Radio Rodja 756AM

Rabu, 24 Maret 2010

KHAWARIJ MASA KINI


Oleh
Prof Dr Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily

Pada abad ini, sungguh pemikiran takfir telah tersebar begitu dahsyat, kekuatannya melampaui abad-abad sebelumnya. Pemikiran takfir tersebar ditengah-tengah kaum muslimin, sehingga penyakit ini menjangkiti begitu banyak orang yang sebelumnya tidak dikenal banyak melakukan bid’ah. Diantara sumber dan sebab tersebarnya adalah sebagian kelompok dakwah modern yang asasnya bukan sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan bercampur aduk didalamnya berbagai bid’ah dan kesesatan, baik dikarenakan buruknya tujuan pendirinya, maupun karena kebodohan mereka tentang agama.

Kemudian muncullah banyak buku hasil produksi kelompok-kelompok tersebut, yang dikenal dengan buku-buku pemikiran. Buku-buku tersebut telah merusak aqidah sejumlah besar kaum muslimin, sehinga menyelewengkan mereka dari ajaran agama. Buku-buku tersebut menilai bahwa masyarakat muslim dewasa ini adalah masyarakat jahiliyyah dan kafir, karena mereka telah membuang Islam kebelakang punggung mereka, dan mereka telah memeluk kekufuran yang nyata, dan tidak ada seorangpun, diantara individu-idividu umat yang selamat dari vonis kafir ini, baik pemerintah maupun rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda. Fenomena ini memiliki peran terbesar, dalam mewujudkan generasi abad ini yang terdidik berdasarkan kepada buku-buku tersebut, hingga bibit-bibit ide untuk mengkafirkan seluruh masyarakat Islam dewasa ini tertanam di dalam jiwa-jiwa mereka, sehingga kesesatan tersebut menjadi suatu keyakinan yang kokoh bagi mereka, dan tidak perlu ditanyakan lagi tentang fitnah dan keburukan yang akan muncul dari balik keyakaninan ini.

Saya tidak ingin memperbanyak dalam memberikan permisalan dari buku tersebut, tentang teks dan perkataan mengenai pengkafiran masyarakat Islam dewasa ini, akan tetapi saya hanya ingin menyebutkan sebagian contoh dan bukti yang ada di dalam buku-buku Sayyid Quthub rahimahullah, karena dialah Imam yang diagungkan oleh mayoritas Ikhwanul Muslimin dan orang-orang yang terpengaruh dengan manhaj mereka, terlebih lagi buku orang ini paling luas penyebarannya, dan paling kuat pengaruhnya, jika dibandingkan dengan buku-buku lain yang sejenis, sampai-sampai sebagian orang yang menisbatkan diri mereka kepada sunnah, terfitnah oleh buku-bukunya. Pada hakekatnya, buku-buku Ikhwanul Muslimin penuh dengan ungkapan-ungkapan pengkafiran pemerintah dan masyarakat muslim dewasa ini.

Diantara teks pengkafiran Sayyid Quthub terhadap seluruh masyarakat Islam dewasa ini, adalah yang tercantum di “Ma’aalim Fith Thoriq” : “Dan hakekat permasalahannya, adalah perkara kufur dan iman, syirik dan tauhid, jahiliyah dan Islam, dan inilah yang harus diperjelas …. Sesungguhnya, manusia (sekarang) bukanlah kaum muslimin (sebagaimana yang mereka akui), dan mereka hidup dalam kehidupan jahiliyyah. Jika ada orang yang suka menipu dirinya, atau menipu orang lain, kemudian berkeyakinan bahwa Islam bisa tegak berdampingan dengan kejahiliyyahan ini, maka terserah dia. Akan tetapi, ketertipuan atau penipuannya, tidak akan merubah hakekat kenyataan sedikitpun. Ini bukan Islam, dan mereka bukan kaum muslimin” [2]

Sayyid Quthub berkata di dalam Fii Zhilalil Qur’an : “Sungguh, waktu terus berputar seperti ketika agama ini datang membawa kalimat Laa ilaha illallah kepada manusia. Sungguh manusia (sekarang) telah murtad, beralih kepada peribadatan kepada para hamba dan kepada kedholiman berbagai agama, berpaling dari Laa ilaha illallah, meskipun masih ada sekelompok orang yang memperdengarkan Laa ilaaha illallah”

Manusia seluruhnya dan termasuk di dalamnya, mereka yang senantiasa mendengung-dengungkan ditempat adzan, baik dibelahan timur maupun barat bumi, kalimat : Laa ilaaha illallah, tanpa bukti dan konsekwensi …., dan mereka adalah yang berat dosanya, dan paling keras siksaannya pada hari kiamat, karena mereka telah murtad menuju peribadatan hamba, setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, dan setelah memeluk agama Allah”[3]

Sayyid Quthub berkata : “Sesungguhnya, sekarang ini tidak ada satu negara atau masyrakat muslim pun di muka bumi, kaidah berinteraksi dengan mereka adalah dengan syari’at Allah dan fiqih Islam” [4]

Teks-teks yang gamblang seperti diatas, masih banyak di dalam buku-buku Sayyid Quthub. Itu semua tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan, karena maksud semuanya adalah mengkafirkan para ulama, pemerintah dan (seluruh) individu umat Islam, sampai para tukang adzan (muadzdzin), mereka semuanya menurut Sayyid Quthub adalah kaum kafir lagi murtad, dosanya lebih berat, dan adzab mereka lebih keras dari selainnya.

Maka, dari buku-buku ini dan sejenisnya, sebagian pengikut takfir masa ini menimba manhaj mereka, ide pengkafiran masyarakat muslim, beserta akibat-akibatnya, seperti pembajakan, peledakan dan pembunuhan terhadap jiwa yang dilarang, diberbagai negeri kaum muslimin dan yang diluar mereka.

Kenyataan ini telah diakui oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin dan mereka tulisakan di buku-buku mereka.

Al-Qardhawi mengatakan : “ Pada fase ini, muncul buku-buku Sayyid Quthub yang mewakili fase terakhir pemikiran takfirnya, yang dengan cepat mengkafirkan masyarakat …. serta pengumuman jihad penyerangan atas seluruh manusia”.

Farid Abdul Kholiq mengatakan : “Sesungguhnya pemikiran takfir tumbuh diantara para pemuda Ikhwanul Muslimin yang berada di penjara Al-Qonathir [5], pada akhir tahun lima puluhan dan permulaan enam puluhan. Mereka itu terpengaruh oleh pemikiran dan tulisan Sayyid Quthub, sehingga mereka berkesimpulan bahwa masyarakat dalam keadaan jahiliyyah, para pemimpinnya telah kafir, karena mengingkari Allah sebagai Hakim tunggal, buktinya mereka tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Begitu pula rakyatnya kafir, jika meridhoi hal tersebut”.

Salim Al-Bahnasawy [6] berkata : “Sayyid Quthub telah mengadopsi sebagian pendapat Al-Maududi serta menampilkannya dalam tulisan-tulisannya, dan lebih khusus pada juz ke-7 dari tafsir Fii Zhilalil Qur’an, kemudian datang suatu kaum berkesimpulan atas dasar hal itu, bahwa kaum muslimin telah kafir, karena mereka mengucapkan syahadat tanpa mengetahui maknanya, dan tanpa mengamalkan isinya, sehingga meskipun mereka sholat, puasa, haji dan menyangka bahwa diri mereka kaum muslimin, maka sama sekali tidak merubah kekafiran mereka” [7]

Ali Jarisyah [8] menetapkan bahwa kaum takfiriyin (suka mengkafirkan kaum muslimin), asalanya mereka adalah dari kelompok Ikhwanul Muslimin, kemudian mereka memisahkan diri dari Ikhwanul Muslimin dan mengkafirkan Iikhwanul Muslimin.

Teksnya : “Dalam pembicaraan, sekelompok orang telah memisahkan diri dari kelompok besar Islam, ketika mereka berada di penjara. Meskipun demikian, kelompok kecil tersebut juga mengkafirkan kelompok besar, karena kelompok kecil ini tetap berpegang pada pendapat mereka dalam pengkafiran peguasa, staf-stafnya, serta seluruh masyarakat. Dari kelompok pecahan tersebut terpecah lagi menjadi kelompok-kelompok yang banyak, yang satu megkafirkan yang lainnya” [9]

Al-Bahnasawi menjelaskan perpecahan kelompok ini di dalam diri mereka sendiri dalam berinteraksi dengan kaum muslimin, maka dia mengatakan : “Ketika itu, terpecah pengikut pemikiran ini menjadi dua:

[1]. Kelompok yang tidak menampakkan pengkafiran atas orang-orang yang menyelisihi mereka, sehingga kaum muslimin yang tidak sependapat dengan mereka, tidak kafir, boleh shalat dibelakang mereka,isteri-isteri pengikut pemikiran ini juga tidak kafir, sehinga tidak perlu membatalkan akad pernikahan mereka.

[2]. Kelompok yang memisahkan diri dengan terang-terangan, dan mengumumkan pengkafiran atas saudara-saudaranya yang tidak mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi pemikiran ini, diantaranya kelompok Ikhwanul Muslimin.

Inilah kelompok yang terkenal dengan sebutan “Jama’ah Takfir dan Hijrah”, akan tetapi mereka menamakan diri dengan nama “Jama’atul Mukminn” atau “ Al-Jama’ah Al-Mukminah”.

Adapun kelompok pertama lebih memilih untuk tidak menampakkan manhaj mereka, dengan menjalankan dua kaidah : Memisahkan diri secara perlahan, dan (bergerak di) masa-masa lemah (fase Mekkah)” [10]

Pada hakekatnya, pemikiran yang Al-Bahnasawi berusaha membantahnya , yang dimiliki oleh Jama’ah At-Tafkir wal-Hijrah adalah pemikiran Ikhwanul Muslimin, bahkan itulah pemikiran dan keyakinan Sayyid Quthub. Motivasi Al-Bahnasawi melakukan hal ini, adalah kebesaran cinta dan sayangnya kepada Sayyid Quthub, sebagaimana hal itu nampak di dalam bukunya, dengan berusaha melepaskan keterkaitan Sayyid Quhub dengan keyakinan tafkir [11], meskipun dia telah mengakui bahwa aqidah ini diambil dari buku-buku Sayyid Quthub, dan Sayyid Quthub mengadopsinya dari Al-Maududi.

Diantara bukti hal ini, adalah keterus terangan Sayyid Quthub sendiri akan wajibnya mengembargo masyarakat muslim, yang dia sebut sebagai masyarakat jahiliyyah. Dia juga mewajibkan untuk mengasingkan diri, bahkan dari masjid-masjid, yang dia menyebutnya sebagai tempat-tempat ibadah jahiliyyah, seraya mengatakan : “Dan disinilah Allah membimbing kita untuk menjauhi tempat-tempat ibadah jahiliyyah, dan menjadikan rumah-rumah keluarga muslim sebagai masjid. Anda akan merasakan di dalamnya benar-benar terpisah dari masyarakat jahiliyyah” [12]

Dia juga mengatakan : “Sungguh tiada keselamatan bagi seorang muslim di seluruh dunia dari tertimpa adzab, kecuali dengan memisahkan diri baik secara aqidah, perasaan maupun metode hidup dari orang-orang jahiliyyah dari kaummnya, sampai Allah mengizinkan berdirinya negara Islam yang mereka pegang teguh” [13]

Pada hakekatnya, aqidah pengkafiran masyarakat muslim ini, dan menganggap mereka sebagai masyarakat jahiliyyah lagi kafir, tidak hanya dimiliki oleh Saayid Qutuhub saja, akan tetapi itulah keyakinan yang bibit-bibitnya sudah tertanam kuat dan tersebar luas pada para pemimpin Ikhwanul Muslimin. Diantara pengusung pemikiran ini yang paling menonjol adalah Muhammad Quthub[14], yang telah mengkhususkan pembahasan ini dalam bukunya yang terkenal, “Jahiliyyatul Qorni Isyrin” (Jahiliyah abad ke-20). Pada berbagai tempat di dalam bukunya ini, Muhammad Quthub terang-terangan mengkafirkan masyarakat muslim dewasa ini

Muhamad Quthub mengatakan : “Adapun keadaan yang dinamakan dunia Islam, maka hal itu sebagian keadaannya berbeda dengan kondisinya di Eropa, akan tetapi pada akhirnya akan bertemu dengannya, sebagaimana jahiliyyah bertemu dengan jahiliyyah di setiap tempat dimuka bumi, dan disetiap masa, meskipun sifat-sifatnya sedikit berbeda, yang membedakan jahiliyyah yang ini dengan yang itu, serta membedakan antara keadaan ini dengan keadaan itu.

Islam di dunia ini (sekarang) asing bagi manusia, seperti keterasingannya pada awal munculnya di era jahiliyyah jazirah arab dahulu, dan jahiliyyah yang sekarang[15] melebihi yang terdahulu, Islam dibenci oleh banyak orang.

