kepada dua orang yaitu Abul Hasan Al-Asy'ariy dan Abu Manshur Al Maturidiy" dan berkata Azzabidiy dalam kitab Ithaafis Saadatil Muttaqiin (2/6):" Jika disebutkan Ahlus-Sunnah Wal Jama'ah yang dimaksud adalah Asy'ariy dan Maturidiyah..."

Akhirnya istilah Ahlus-Sunnah Wal Jama'ah telah menjadi longgar yang masuk padanya orang-orang yang memiliki penyimpangan dalam aqidah khususnya masalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, oleh karena itu sepatutnya menggunakan kata Salafiyah untuk menunjukan Al-Firqatun-Najiyah, Ath-Thoifah Al Manshurah, Al-Ghuraba dan Ahlil Hadits.

Sebagian Dai yang tetap terus menggunakan kata Ahlus-Sunnah Wal Jama'ah berkata : Apa pendapatmu jika ada beberapa kaum lalu mengaku Salafiyah sedang mereka dari kelompok-kelompok yang menyimpang, apakah kamu akan meninggalakan kata Salafiyah dan menggantinya dengan yang lain ?

Jawabannya dari beberapa sisi:

[a] Anggapan ini menghasilkan mata rantai yang tidak ada ujungnya. maka hal itu bathil.

[b] Ini merupakan anggapan (hipotesa) pada permasalahan yang belum terjadi lagi sedangkan para Salaf membenci pertanyaan tentang perkara-perkara yang dianggaop ada dan masalah-masalah khayalan pemikiran.

[c] Klaim (pengakuan) kelompok-kelompok ini yang belum kita lihat dan belum kita dengar terhadap manhaj Salaf merupakan benturan terhadap pemikiran-pemikiran mereka karena manhaj Salaf mengharuskan pengikutnya untuk mengikuti jalannya para sahabat, hal ini tampak jelas dengan keterangan berikut :

[d] Semua kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada Ahlus-sunnah wal Jama'ah tidak ada yang berani mengatakan : Saya Salafiy.
Kelompok-kelompok yang terkenal dengan kebidahannya tidak ada yang mengaku bermadzhab Salaf dan mengikuti ajarannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu Faatwa 4/155 : " Yang dimaksud disini bahwa kelompok-kelompok yang terkenal diantara Ahlus-Sunnah Wal Jama'ah yang memiliki kebidahan sesungguhnya tidaklah mengikuti ajaran Salaf, apalagi kelompok ahlul bid'ah yang termasyhur yaitu Rafidah, sampai-sampai orang awam tidak mengenal syiar kebidahan kecuali Rafidhah, sedangkan sunniy dalam istilah mereka adalah orang yang tidak syiah dan demikianlah karena mereka paling menyelisihi hadits-hadits nabi dan makna Al-Qur'an dan yang paling mencela Salaf umat ini dan para imamnya serta melecehkan mayoritas umat dari macam-macam kelompok, sehingga ketika mereka semakin jauh dari mengikuti salaf maka yang paling masyhur dalam kebid'ahan. Sehingga diketahui bahwa syiar ahlul bid'ah adalah tidak mengikuti ajaran mengikuti salaf, oleh karena itu berkata Imam Ahmad dalam Risalah Abdus bin Malik : Ushul As-Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang difahami para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kemudian berkata lagi (4/156) : "Adapun (anggapan) ajaran salaf termasuk menjadi syi'ar Ahlul Bid'ah maka itu satu kebatilan karena hal itu tidak mungkin kecuali ketika kebodohan meraja lela dan ilmu sedikit".

Oleh karena itu kita berbahagia dari balik keterus terangan ini sebagai langkah awal kepada dakwah Salafiyah yang tegak diatas Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih untuk memasukkan kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada imam yang empat dalam fiqih (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i dan Ahmad (pent)) kedalam ruang lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama'ah...Sedangkan yang tersembunyi biarlah sembunyi.

Kalau ada yang mengatakan : "Ini tidak terbesit dalam pikiran kami, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui keadaan kita".

Saya jawab : Alanglah pasnya ucapan penyair.
Jika kamu tidak tahu maka itu satu musibah

Atau kamu tahu maka musibahnya lebih besar.
Seandainya bukan karena kitab ini kitab dasar sungguh saya akan panjang lebarkan dalam perinciannya.


[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]

HANYA SALAFY BUKAN YANG LAIN (1)


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly


Sangat banyak dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta perkataan para sahabat yang menjelaskan akan pujian terhadap orang yang mengikuti jalan As-Salaf dan celaan terhadap orang yang tidak melakukan hal demikian. Dan ini merupakan perkara-perkara yang menguatkan kewajiban mengikuti manhaj Salaf serta menegaskan bahwa dia merupakan jalan keselamatan dan kebahagian hidup. Di sini kami melemparkan beberapa belas anak panah kepada orang yang ragu lagi bimbang untuk membentangkan jalan kaum mukminin dari pohon keyakinan sehingga memetik manisnya iman dari atas pohon yang subur dan berteduh dibawah kerindangannya dalam buaian dan wanginya.

Pertama
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]

Sisi pendalilannya adalah, Rabb sekalian manusia telah memuji orang yang mengikuti sebaik-baik manusia maka jelaslah bahwa mereka (Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar ) jika mengatakan satu perkataan lalu diikuti oleh orang yang mengikutinya maka haruslah hal itu merupakan hal yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhoan, dan seandainya mengikuti mereka tidak memiliki keistimewaan dari selain mereka maka dia tidak berhak mendapatkan pujian dan keridhoan.

Kedua
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah" [Ali Imran :110]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan mereka dalam setiap keadaan ; karena mereka tidak menyimpang dari syari'at yang terang benderang, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kemakrufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran, hal itu menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka adalah hujjah atas orang yang setelah mereka sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala mewarisi bumi dan seisinya.

Jika ditanya : Ini umum pada umat Islam seluruhnya tidak khusus untuk generasi sahabat saja.

Saya jawab : Bahwa merekalah orang yang pertama yang menjadi obyek penderita, dan tidak masuk dalam konteks ini orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan kias (analogi) atau dengan dalil sebagaimana dalil pertama. Dan seandainya konteksnya umum -inipun benar- maka para sahabat adalah yang pertama masuk dalam keumuman konteks ayat, karena mereka orang pertama yang menerima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa perantara (langsung) sedang mereka adalah orang-orang yang langsung berkenaan dengan wahyu, sehingga mereka lebih pantas dimasukkan dalam konteks ayat daripada selainnya karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan sebagai sifat mereka tidak memiliki sifat -sifat tersebut dengan sempurna kecuali mereka. Dan kesesuaian sifat terhadap kondisi yang nyata merupakan bukti bahwa mereka lebih pantas dari selainnya untuk dipuji. Hal itu dijelaskan oleh :

Ketiga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Sabik-baiknya manusia adalah generasiku [1] kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian datang satu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya" [Mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/12 dan Al-Muanawiy dalam Faidhul Qadir 3/478 serta disetujui oleh Al-Kataaniy dalam kitab Nadzmul Mutanatsir hal.127]

Apakah keutamaan yang ditetapkan kepada generasi sahabat ini ada pada warna kulit atau bentuk tubuh atau harta mereka ... dst ?

Tidak akan ragu bagi orang berakal yang telah memahami Al-Kitab dan As-Sunnah bahwa bukan itu semua yang dimaksud ; karena tolak ukur keutamaan dalam Islam adalah ketakwaan hati dan amal shalih, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu" [Al-Hujuraat : 13]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak melihat kepada bentuk kalian dan harta kalian akan tetapi melihat kepada hati-hati kalian dan amalan kalian" [Hadits Shahih Riwayat Muslim 16/121 -Nawawiy]

Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkannya sebagai sebaik-baik hati diantara para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian Allah memberikan kepahaman yang tidak didapatkan oleh orang-orang yang menyusul mereka, oleh karena itu apa yang para sahabat pandang sebagai kebaikan maka dia adalah kebaikan di sisi Allah Subahanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang sebagai kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Abdullah bin Mas'ud berkata : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para hambaNya dan mendapatkan hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebaik-baik hati para hamba lalu memilihnya untuk dirinya dan diutus sebagai pembawa risalahNya, kemudian melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkan hati-hati para sahabat beliau sebaik-baik para hamba lalu menjadikan mereka sebagai pembantu NabiNya, mereka berperang di atas agamaNya, maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dia baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subahanhu wa Ta'ala. [2]

Dari Abu Juhaifah, beliau berkata.