Setapak demi setapak pada pasal ini kita akan berbicara tentang kelompok-kelompok manusia yang berbeda-beda, agar bisa kita jelaskan, kenapa mereka membenci Islam [16]

Kemudian dia menyebutkan, diantara kelompok-kelompok tersebut yang membenci Islam adalah kelompok thogut, dan yang dimaksud adalah para penguasa, kelompok cendekiawan, seniman dan para penulis, tukang dongeng, para penyair, anak-anak pria dan wanita.[17]

Setelah itu, dia mengatakan : “Derajat kebenciannya sama, antara yang membangkang dengan yang lemah” [18]

Lalu dia bertanya-tanya : “Maka, jika demikian, apakah yang masih tersisa dari kaum muslimin?! [19]

Kemudian dia mencatat hasilnya : “Sungguh manusia pada generasi ini, telah kafir padahal mereka mengetahuinya” [20]

Dan tidaklah buku-buku para pemimpin Ikhwanul Muslimin yang lain keadaannya lebih baik dari buku-buku Sayyid Quthub dan saudaranya. Dan hal itu bukanlah suatu hal yang mengherankan, karena Sayyid Quthub menurut mereka adalah Imam yang diagungkan, Syaikhul Islam, pembaharu agama abad ini. Hal ini juga diikuti simpatisan mereka, maka bagaimana mungkin mereka akan menyelisihi idola mereka ?!

Dan tidaklah keadaan Al-Maududi dan para pengikutnya di Pakistan, India dan lainnya lebih baik dari kelompok Ikhwanul Muslimin, bahkan sebagian peneliti buku-buku Al-Maududi menjelaskan bahwa Sayyid Quthub mengadopsi pemikiran dan manhajnya dari Al-Maududi saja, sebagaimana perkataan Al-Bahnasawi yang terdahulu.

Yang terakhir, sesungguhnya saya memperingatkan dengan keras kepada setiap pemuda yang memiliki kecemburuan terhadap agamanya untuk tidak membaca buku-buku pemikiran tersebut, yang namanya saja sudah menunjukkan betapa jauhnya buku-buku tersebut dari agama. Karena buku-buku pemikiran, sebagaimana penamaan mereka, yakni buku-buku yang dihasilkan dari berbagai pemikiran dan pendapat pengarangnya, kadar bahanya buku-buku ini tidak lebih rendah dari buku-buku filsafat yang dilarang oleh salaf, bahkan lebih dahsyat. Buku-buku ini tidak berdiri diatas dalil dan tidak selaras dengan pemahaman salaf, bahkan merupakan pencampuran (kolaborasi) antara berbagai bid’ah dan kesesatan. Ciri khas yang menonjol dari buku-buku tersebut adalah memprovokasi dan menyeru umat untuk memberontak dan membangkang penguasa, dengan mempropagandakan kekafiran dan kemurtadan penguasa dari agama, serta menjadikan para pemuda tersebut disibukkan dengan politik dan masuk dalam konflik, sehingga keburukan dan bahayanya buku-buku ini begitu besar, dan begitu banyak orang-orang yang terfitnah oleh buku-buku ini, dan tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah semata. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. [21]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 24 Th V Dzulqo’dah 4127H. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya, Jl Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya] © copyleft almanhaj.or.id

__________
Foote Note.
[1]. Dialihbahasakan oleh Abu Zahroh Imam Wahyudi Lc, dari buku At-Takfir wa Dhowabithuh” karya Prof Dr Ibrahim bin Amir Ar-Rauhaily, dosen fakultas Da’wah wa Ushuludin, Universitas Islam Madinah hal : 37-45. Tulisan ini kami muat sebagai jawaban atas orang-orang yang menyatakan Khowarij sekarang ini, sudah punah (-pent)
[2]. Ma’alim Fith Thoriq hal : 158
[3]. Fii Zhilalil Qur’an (2/1057)
[4]. Idem (4/2122)
[5]. Penjara ini ada di Kairo, Mesir (-pent)
[6]. Penulis dari kalangan Ikhwanul Muslimin, pernah tinggal di Kuwait. (-pent)
[7]. Al-Hukmu wa Qodhiyah Takfiril Muslimin hal : 50
[8]. Penulis dari kalangan Ikhwanul Muslimin, lulusan Fakultas Hukum, Kairo
[9]. Al-Ittijaahat Al-Fikriyah Al-Mu’aashiroh hal : 279
[10]. Al-Hukmu wa Qodhiyah Takfiril Muslimin hal : 34-35
[11]. Al-Hukmu wa Qodhiyah Takfiril Muslimin hal : 50, 56, 66, 73, 74,76, 112
[12]. Fii Zhilalil Qur’an 3/1816
[13] idem 4/2122
[14]. Adik kandung Saayid Quthub, lulusan Fakultas Bahasa Inggris di Universitas Kairo Mesir, kemudian mendapatkan gelar Diploma dalam bidang Psikologi. Dialah yang mengusung dan mengembangkan pemikiran Sayyid Quthub di Saudi Arabia, ketika ia mengajar di Universitas Umul Quro, Mekkah. Sehingga tidak mengherankan apabila muncul dari sana tokoh-tokoh yang berpemikiran takfir akan tetapi berbaju salaf, semisal Dr Safar Hawali dll. Allahu Musta’an. (-pent)
[15]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun mensifati zaman secara mutlak, maka tidak ada masa jahiliyah setelah diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena senantiasa akan ada segolongan dari umatnya yang akan nampak di atas kebenaran sampai kiamat nanti” (Iqtidho’ush Shirothol Mustaqim : 1/259)
Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql (pentahqiq buku diatas) mengomentari : “Atas dasar ini, maka menggunakan istilah Jahiliyah dengan mutlak untuk kaum muslimin secara umum, atau untuk suatu negeri kaum muslimin, atau untuk suatu masyarakat muslim, tanpa perincian keadaan, perbuatan, tindakan atau individu tertentu, merupakan suatu kesalahan dan peremehan, yang sudah sepatutnya seorang muslim menjauhinya. Adapun yang disampaikan oleh beberapa penulis, penyusun dan pemikir bahwa semua atau semua masyarakat muslim adalah masyarakat jahiliyyah (tanpa perincian atau pengkhususan siapa yang menurut syari’at berhak menyandang istilah tersebut), maka itu bukanlah metode yang selamat, bahkan menyelisihi kaidah-kaidah syari’at dan manhaj As-Salaf Ash-Shalih. (editor).
[16]. Jahiliyatul Qornil ‘Isyrin hal :328-329
[17]. Idem : 329-331
[18]. Idem hal 337
[19]. Idem hal 337
[20]. Idem hal 351
[21]. Lihatlah fatwa larangan sebagian ulama masa kini dari membaca buku-buku tersebut, seperti dalam kitab “Al-Ajwibah Al-Mufidah An-Manahijid Dakwal Al-Jadidah” oleh Syaikh Sholih Al-Fauzan, dikumpulkan oleh Jamal Furaihan Al-Haritsi. Juga buku “Fatawa Al-Akabir” dikumpulkan dan dikomentari oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Rhamadhany. (-pent)

BANTAHAN BUKU KAFIR TANPA SADAR (2)

KAFIR TANPA SADAR MENGUSUNG PEMAHAMAN KHAWARIJ



Oleh : Abu Ahmad As-SalafiIni



Muqoddimah
Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul Kafir Tanpa Sadar oleh Abdul Qadir bin Abdul Aziz. Buku ini adalah salah satu dari buku-buku yang sangat dahsyat menghembuskan syubhat Khawarij dari awal hingga akhir. Yang sangat disayangkan bahwa buku-buku seperti ini sangat marak akhir-akhir ini, hal ini menunjukkan bahwa fitnah Takfir saat ini begitu deras menerpa.

Karena itulah maka insya Allah dalam pembahasan kali ini kami berusaha menyingkap syubhat-syubhat yang berada dalam buku tersebut sebagai nasehat kepada kaum muslimin dan pembelaan kepada manhaj yang haq.

PENULIS DAN PENERBIT BUKU INI
Judul asli buku ini adalah Al-Jami fil-Ilmi Asy-Syarif Al-Iman wa Al-Kufr, ditulis oleh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, diterjemahkan oleh Abu Musa Ath-Thayyar, dan diterbitkan oleh Media Islamika Solo, cetakan pertama September 2006

MENGIKUTI KHAWARIJ DALAM MEMAHAMI AYAT HUKUM
Penulis berkata di dalam hlm. 212 : “Sesungguhnya kekafiran yang disebut di dalam ayat ini (ayat 44 dari Surat Al-Ma’idah) adalah kufur akbar.

Sebelumnya pada hlm. 64 penulis berkata :”Pedoman umum : sesungguhnya, semua kata kafir yang diungkapkan dengan isim yang ber-alif ta’rif.. maksudnya adalah akbar ..”[At-Tamhid 5/74-75]

Kami katakan : Perkataan penulis, “Setiap kekafiran yang diungkapkan dengan isim ma’rifah maka maksudnya adalah kufur akbar [1]”, berbenturan dengan sebagian atsar yang datang dari para sahabat yang di dalamnya menyifati sebagian dosa-dosa dengan lafadz kufur yang menggunakan alif dan lam ta’rif, bersamaan dengan itu dosa-dosa tersebut dianggap kufur ashghor [2] dengan kesepakatan para ulama ahli Sunnah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari di dalam Shahihnya 5273 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang di dalamnya istri Tsabit bin Qois berkata :

“Dan akan tetapi aku membenci kekufuran di dalam Islam’’

Dia maksudkan mengkufuri suami sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Fathul bari 9/400

Demikian juga diriwayatkan oleh Nasa’i rahimahullah di dalam Sunan Kubro (118 Isyrotun Nisa) dan Abdurrazzaq di dalam Mushannaf : 20953 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkomentar tentang mendatangi wanita di duburnya “ Itu adalah kekufuran’ dan sanadnya adalah kuat sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Talkhishul Habir 3/181.

Kedua atsar di atas lafadz kufur menggunakan alif dan lam ta’rif dalam keadaan maksudnya adalah kufur ashghor.

Kemudian tentang perkataan penulis, “Dan semua pendapat yang menguatkannya sebagai kufrun duna kufrin adalah pendapat yang salah….” Perlu diketahui bahwa yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah para ulama Ahli Sunnah yang terdahulu dan belakangan, di antara mereka adalah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang berkata : “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan, sesungguhnya di adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam.

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [Al-Maidah : 44]

Ini adalah kufur duna kufrin (kufur asghor)” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadroknya 2/342 dan dia berkata : “Ini adalah hadits yang shohih sanadnya, dan disetujui oleh Dzahabi dalam Talkhis Mustadrok 2/342 dan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shahihah 6/113]

Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah dari zaman tabi’in hingga zaman ini sebagaimana di dalam nukilan-nukilan di bawah ini.

[1]. Atho bin Abi Robbah rahimahullah seorang tabi’in menyebut ayat 44-46 dari surat Al-Maidah dan berkata : “Kufrun duna kufrin, fisqun duna fisqin, dan dhulmun duna dhulmin’’ [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 6/256 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shahihah 6/114]

[2]. Thowus bin Kaisan rahimahullah salah seorang tabi’in menyebut ayat hukum dan berkata ; “Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah dalam Tafsirnya 6/256 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shohihah 6/114]

[3]. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya tentang maksud kufur dalam ayat hukum maka beliau berkata ; “Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari keimanan”.[Majmu Fatawa 7/254]

[4]. Al-Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam membawakan tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dan Atho bin Abi Robbah terhadap ayat hukum dan berkata : “Maka telah jelas bagi kita bahwa kekufuran dalam ayat ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, dan bahwasanya agama tetap eksis meskipun tercampur dengan dosa-dosa” [Kitabul Iman hlm. 45]

[5]. Al-Imam Bukhari rahimahullah berkata dalam Shohihnya 1/83 :”Bab Kufronil Asyir wa Kufrun duna Kufrin’. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Penulis (Al-Imam Bukhari) mengisyaratkan kepada atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Kitabul Iman dari jalan Atho’ bin Abi Robbah dan yang lainnya” [Fathul Bari 1/83]

Perkataan semakna juga datang dari Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari, Al-Imam Baihaqi, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, Al-Imam Qurthubi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, Syaikh Al-Albani rahimahullah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Kalau begitu, pendapat siapakah yang diikuti oleh penulis di dalam pemahaman ayat ini?! Tidak lain adalah madzhab Khowarij sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah tatkala mengomentari perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diatas “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan” : “Seakan-akan beliau mengisyaratkan kepada orang-orang Khawarij yang memberontak kepda Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu”. [Silsilah Shahihah 6/113]

Kemudian penulis berkata pada hlm. 216 : “Sesungguhnya ayat tersebut bersifat umum, mencakup semua orang yang tidak memutuskan hukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, ayat tersebut menggunakan man syarthiyyah (barangsiapa atau siapa saja yang berfungsi sebagai syarat) yang merupakan bentuk kalimat paling umum..”

Kami katakan : Jika diambil keumuman ayat ini maka konsekwensinya adalah mengkafirkan kaum muslimin di dalam setiap kasus yang mereka tidak adil di dalamnya, termasuk seorang bapak terhadap anak-anaknya, bahkan seseorang terhadap dirinya sendiri jika dia maksiat kepada Rabbnya ; karena tatkala dia maksiat kepada Rabbnya maka saat itu dia tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Padahal banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sekedar kemaksiatan tidaklah menjadikan pelakunya kafir seperti firman Allah.

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya” [Al-Hujurat : 9]

Maka nash-nash yang menunjukkan tidak kafirnya setiap pelaku kemaksiatan adalah yang memalingkan kufur akbar dalam ayat di atas kepada kufur ashghor, karena itulah maka para ulama sepakat tidak mengambil keumuman ayat ini, berbeda dengan orang-orang Khawarij yang memakai keumuman ayat ini di dalam mengkafirkan para pelaku dosa dan kemaksiatan tanpa melihat kepada dalil-dalil yang lain yang memalingkan ayat ini dari keumumannya.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata : “Telah sesat sekelompok ahli bida’ dari Khawarij dan Mu’tazilah dalam bab ini, mereka berargumen dengan ayat-ayat di dalam Kitabullah yang tidak atas dhahirnya seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Ma’idah : 44] [At-Tamhid 17/16]

Beliau juga berkata : “Para ulama sepakat bahwa kecurangan dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar bagi seorang yang sengaja melakukannya dalam keadaan mengetahui hukumnya ..’



KERANCUAN PENULIS DI DALAM MEMAHAMI DARUL KUFUR DAN DARUL ISLAM
Penulis berkata di dalam hlm. 20 : “Negeri yang menggunakan undang-undang kafir adalah darul kufri (negeri kafir). Jika sebelumnya negeri itu menggunakan hukum syari’ah, lalu berganti dengan undang-undang kafir, sedangkan penduduknya masih Islam maka negeri itu Daru Kufrin Thari (negeri kafir yang tidak asli)”.

Kami katakan ; Penulis mengikuti pemahaman Khowarij yang berpendapat bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia kafir keluar dari Islam secara mutlak tanpa perincian, apakah dia mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak, dan memahami secara rancu tentang hal yang menyebabkan suatu negeri dikatakan sebagai Darul Islam atau Darul Kufur

Yang benar bahwa suatu negeri dikatakan sebagai Darul Islam jika nampak syi’ar-syi’ar Islam dari penduduk negeri seperti shalat lima waktu, shalat jum’at, dan shalat Ied, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut ini.

[1]. Hadits Anas Radhiayallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Adalah Rasulullah hendak menyerang daerah musuh ketika terbit fajar, beliau menunggu suara adzan, jika belaiu mendengar adzan maka beliau menahan diri, dan jika tidak mendengar adzan maka beliau menyerang” [Muttafaq Alaih, Shahih Bukhari 610 dan Shahih Muslim 1365]

Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Hadits ini menunjukkan bahwa adzan menahan serangan kaum muslimin kepada penduduk negeri daerah tersebut, karena adzan tersebut merupakan dalil atas ke-islaman mereka” [Syarah Nawawi pada Shahih Muslim 4/84]

Al-Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Adzan adalah tanda yang membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur” [Al-Jami Liahkamil Qur’an 6/225]

Az-Zarqoni berkata : “Adzan adalah syi’ar Islam dan termasuk tanda yang membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur” [Syarah Az-Zarqoni atas Muwatho 1/215]

[2]. Hadits Isham Al-Muzanny bahwasanya dia berkata.
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau bersabda :”Jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh seorangpun”.[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 3/448, Abu Dawud dalam Sunannya 2635 dan Tirmidzi dalam Jaminya 1545 dan dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dho’if Sunan Abu Dawud hlm. 202]

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :”Hadits ini menunjukkan bahwa sekedar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri maka ini cukup menjadi dalil atas keislaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukan agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal : Adanya masjid atau mendengar Adzan” [Nailul Authar 7/287]

Berdasarkan uraian di atas maka jika didengar adzan di suatu negeri atau didapati suatu masjid, dan penduduknya muslim, maka negeri tersebut adalah Darul Islam, meskipun para penguasanya tidak menerapkan syari’at Islam, hal inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau berkata : “Keberadaan suatu tempat sebagai negeri kafir atau negeri iman atau negeri orang-orang fasiq, bukanlah sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi dia adalah sifat yang insidental sesuai dengan keadaan penduduknya, setiap jengkal bumi yang penduduknya orang-orang mukmin yang bertaqwa maka tempat tersebut adalah negeri para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala di saat itu, setiap jengkal tanah yang penduduknya selain yang kita sebutkan tadi, dan berubah dengan selain mereka, maka negeri itu adalah negeri mereka” [Majmu Fatawa 18/282]

Lalu kapankan suatu negeri Islam menjadi Darul Kufur? Yang rojih dari pendapat para ulama bahwa negeri Islam tidak berubah menjadi darul kufur dengan sekedar dominannya hukum-hukum kekafiran padanya, atau sekedar penguasaan orang-orang kafir padanya, selama para penduduknya masih mempertahankan ke-islaman mereka, bahwa selama mereka masih menegakkan sebagian dari syi’ar-syi’ar Islam khususnya sholat

Al-Kasani berkata : “Tidak ada khilaf di antara para sahabat kami (madzhab Hanafi) bahwasanya darul kufur berubah menjadi darul Islam, dengan nampaknya hukum-hukum Islam padanya, dan mereka berselisih dengan ada Darul Islam berubah menjadi Darul Kufur, Abu Hanifah rahimahullah berkata : Darul Islam tidak berubah menjadi Darul Kufur kecuali dengan tiga syarat : yang pertama dominannya hukum-hukum kafir padanya, yang kedua bersambungnya dengan Darul Kufur, yang ketiga tidak tersisa didalamnya seorang muslim dan seorang dzimmi yang merasa aman dengan jaminan keamanan dari kaum muslimin ..”[Bada’i Shonai 7/130]

Ad-Dasuqy berkata : “Sesungguhnya negeri Islam tidaklah berubah menjadi Darul Harbi (negeri kafir yang diperangi) sekedar dengan penguasaan orang-orang kafir atasnya, tetapi hingga terputus penegakan syi’ar-syi’ar Islam darinya, adapun selama tetap ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam atau sebagian besar darinya, maka tidaklah dia berubah menjadi Darul Harbi” [Hasyiyah Dasuqy 2/189]

Merupakan kaidah dalam syari’at bahwa : Hukum asal sesuatu adalah dikembalikan pada asalnya. Tidak berubah hukum asal ini kecuali jika ada yang memindahkannya ke hukum yang lainnya dengan cara yang yakin.

Di antara contoh-contoh dalam hal ini adalah negeri Andalusia (Spanyol) yang berubah menjadi Darul Kufur sesudah kaum muslimin diusir darinya, dan sejak syi’ar-syi’ar Islam di situ dihukumi tidak ada.

Di antara contoh-contoh hal ini juga adalah negeri Islam yang para penguasanya tidak menerapkan hukum Islam bersamaan dengan itu para penduduknya menampakkan syi’ar-syi’ar Islam maka negeri itu adalah Darul Islam, karena tidak ada indikasi yang memindahkannya dari hukum asalnya. [Lihat Al-Ghuluw Fifd Din oleh Syaikh Abdurrahman bin Ma’la Al-Luwaihiq hlm 340].

PENULIS MENGHASUNG KEPADA PEMBERONTAKAN
Setelah membabi buta menyifati negeri-negeri Islam yang penguasanya tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwasanya negeri-negeri itu adalah Darul Kufur, maka penulis menghasung para pembaca agar tidak taat kepada mereka, dia berkata di dalam hlm. 19 : “Tiada kewajiban bagi seorang muslim untuk menataati para penguasa tersebut. Demikian pula, tidak wajib baginya mematuhi undang-undang negeri tersebut. Akan tetapi dia bebas untuk melanggarnya, semau dia..”

Bahkan penulis menganggap bahwa memberontak kepada para penguasa tersebut adalah jihad sebagaimana dia katakan di dalam hlm. 30 :”Mereka memandang bahwa penguasa mereka yang kafir itu adalah orang Islam yang bertaqwa, dan mereka memandang orang-orang muslim yang berjihad sebagai Khawarij yang sesat…”

Tidak diragukan lagi bahwa penulis telah menyelisihi pokok yang agung dari syari’at Islam yaitu wajibnya taat kepada waliyul amr di dalam hal yang ma’ruf sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rosul(Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian…” [An-Nisaa : 59]

Adapun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka di antaranya adalah perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar selalu taat kepada waliyul amr, tidak membatalkan baiat, dan sabar atas kecurangan para penguasa

Dari Ubadah bin Shomit bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiatnya, di antara yang diambil atas kami bahwasanya kami berbaiat atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan sempit, dalam keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya beliau bersabda : “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan nyata yang kalian punya bukti dihadapan Allah” [Shahih Muslim 1709]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Ini adalah perintah agar selalu taat walaupun ada sikap egois dari waliyul amr, yang ini merupakan kezholiman darinya, dan larangan dari merebut kekuasaan dari pemiliknya, yaitu larangan dari memberontak kepadanya, karena pemiliknya adalah para waliyul amr yang diperintahkan agar ditaati, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah”[Minhajus Sunnah 3/395]

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menukil ijma’ para ulama dalam masalah ini dari Ibnu Bathlam yang berkata : “Para fuqoha telah sepakat atas wajibnya taat kepada pemerintah yang menguasainya keadaan, wajibnya berjihad bersamanya, bahwasanya ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena dengan ketaatan akan bisa menjaga tertumpahnya darah, dan menenangkan keadaan… mereka mengecualikan hal ini jika telah terjadi kekufuran yang jelas dari penguasa” [Fathul Bari 13/7]

MENUDUH PARA ULAMA SUNNAH SEBAGAI MURJI’AH
Buku ini dari awal hingga akhir sarat dengan tuduhan-tuduhan keji kepada para ulama Ahli Sunnah bahwa mereka adalah Murji’ah, seperti perkataan penulis hlm. 183-187 : “Beberapa ulama yang berpendapat ; tiada kekafiran kecuali dengan keyakinan : Syaikh Al-Albani… intinya pendapat Al-Albani adalah sama dengan pendapat ghulatul Murji’ah … pada kesempatan lain Al-Albani membatasi kekafiran pada ingkar (juhud)”

Penulis juga berkata di dalam hlm. 215 : “Ketahuilah bahwa kesalahan Al-Hudhaibi (di atas) telah dilakukan oleh mayoritas ulama zaman sekarang, yang dalam hal ini mereka taklid kepada Ibnu Abil Izz dan Ibnul Qayyim… Pendapat mereka ini tidak ada dasarnya, tidak ada pula dalilnya yang diterima…”

Kami katakan : Tuduhan Khawarij bahwa Ahlus Sunnah adalah Murji’ah bukan perkara baru, Al-Imam Ishaq bin Rahuwiyah berkata ; Suatu saat Abdullah bin Mubarok datang ke kota Ray maka berdiri menghampirinya seorang dari ahli ibadah –dugaan terkuat dia ini mengikuti pemikiran Khawarij- dia berkata kepada Abdullah bin Mubarok rahimahullah : “Wahai Abu Abdirrahman apa pendapatmu tentang orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Abdullah bin Mubarok berkata : “Aku tidak mengeluarkannya dari keimanan”. Orang tersebut berkata ; “Wahai Abu Abdirrahman dalam usia setua ini engkau menjadi Murji’ah?!, Abdullah bin Mubarok berkata : “Orang-orang Murji’ah tidak setuju dengan kami, mereka mengatakan : Amalan-amalan kami diterima dan dosa-dosa kami diampuni, dan seandainya aku tahu bahwa satu amalan baikku diterima maka aku akan mempersaksikan bahwa diriku di surga”. [Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits hlm. 84 dengan sanad yang shohih]

Tentang tuduhan irja’ kepada Syaikh Al-Albani rahimahullah maka telah dibantah oleh para ulama Sunnah di antaranya Syaikh Dr Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh yang berkata : Yang kami yakini dan yang kami pertanggung jawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala : Bahwasanya Syaikh Ali hafizhahullah dan gurunya –Syaikh Al-Albani rahimahullah paling jauh di antara manusia dari madzhab Murji’ah- sebagaimana telah kami katakan sebelumnya.

Demikian juga Syaikh Al-Albani jika ditanyakan kepadanya : “Apakah definisi Iman? “Tidak akan kita dapati dalam ucapannya perkataan Murji’ah yang mengatakan bahwa amalan tidak masuk dalam keimanan.