"Artinya : Saya telah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : 'Apakah kalian memiliki kitab ? Beliau menjawab : 'Tidak kecuali Kitabullah atau pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim atau apa yang ada di lembaran ini [3]. Saya bertanya lagi : Apa yang ada di lembaran tersebut ? Beliau menjawab ; Diyat, pembebasan tawanan dan (pernyataan) bahwa seorang muslim tidak di bunuh dengan sebab orang kafir" [Hadits Shahih Riwayat Bukhari 1/204 - Al-Fath]

Dengan demikian maka pemahaman para sahabat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan hujjah atas orang yang setelahnya sampai akhir umat ini, oleh karena itu mereka menjadi saksi Allah Subhanahu wa Ta'ala dipermukaan bumi ini, hal ini dijelaskan berikut.

Keempat
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" [Al-Baqarah : 143]

Di sini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka umat pilihan dan umat yang adil karena mereka adalah umat yang paling utama dan paling adil dalam perkataan, perbuatan dan kehendaknya, sehingga mereka berhak menjadi para saksi atas manusia dan dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji mereka, mengangkat nama mereka dan menerima mereka dengan baik. Dan saksi yang diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang bersaksi dengan ilmu dan kebenaran sehingga mengkhabarkan kebenaran yang berdasarkan ilmunya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)" [Az-Zukhruf : 86]

Apabila persaksian mereka diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam agama merupakan hujjah atas orang yang setelah mereka, karena ayat ini telah menjelaskan penunjukkan tersebut secara mutlak dan umat Islam tidak memutlakkan sifat adil pada satu generasi kecuali kepada generasi sahabat, karena Ahlus Sunnah wal Jama'ah memberikan sifat adil pada mereka secara mutlak dan menyeluruh sehingga mereka mengambil dari sahabat secara riwayat dan ilmu seluruhnya tanpa kecuali. Berbeda dengan selain sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memberikan sifat adil ini kepada mereka kecuali yang telah diakui keimanan dan keadilannya. Kedua hal ini tidak diberikan kepada seseorang kecuali jika dia berjalan di atas jejak para sahabat.

Maka jelaslah dengan demikian bahwa pemahaman para sahabat merupakan hujjah atas selainnya dalam pengarahan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah oleh karena itu diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka, hal ini dijelaskan dalam.

Kelima
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku" [Luqman : 15]

Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada mereka hidayah (petunjuk) untuk mendapatkan perkataan yang baik dan amalan shalih dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira ; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal" [Az-Zumar : 17-18]

Maka wajib mengikuti jalan mereka dalam memahami agama Allah baik Al-Qur'an ataupun As-Sunnah, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'a mengancam orang yang tidak mengikuti jalan mereka dengan neraka jahannam seburuk-buruknya tempat kembali, hal ini dijelaskan.

Keenam
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali" [An-Nisaa : 115]

Sisi pendalilannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin sehingga menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syari'at adalah wajib dan menyelisihinya adalah kesesatan.

Jadi dikatakan : Ini adalah Istidlal (pendalilan) dengan dalil khithaab dan hal itu bukanlah hujjah, maka kami katakan ; Dia itu dalil, dan dibawah ini akan dijelaskan dalilnya.

[a]. Dari Ya'la bin Umaiyah beliau berkata : Saya telah bertanya kepada Umar.

"Artinya : Maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir" [An-Nisaa : 101]

Padahal manusia telah aman ? Umar berkata : "Saya telah heran seperti yang kamu herankan, lalu saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal tersebut dan beliau menjawab :

"Artinya : Shadaqah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada kalian maka terimalah shadaqahNya" [Hadits Riwayat Muslim 5/196 - An-Nawawiy]

Kedua sahabat ini yaitu Ya'la bin Umaiyah dan Umar bin Al-Khathab memahami dari ayat ini bahwa qashar shalat terkait dengan syarat takut, sehingga jika manusia telah aman wajib menyempurnakan shalat dan ia adalah dalil khithaab yang dinamakan juga dengan Mafhum Mukhalafah.

Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu 'alihi wa sallam menyetujui pemahamannya akan tetapi beliau jelaskan kepada Umar bahwa hal itu tidak dipakai disini ; karena Allah Subahanahu wa Ta'ala telah bershadaqah kepada kalian maka terimalah shadaqahnya tersebut.

Seandainya pemahaman Umar tidak benar tentunya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak awal tidak mendiamkannya kemudian mengarahkan pengarahan ini dan ada pepatah yang mengatakan : Taujih (pengarahan) bagian dari penerimaan.

[b]. Dari Jabir dari Ummu Mubasyir bahwa dia telah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di hadapan Hafshah.

"Artinya : Tidaklah masuk neraka seorangpun -insya Allah- dari Ashhab Syajaroh yang berbaiat dibawahnya"
Dia berkata : benar wahai Rasulullah, lalu beliau menghardiknya lalu berkata Hafshah :

"Artinya : Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu" [Maryam : 71]

Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : Allah telah berfirman.

"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam naar dalam keadaan berlutut" [Maryam : 72]

Di sini Ummul Mukminin Hafshah memahami dari ayat ini bahwa semua manusia akan masuk neraka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan hal itu dengan lanjutan ayat tersebut yaitu :

"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa" [Maryam : 72]

Pada awalnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakui kebenaran pemahaman Hafshah, kemudian menjelasakan bahwa konteks kata " tidak masuknya neraka" (dalam hadits itu) berbeda dengan konteks kata "wurud" (datangnya orang ke neraka yan ada dalam ayat tersebut) dan menjelaskan bahwa yang pertama itu khusus untuk orang-orang shalih yang bertaqwa yakni mereka tidak merasakan adzab neraka dan masuk ke syurga dengan melewatinya tanpa disentuh sedikitpun siksaan dan adzab, sedangkan selain mereka tidak demikian.

Maka jelaslah Alhmadulillah bahwa dalil khithaab adalah hujjah yang diakui dan dapat disandarkan dalam pemahaman.

Cukuplah bagimu bahwa firman Allah :

"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-Nisaa : 115]

Bukanlah dalil khithab akan tetapi hal itu merupakan argumentasi dengan Taqsiimin Aqliy (pembagian secara logika), karena tidak ada pilihan yang ketiga antara mengikuti jalan orang-orang mukmin dan mengikuti selain jalan mereka.

Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang ikut selain jalan mereka maka wajiblah mengikuti jalan mereka, ini sudah sangat jelas sekali.

Jika ada yang membantah : Ada di antara dua pilihan tersebut pilihan yang ketiga yaitu tidak ikut kedua-keduanya.

Maka saya jawab : Ini merupakan pendapat yang sangat lemah sekali ; karena tidak mengikuti keduanya sama sekali berarti mengikuti jalan selain mereka (orang-orang mukmin) secara pasti karena firman Allah :

"Artinya : Maka tidak ada sesudah kabenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)" [Yunus : 32]

Jelaslah di sini bahwa hanya ada dua pilihan dan tidak ada pilihan yang ketiga. Jika dikatakan : Kami tidak setuju bahwa mengikuti selain jalan orang-orang mukmin berhak mendapat ancaman tersebut (dalam ayat) kecuali dibarengi dengan penentangan terhadap Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam sehinnga hal itu tidak menunjukkan pengharaman mengikuti selain jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi harus ada penentangan Rasulnya.

Jawabannya ; Telah diketahui bahwa menentang Rasul diharamkan secara tersendiri dan terpisah karena adanya peringatan atas hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya" [Al-Anfaal : 13]

Maka ayat ini menunjukkan ancaman tersebut ada untuk setiap dari keduanya secara tersendiri dan pensifatan ini (mengikuti selain jalan kaum mukminin) termasuk yang mendapat ancaman secara tersendiri dan hal itu ditinjau dari hal-hal berikut ;

[a]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak diharamkan secara tersendiri maka tidak diharamkan bersama penentangan seperti penyelamat yang lainnya.
[b]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak termasuk dalam ancaman tersebut secara tersendiri maka (pensifatan tersebut) hanyalah sia-sia dan tidak ada faedahnya untuk disebutkan, maka jelaslah bahwa penghubungannya (dalam konteks ayat tersebut) adalah dalil tersendiri seperti yang awal.

Jika ada yang mengatakan : Kami tidak sependapat jika ancaman tersebut berlaku untuk semua orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi hal itu berlaku setelah jelas baginya petunjuk, karena Allah menyebut penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mensyaratkan padanya kejelasan petunjuk kemudian dihubungkan dengan mengikuti selain jalan kaum mukminin, hal itu menunnjukkan bahwa kejelasan petunjuk merupakan syarat dalam ancaman terhadap orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin.

Jawabanya : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-Nisaa : 115]

Ma'thuf (disandarkan/dihubungkan) dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya" [An-Nisaa : 115]

Maka hal itu menunjukkan bahwa kait (syarat) pada awal ayat bukanlah syarat bagi yang kedua akan tetapi kata hubung tersebut hanya untuk menunjukkan kesatuan dan kesamaan dalam hukum yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisaa : 115]

Hal ini menunjukkan bahwa setiap sifat dari kedua sifat tersebut mendapatkan ancaman tersendiri.