Bahkan nash-nash Syaikh Al-Albani rahimahullah menashkan bahwa definisi iman adalah : “Keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan’ [Lihat Tanbihat Mutawaimah hlm 553-557]

PENUTUP
Inilah yang bisa kami sampaikan kepada para pembaca tentang jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat buku ini, sebetulnya masih banyak hal-hal lain dari buku ini yang perlu dijelaskan, tetapi Insya Allah yang telah kami paparkan sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang bahaya buku ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikutinya. Amin

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 5 th. Ke 7 1428/2007 [Des 07-Jan 08], Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu – Gresik, Jatim 61153]

BANTAHAN BUKU KAFIR TANPA SADAR (1)

KAFIR TANPA SADAR MENGUSUNG PEMAHAMAN KHAWARIJ



Oleh : Abu Ahmad As-SalafiIni



Muqoddimah
Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul Kafir Tanpa Sadar oleh Abdul Qadir bin Abdul Aziz. Buku ini adalah salah satu dari buku-buku yang sangat dahsyat menghembuskan syubhat Khawarij dari awal hingga akhir. Yang sangat disayangkan bahwa buku-buku seperti ini sangat marak akhir-akhir ini, hal ini menunjukkan bahwa fitnah Takfir saat ini begitu deras menerpa.

Karena itulah maka insya Allah dalam pembahasan kali ini kami berusaha menyingkap syubhat-syubhat yang berada dalam buku tersebut sebagai nasehat kepada kaum muslimin dan pembelaan kepada manhaj yang haq.

PENULIS DAN PENERBIT BUKU INI
Judul asli buku ini adalah Al-Jami fil-Ilmi Asy-Syarif Al-Iman wa Al-Kufr, ditulis oleh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, diterjemahkan oleh Abu Musa Ath-Thayyar, dan diterbitkan oleh Media Islamika Solo, cetakan pertama September 2006

MENGIKUTI KHAWARIJ DALAM MEMAHAMI AYAT HUKUM
Penulis berkata di dalam hlm. 212 : “Sesungguhnya kekafiran yang disebut di dalam ayat ini (ayat 44 dari Surat Al-Ma’idah) adalah kufur akbar.

Sebelumnya pada hlm. 64 penulis berkata :”Pedoman umum : sesungguhnya, semua kata kafir yang diungkapkan dengan isim yang ber-alif ta’rif.. maksudnya adalah akbar ..”[At-Tamhid 5/74-75]

Kami katakan : Perkataan penulis, “Setiap kekafiran yang diungkapkan dengan isim ma’rifah maka maksudnya adalah kufur akbar [1]”, berbenturan dengan sebagian atsar yang datang dari para sahabat yang di dalamnya menyifati sebagian dosa-dosa dengan lafadz kufur yang menggunakan alif dan lam ta’rif, bersamaan dengan itu dosa-dosa tersebut dianggap kufur ashghor [2] dengan kesepakatan para ulama ahli Sunnah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari di dalam Shahihnya 5273 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang di dalamnya istri Tsabit bin Qois berkata :

“Dan akan tetapi aku membenci kekufuran di dalam Islam’’

Dia maksudkan mengkufuri suami sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Fathul bari 9/400

Demikian juga diriwayatkan oleh Nasa’i rahimahullah di dalam Sunan Kubro (118 Isyrotun Nisa) dan Abdurrazzaq di dalam Mushannaf : 20953 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkomentar tentang mendatangi wanita di duburnya “ Itu adalah kekufuran’ dan sanadnya adalah kuat sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Talkhishul Habir 3/181.

Kedua atsar di atas lafadz kufur menggunakan alif dan lam ta’rif dalam keadaan maksudnya adalah kufur ashghor.

Kemudian tentang perkataan penulis, “Dan semua pendapat yang menguatkannya sebagai kufrun duna kufrin adalah pendapat yang salah….” Perlu diketahui bahwa yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah para ulama Ahli Sunnah yang terdahulu dan belakangan, di antara mereka adalah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang berkata : “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan, sesungguhnya di adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam.

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [Al-Maidah : 44]

Ini adalah kufur duna kufrin (kufur asghor)” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadroknya 2/342 dan dia berkata : “Ini adalah hadits yang shohih sanadnya, dan disetujui oleh Dzahabi dalam Talkhis Mustadrok 2/342 dan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shahihah 6/113]

Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah dari zaman tabi’in hingga zaman ini sebagaimana di dalam nukilan-nukilan di bawah ini.

[1]. Atho bin Abi Robbah rahimahullah seorang tabi’in menyebut ayat 44-46 dari surat Al-Maidah dan berkata : “Kufrun duna kufrin, fisqun duna fisqin, dan dhulmun duna dhulmin’’ [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 6/256 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shahihah 6/114]

[2]. Thowus bin Kaisan rahimahullah salah seorang tabi’in menyebut ayat hukum dan berkata ; “Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah dalam Tafsirnya 6/256 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shohihah 6/114]

[3]. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya tentang maksud kufur dalam ayat hukum maka beliau berkata ; “Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari keimanan”.[Majmu Fatawa 7/254]

[4]. Al-Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam membawakan tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dan Atho bin Abi Robbah terhadap ayat hukum dan berkata : “Maka telah jelas bagi kita bahwa kekufuran dalam ayat ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, dan bahwasanya agama tetap eksis meskipun tercampur dengan dosa-dosa” [Kitabul Iman hlm. 45]

[5]. Al-Imam Bukhari rahimahullah berkata dalam Shohihnya 1/83 :”Bab Kufronil Asyir wa Kufrun duna Kufrin’. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Penulis (Al-Imam Bukhari) mengisyaratkan kepada atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Kitabul Iman dari jalan Atho’ bin Abi Robbah dan yang lainnya” [Fathul Bari 1/83]

Perkataan semakna juga datang dari Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari, Al-Imam Baihaqi, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, Al-Imam Qurthubi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, Syaikh Al-Albani rahimahullah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Kalau begitu, pendapat siapakah yang diikuti oleh penulis di dalam pemahaman ayat ini?! Tidak lain adalah madzhab Khowarij sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah tatkala mengomentari perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diatas “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan” : “Seakan-akan beliau mengisyaratkan kepada orang-orang Khawarij yang memberontak kepda Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu”. [Silsilah Shahihah 6/113]

Kemudian penulis berkata pada hlm. 216 : “Sesungguhnya ayat tersebut bersifat umum, mencakup semua orang yang tidak memutuskan hukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, ayat tersebut menggunakan man syarthiyyah (barangsiapa atau siapa saja yang berfungsi sebagai syarat) yang merupakan bentuk kalimat paling umum..”

Kami katakan : Jika diambil keumuman ayat ini maka konsekwensinya adalah mengkafirkan kaum muslimin di dalam setiap kasus yang mereka tidak adil di dalamnya, termasuk seorang bapak terhadap anak-anaknya, bahkan seseorang terhadap dirinya sendiri jika dia maksiat kepada Rabbnya ; karena tatkala dia maksiat kepada Rabbnya maka saat itu dia tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Padahal banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sekedar kemaksiatan tidaklah menjadikan pelakunya kafir seperti firman Allah.

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya” [Al-Hujurat : 9]

Maka nash-nash yang menunjukkan tidak kafirnya setiap pelaku kemaksiatan adalah yang memalingkan kufur akbar dalam ayat di atas kepada kufur ashghor, karena itulah maka para ulama sepakat tidak mengambil keumuman ayat ini, berbeda dengan orang-orang Khawarij yang memakai keumuman ayat ini di dalam mengkafirkan para pelaku dosa dan kemaksiatan tanpa melihat kepada dalil-dalil yang lain yang memalingkan ayat ini dari keumumannya.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata : “Telah sesat sekelompok ahli bida’ dari Khawarij dan Mu’tazilah dalam bab ini, mereka berargumen dengan ayat-ayat di dalam Kitabullah yang tidak atas dhahirnya seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Ma’idah : 44] [At-Tamhid 17/16]

Beliau juga berkata : “Para ulama sepakat bahwa kecurangan dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar bagi seorang yang sengaja melakukannya dalam keadaan mengetahui hukumnya ..’



KERANCUAN PENULIS DI DALAM MEMAHAMI DARUL KUFUR DAN DARUL ISLAM
Penulis berkata di dalam hlm. 20 : “Negeri yang menggunakan undang-undang kafir adalah darul kufri (negeri kafir). Jika sebelumnya negeri itu menggunakan hukum syari’ah, lalu berganti dengan undang-undang kafir, sedangkan penduduknya masih Islam maka negeri itu Daru Kufrin Thari (negeri kafir yang tidak asli)”.

Kami katakan ; Penulis mengikuti pemahaman Khowarij yang berpendapat bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia kafir keluar dari Islam secara mutlak tanpa perincian, apakah dia mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak, dan memahami secara rancu tentang hal yang menyebabkan suatu negeri dikatakan sebagai Darul Islam atau Darul Kufur

Yang benar bahwa suatu negeri dikatakan sebagai Darul Islam jika nampak syi’ar-syi’ar Islam dari penduduk negeri seperti shalat lima waktu, shalat jum’at, dan shalat Ied, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut ini.

[1]. Hadits Anas Radhiayallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Adalah Rasulullah hendak menyerang daerah musuh ketika terbit fajar, beliau menunggu suara adzan, jika belaiu mendengar adzan maka beliau menahan diri, dan jika tidak mendengar adzan maka beliau menyerang” [Muttafaq Alaih, Shahih Bukhari 610 dan Shahih Muslim 1365]

Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Hadits ini menunjukkan bahwa adzan menahan serangan kaum muslimin kepada penduduk negeri daerah tersebut, karena adzan tersebut merupakan dalil atas ke-islaman mereka” [Syarah Nawawi pada Shahih Muslim 4/84]

Al-Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Adzan adalah tanda yang membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur” [Al-Jami Liahkamil Qur’an 6/225]

Az-Zarqoni berkata : “Adzan adalah syi’ar Islam dan termasuk tanda yang membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur” [Syarah Az-Zarqoni atas Muwatho 1/215]

[2]. Hadits Isham Al-Muzanny bahwasanya dia berkata.
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau bersabda :”Jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh seorangpun”.[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 3/448, Abu Dawud dalam Sunannya 2635 dan Tirmidzi dalam Jaminya 1545 dan dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dho’if Sunan Abu Dawud hlm. 202]

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :”Hadits ini menunjukkan bahwa sekedar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri maka ini cukup menjadi dalil atas keislaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukan agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal : Adanya masjid atau mendengar Adzan” [Nailul Authar 7/287]

Berdasarkan uraian di atas maka jika didengar adzan di suatu negeri atau didapati suatu masjid, dan penduduknya muslim, maka negeri tersebut adalah Darul Islam, meskipun para penguasanya tidak menerapkan syari’at Islam, hal inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau berkata : “Keberadaan suatu tempat sebagai negeri kafir atau negeri iman atau negeri orang-orang fasiq, bukanlah sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi dia adalah sifat yang insidental sesuai dengan keadaan penduduknya, setiap jengkal bumi yang penduduknya orang-orang mukmin yang bertaqwa maka tempat tersebut adalah negeri para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala di saat itu, setiap jengkal tanah yang penduduknya selain yang kita sebutkan tadi, dan berubah dengan selain mereka, maka negeri itu adalah negeri mereka” [Majmu Fatawa 18/282]

Lalu kapankan suatu negeri Islam menjadi Darul Kufur? Yang rojih dari pendapat para ulama bahwa negeri Islam tidak berubah menjadi darul kufur dengan sekedar dominannya hukum-hukum kekafiran padanya, atau sekedar penguasaan orang-orang kafir padanya, selama para penduduknya masih mempertahankan ke-islaman mereka, bahwa selama mereka masih menegakkan sebagian dari syi’ar-syi’ar Islam khususnya sholat

Al-Kasani berkata : “Tidak ada khilaf di antara para sahabat kami (madzhab Hanafi) bahwasanya darul kufur berubah menjadi darul Islam, dengan nampaknya hukum-hukum Islam padanya, dan mereka berselisih dengan ada Darul Islam berubah menjadi Darul Kufur, Abu Hanifah rahimahullah berkata : Darul Islam tidak berubah menjadi Darul Kufur kecuali dengan tiga syarat : yang pertama dominannya hukum-hukum kafir padanya, yang kedua bersambungnya dengan Darul Kufur, yang ketiga tidak tersisa didalamnya seorang muslim dan seorang dzimmi yang merasa aman dengan jaminan keamanan dari kaum muslimin ..”[Bada’i Shonai 7/130]

Ad-Dasuqy berkata : “Sesungguhnya negeri Islam tidaklah berubah menjadi Darul Harbi (negeri kafir yang diperangi) sekedar dengan penguasaan orang-orang kafir atasnya, tetapi hingga terputus penegakan syi’ar-syi’ar Islam darinya, adapun selama tetap ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam atau sebagian besar darinya, maka tidaklah dia berubah menjadi Darul Harbi” [Hasyiyah Dasuqy 2/189]

Merupakan kaidah dalam syari’at bahwa : Hukum asal sesuatu adalah dikembalikan pada asalnya. Tidak berubah hukum asal ini kecuali jika ada yang memindahkannya ke hukum yang lainnya dengan cara yang yakin.

Di antara contoh-contoh dalam hal ini adalah negeri Andalusia (Spanyol) yang berubah menjadi Darul Kufur sesudah kaum muslimin diusir darinya, dan sejak syi’ar-syi’ar Islam di situ dihukumi tidak ada.

Di antara contoh-contoh hal ini juga adalah negeri Islam yang para penguasanya tidak menerapkan hukum Islam bersamaan dengan itu para penduduknya menampakkan syi’ar-syi’ar Islam maka negeri itu adalah Darul Islam, karena tidak ada indikasi yang memindahkannya dari hukum asalnya. [Lihat Al-Ghuluw Fifd Din oleh Syaikh Abdurrahman bin Ma’la Al-Luwaihiq hlm 340].

PENULIS MENGHASUNG KEPADA PEMBERONTAKAN
Setelah membabi buta menyifati negeri-negeri Islam yang penguasanya tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwasanya negeri-negeri itu adalah Darul Kufur, maka penulis menghasung para pembaca agar tidak taat kepada mereka, dia berkata di dalam hlm. 19 : “Tiada kewajiban bagi seorang muslim untuk menataati para penguasa tersebut. Demikian pula, tidak wajib baginya mematuhi undang-undang negeri tersebut. Akan tetapi dia bebas untuk melanggarnya, semau dia..”

Bahkan penulis menganggap bahwa memberontak kepada para penguasa tersebut adalah jihad sebagaimana dia katakan di dalam hlm. 30 :”Mereka memandang bahwa penguasa mereka yang kafir itu adalah orang Islam yang bertaqwa, dan mereka memandang orang-orang muslim yang berjihad sebagai Khawarij yang sesat…”

Tidak diragukan lagi bahwa penulis telah menyelisihi pokok yang agung dari syari’at Islam yaitu wajibnya taat kepada waliyul amr di dalam hal yang ma’ruf sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rosul(Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian…” [An-Nisaa : 59]

Adapun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka di antaranya adalah perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar selalu taat kepada waliyul amr, tidak membatalkan baiat, dan sabar atas kecurangan para penguasa

Dari Ubadah bin Shomit bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiatnya, di antara yang diambil atas kami bahwasanya kami berbaiat atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan sempit, dalam keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya beliau bersabda : “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan nyata yang kalian punya bukti dihadapan Allah” [Shahih Muslim 1709]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Ini adalah perintah agar selalu taat walaupun ada sikap egois dari waliyul amr, yang ini merupakan kezholiman darinya, dan larangan dari merebut kekuasaan dari pemiliknya, yaitu larangan dari memberontak kepadanya, karena pemiliknya adalah para waliyul amr yang diperintahkan agar ditaati, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah”[Minhajus Sunnah 3/395]

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menukil ijma’ para ulama dalam masalah ini dari Ibnu Bathlam yang berkata : “Para fuqoha telah sepakat atas wajibnya taat kepada pemerintah yang menguasainya keadaan, wajibnya berjihad bersamanya, bahwasanya ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena dengan ketaatan akan bisa menjaga tertumpahnya darah, dan menenangkan keadaan… mereka mengecualikan hal ini jika telah terjadi kekufuran yang jelas dari penguasa” [Fathul Bari 13/7]

MENUDUH PARA ULAMA SUNNAH SEBAGAI MURJI’AH
Buku ini dari awal hingga akhir sarat dengan tuduhan-tuduhan keji kepada para ulama Ahli Sunnah bahwa mereka adalah Murji’ah, seperti perkataan penulis hlm. 183-187 : “Beberapa ulama yang berpendapat ; tiada kekafiran kecuali dengan keyakinan : Syaikh Al-Albani… intinya pendapat Al-Albani adalah sama dengan pendapat ghulatul Murji’ah … pada kesempatan lain Al-Albani membatasi kekafiran pada ingkar (juhud)”

Penulis juga berkata di dalam hlm. 215 : “Ketahuilah bahwa kesalahan Al-Hudhaibi (di atas) telah dilakukan oleh mayoritas ulama zaman sekarang, yang dalam hal ini mereka taklid kepada Ibnu Abil Izz dan Ibnul Qayyim… Pendapat mereka ini tidak ada dasarnya, tidak ada pula dalilnya yang diterima…”

Kami katakan : Tuduhan Khawarij bahwa Ahlus Sunnah adalah Murji’ah bukan perkara baru, Al-Imam Ishaq bin Rahuwiyah berkata ; Suatu saat Abdullah bin Mubarok datang ke kota Ray maka berdiri menghampirinya seorang dari ahli ibadah –dugaan terkuat dia ini mengikuti pemikiran Khawarij- dia berkata kepada Abdullah bin Mubarok rahimahullah : “Wahai Abu Abdirrahman apa pendapatmu tentang orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Abdullah bin Mubarok berkata : “Aku tidak mengeluarkannya dari keimanan”. Orang tersebut berkata ; “Wahai Abu Abdirrahman dalam usia setua ini engkau menjadi Murji’ah?!, Abdullah bin Mubarok berkata : “Orang-orang Murji’ah tidak setuju dengan kami, mereka mengatakan : Amalan-amalan kami diterima dan dosa-dosa kami diampuni, dan seandainya aku tahu bahwa satu amalan baikku diterima maka aku akan mempersaksikan bahwa diriku di surga”. [Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits hlm. 84 dengan sanad yang shohih]

Tentang tuduhan irja’ kepada Syaikh Al-Albani rahimahullah maka telah dibantah oleh para ulama Sunnah di antaranya Syaikh Dr Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh yang berkata : Yang kami yakini dan yang kami pertanggung jawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala : Bahwasanya Syaikh Ali hafizhahullah dan gurunya –Syaikh Al-Albani rahimahullah paling jauh di antara manusia dari madzhab Murji’ah- sebagaimana telah kami katakan sebelumnya.

Demikian juga Syaikh Al-Albani jika ditanyakan kepadanya : “Apakah definisi Iman? “Tidak akan kita dapati dalam ucapannya perkataan Murji’ah yang mengatakan bahwa amalan tidak masuk dalam keimanan.

Bahkan nash-nash Syaikh Al-Albani rahimahullah menashkan bahwa definisi iman adalah : “Keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan’ [Lihat Tanbihat Mutawaimah hlm 553-557]

PENUTUP
Inilah yang bisa kami sampaikan kepada para pembaca tentang jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat buku ini, sebetulnya masih banyak hal-hal lain dari buku ini yang perlu dijelaskan, tetapi Insya Allah yang telah kami paparkan sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang bahaya buku ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikutinya. Amin

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 5 th. Ke 7 1428/2007 [Des 07-Jan 08], Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu – Gresik, Jatim 61153]

HUKUM MENGKRITIK PENGUASA

Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya:

Pertanyaan: apakah termasuk manhaj salaf mengeritik penguasa diatas mimbar-mimbar? Dan bagaimana manhaj salaf dalam menasehati penguasa?

Beliau menjawab:



ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة وذكر ذلك على المنابر لأن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم السمع والطاعة في المعروف ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع ,ولكن الطريقة المتبعة عند السلف النصيحة فيما بينهم بين السلطان, والكتابة إليه أو الاتصال بالعلماء الذي يتصلون به حتى يوجه إلى الخير وإنكار المنكر يكون من دون ذكر الفاعل ويكفي إنكار المعاصي والتحذير منها من غير ذكر أن فلانا يفعلها لا حاكم ولا غير حاكم.



ولما وقعت الفتنة في عهد عثمان رضي الله عنه قال بعض الناس لأسامة بن زيد رضي الله عنه : ألا تنكر على عثمان؟! قال: أنكر عليه عند الناس؟! لكن أنكر عليه بيني وبينه,ولا أفتح باب شر على الناس .



ولما فتحوا الشر في زمن عثمان رضي الله عنه وأنكروا على عثمان جهرة تمت الفتنة والقتال والفساد الذي لا يزال الناس في آثاره إلى اليوم, حتى حصلت الفتنة بين علي ومعاوية رضي الله عنه وقتل عثمان وعلي رضي الله عنه بأسباب ذلك, وقتل جم كثير من الصحابة رضي الله عنهم وغيرهم بأسباب الإنكار العلني وذكر العيوب علنا حتى أبغض الناس ولي أمرهم وحتى قتلوه, نسأل الله العافية.





bukan termasuk manhaj salaf menyebarkan aib para penguasa dan menyebutkannya diatas mimbar-mimbar,sebab yang demikian akan menyebabkan kekacauan, dan penguasa tidak lagi didengarkan dan ditaati dalam perkara yang ma’ruf, dan menyebabkan mereka sibuk dalam perkara yang memudaratkan dan tidak mendatangkan manfaat. Namun metode yang diikuti dari kalangan salaf adalah adanya nasehat antara mereka dengan penguasanya, menulis surat kepadanya, atau menghubungi para alim ulama yang memiliki akses kepadanya sehingga dapat diarahkan kepada kebaikan.



Mengingkari kemungkaran dapat dilakukan dengan tidak menyebutkan pelakunya,dan cukup dengan cara mengingkari kemaksiatan dan memberi peringatan darinya, tanpa menyebutkan bahwa si fulan yang melakukannya,apakah dia seorang penguasa atau bukan.



Tatkala muncul fitnah dizaman Utsman Radiyallohu 'anhu, sebagian orang bertanya kepada Usamah bin Zaid Radiyallohu 'anhu : mengapa Engkau tidak mengingkari Utsman ?! Beliau menjawab: apakah aku mengingkarinya dihadapan manusia?! Namun aku mengingkarinya antara aku dan dia, dan aku tidak akan membuka pintu kejahatan yang menimpa manusia.”

(HR.Muslim:2898)




Tatkala mereka membuka pintu fitnah dizaman Utsman Radiyallohu 'anhu, dan mereka mengingkari Utsman Radiyallohu 'anhu secara terang-terangan, maka fitnah dan peperangan pun berkobar, yang pengaruhnya terhadap manusia masih terasa hingga hari ini, sehingga terjadi fitnah antara Ali Radiyallohu 'anhu dengan Muawiyah Radiyallohu 'anhu, Utsman Radiyallohu 'anhu dan Ali Radiyallohu 'anhu terbunuh dengan sebab tersebut, dan terbunuh pula para sahabat –radhiallahu anhum- dalam jumlah yang banyak, dan yang lainnya yang merupakan akibat dari bentuk pengingkaran secara terbuka dan menyebutkan aib mereka secara terang-terangan, sehingga sebagian manusia benci kepada penguasanya dan bahkan sampai membunuhnya, semoga Allah senantiasa menyelamatkan kita.



(dari kitab: alfatawa al-muhimmah fi yabshir al-ummah,Jamal bin Furaihan Al-Haritsi,hal:17-18)

Diterjemahkan Oleh : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
Sumber : http://tsabat.com

Situasi Ja'far thalib terkini

Penulis: Assunnah

NASEHAT DAN RENUNGAN
UNTUK SEGENAP SALAFIYYIN DI INDONESIA


Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan siapa saja yang berloyalitas kepadanya. Amma ba'du:

Sesungguhnya dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang berkah. Dan di antara nikmat Allah yang besar kepada kita adalah pemberian Allah kepada kita berupa taufiq-Nya untuk menelusuri jalan dakwah ini, hingga kita berjalan di atasnya, di atas manhajnya. Dakwah ini telah mendapatkan sambutan masyarakat, baik di desa maupun di kota. Sungguh, semua itu terwujud dengan taufiq dari Allah dan hidayah-Nya, lalu dengan kuatnya hubungan antara pemeluk dakwah ini dengan para ulamanya, demikian pula dengan kesungguhan para da'i yang istiqamah di atas jalan dakwah ini. Semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan.

Sehingga dakwah ini menyatukan kata salafiyyin di penjuru-penjuru negeri. Terwujudlah saling bantu-membantu di antara mereka dalam hal kebaikan dan ketaqwaan, satu hal yang menyulut kemarahan para musuh dakwah. Dan bertambahlah kebaikan ini dengan berkesinambungannya daurah dan kunjungan para syaikh pada beberapa tahun terakhir ini. Maka, orang-orang pada umumnya dan salafiyyin pada khususnya, dapat mengambil manfaat dari bimbingan dan nasehat para ulama mereka. Semua itu semakin mengeratkan hubungan dan persaudaraan di antara salafiyyin.