Hal ini di bawah ini dapat menunjukkannya.

Kejelasan petunjuk (kebenaran) merupakan syarat dalam (hukum) penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang tidak mengetahui petunjuk (kebenaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dikatakan menentang sedangkan mengikuti jalan kaum mukminin merupakan petunjuk (kebenaran) itu sendiri.

Konteks ayat ini adalah untuk mengagungkan dan memuliakan kaum mukminin, maka seandainya mengikuti jalan mereka disyaratkan dengan datangnya kejelasan petunjuk (kebenaran) maka tidaklah mengikuti jalan mereka ini lantaran sebagai jalan mereka akan tetapi karena telah datang kejelasan petunjuk (kebenaran) dan jika demikian tidak ada faedah mengikuti jalan mereka.

Dengan demikian jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mukminin merupakan jalan keselamatan dan pemahaman para sahabat dalam agama adalah hujjah atas selain mereka, sehingga orang yang menentangnya maka telah menghendaki kesesatan dan berjalan di tempat yang berbahaya, maka cukuplah Jahanam (neraka) sebagai sejelek-jeleknya tempat tinggal dan kembalinya. Inilah kebenaran maka berpegang teguhlah kepadanya dan tinggalkanlah jalan-jalan yang menyimpang, dan hal itu juga dijelaskan oleh.

Ketujuh
Firman Allah Subhnahu waa Ta'ala

"Artinya: Barangsiapa berpegang teguh kepada Dienullah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus".[Ali Imran : 101]

Para sahabat merupakan orang-orang yang berpegang pada tali Allah, karena Allah adalah wali orang-orang yang berpegang teguh kepadaNya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya: Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu,maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong".[Al-Hajj :78]

Dan telah diketahui kesempurnaan perlindungan dan pertolongan Allah kepada mereka yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah orang-orang yang memberi petunjuk dengan persaksian Allah dan menyampaikan kebenaran merupakan satu kewajiban menurut syariat, akal dan fitrah, oleh karena itu menjadikan mereka sebagai imam-imam bagi kaum mutaqin (orang-orang yang bertaqwa ) karena kesabaran dan keyakinan mereka dan itu dijelaskan oleh: (BERSAMBUNG....)

HANYA SALAFY BUKAN YANG LAIN..!!!

Kedelapan
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Danjadikanlah kami imam bagi orang yang bertaqwa". [Al-Furqan : 74]

Setiap orang yang bertaqwa akan diikuti oleh mereka sedangkan ketaqwaan adalah wajib sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam banyak ayat yang sulit untuk memaparkannya pada kesempatan ini, sehingga jelaslah kewajiban mengikuti mereka dan penyimpangan dari jalan meraka merupakan pintu fitnah dan musibah.

Kesembilan
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami".[As-Sajadah : 24]

Sifat ini diberikan untuk para sahabat Musa dimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengkhabarkan Bahwa Dia telah menjadikan mereka sebagai imam-imam yang diikuti oleh orang yang setelah mereka dengan kesabaran dan keyakinannya, karena keimaman (kepemimpinan) di dunia dapat dicapai dengan kesabaran dan keyakinan.

Sudah pasti para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih berhak dan pantas mendapat sifat ini dari para sahabat Musa tersebut karena mereka lebih sempurna keyakinan dan lebih besar kesabarannya dari umat yang lain sehingga mereka lebih pantas memegang jabatan keimamam ini. Hal ini telah ditetapkan juga oleh persaksian Allah dan pujian Rasulullah terhadap mereka. Kalau begitu mereka adalah orang yang paling pintar dari umat ini sehingga kita diwajibkan untuk merujuk kepada fatwa dan pendapat mereka serta terikat dengan pemahaman mereka terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah secara amalan, akal dan syariat, wabillahi taufiq.

Kesepuluh
Dari Abi Musa Al-Asy'ariy beliau berkata :

"Artinya : Kami sholat maghrib bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kami berkata : Semalam kita duduk-duduk sampai shalat Isya bersama beliau lalu kami duduk sampai Rasulullah menemui kami dan berkata ; Kalian masih di sini ? kami menjawab : wahai Rasulullah kami telah shalat bersamamu kemudian kami berkata : kami akan tetap duduk sampai shalat Isya bersamamu, beliau menjawab ; bagus atau benar. Abu Musa berkata : kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit dan hal itu sering beliau lakukan lalu bersabda : bintang-bintang adalah penjaga langit, jika hilang bintang-bintang tersebut maka datanglah bencana padanya dan saya adalah penjaga para sahabatku maka jika saya pergi datang kepada mereka apa yang dijanjikan dan sahabatku adalah penjaga umatku jika telah pergi sahabatku datanglah kepada umat ku apa yang dijanjikan" [Hadits Riwayat Muslim 16/82 -An-Nawawiy]

Rasulullah menjadikan kedudukan para sahabatnya dibandingkan dengan generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan beliau kepada para sahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang terhadap langit.

Jelaslah Tasybih Nabawiy (perumpamaan Nabi) ini menjelaskan kewajiban mengikuti pemahaman para sahabat dalam agama Islam sama dengan kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka karena Nabi adalah penjelas Al-Qur'an sedangkan para sahabatnya adalah penyampai dan penjelas beliau bagi umat. Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang yang maksum yang tidak berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah, sedangkan para sahabatnya adil yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.

Dan demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan bintang-bintang sebagai alat pelempar syaitan ketika mencuri khabar sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka, syaithan-syaithan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan) ; maka ia dikejar-kejar oleh suluh api yang cemerlang" [Ash-Shaaffat : 9-10]

Dan firmanNya.

"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaithan" [Al-Mulk : 5]

Demikian juga para sahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan ta'wil orang-orang bodoh, ajaran batil dan penyimpangan orang yang menyimpang yang mengambil sebagian Al-Qur'an dan membuang sebagiannya, mengikuti hawa nafsu mereka lalu bercerai-berai ke kanan dan ke kiri lalu mereka menjadi berkelompok-kelompok. Demikian juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk bumi agar mereka gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan Dia (ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk." [An-Nahl : 16]

Dan firmanNya.

"Artinya : Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut" [Al-An'am :97]

Demikian juga para sahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan diri dari kegelapan syahwat dan syubhat, maka orang yang berpaling dari pemahaman mereka berada dalam kesesatan yang membawanya kepada kegelapan yang sangat kelam, seandainya dia mengeluarkan tangannya maka tidak terlihat lagi.

Dengan pemahaman para sahabat, kita membentengi Al-Kitab dan As-Sunnah dari kebid'ahan syaithan jin dan manusia yang menginginkan fitnah dan ta'wilnya untuk merusak apa yang dimaksud Allah dan RasulNya. Sehingga pemahaman para sahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan sebab-sebabnya. Seandainya pemahaman mereka bukan hujjah tentunya pemahaman orang setelah mereka menjadi penjaga dan pelindung mereka dan ini mustahil.

Kesebelas
Hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban untuk mencintai para sahabat dan mencela orang yang membenci mereka -dan merupakan kesempurnaan dalam mencintai mereka adalah dengan mencontoh jejak langkah dan berjalan di atas petunjuk mereka dalam memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah- sangat banyak, diantara hadits-hadits tersebut adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Janganlah mencela sahabatku karena seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud tidak akan menyamai satu mud atau setengah mudnya shadaqah mereka" [4]

Keutamaan ini bukan saja dari sisi mereka telah melihat, berdampingan dan bersahabat dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi hal itu karena ittiba' dan pengamalan mereka terhadap sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang demikian besar. Pantaslah jika pemahaman mereka dijadikan jalan petunjuk dan pendapat-pendapat mereka dijadikan kiblat tempat seorang muslim menghadapkan wajahnya dan tidak berpaling kepada selainnya. Dan hal itu jelas -jika dilihat- sebab turunnya hadits ini dimana orang yang dilarang tersebut adalah Khalid bin Al-Walid dan beliau seorang sahabat, maka apabila satu mud sebagian sahabat atau setengahnya lebih baik di sisi Allah dari emas sebesar gunung uhud lantaran keutamaan dan terdahulunya mereka dalam Islam, maka tidak diragukan lagi adanya perbedaan yang besar antara sahabat dengan orang yang setelah mereka. Kalau keadaannya seperti ini bagaimana mungkin pemahaman orang yang memiliki akal yang cemerlang dalam agama Allah ini tidak menjadi jalan petunjuk yang membawa kepada jalan yang lebih lurus ?

Keduabelas
Diantaranya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin dan gigitlah dengan gigi gerahammu" [Telah lewat Takhrijnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dengan paham para sahabatnya sebagaimana telah lalu penjelasannya.