Sungguh telah muncul suatu masalah yang mengkhawatirkan atas dakwah yang berkah ini, terpecahnya persatuan mereka dan terobek-robeknya barisan mereka. Sesuatu yang mengharuskan adanya peringatan dan nasehat. Masalah tersebut adalah apa yang diisukan perihal Al-Akh Ja'far bin Umar bin Tholib dan taubatnya, serta perbedaan menyikapinya.

Kami, insya Allah, termasuk orang yang paling dekat dengannya, paling mengerti tentang keadaannya dan paling berharap akan taubatnya. Namun di sisi kami ada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta pengarahan para ulama, yang dengannya kami berjalan.

Maka dari itu, kami nasehatkan kepada segenap salafiyyin dan semua orang yang menjunjung tinggi dakwah salafiyyah dengan beberapa hal. Diantaranya adalah:

1. Bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjauhkan diri dari berbagai bentuk perpecahan serta segala sebab-sebabnya.

2. Tidak membuat keresahan dan kebingungan saudara-saudara kita dalam bentuk penyebaran SMS dan yang semisalnya, yang menimbulkan fitnah di antara mereka. Juga untuk selalu berhati-hati dari semua pihak yang ingin menggunakan kesempatan ini untuk memecah-belah barisan salafiyyin.

3. Membiarkan Al-Akh Ja'far pada keadaannya yang semula sebagaimana sikap kita sebelumnya berupa pemutusan hubungan apapun dengannya, sampai dia tampakkan taubatnya serta membaik taubatnya tersebut.

Hal ini sebagaimana difatwakan oleh syaikh-syaikh kita yang mulia,
Ayahanda Asy-Syaikh yang mulia Rabi' bin Hadi Al-Madkhali,
Ayahanda Asy-Syaikh yang mulia Ubaid Al-Jabiri dan
Asy-Syaikh yang mulia Muhammad bin Hadi Al-Madkhali,
serta yang selain mereka. Semoga Allah menjaga mereka semuanya.

Adapun yang terkait dengan masalah taubatnya, maka kami para da'i, para ustadz dan para penuntut ilmu berpegang teguh dengan kewajiban syar'i, yaitu tidak mendahului ulama dan mengembalikan urusan kepada mereka, serta tidak menyibukkan diri dengan menyebarkan atau menerima isu-isu seputar masalah ini. Inilah yang kami wasiatkan kepada diri kami dan seluruh salafiyyin, dalam rangka mengharap wajah Allah. Juga dengan mengharap dari semua pihak untuk merasakan besarnya tanggung jawab ini dalam rangka menjaga nama baik dakwah kita dan menjaga persatuan pemeluknya.

Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami bila kami lupa atau kami salah, dan janganlah Engkau jadikan dalam qalbu kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Dan kami memohon kepada Allah agar mengokohkan kami di atas kebenaran dan menyatukan kami di atasnya. Kabulkanlah, wahai Dzat yang mengabulkan permintaan hamba-hamba-Nya yang meminta.

Ahad, 14 Rabi'ul Awwal 1431 H
28 Februari 2010 M

Al-Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed
Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba'abduh
Al-Ustadz Usamah bin Faishol Mahri
Al-Ustadz Abdush Shomad Bawazir
Al-Ustadz Hamzah Abu Sa'id
Al-Ustadz Salman bin Utsman
Al-Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi
Al-Ustadz Askari bin Jamal
Al-Ustadz Afifuddin
Al-Ustadz Ayip Syafruddin
Al Ustadz Ahmad Khodim
Al-Ustadz Qomar
Al-Ustadz Muhammad bin Abdullah Barmim

DENGAN BIMBINGAN ASY-SYAIKH ABDULLAH BIN UMAR BIN BURAIK MAR ' I , SEMOGA ALLAH SENANTIASA MENJAGANYA .

Bid'ah Hizbiyyah

Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal

Di antara manhaj bid’ah di dalam Islam adalah apa yang dilakukan sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam, yang terjerumus ke dalam fitnah hizbiyyah. Mereka menerapkan hadits-hadits tentang bai’at, yang seharusnya dipahami sebagai kewajiban taat seorang muslim kepada pemerintahnya, namun diarahkan kepada kelompok mereka masing-masing, yang mewajibkan para pengikutnya untuk berbai’at kepada pemimpin kelompoknya. Barangsiapa yang tidak berbai’at kepadanya (pemimpin kelompok) maka dia mati jahiliah. Lalu dibangun di atas pemahaman ini bahwa yang dimaksud mati jahiliah adalah kafir dan keluar dari Islam. Sehingga yang tidak berbai’at kepada pimpinan jamaahnya dianggap kafir dan halal darahnya.
Kemudian, berdasarkan pemikiran ini, di antara mereka ada yang sampai kepada tingkat pemahaman menganggap halalnya mencuri atau merampas harta kaum muslimin dengan keyakinan bahwa harta mereka adalah ghanimah (harta rampasan perang milik orang kafir). Atau enggan shalat di belakangnya di masjid-masjid kaum muslimin karena menganggap bermakmum di belakang orang kafir hukumnya tidak sah. Bahkan sampai pada tingkatan upaya melakukan gerakan bawah tanah yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan alasan bahwa pemerintahan mereka telah kafir dan tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga telah gugur kewajiban taat dan kewajiban berbai’at kepadanya. Sedangkan bai’at hanyalah diserahkan kepada pemimpin kelompoknya saja. Dari sinilah cikal-bakal munculnya kaum teroris Khawarij yang memorakporandakan keamanan negeri-negeri muslimin.
Di sisi lain, sebagian bai’at diterapkan oleh kelompok-kelompok bid’ah hizbiyyah berorientasi bukan pada pemberontakan terhadap penguasa yang sah dan melakukan tindak kekerasan. Namun lebih fokus kepada sikap kultus individu kepada pemimpin kelompok dan menaati seluruh ucapannya, serta menganggap bahwa seluruh ucapannya adalah benar dan tidak pernah salah. Ini seperti keyakinan kelompok-kelompok Shufiyah (Sufi) terhadap pemimpin dan orang yang dianggapnya sebagai wali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Namun secara umum, bai’at-bai’at bid’ah hizbiyyah tersebut telah menanamkan pemahaman akan wajibnya taat kepada pemimpin yang dibai’at dan diharamkan menyelisihi perintah serta aturannya, karena hal itu akan menyebabkan mereka mati dengan cara mati jahiliah. Demikian menurut sangkaan mereka.
Abu Qilabah rahimahullahu berkata:
مَا ابْتَدَعَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا اسْتَحَلُّوا السَّيْفَ
“Tidaklah satu kaum melakukan satu bid’ah melainkan mereka akan menghalalkan pedang (yakni menghalalkan darah kaum muslimin, pen.).” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalaka’i, no. 247)
Berikut ini, kami sebutkan beberapa kelompok sempalan yang menerapkan metode bai’at kepada para pengikutnya untuk taat kepada pemimpinnya.

Bai’at jamaah Al-Ikhwanul Muslimun (IM)
Di dalam jamaah Al-Ikhwanul Muslimun, bai’at sudah ditetapkan oleh pemimpinnya semenjak berdirinya, yakni Hasan Al-Banna. Dalam salah satu tulisannya, Hasan Al-Banna menjelaskan tentang bai’at dalam jamaahnya, “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kami ada sepuluh maka hafalkanlah: Pemahaman, ikhlas, beramal, berjihad, berkorban, ketaatan, teguh, jernihkan pemikiran, persaudaraan, dan kepercayaan.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, jilid 1/1-2)
Tatkala menjelaskan masalah ketaatan, dia berkata: “Yang saya maksudkan dengan ‘ketaatan’ adalah melaksanakan perintah dan menjalankannya sendirian, baik di saat sulit atau mudah, di saat semangat ataupun terpaksa.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, jilid 1/7)
Dia menyebutkan tiga tahapan: ta’rif, takwin, dan tanfidz. Lalu dia menjelaskan tahapan kedua takwin dengan mengatakan, “Aturan dakwah pada tahapan ini adalah Sufi yang murni dalam hal rohaninya dan ketentaraan murni dari sisi amalannya. Dan syiar kedua perkara ini adalah ‘perintah dan taat’ tanpa disertai keraguan, waswas, dan rasa berat.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, 1/7)
Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullahu mengomentari bai’at Al-Ikhwanul Muslimun ini:
“Kritikan saya terhadap bai’at ini dari beberapa sisi:
Pertama: Bai’at merupakan hak penguasa tertinggi. Barangsiapa yang mengambil bai’at bukan pada penguasa tertinggi, sungguh dia telah berbuat bid’ah yang tercela di dalam agama.
Kedua: Tidak diketahui bahwa para pengemban dakwah mengambil bai’at atas dakwah mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu telah menegakkan dakwah di abad ke-12 hijriah di Najd, namun beliau tidak pernah mengambil bai’at dari siapapun untuk taat kepadanya. Hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah dalam dakwahnya. Demikian pula Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Qar’awi ketika menegakkan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala di Kerajaan Arab Saudi bagian selatan. Beliau tidak pernah mengatakan kepada seseorang bahwa dia ingin mengikatnya dengan bai’at dalam dakwahnya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberi berkah dalam dakwahnya. Sebelum mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tidak pernah mengambil bai’at dari siapapun dan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberkahi dakwahnya.
Ketiga: Bai’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya lebih sedikit dari apa yang disebutkan Al-Banna. Dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma disebutkan:
“Kami membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, sebatas kemampuan kalian.”
Ini bagian dari sepuluh rukun yang disebutkan. Manakah dalil atas rukun-rukun lainnya?
Keempat: Dia menjadikan bentuk ketaatan pada tahapan kedua dari tiga tahapan dakwah yang dia ada-adakan sebagai ketaatan militer yang harus dijalankan, baik perintah itu salah atau benar, batil atau haq. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para sahabatnya untuk mendengar dan taat dan berkata “Sesuai kemampuan kalian.”
(Dinukil dengan ringkas dari kitab Al-Maurid Al-Adzb Az-Zulal, karya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullahu, hal. 214-217)

Bai’at jamaah 354/ Islam Jamaah
Dalam Islam Jamaah, yang bernaung dibawah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), perintah amir mendapat tempat istimewa dan sangat menentukan serta merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits yang manqul. Hal itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari para pengikutnya. Kepatuhan mereka kepada amir adalah sami’na wa atha’na mas tatha’na (kami mendengar dan taat semampu kami). Untuk mempertebal keyakinan pengikutnya, mereka mengarahkan ayat dan hadits yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada ulil amri, kepada wajib taat kepada amir jamaahnya. Segala keputusan ada di tangan amir. Mulai dari boleh tidaknya seseorang berdakwah sampai kepada soal nikah. Amirlah yang menentukan apakah seseorang boleh atau tidak menikah dengan gadis atau pemuda pilihannya, ataupun bercerai dari istri atau suaminya. Demikian pula dalam soal harta. Amirlah yang menentukan apakah seseorang boleh menjual hartanya, misalnya sawah, rumah, kendaraan, dan lain sebagainya. (Bahaya Islam Jamaah, hal. 145)
Demikian pula dalam hal penafsiran, semua anggota Islam Jamaah dilarang menerima segala penafsiran yang tidak bersumber dari imam. Sebab penafsiran yang tidak berasal dari imam semuanya salah, sesat, berbahaya, dan tidak manqul. (Bahaya Islam Jamaah, hal. 22)

Jamaah Ansharut Tauhid
Jamaah yang dipimpin oleh Abu Bakr Abdush Shamad Ba’asyir yang merupakan salah satu tokoh Khawarij di negeri kita ini, juga menerapkan sistem bai’at as-sam’u wat tha’ah (mendengar dan taat) kepada para pengikutnya. Ba’asyir –yang sebelumnya juga pernah menjadi Amir MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) sebelum terjadinya perpecahan di antara mereka– juga menerapkan pola yang sama ketika masih di MMI, yaitu bai’at untuk mendengar dan taat kepadanya. Ba’asyir memosisikan dirinya sebagai amir yang harus ditaati layaknya penguasa sebuah negeri. Nash-nash yang seharusnya diarahkan kepada penguasa muslim di sebuah negeri, dia terapkan kepada organisasi dan para pengikutnya.
Dalam makalah “Selayang pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT)” terbitan jamaah tersebut, pada hal. 7, dia menyebutkan sistem yang diterapkan dalam jamaah ini:
“Sistem organisasi perjuangan adalah dalam bentuk jamaah dan imamah.”
Juga disebutkan:
“Amir wajib ditaati selama perintah dan kebijaksanaannya tidak maksiat berdasarkan dalil yang qath’i.”