Diantara faedah berharga dari hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menyebut sunnahnya dan sunnah para Khulafaur Rasyidin berkata :

Dalam rangka untuk menunjukkan bahwa sunnah beliau dan sunnah para Khalifah Rasyidin adalah satu manhaj dan hal itu hanya terjadi dengan pemahaman yang shahih dan jelas yaitu berpegang teguh kepada sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabatnya.

Ketigabelas
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mensifatkan manhaj Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang dimenangkan) :

"Artinya : Apa yang aku ada atasnya sekarang dan para sahabatku" [Telah lalu Takhrijnya]

Ada yang mengatakan : Tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya setelah beliau adalah manhaj yang tidak ada kebatilannya akan tetapi apa dalilnya kalau manhaj salafi adalah pemahaman Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya ?

Jawaban atas pertanyaan ini ada dari dua sisi :
Sesungguhnya pemahaman-pemahaman yang disebutkan tadi adanya setelah zaman Nabi dan kekhilafahan Rasyidah dan tentunya tidaklah dinisbatkan yang terdahulu kepada yang setelahnya akan tetapi sebaliknya, sehingga jelaslah kelompok yang tidak berjalan dan mengikuti jalan-jalan kesesatan adalah kelompok yang berada pada asalnya.

Kami tidak menemukan pada kelompok-kelompok sempalan umat Islam yang sesuai dengan para sahabat kecuali Ahlul Sunnah wal Jama'ah dari kalangan pengikut As-Salaf Ash-Shalih Ahlul Hadits.

Adapun Mu'tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para sahabat sedangkan tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan merendahkan keadilan mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-Washil bin Atho' yang menyatakan : Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair bersaksi maka saya tidak menghukum karena persaksian mereka.[Lihat Al-Farqu Bainal Firaq hal.119-120]

Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal dari jama'ah kaum muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka adalah mengkafirkan Ali dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan Mu'awiyah dan tidaklah berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang melecehkan dan mengkafirkan mereka.

Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan merendahkan para penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan mereka sebagai para mayit. Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian mengambil ilmu kalian, dari mayit sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang maha hidup yang tidak mati (Allah) langsung. Oleh karena itu mereka mengatakan -dengan mulut-mulut mereka untuk menolak sanad hadits- : Telah mengkhabarkan kepada saya hati saya dari Rabb.

Adapun Syi'ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat telah murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka- meriwayatkan satu riwayat dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja'far, bahwa dia telah menyatakan : Semua orang murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali tiga, saya berkata : Siapakah ketiga orang tersebut ? Beliau jawab : Al-Miqdaad bin Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisiy.

Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja'far, dia berkata : Kaum Muhajirin dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga. [Lihat Al-Kaafiy karya Al-Kulaniy, hal.115]

Lihat juga Khumaini -tokoh besar mereka di zaman ini- mencela dan melaknat Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131, dia menyatakan : Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) ... dan dari sini kita dapati diri kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan mereka berdua yang sangat jelas terhadap Al-Qur'an dalam rangka membuktikan bahwa kedua telah menyelisihinya.

Dan berkata lagi hal 137 : ... dan Nabi menutup matanya (wafat) sedangkan kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang tegak diatas kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan dan penyelisihan terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur'an yang mulia.

Adapun Murji'ah, mereka berkeyakinan bahwa iman orang-orang munafiq yang berada dalam kenifakan sama seperti imannya Assabiqunal Awalun (orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar.

Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para sahabat sedangkan mereka :

Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka
Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari'at.
Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani

Kesimpulannya
Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih pantas dicela dan mereka ini adalah kaum zindiq.

Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah manhaj Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman, penerimaan dan Istidlal (pengambilan hukum).

Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah orang-orang yang beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan otentik dalah hukum syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini merupakan jalan hidupnya Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid'ah dan hawa. Sehingga benar dan kuatlah apa yang telah kami paparkan ketika kami jelaskan wujud keberhasilan mereka dalam berhukum kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keberhasilan orang yang mengambil sunnah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnahnya para Khulafaur Rasyidin setelah beliau.

[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_______
Footnote.
[1]. Tertulis dalam banyak buku hadits ini degan lafadz : "Sebaik-baiknya generasi". Saya mengatakan bahwa lafadz-lafadz ini lemah dan yang benar apa yang telah saya tulis ini.
[2]. Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Ath-Thoyalisiiy dalam musnadnya hal.23 dan Al-Khotib Al-Baghdadiy dalam Al-faqih wal Mutafaqqih I/166 secara mauquf dengan sanad yang hasan. Kata-kata terakhir dari atsar ini telah masyhur sebagai hadits marfu' dan itu tidak benar sebagaimana telah dijelaskan para imam dan itu hanyalah dari perkataan Ibnu Mas'ud, sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Al-Bid'ah wa Atsaruha fil Umat, hal.21-22 silahkan dilihat.
[3]. Ini adalah nash yang cukup tegas dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib menghancurkan kebatilan syiah rafidhah yang menisbatkan diri mereka kepada keluarga Nabi (ahlil bait) secara dzolim dan menipu ketika mengaku-ngaku bahwa ahlil bait memiliki kitab yang berukuran tiga lipat dari Al-Qur'an yang berada di tangan kita yang mereka namakan Mushaf Fatimah. Lihat Bughyatul Murtaab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal.321-322
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhariy 7/21 - Al-Fath dan Muslim 16/92-93 - An-Nawawiy dari hadits Abi Said Al-Khudriy. Dan disebutkan dalam Shahih Muslim (16/92 - An-Nawawiy) dari hadits Abi Hurairah dan ini satu kesalahan sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Hafidz Al-Baihaaqiy dalam Al-Madkhol Ila Sunnah hal. 113 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bariy 7/135, untuk lebih jelasnya lihat kitab : Juz Muhammad bin Ashim An-Syuyukhihi yang saya tahqiq (13)

MANHAJ GADO-GADO, MANHAJ SAYONARA


AKIDAH SALAFI, AKHLAK TABLIGHI, UKHUWAH IKHWANI, IBADAH SUFI, POTRET IDEALKAH?

Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, M.A


Di suatu pagi, beberapa bulan lalu, penulis terlibat perbincangan dengan sesama da'i seputar perkembangan dakwah salafiyyah di tanah air yang cukup menggembirakan meski masih ada beberapa kekurangan di berbagai lini. Di tengah-tengah perbincangan ringan tersebut, terlontar suatu pertanyaan yang bersumber dari sebuah keprihatinan rekan penulis, "Ustadz, bagaimana cara membuat Salafi memiliki semangat juang dakwah tinggi seperti Ikhwah Tablighiyyun (Jama'ah Tabligh)?" Saat itu penulis hanya diam dan tidak serta-merta menjawab pertanyaan tersebut. Lalu kami tenggelam dalam pembicaraan masalah lainnya. Hingga selesailah majelis tersebut, tanpa membahas jawaban dari pertanyaan tadi.

Permasalahan tersebut ternyata terus menggelayuti pikiran, dan 'menantang' untuk menemukan jawaban yang tepat dan berbobot. Apalagi memang sebelumnya penulis beberapa kali pernah dihadapkan kepada pertanyaan serupa. Sampai akhirnya tertuanglah tulisan ini, yang sebenarnya merupakan jawaban dari pertanyaan di atas.

ANTARA AJARAN SALAF DAN SALAFIYYUN
Statemen 'Berakidah Salafi, Berakhlak Tablighi, Jalinan Ukhuwah Model Ikhwani, Ketekun Ibadah Ala Sufi' sering dilontarkan sebagian kalangan sebagai sebuah impian untuk mewujudkan karakteristik Muslim ideal, menurut mereka tentunya. Tampaknya, salah satu pemicu munculnya ide ini adalah fenomena praktek banyak pengikut beragam kelompok Islam yang cenderung mengkonsentrasikan diri dalam pengamalan sebagian sisi ajaran agama, dan kurang mengindahkan sisi lainnya. Sehingga timbullah ide penggabungan 'kelebihan' masing-masing kelompok, guna menciptakan potret sosok 'Muslim ideal'.

Yang jadi pertanyaan, perlukah melakukan kombinasi seperti di atas? Tidak cukupkah manhaj Salaf membentuk seorang Muslim sejati ? Bukankah manhaj Salaf (ajaran Ahlus Sunnah) adalah ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana dijelaskan Imam al-Barbahâri rahimahullah (w. 329 H)?[1] Sehingga jika seorang telah bermanhaj Salaf secara totalitas; maka otomatis ia akan menjadi Muslim ideal!

Tentunya jawaban para pembaca akan amat beragam; tergantung ideologi yang dianut masing-masing. Mungkin akan ada yang menjawab, "Ya, kita memerlukan inovasi tersebut! Untuk menciptakan sosok Muslim ideal, tidak cukup hanya dengan bermanhaj Salaf! Sebab mereka yang menisbatkan dirinya kepada manhaj Salaf tidak mencerminkan gambaran Muslim ideal!".

Argumentasi yang disampaikan tersebut mungkin bisa dibenarkan, karena yang dijadikan obyek sorotan adalah individu yang menisbatkan diri pada manhaj Salaf, yang belum tentu mencerminkan hakikat manhaj tersebut. Namun jika yang dijadikan obyek sorotan adalah ajaran manhaj Salaf; tentu argumen tersebut keliru. Sebab di antara sekian banyak ideologi yang ada di lapangan, manhaj Salaflah yang haq; karena satu-satunya yang mereprentasikan ajaran Islam yang benar. Saat ini bukan momennya untuk membuktikan hal tersebut, para pembaca budiman yang merasa penasaran bisa merujuk buku-buku yang ditulis khusus membahas permasalahan itu.[2]

Bila ada yang mengkritik dengan berkata, "Kalau memang manhaj Salaf adalah Islam itu sendiri, mengapa banyak di antara mereka yang menisbatkan diri kepada manhaj tersebut tidak bisa dijadikan contoh potret muslim ideal?".
Maka dapat dijawab dengan pernyataan, "Ya, sebab tidak setiap orang yang menisbatkan diri kepada manhaj Salaf, alias yang menamakan diri dengan Salafi, berarti otomatis telah menerapkan manhaj tersebut secara total. Sebagaimana tidak setiap orang yang menisbatkan diri kepada agama Islam, alias mengaku sebagai seorang Muslim; otomatis sudah mempraktekkan seluruh ajaran Islam. Jadi, yang bermasalah di sini adalah personalnya (orangnya), bukan ajarannya.

Adapun kelompok-kelompok lain, dari sisi ajarannya sudah bermasalah, maka tidak heran jika penganutnya pun juga banyak bermasalah. Sehingga untuk memperbaikinya, minimal harus ada dua fase yang ditempuh; 1. Meluruskan ajaran kelompok tersebut. 2. Membenarkan kekeliruan perilaku pengikut kelompok itu. Sedangkan kekeliruan yang ada pada 'oknum' Salafi, maka jalan pelurusannya hanya membutuhkan satu fase saja, yaitu memperbaiki perilaku 'oknum' tersebut, tanpa perlu meluruskan ajarannya, sebab ajarannya telah benar".

Sebagian kalangan mungkin tetap menyanggah, "Namun, bukankah tidak seluruh ajaran kelompok-kelompok non Salafi dianggap salah? Masing-masing juga memiliki kebenaran, meskipun itu hanya bersifat parsial. Apa salahnya kelebihan-kelebihan tersebut diambil? Bukankah dalam hadits telah disebutkan:

الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Kalimat hikmah adalah barang temuan seorang Mukmin. Di manapun ditemukan, dialah yang paling berhak untuk mengambilnya.[3]

Maka argumentasi itu dapat dijawab dengan, "Kita bukan sedang mengatakan bahwa seluruh ajaran kelompok-kelompok tersebut salah, dan mereka sama sekali tidak memiliki kebaikan. Namun, apakah kebaikan yang mereka miliki tidak ada dalam ajaran Ahlus Sunnah yang mereprentasikan ajaran Islam itu sendiri?

Menarik sekali untuk kita cermati apa yang dipaparkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) tatkala menjelaskan bahwa Ahlus sunnah memiliki kelebihan-kelebihan yang dimiliki kelompok lain, bahkan tingkatannya lebih sempurna. Dan bukan hanya itu, Ahlus sunnah juga memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki berbagai kelompok tersebut”.[4]

Dalam makalah singkat ini, insya Allâh akan dipaparkan penjelasan tentang kesempurnaan manhaj Salaf yang meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya hal yang berkaitan dengan akhlak, ukhuwah dan ibadah yang muatannya jauh lebih sempurna dibandingkan konsep yang dimiliki kelompok-kelompok lain.

MANHAJ SALAF DAN AKHLAK
Akhlak menempati kedudukan yang amat urgens di mata Ulama Salaf. Banyak hal yang menunjukkan hal tersebut. Di sini, hanya akan diulas melalui dua sudut tinjauan; teoritis dan praktek.

Dilihat dari tinjauan teoritis, sudah masyhur bahwa para Ulama Salaf telah membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi akhlak dan adab. Sebagian menyelipkannya dalam kitab yang mereka tulis dalam pembahasan hukum-hukum Islam, ada yang menulis buku khusus yang memuat hadits-hadits dan pembahasan tentang akhlak, bahkan ada pula yang memasukkan pembahasan akhlak dalam kitab akidah.

Sekedar contoh jenis pertama, Imam al-Bukhâri (w. 256 H) dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâri memuat lebih dari 250 hadits tentang akhlak. Imam Abu Dâwud (w. 275 H) menulis sekitar 500-an hadits akhlak dalam kitab Sunannya. Begitu pula Imam Ibnu Hibbân (w. 354 H) membawakan lebih dari 670 hadits dalam kitab Shahîhnya.

Contoh jenis kedua, kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhâri (w. 256 H), Makârimul Akhlâq karya Imam Ibnu Abid Dun-ya (w. 281 H), Akhlâqul -'Ulamâ' karya Imam al-Âjurri (w. 360 H), al-Âdâb asy-Syar'iyyah karya Imam Ibn Muflih (w. 803 H) dan masih banyak contoh lainnya.

Contoh jenis ketiga, pembahasan akhlak yang dimasukkan oleh Imam ash-Shâbûni (w. 449 H) dalam kitabnya 'Aqîdatus Salaf Ash-hâb al-Hadîts, Imam Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dalam kitabnya al-'Aqîdah al-Wâsithiyyah, juga yang lainnya. Ini menunjukkan betapa tinggi urgensi akhlak di mata ulama Salaf dan adanya keterkaitan erat antara akidah dengan akhlak. Untuk itu, mereka memasukkan pembahasan akhlak dalam kitab-kitab akidah.

Adapun ditinjau dari sisi praktek nyata dalam kehidupan ulama Salaf, maka ini merupakan lautan tak bertepi. Bagi yang ingin mengetahui sebagian dari potret indah tersebut, bisa menelaah kitab-kitab yang ditulis untuk memaparkan biografi para ulama, semisal Hilyatul Auliyâ' karya Imam Abu Nu'aim al-Ashbahâni (w. 430 H), Shifatus Shafwah karya al-'Allamah Ibnul Jauzi (w. 597 H), Siyar A'lâmin Nubalâ' karya Imam adz-Dzahabi (w. 748 H) dan lain-lain. Niscaya kita akan menjumpai keajaiban dan kemuliaan akhlak mereka di dalamnya!

Kelebihan manhaj Salaf dalam masalah akhlak amatlah banyak. Di antaranya, perhatian mereka terhadap akhlak mulia tidak mengakibatkan terkesampingkannya dakwah terhadap inti agama yakni akidah. Bahkan mereka tetap memprioritaskan dakwah tauhid, namun sambil dikemas dan disampaikan dengan akhlak mulia. Dalam hal ini dan yang lainnya, mereka meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Selama belasan tahun, beliau berkonsentrasi mendakwahkan akidah, sambil menghiasinya dengan akhlak mulia.

Dengan mencermati kelebihan manhaj Ahlus Sunnah dalam masalah akhlak ini, kita bisa membaca kelemahan manhaj akhlak yang diusung teman-teman Jama'ah Tabligh. Perhatian ekstra mereka terhadap pembentukan akhlak mulia, seringkali mengakibatkan terkesampingkannya pembenahan akidah dalam sorotan dakwah mereka. Bahkan terkadang mereka cenderung menghindarkan diri untuk membahas permasalahan akidah dengan alasan khawatir masyarakat menjauh. Tentunya ini merupakan kekeliruan yang tidak bisa dianggap remeh.

Padahal, jika penyampaian akidah dikemas dengan akhlak mulia; tentu akan lebih mudah diterima umat. Andaikan metode ini telah ditempuh lalu dakwah tidak diterima juga dan sang da'i dijauhi sebagian masyarakatnya; maka itu sudah merupakan salah satu resiko para penyeru kebenaran. Lihatlah bagaimana sosok yang paling sempurna akhlaknya; Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menghadapi tantangan berat dalam berdakwah.