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59) [Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid hal. 9]
Perhatikanlah, ayat yang semestinya diterapkan untuk penguasa negeri justru diarahkan kepada jamaah dan kelompoknya, bak mendirikan negara di dalam sebuah negara.
Jamaah ini mengikat para pengikutnya dengan ikatan janji, yang disebut mu’ahadah, mu’aqadah, atau yang lebih masyhur dengan penyebutan bai’at.
Dalam Selayang Pandang tentang I'lan Jamaah Ansharut Tauhid disebutkan:
“Mu’ahadah artinya perjanjian atas ketaatan dalam hal yang ma’ruf. Berarti, pemberian janji (sumpah setia) dari seseorang kepada amir untuk sam’u dan tha’ah dalam hal selain maksiat. Baik dalam keadaan senang atau terpaksa, dalam kesempitan atau kelapangan, serta tidak mencabut bai’at dari ahlinya dan menyerahkan urusan kepadanya.” (Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid, hal. 23)
Dengan doktrin sam’u (mendengar) dan tha’ah (taat) kepada para pengikutnya, mereka pun rela berjuang dengan harta dan jiwa mereka sekalipun, jika mendapat perintah dari amir jamaahnya, Abu Bakr Ba’asyir, meskipun bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebab, yang wajib ditaati menurut mereka adalah amir jamaahnya, bukan amir Indonesia yang dianggap telah melakukan pelanggaran syariat.
Bahkan ketika masih menjabat sebagai amir MMI, dengan tegas mengeluarkan pernyataan sikap atas nama ahlul halli wal ‘aqdi Majelis Mujahidin, dengan judul Fatwa syar’i terhadap pemerintahan SBY-JK, yang mengharamkan tindakan pemerintah ketika menaikkan harga BBM. Pada bagian akhir menyebutkan keputusan yang berbunyi: “Apabila SBY-JK tidak mengembalikan amanah kepada rakyat secara konstitusional, maka rakyat tidak mempunyai kewajiban lagi untuk menaatinya.” (Risalah Mujahidin, edisi 5 Muharram 1428 H/Feb 2007, hal. 89)
Lebih tegas lagi menyatakan bahwa pemerintah sekarang ini telah murtad dan keluar dari Islam, dalam tulisan yang berjudul “SURAT ULAMA kepada Presiden Republik Indonesia”, di mana Abu Bakr Ba’asyir menjadi urutan pertama yang menandatangani isi surat tersebut. Disebutkan pada hal. 25-26:
“Setiap muslim yang bertauhid akan sampai pada kesimpulan yang ditarik oleh para ulama yang tsiqah (terpercaya) baik salaf maupun kontemporer, yaitu jatuhnya vonis murtad bagi para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini. Para penguasa muslim yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin hari ini telah melakukan banyak hal yang membatalkan keislaman mereka, sehingga kemurtadan mereka berasal dari banyak hal. Artinya, kemurtadan mereka adalah kemurtadan yang sangat parah sehingga hujjah tentang murtadnya mereka tidak terbantahkan lagi.”
Dari sini semakin nampak, bahwa bai’at JAT kepada pemimpinnya adalah bai’at pemberontakan dan khuruj (keluar) dari ketaatan kepada penguasa negeri, karena mereka telah dianggap kafir dan murtad.
Masih banyak lagi kelompok dan organisasi yang mengikat para pengikutnya dengan sistem jamaah dan imamah, yang semestinya diarahkan kepada penguasa negeri. Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu berkata:
أَمَّا مُبَايَعَةُ حِزْبٍ مِنَ الْأَحْزَابِ لِفَرْدٍ لِرَئِيسٍ لَهُ، أَوْ جَمَاعَةٍ مِنَ الْجَمَاعَاتِ لِرَئِيْسِهِمْ وَهَكَذَا، فَهَذَا فِي الْوَاقِعِ مِنَ الْبِدَعِ الْعَصْرِيِّةِ الَّتِي فَشَتْ فِي الزَّمَنِ الْحَاضِرِ، وَذَلِكَ بِلَا شَكٍّ مِمَّا يُثِيرُ فِتَنًا كَثِيرَةً جِدًّا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ
“Adapun bai’at yang dilakukan satu kelompok bagi seseorang terhadap pemimpinnya, atau satu jamaah kepada pemimpinnya, dan yang semisalnya, pada hakikatnya termasuk bid’ah yang baru muncul pada masa kini. Tidak diragukan lagi bahwa ini dapat menimbulkan berbagai fitnah yang sangat banyak di kalangan kaum muslimin.” (Silsilah Al-Huda wan Nur, kaset no. 288)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata pula:
الْبَيْعَةُ الَّتِي تَكُونُ فِي بَعْضِ الْجَمَاعَاتِ بِيْعَةٌ شَاذَّةٌ مُنْكَرَةٌ، يَعْنِي أَنَّهَا تَتَضَمَّنُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَجْعَلُ لِنَفْسِهِ إِمَامَيْنِ وَسُلْطَانَيْنِ، الْإِمَامُ الْأَعْظَمِ الَّذِي هُوَ إِمَامٌ عَلَى جَمِيعِ الْبِلَادِ، وَالْإِمَامُ الَّذِي يُبَايِعُهُ وَتُفْضِي أَيْضًا إِلَى شَرٍّ لِلْخُرُوجِ عَلَى الْأَئِمَّةِ الَّذِي يَحْصُلُ بِهِ سَفْكُ الدِّمَاءِ وَإِتْلَافُ الْأَمْوَالِ مَا لَا يَعْلَمُهُ بِهِ إِلَّا اللهُ
“Bai’at yang terdapat pada jamaah-jamaah merupakan bai’at yang ganjil dan mungkar. Di dalamnya terkandung makna bahwa seseorang menjadikan untuk dirinya dua imam dan dua penguasa, (pertama) imam tertinggi yang merupakan imam yang menguasai seluruh negeri, dan (kedua) imam yang dibai’atnya. Juga akan menjurus kepada kejahatan, dengan keluar dari ketaatan kepada para penguasa, yang dapat menyebabkan pertumpahan darah dan musnahnya harta benda, yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Silsilah Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, kaset no. 6, side B)
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim menyadari bahaya munculnya kelompok-kelompok yang mengikat para pengikutnya dengan bai’at. Munculnya kelompok yang seperti ini akan semakin menambah perpecahan kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya g. Wallahu a’lam.

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=928

Perang Lawan Hizbiyyah

Dakwah adalah amalan yang mulia di dalam Islam karena dengannya Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia. Para Rasul diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk berdakwah menyampaikan risalah dari Allah yang padanya ada kebaikan dunia dan akhirat bagi seluruh manusia. Di dalam Al Quran banyak ayat yang memerintahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk berdakwah.

Di antranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi.” (QS. Al Ahzab : 45-46)

“ … dan serulah kepada (agama) Rabbmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” (QS. Al Hajj : 67)

“ … serulah mereka ke (jalan) Rabbmu dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” (QS. Al Qashash : 87)

Katakanlah : “Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk beribadah kepada Allah dengan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS. Ar Ra’du : 36)

Perintah untuk berdakwah pada ayat-ayat di atas tidak hanya berlaku bagi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saja akan tetapi berlaku juga bagi seluruh umatnya. Karena pada dasarnya perintah Allah terhadap Rasul-Nya juga merupakan perintah terhadap umatnya.

Allah berfirman :

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran : 110)

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa berdakwah dengan cara amar ma’ruf dan nahi munkar termasuk sifat khusus bagi kaum Mukminin. Dengan demikian jelaslah bahwa berdakwah merupakan tugas bagi seluruh kaum Muslimin sesuai dengan kamampuan dan keilmuannya masing-masing. Hanya saja dalam hal ini para ulama mempunyai kekhususan dalam dakwahnya yakni kewajiban untuk menyampaikan kemuliaan-kemuliaan Islam, hukum-hukum, dan makna-maknanya yang detail serta permasalahan-permasalahan ijtihad. Hal ini dikarenakan luasnya ilmu mereka dan pengetahuan mereka tentang berbagai macam masalah[1]. Akan tetapi perlu diingat, setiap dakwah yang dilancarkan oleh siapa saja dari kalangan kaum Muslimin harus didasari ilmu. Sedangkan ilmu itu adalah Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Sebagaimana yang dipahami dari perkataan Ibnul Qayyim[2].

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

Katakanlah (Ya Muhammad) : “Inilah jalan (agama)ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah (ilmu) aku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf : 108)

Dengan demikian seluruh dakwah yang disampaikan harus didasari Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Dakwah seperti inilah yang diistilahkan dengan dakwah Salafiyah atau dakwah Ahlus Sunnah. Di samping adanya dakwah Salafiyah muncul pula berbagai macam dakwah hizbiyah, yakni seruan untuk mengikuti dan membela pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari pemahaman Salaf yang dibawa oleh para tokoh atau pemimpin dan pembesar-pembesar. Mereka mengukur kebenaran dengan para tokoh, pemimpin, dan pembesarnya, tidak diukur dengan Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Oleh karena itu semakin kaburlah kebenaran di kalangan umat disebabkan munculnya dakwah hizbiyah ini. Salah seorang shahabat yang mulia, Ali radliyallahu 'anhu pernah berwasiat :

“Wahai Harits, Al Haq itu tidak diketahui (yakni diukur) dengan para tokoh-tokoh. Ketahuilah Al Haq, kamu akan mengetahui siapa Ahlul Haq itu[3].” (Ushul fil Bida’ was Sunnan oleh Ahmad Muhammad Al Adawy halaman 16)

Wasiat ini mengandung peringatan agar jangan mengukur kebenaran dengan orang tertentu. Apakah itu para tokoh, pemimpin, pembesar, ulama, umara, dan yang lainnya. Akan tetapi belajarlah Al Haq kemudian ukurlah para tokoh, pemimpin, ulama, umara, dan pembesar dengan Al Haq tersebut. Dengan demikian dapat diketahui apakah mereka termasuk Ahlul Haq atau bukan?

Wasiat ini sangat penting bagi kita agar berhati-hati dari dakwah hizbiyah karena kaburnya Al Haq dan timbulnya berbagai macam perpecahan dan perselisihan. Dari mereka inilah muncul berbagai macam syubhat dari orang-orang yang menginginkan kebathilan, di antaranya :

“Mengapa dakwah yang mengajak kepada suatu kelompok, golongan, dan organisasi Islam yang dipimpin oleh seorang tokoh dikatakan dakwah hizbiyah padahal bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah juga merupakan suatu kelompok yang dipimpin ulama? Kenapa dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak disebut dengan dakwah hizbiyah?”

Dalam tulisan ini kami akan membahas makna dari Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sejarah munculnya pemahaman tersebut. Mudah-mudahan dengan demikian akan dapat memperjelas keadaan dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan perbedaannya dengan dakwah hizbiyah. Kemudian kami juga Insya Allah akan menjelaskan hakikat dakwah hizbiyah beserta jalan keluar dari dakwah hizbiyah tersebut.

Makna Ahlus Sunnah wal Jamaah

Ibnu Rajab berkata : “As Sunnah adalah jalan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dia berada di atasnya dan juga para shahabat yang selamat dari berbagai macam syubhat dan syahwat.” (Kasyful Kurbah oleh Ibnu Rajab halaman 11-12)

Berkata Imam Al Alusy dalam kitabnya Ghayatul Amaany : “Kata As Sunnah pada asalnya adalah setiap perkara yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berada di atasnya dan apa saja yang telah di sunnahkan atau perintahkan dengannya baik dalam permsalahan ushuluddin maupun dalam permasalahan furu-furu (cabang-cabangnya)[4]. (Kata ini) juga digunakan pada setiap perkara yang mana para Salafush Shalih berada di atasnya, baik dalam masalah imamah, pengutamaan (di antara para shahabat) maupun menahan diri dari setiap perkara yang para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berselisih padanya.” (Ghayatul Amaany, Al Ahisy 1/428)

Dari definisi di atas, Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berada di atasnya dan juga para shahabatnya. Oleh karena itu Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat.