MANHAJ SALAF DAN UKHUWAH
Ukhuwah Islamiyah merupakan salah satu poin pembahasan yang mendapatkan perhatian ekstra dalam Manhaj Salaf. Banyak sisi yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya pemaparan urgensi ukhuwah saat para ulama Salaf menafsirkan ayat-ayat al-Qur'ân yang berisikin motivasi untuk merajut dan menjaga tali ukhuwah sesama kaum Muslimin. Juga saat mereka mengupas dan menjabarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisikan permasalahan serupa. Para pembaca bisa temukan hal itu dalam beragam kitab tafsir semisal Tafsîr ath-Thabari, Tafsîr al-Baghawi, Tafsîr Ibn Katsîr dan yang lainnya. Juga berbagai kitab syurûh al-ahâdîts (kitab penjabar hadits) seperti Syarh as-Sunnah karya Imam al-Baghawi (w. 516 H), Syarh Shahîh Muslim karya Imam an-Nawawi (w. 676 H), Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-'Asqalani (w. 857 H) dan lain-lain.

Sisi lain yang mengungkapkan perhatian manhaj Salaf terhadap peretasan ukhuwah di antara kaum Muslimin, pemaparan para ulama Salaf dalam kitab akidah yang mereka tulis tentang faktor-faktor yang dapat mengeratkan ukhuwah, juga peringatan mereka dari berbagai sebab pemicu kerenggangan ukhuwah.

Contoh jenis pertama, motivasi untuk menyolati dan mendoakan kaum Muslimin yang meninggal dunia, walaupun mereka adalah pelaku dosa kecil maupun besar, selama itu bukan kekufuran. Sebagaimana disebutkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 219 H) dalam kitabnya, Ushûl as-Sunnah. Pengamalan adab di atas dan yang lainnya tentu akan berdampak besar bagi terajutnya ukhuwah di antara kaum Muslimin.

Contoh jenis kedua, peringatan dari praktek adu domba, dusta, menggunjing dan perbuatan zhalim lainnya yang bisa merenggangkan (bahkan memutus) ukhuwah antar kaum Muslimin, sebagaimana dipaparkan Imam al-Muzani rahimahullah (w. 264 H) dalam kitabnya Syarhus Sunnah.

Keunggulan manhaj Salaf dalam bab ukhuwah terlihat dari tidak dikesampingkannya sisi ajaran Islam lainnya, seperti praktek amar makruf nahi munkar, saat berupaya membentuk jalinan ukhuwah. Dan ini jelas merupakan keistimewaan dalam pola beragama, dimana penerapan sebagian ajaran syariat tidak mengakibatkan terbengkalainya sebagian ajaran syariat yang lain. Sehingga muncullah keseimbangan dan kesempurnaan dalam beragama.

Adapun konsep ukhuwah yang diusung Ikhwânul Muslimîn (IM), memiliki kelemahan dari sisi 'dikesampingkannya' aktifitas amar makruf nahi munkar guna mewujudkan ukhuwah tersebut. Kelemahan tersebut bersumber dari teori ukhuwah yang diciptakan pendiri IM, Hasan al-Banna rahimahullah , yang berbunyi: "Saling bekerjasama dalam hal yang disepakati, dan saling bertoleransi dalam perbedaan".

Teori ini terdiri dari dua bagian; bagian pertama benar, bagian kedua perlu dirinci lebih lanjut. Perbedaan dalam permasalahan ijtihâdiyyah bisa ditolerir. , Adapun perbedaan dalam permasalahan yang tidak ada ruang ijtihâd di dalamnya (semisal akidah, red), maka ini tidak bisa ditolerir. Demikian penjelasan yang disampaikan Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah.[5]

Adapun mempraktekkan bagian kedua dari teori ukhuwah di atas secara mutlak; maka beresiko lumpuhnya praktek amar ma'ruf nahi munkar yang merupakan salah satu pondasi tegaknya agama Islam ini. Di antara indikasi diterapkannya teori ini secara mutlak oleh banyak kalangan IM; kalimat yang diteriakkan salah satu tokoh besar IM saat berorasi di depan massa ketika terjadi 'peperangan' antara Hizbullâh dengan Israel; "Musuh Sunni bukan Syi'ah, dan musuh Syi'ah bukan Sunni!". (Hanya kepada Allâh Azza wa Jalla sajalah kita mengadu…)

Padahal sejatinya, tidaklah ada kontradiksi antara penerapan ukhuwah dengan penegakan amar ma'ruf nahi munkar; sebab keduanya merupakan bagian syariat Islam dan syariat Islam tidak mungkin saling bertentangan. Alangkah baiknya kita cermati susunan ayat 104 dan 105 dari surat an-Nisa. Ayat pertama berisikan perintah untuk amar ma'ruf nahi munkar, sedangkan ayat kedua berisikan larangan untuk berpecah belah. Diiringinya ayat perintah amar makruf nahi mungkar dengan ayat larangan berpecah belah mengisyaratkan bahwa penerapan amar makruf nahi mungkar tidaklah beresiko menimbulkan perpecahan dan kerenggangan ukhuwah Islamiyyah.[6]

Barangkali ada yang menganggap tidak mungkin penegakan amar ma'ruf nahi mungkar berhasil tanpa menimbulkan kerenggangan ukhuwah. Karena amar ma'ruf nahi munkar itu merupakan bentuk usaha meluruskan kekeliruan yang seringkali tidak diterima oleh pelakunya.

Jawabannya, sangat mungkin tidak menimbulkan gesekan, jika amar ma'ruf nahi munkar dilakukan dengan lemah lembut dan memperhatikan skala prioritas dalam pengingkaran [7] , juga jika sambil diiringi pemenuhan hak-hak sesama Muslimin, seperti menebarkan salam, menengok yang sakit, bertakziyah ketika ada musibah dan yang lainnya [8] .

MANHAJ SALAF DAN IBADAH
Ibadah mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi dalam manhaj Salaf. , Bagaimana tidak? Lantaran tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah untuk menegakkan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla.

Banyak hal yang menunjukkan hal di atas. Di antaranya: kitab-kitab hadits yang di dalamnya para ulama Salaf menyisipkan pembahasan khusus yang berisikan motivasi untuk rajin beribadah. Contohnya antara lain: kitâb ar-riqâq dalam Shahîh al-Bukhari, kitâb az-zuhd wa ar-raqâ'iq dalam Shahîh Muslim, abwâb az-zuhd dalam Sunan at-Tirmidzi dan masih banyak lainnya.

Bahkan tidak sedikit ulama Salaf yang menulis buku khusus yang berisikan motivasi untuk beribadah dan peringatan dari melalaiannya, semisal at-Targhîb wa at-Tarhîb karya Imam al-Mundziri (w. 656 H), al-Matjar ar-Râbih fî Tsawâb al-'Amal ash-Shâlih karya al-Hâfizh ad-Dimyâthi (w. 705 H), dan yang lainnya.

Ini sisi pemaparan teori, adapun sisi prakteknya; maka sejarah kehidupan para Ulama Salaf dipenuhi dengan potret keseriusan dan ketekunan mereka dalam beribadah. Silahkan ditelaah buku-buku biografi para ulama yang telah penulis sebutkan beberapa contohnya di depan.

Keistimewaan manhaj Salaf dalam bab ibadah terlihat, antara lain melalui penggabungan antara unsur ikhlas dan mutâba'ah (meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dalam beribadah, dua perkara yang merupakan syarat diterimanya suatu amalan. Kelebihan lain juga dapat disaksikan dari keseimbangan dalam memperhatikan tiga pondasi ibadah; rasa takut, rasa harap dan kecintaan terhadap Allah.

Adapun metode ibadah yang diusung kaum Sufi, memiliki berbagai 'catatan merah'. Antara lain, kurang diperhatikannya faktor mutaâba'ah (meneladani petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah), sehingga mereka kerap hanyut dalam ibadah-ibadah yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (baca: bid'ah). Juga di antara kekurangan metode Sufi dalam beribadah, ketimpangan dalam mempraktekkan pondasi ibadah. Banyak di antara mereka cenderung hanya menekankan sisi kecintaan pada Allâh Azza wa Jalla , lalu mengesampingkan' rasa takut akan neraka dan harapan memperoleh surga.

PENUTUP
Semoga makalah singkat ini bisa sedikit menggambarkan kesempurnaan manhaj Salaf beserta kelebihan-kelebihannya. Harapan lain, semoga tulisan ini bisa dijadikan sebagai wahana instrospeksi diri, baik oleh Salafiyyun maupun para pengikut kelompok lain. Bagi Salafiyyun yang belum menerapkan manhaj Salaf secara total hendaknya mereka bergegas memperbaiki diri guna meraih keselamatan dunia dan akhirat, juga agar mereka bisa menjadi contoh dan suri teladan dalam penerapan Islam yang benar, sehingga tidak menjadi pintu penghalang masuknya kaum Muslimin ke dalam manhaj Salaf.

Adapun bagi para pengikut kelompok lain, hendaklah mereka segera membenahi diri dan ajaran kelompoknya. Pemaparkan berbagai sisi kelemahan ajaran kelompok-kelompok tersebut di atas, insya Allâh tidak bertujuan kecuali sebagai bentuk upaya nasehat. “Aku tidak bermaksud kecuali (mengadakan) perbaikan semampuku. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah”. [Hûd: 88]. Wallâhu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarhus Sunnah dalam Irsyâd as-Sâri fî Syarhis -Sunnah li al-Barbahâri oleh Syaikh Ahmad an-Najmi (hlm. 26)
[2]. Contohnya seperti: Fadhl 'Ilm as-Salaf 'alâ al-Khalaf karya Imam Ibn Rajab, Limâdzâ Ikhtartu al-Manhaj as-Salafî karya Syaikh Salîm al-Hilâli dan Irsyâdul Bariyyah ilâ Syar'iyyati -Intisâb ilâs Salafiyyah karya Syaikh Hasan ar-Rîmi
[3]. HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Beliau menyatakan hadits ini "gharîb" dan Syaikh al-Albâni menilainya lemah sekali
[4]. Lihat Majmû' al-Fatâwâ (IV/24)
[5]. Lihat: Zajr al-Mutahâwin, Hamd al-'Utsmân hlm. 129
[6]. Silahkan lihat al-Hatstsu 'alâ al-I'tishâm bi Dînillâh wa Ijtimâ' al-Kalimah, Syaikh Ibrâhîm ar-Ruhaili hlm. 4
[7]. Ash-Shahwah al-Islâmiyyah , Syaikh al-'Utsaimin hlm. 119
[8]. Lihat al-Hatstsu 'alâ al-I'tishâm bi Dînillah hlm. 3-5

ORANG 'PINTAR' BUKANLAH DUKUN


ORANG PINTAR BUKANLAH DUKUN


Pembaca,
Biarpun dunia telah memasuki zaman millennium, yang kata orang sebagai zaman serba canggih dengan segala perangkatnya. Ternyata tidak sedikit orang yang terjebak dan mempercayai permainan omong kosong apa yang disebut dengan nama ‘dukun’. Ada yang menyebutnya dengan istilah ‘orang pintar’, paranormal maupun tukang ramal nasib. Yang dipercayai dapat mengetahui nasib seseorang atau perihal ghaib lainnya. Bukankah hal itu tidak lebih sebagai tipu daya belaka terhadap pasien atau orang-orang yang bertanya dan mempercayai kepadanya. Lantas, bagaimanakah sang dukun mengetahui hal yang ghaib? Apakah hal-hal ghaib bisa dipelajari?

Pembaca,
Insya Allah ringkasan berikut, dapat menjadi pengetahuan dan pedoman kita meluruskan aqidah secara benar. Kami nukilkan dari majalah Al Ashalah Edisi Dzulhijjah 1416 H, artikel yang berjudul ‘Ilmul Ghaib Wa Ahwal Kuhanah Wal ‘Arafin, Ditulis Oleh : Muhammad Abdurrahman Al Khumayyis. Juga kami sertakan ulasan singkat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, yang dinukil dari Majmu’ Fatawa, Jilid 1 hal. 67. Semoga bermafaat. (Redaksi).
________________________________________________________________________

BENARKAH DUKUN MENGETAHUI PERKARA GHAIB ALIAS 'PINTAR'?

Alhamdulillah, ash shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ba’du;
Sesungguhnya pengetahuan terhadap perkara ghaib termasuk hal yang menjadi rahasia Allah Azza wa Jalla.Termasuk sifat Allah paling khusus, yang tidak ada seorang makhlukpun dapat menyamaiNya. Sebagaimana firmanNya,

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) [Al An’am : 59].

Dan firmanNya,

عَالِمَ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا . إِلاَّمَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. [Al Jin : 26,27].

Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dirinya atau orang lain boleh menguasai perkara ghaib, berarti ia telah kafir. Karena perkara ini termasuk perkara yang tidak pernah diberitakan kepada siapapun oleh Allah; tidak kepada para malaikat yang dekat dan tidak juga kepada para rasul yang diutus.

Namun sangat disayangkan, banyak diantara orang awam di sebagian negara-negara Islam yang masih percaya kepada cerita-cerita khurafat dan cerita-cerita syirik orang-orang jahiliyah. Misalnya keyakinan, bahwa ada sebagian orang yang dapat mengetahui perkara ghaib. Seperti : dukun, tukang tenung atau yang sejenisnya. Kenyataan ini bisa didapati pada banyak negara Islam. Ini adalah kekeliruan yang sangat berbahaya dalam aqidah, karena merupakan perbuatan menyekutukan Allah dengan selainNya dalam hal yang menjadi kekhususan Allah, yaitu mengetahui perkara ghaib.
Dalam sebuah hadits,

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung atau dukun, lalu ia percaya dengan apa yang dikatakan dukun atau tukang tenung itu, berarti ia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan kepada Muhammad. [HR. Imam Ahmad]

Dukun-dukun itu telah banyak merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Masyarakat telah mengeluarkan banyak harta demi mendapatkan ilmu ghaib –menurut sangkaan mereka- dan terkadang sang dukun memberitahukan kepada mereka beberapa perkara, sebagiannya (kebetulan-pent) benar dan sebagiannya lagi bohong. Bahkan sebagian besar adalah bohong. Sehingga terbaliklah tolok ukur kehidupannya, yaitu banyak orang mengatur hidup mereka berdasarkan saran-saran yang disampaikan oleh sang pendusta yang mengaku mengetahui perkara ghaib.

Allah berfirman kepada NabiNya,

قُل لآَّأَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَاشَآءَ اللهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَامَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah,"Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman. [Al A’raf : 188].

Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja tidak mengetahui perkara ghaib, bahkan dengan terus terang beliau menafikan hal itu atas dirinya, maka orang selain beliau pasti tidak lebih tahu. Karena Beliau n lebih berhak daripada mereka. Beliau adalah anak keturunan Adam yang paling afdhal secara mutlak. Ketika ada nash yang menyatakan, bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib, maka selain beliau pasti lebih tidak tahu lagi.

Tergelincirnya banyak orang ke dalam kesalahan berbahaya ini, disebabkan oleh beberapa berita yang mereka lihat ‘benar’, yang berasal dari para pendusta itu. Sehingga keyakinan mereka semakin kuat, dan selanjutnya mempercayai cerita-cerita sang dukun berikutnya.

Begitulah pintu kedustaan dan dajjal menjadi semakin terbuka. Para pendusta inipun menjelma menjadi wali-wali Allah (menurut dugaan mereka). Orang-orang awam –(bodoh) itu melupakan banyak hal. Diantaranya :

1. Bahwa pengetahuan tentang perkara ghaib, termasuk perkara yang hanya diketahui oleh Allah. Bahkan sebagian pemberitaan para nabi terhadap perkara ghaib, semua itu hanyalah berdasarkan apa yang Allah beritakan kepada mereka dan bukan karena usaha mereka sendiri. Sebagaimana firman Allah,

عَالِمَ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا . إِلاَّمَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. [Al Jin : 26,27].

2. Bahwa kebanyakan orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib bukanlah orang baik-baik dan bertakwa. Bahkan ada diantara mereka yang fajir (penjahat) lagi zindiq. Mereka berkubang dalam banyak perbuatan yang diharamkan seperti berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita yang halal dinikah, mengkonsumsi makanan haram dan lain-lain. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa kabar-kabar tentang sebagian perkara ghaib kadang bersumber dari orang yang tidak shalih, bahkan non muslim. Bagaimana mungkin mereka ini bisa menjadi wali-wali Allah?

3. Seandainya mengetahui hal yang ghaib itu merupakan buah dari keimanan yang benar, tentunya orang yang paling berhak ialah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menafikan hal itu terhadap diri

4. Seandainya orang-orang ini benar dalam pengakuannya, yaitu mengetahui perkara ghaib, tentu mereka akan menghindarkan diri dari bencana-bencana atau kejahatan yang terkadang menimpa mereka.

Adapun mengenai jalan yang ditempuh oleh para pendusta ini -sehingga bisa memberitakan sebagian perkara ghaib- yaitu sebagai berikut :

1. Sebagian mereka mempunyai hubungan dengan jin. Jin-jin ini menyampaikan kepada si dukun sebagian berita benar yang dicuri oleh sang jin. Kemudian sang dukun ini membuat seratus kedustaan. Sebagaimana dalam sebuah hadits,

قَالَتْ عَائِشَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أُنَاسٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكُهَّانِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسُوا بِشَيْءٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ أَحْيَانًا بِالشَّيْءِ يَكُونُ حَقًّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيُقِرُّهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ فَيَخْلِطُونَ فِيهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ

Aisyah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,“Ada sekelompok orang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masalah tukang dukun,” Beliau menjawab,“Mereka tidak ada apa-apanya.” Orang-orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, terkadang mereka membicarakan sesuatu yang benar.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,“Itulah sebuah kalimat kebenaran yang dicuri oleh jin, lalu disampaikan kepada telinga walinya, lalu wali-wali jin ini mencampurinya dengan seratus kedustaan.

2. Sebagian orang terkadang memiliki firasat atau kemampuan untuk membaca apa yang sedang bergejolak dalam hati seseorang yang sedang berada di depannya. Lalu, ia memberitahukan sebagian saja sehingga ia menjadi kagum dan mengira, bahwa si penebak tadi seorang wali. Padahal kemampuan seperti ini bisa didapatkan dan dimiliki oleh orang-orang kafir di negeri-negeri mereka. Bisa juga dimiliki oleh sebagian psikolog atau selain mereka.

3. Sebagian dukun itu juga meminta bantuan kepada pembantu-pembantunya yang menyelinap di tengah masyarakat. Sehingga bisa mengetahui nama seseorang atau sedikit tentang riwayat hidupnya, atau sesuatu yang ingin diketahuinya.

Jika sudah tahu, ia lalu menyampaikan berita tersebut kepada ‘sang dajjal’ (dalam hal ini dukun). Dengan modal berita, sang dukun menghadapi orang-orang yang tidak tahu, sehingga dianggapnya mengetahui semua perkara yang telah lewat. Karena itu, semua ucapannya tentang apa-apa yang akan datang dan masalah ghaibiyah menjadi bisa di terima.

Sebagai penutup. Saya ingatkan kepada kaum muslimin, agar jangan merusak agamanya, akidahnya, dunianya dan akhiratnya dengan mendatangi dukun atau tukang tenung, meminta pendapat mereka maupun mempercayai mereka. Semua itu merupakan kekufuran.

Mereka wajib bertaubat kepada Allah dari perbuatan tersebut, jika mereka sudah terlanjur tergelincir dalam perbuatan seperti itu.

Mereka wajib mengoreksi kembali akidahnya. Mengetahui hal-hal yang bisa memperbaiki dan hal yang bisa merusak. Ini merupakan kewajiban yang paling mendasar. Wallahu min wara’ al qhasd.

HUKUM ORANG YANG MENGAKU MENGETAHUI PERKARA GHAIB

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya tentang hukum orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib. Maka, beliau menjawab sebagai berikut.

Orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib, berarti ia telah kafir. Sebab, ia telah mendustakan Allah Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Katakanlah,"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. [An Naml : 65].

Apabila Allah Azza wa Jalla telah menyuruh NabiNya; Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengumumkan kepada khalayak, bahwa tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib, kecuali Allah; maka orang yang mengaku mengetahuinya, berarti ia telah mendustkan Allah. Kita katakan kepada orang-orang ini,“Bagaimana mungkin kalian mengetahui yang ghaib, padahal Nabi n tidak mengetahuinya? Apakah kalian lebih mulia, ataukah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?” Jika mereka menjawab,”Kami lebih mulia,” berarti mereka telah kafir akibat dari perkataannya ini. Jika mereka menjawab,”Dia lebih mulia,” maka kita katakan,”Kenapa dia tidak mengetahui yang ghaib, sedangkan kalian bisa mengetahuinya?” Padahal Allah Azza wa Jalla berfirman,

عَالِمَ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا . إِلاَّمَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. [Al Jin : 26,27].

Inilah ayat kedua yang menunjukkan kekufuran orang-orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib. Padahal Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan NabiNya; Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menngumumkan kepada khalayak dengan firmanNya,

قُل لآأَقُولُ لَكُمْ عِندِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلآأَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَايُوحَى إِلَيَّ

Katakanlah,”Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu, bahwa aku ini Malaikat. Aku tidak mengikuti, kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku. [Al An’am : 50]. (nsd/ibnu)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

SANTET = SIHIR

SANTET ITU SIHIR

Pertanyaan.
Assalamu'alaikum, Kru Assunnah, semoga kita selalu diRidhai Allah Azza wa Jalla. Saya mau tanya, menurut pandangan islam apakah santet itu ada ? Bisakah orang terkena santet ? Seperti yang terjadi di Kalimantan, yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan di media massa yaitu seorang ibu, perutnya banyak ditumbuhi atau keluar kawat. Publik beranggapan orang tersebut terkena santet. Syukran.
+62852xxxxxxxxx


Jawaban.
Santet dan sejenisnya itu ada dan termasuk sejenis sihir. Karena sihir sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah adalah ikatan-ikatan tali dan mantra-mantra yang diucapkan atau ditulis oleh pelaku/tukang sihir, atau dia melakukan sesuatu yang digunakan sebagai sarana oleh tukang sihir untuk meminta tolong kepada setan dengan tujuan menyakiti orang yang disihir, mempengaruhi fisik yang disihir, atau hatinya, atau akalnya, dengan tanpa kontak langsung”. [al-Mughni, 8/150; dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 73]

Demikian juga yang dikatakan oleh al-Alûsi rahimahullah : “Yang dimaksudkan dengan sihir adalah perkara aneh yang menyerupai perkara ajaib, padahal bukan sesuatu yang ajaib karena dapat dipelajari. Untuk mendapatkannya dengan mendekatkan diri kepada setan, dengan cara melakukan perkara-perkara keji/buruk, berupa perkataan seperti mantra-mantra yang mengandung kalimat-kalimat syirik, pujian kepada setan dan kekuasaan setan; Juga berupa perbuatan, seperti menyembah bintang-bintang, menekuni kejahatan, dan seluruh kefasikan; Serta berupa keyakinan, seperti menganggap baik sesuatu yang bisa mendekatkannya kepada setan dan kecintaannya kepada setan. Dan sihir itu tidaklah berjalan dengan baik kecuali dengan orang yang sejalan dengan setan dalam keburukan dan kekejian jiwa, karena kesesuain atau kecocokan merupakan syarat saling mendekat dan membantu. Sebagaimana para malaikat tidak akan membantu kecuali orang-orang yang baik, yang menyerupai para malaikat dalam menekuni ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dengan perkataan dan perbuatan. Demikian pula setan, dia tidak akan membantu kecuali orang-orang yang jahat, yang menyerupai mereka dalam kekejian dan keburukan, baik perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Dengan ini tukang sihir berbeda dengan Nabi dan wali”. [Kitab Tafsir Rûhul Ma’âni 1/338; dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 152-153]

Para ulama Ahli Sunnah sepakat bahwa sihir itu memiliki hakekat dan nyata. Walaupun kelompok Mu’tazilah dan orang-orang yang terpengaruh dengan mereka mengingkari hakekat sihir, namun pengingkaran mereka tidak ada nilainya. Di antara dalil-dalilnya adalah:

Berita Allah Subhnahu wa Ta’ala Tentang Adanya Sihir Dan Berita Allah Subhanahu wa Ta’ala Itu Benar.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaiu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". [al-Baqarah/2: 102]

Demikian juga, Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar berlindung dari kejahatan tukang sihir. Jika sihir tidak ada berarti perintah ini sia-sia. Allah Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus ke buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki." [al-Falaq/113: 1-5]

Oleh karena itu, para sahabat dan para ulama Ahlus Sunnah sepakat tentang adanya sihir. Al-Qurafi rahimahullah mengatakan : “Sihir dan berita tentang sihir telah diketahui oleh para sahabat –semoga Allah meridhai mereka semua- , mereka sepakat tentang keberadaan sihir sebelum munculnya kelompok Qodariyah (Mu’tazilah)”.[1]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membantah pendapat Mu’tazilah yang mengatakan “Sesungguhnya seluruh sihir hanyalah takh-yiil (membuat sesuatu yang khayali atau tidak nyata)”, beliau rahimahullah berkata : “Ini menyelisihi riwayat-riwayat mutawatir dari para sahabat dan Salaf (orang-orang zaman dahulu yang shalih), dan telah disepakati oleh ahli fiqih, ahli tafsir, dan ahli hadits. Dan yang dikenal oleh kebanyakan ahli fiqih”. [Tafsir al-Qayyim, hlm: 571; dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 92]

Maka sepantasnya seseorang selalu mohon perlindungan kepada Allah dari semua kejahatan, termasuk sihir, dan mohon kesembuhan kepada Allah jika mengalami musibah penyakit. Sessungguhnya Allah berkuasa terhadap segala sesuatu

Adapun berita yang saudara sampaikan bahwa dari perut seorang ibu ditumbuhi atau keluar kawat, jika berita itu benar, bisa jadi itu santet atau bisa jadi juga bukan santet. Dan kita perlu berhati-hati untuk menyatakan suatu kejadian itu sebagai santet, atau menuduh orang tertentu melakukan santet. Karena jika pernyataan itu tidak benar, itu berarti dusta serta termasuk perbuatan zhalim.

Wallahu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Furûq, karya Al-Qurafi, juz 4, hlm: 150; dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 92
QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!