Imam Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya : “Ahlus Sunnah adalah Ahlul Haq sedangkan yang selain mereka adalah ahlul bid’ah. Sesungguhnya mereka (Ahlus Sunnah) adalah para shahabat radliyallahu 'anhum dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka dari kalangan para tabi’in yang mendapatkan rahmat Allah atas mereka kemudian para Ashhabul Hadits dan orang yang mengikuti mereka dari para fuqaha, generasi demi generasi sampai masa kita sekarang ini. Demikian pula orang-orang yang mencontoh mereka dari orang-orang awam di bagian Timur dan Barat bumi ini. Semoga Allah melimpahkan rahmatnya atas mereka[5].” (Al Fashl 2/107)

Adapun sebab penamaan mereka dengan Ahlus Sunnah adalah sebagaimana yang telah disebutkan Ibnu Taimiyah dengan perkataannya : “Hanya saja mereka dinamakan dengan Ahlus Sunnah karena mereka mengikuti sunnah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” (Al Muntaqa halaman 190). Hal yang sama juga diucapkan oleh Abu Mudhaffar Al Isfirayini : “Tidak ada pada kelompok-kelompok yang ada pada umat ini (orang) yang paling banyak mengikuti khabar-khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan sunnahnya di antara mereka melainkan mereka dinamakan Ahlus Sunnah.” (At Tafshir Fiddin oleh Al Isfirayini halaman 167)

Nama Al Jamaah memiliki beberapa pengertian :

1.
Jama’atul Muslimin, yakni mereka (kaum Muslimin) yang berada di atas sesuatu yang Rasulullah dan para shahabatnya berada di atasnya. Sebagaimana yang telah disebutkan pada sebagian hadits seperti hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :


“ … engkau berpegang dengan Jamaatul Muslimin dan imam mereka … .” (HR. Bukhari dan Muslim)

2.
Sesuatu yang mencocoki Al Haq.


Hal ini seperti yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud tentang pengertian Al Jamaah :

“Al Jamaah adalah sesuatu yang mencocoki Al Haq walaupun engkau sendiri (yang mengikutinya).” (Riwayat Al Laalikaiy dari Ibnu Mas’ud dalam Kitab As Sunnah dan Abu Syamah dalam Al Ba’its ‘Ala Inkari Bida’ Wal Hawaadits halaman 22 dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Ighatsatul Lahfan halaman 1/70)

Abu Syamah dalam kitabnya menguatkan pengertian kedua ini dengan perkataannya : “Sebagaimana telah datang perintah untuk berpegang dengan Al Jama’ah maka yang dimaksudkan dengannya adalah berpegang kepada Al Haq dan mengikutinya walaupun sendirian sedangkan yang menyelisihinya banyak. Hal itu dikarenakan Al Haq itu adalah sesuatu yang berada di atasnya jamaah pertama dari masa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Tidak dapat dipandang dari banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”

Beliau berkata : “Sesuatu yang mencocoki Al Haq pada permasalahan aqidah saja yang telah menyimpang darinya para ahlul bid’ah. Oleh karena itu kita dapati Abu Hanifah memberi makna Al Jama’ah dengan pengertian seperti ini.” (Al Ba’its ‘Ala Inkari Bida’ Wal Hawaadits halaman 22)

3.
Al Jamaah adalah jika engkau mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan kemudian Utsman[6]. Engkau tidak menganggap kurang dari salah seorang dari shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak pula mengkafirkan manusia (kaum Muslimin) dengan perbuatan dosanya. Engkau menshalatkan orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan shalat di belakang mereka serta yang mengusap kedua khuf-nya (ketika berwudhu) … . (Al Intiqa’ fi Fadli Tsalasati ‘Aimmatil Fuqaha oleh Ibnu Abdil Bar halaman 163-164)

4.
Bermakna jamaah kaum Muslimin yang mana mereka berkumpul di bawah satu amir[7]. Makna ini sebagaimana telah disebutkan oleh Imam Thabari dalam riwayatnya bahwasanya ‘Amar bin Huraits bertanya kepada Said bin Zaid : “Kapan Abu Bakar harus dibaiat?” Beliau (Said bin Zaid) menjawab : “Pada hari meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang mana mereka (para shahabat) benci untuk tinggal pada sebagian hari sedangkan mereka tidak dalam keadaan berjamaah.” (Tarikh Ath Thabary halaman 2/447)

5.
Al Jamaah juga berarti berpegang teguh dengan tali Allah secara berjamaah, tidak berpecah dan berselisih. Hal ini disebutkan dalam sebuah riwayat dari Ali radliyallahu 'anhu, ia berkata : “Tetapkanlah oleh kamu sekalian sebagaimana yang kamu tetapkan. Sesungguhnya aku benci perselisihan hingga manusia menjadi berjamaah.” (Riwayat Bukhari dalam Shahih-nya dan Fathul Bari 7/17)


Ibnu Hajar berkata : “Perkataan (sesungguhnya aku membenci perselisihan) maksudnya adalah perselisihan yang membawa kepada pertentangan.” Ibnu Tin berkata : “Yaitu menyelisihi Abu Bakar dan Umar.” Sebagian yang lain berkata : “Perselisihan yang membawa pada pertentangan dan fitnah.” Hal ini dikuatkan pula dengan perkataannya yang selanjutnya : “Hingga manusia berjamaah.” (Fathul Bary oleh Ibnu Hajar 7/73)

Makna jamaah yang seperti ini pernah terjadi pada tahun ketika Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyerahkan jabatannya sebagai khalifah sepenuhnya kepada Mu’awiyah --semoga Allah meridhai keduanya--. Sehingga tahun tersebut dinamakan Tahun Al Jamaah. Ibnu Baththal berkata : “Hasan menyerahkan urusan (kekhalifahannya) kepada Mu’awiyah dan membaiatnya atas dasar menegakkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Mu’awiyah pun akhirnya memasuki Kufah dan manusia pun membaiatnya. Oleh karena itu dinamakanlah (tahun tersebut) dengan Tahun Al Jamaah karena manusia bersatu dan perang berhenti[8].” (Tarikh Khalifah bin Khayath halaman 203 dan Ma’almu As Sunnan oleh Khathaby 4/311)

Mengenai sebab penamaan Ahlus Sunnah dengan Al Jamaah, Imam Abdul Qaahir Al Baghdaady rahimahullah berkata : “Bahwasanya Ahlus Sunnah sebagiannya tidak mengkafirkan kepada sebagian yang lain. Dan tidak ada di antara mereka perselisihan yang menimbulkan sikap bara’ (berlepas diri di antara mereka) dan tidak pula pengkafiran (sesama mereka). Jadi, merekalah Ahlul Jamaah yang menegakkan Al Haq dan (oleh karena itu mereka dinamakan) Ahlul Haq. Mereka tidak terjatuh ke dalam perselisihan dan pertentangan. Tidak ada satu kelompok pun dari kelompok yang menyelisihi sunnah melainkan pasti terjadi di antara mereka pengkafiran sebagian mereka terhadap sebagian yang lain dan berlepas diri sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Kelompok-kelompok tersebut seperti Khawarij, Rawafid, Qadariyah, dan lain-lainnya. Sehingga apabila berkumpul tujuh orang dari mereka pada satu majelis niscaya mereka berpecah-belah karena pengkafiran sebagian mereka kepada sebagian yang lain[9].”

Ibnu Taimiyyah berkata : “ … (Ahlus Sunnah) dinamakan Ahlul Jamaah karena Al Jamaah adalah berkumpul sedangkan kebalikannya adlah berpecah walaupun terkadang lafadz Al Jamaah menjadi satu makna untuk suatu kaum yang berkumpul. Dan ijma’ adalah dasar yang ketiga yang dipegang atasnya dalam permasalahan ilmu dan Dien.”

Ahlus Sunnah mengukur dengan tiga dasar ini (Quran, Sunnah, dan Ijma’) seluruh perkataan dan perbuatan manusia, baik lahir maupun bathin yang mempunyai hubungan/kaitan dengan Dien[10].

Dari perkataan Ibnu Taimiyyah di atas dapat diambil pengertian bahwa Ahlus Sunnah dinamakan Ahlul Jamaah karena mereka berkumpul di atas Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan apa-apa yang disepakati oleh Salafus Shalih[11].

Dengan beberapa keterangan tentang makna Ahlus Sunnah wal Jamaah di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya dalam seluruh perkara yang berkaitan dengan Dien dan mereka berkumpul di atas Sunnah tersebut. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Sejarah Munculnya Nama Ahlus Sunnah wal Jamaah

Yang kami maksudkan dalam hal ini adalah sejarah terjadinya pembedaan nama Ahlus Sunnah wal Jamaah dari berbagai nama kelompok-kelompok ahlul bid’ah wal firqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

[ Jalan mereka (Ahlus Sunnah) adalah Dienul Islam yang Allah utus dengannya Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Akan tetapi tatkala Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengkhabarkan bahwa umatnya akan berpecah menjadi 73 golongan yang seluruhnya di dalam neraka kecuali satu golongan --yakni Al Jamaah-- atau dalam hadits yang lain beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Mereka adalah orang yang seperti aku dan para shahabatku pada hari ini.”

Jadilah orang yang berpegang dengan Islam, bersih dari berbagai macam campuran (pemikiran yang sesat) sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Di antara mereka ada orang-orang yang shiddiq (jujur), para syuhada, dan orang-orang shalih[12]. Perkataan Ibnu Taimiyyah ini menunjukkan bahwa awal terjadinya penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah ketika terjadinya perpecahan sebagaimana yang dikhabarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Karena sebelum terjadinya perpecahan tidak ada istilah-istilah itu sedikitpun, baik istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Syiah, Khawarij, dan lain-lain. Pada saat itu kaum Muslimin seluruhnya berada di atas Dien dan pemahaman yang satu yaitu Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran : 19)

Orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan Al Jamaah pada mulanya tidak membutuhkan untuk membedakan diri dengan memakai nama tertentu. Karena mereka berpegang pada pemahaman yang pertama dan benar di dalam Islam sedangkan yang terpisah dari mereka adalah orang yang menyelisihi Sunnah. Menurut kaidah, sesuatu yang asal (pertama) tidak membutuhkan pada sesuatu yang dapat membedakan dia dari yang lain. Akan tetapi yang butuh pada sesuatu yang dapat membedakan diri dari yang lain adalah sesuatu yang sudah menjadi cabang dari yang asal (pertama tersebut). Sehingga dengan demikian perkara cabang itu menjadi masyhur dengan sesuatu yang membedakan dia dari yang lain. Seperti inilah keadaan ahlul bid’ah yang telah menyimpang dari Sunnah. Ia masyhur dengan nama yang menunjukan kepada kebid’ahan dan penyimpangannya dari Sunnah. Hal ini terjadi tatkala timbulnya berbagai macam perselisihan dan perpecahan. Pada saat itulah dimunculkannya nama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang pada mulanya nama itu tidak pernah disebutkan. ]

Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang Ahlus Sunnah beliau menjawab dengan mengatakan :

“Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang tidak memiliki laqab (gelar tertentu) yang mereka dikenal dengannya. (Mereka) bukanlah Jahmiyyun (pengikut pemahaman Jahmiyah) bukan Qadariyyun (pengikut pemahaman Qadariyah) dan bukan pula Rafidliyyun (pengikut pemahaman Syiah Rafidlah).” (Al Intiqa Ibnu Abdil Barr halaman 35)

Dari sini kita sepakat dengan apa yang telah dikatakan oleh Doktor Mustafa Hilmy :

“Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah pelanjut pemahaman kaum Muslimin pertama yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam keadaan beliau ridha terhadap mereka sedangkan kita tidak bisa membuat batasan permulaan (munculnya mereka) yang kita bisa berhenti padanya sebagaimana yang dapat kita lakukan pada kelompok-kelompok yang lain. Tidak ada tempat (bagi kita) untuk menanyakan tentang (sejarah) munculnya Ahlus Sunnah seperti halnya jika kita bertanya tentang (sejarah) munculnya kelompok-kelompok yang lain.” (Nidzhamul Khilafah Fi Fikratil Islam halaman 292)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Kitabnya, Minhaju As Sunnah :

“Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah madzhab yang terdahulu dan telah terkenal sebelum Allah menciptakan Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Ia adalah madzhab para shahabat yang diterima dari Nabi mereka. Barangsiapa yang menyelisihi (madzhab) tersebut maka dia adalah ahlul bid’ah menurut (kesepakatan) Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Minhaju As Sunnah 2/482, tahqiq Muhammad Rasyad Salim)

Dari penjelesan di atas dapat kita pahami bahwa pertanyaan tentang sejarah timbulnya pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah pertanyaan yang tidak dapat dibenarkan. Hal itu berbeda keadaannya dengan kelompok-kelompok yang menyimpang dari Sunnah. Pertanyaan yang benar dalam masalah ini adalah pertanyaan tentang awal mula timbulnya penamaan madzhab ini dengan nama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebenarnya asal penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah bagi mereka yang mengikuti Sunnah dan berpegang dengan Al Jamaah telah ada pada nash-nash yang memerintahkan untuk senantiasa mengikuti Sunnah dan berpegang teguh dengan Jamaah. Nama Ahlus Sunnah wal Jamaah juga terdapat di dalam Sunnah dan perkataan para Salaf.

Jadi yang kami maksudkan dengan sejarah timbulnya penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah di sini adalah sejarah mulai dimunculkan dan disebarluaskannya nama Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai satu-satunya madzhab yang bersih dari kesesatan bukan sejarah mulai dibuatnya pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah[13] dan digunakannya nama tersebut. Kami berharap dengan adanya keterangan-keterangan di atas akan semakin jelas kesalahan orang yang menganggap bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah kelompok tertentu dan termasuk dakwah hizbiyyah.

Hakikat Dakwah Hizbiyyah

Pada uraian berikut ini akan kami jelaskan tentang hakekat dakwah hizbiyah dan perbedaannya dengan dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu mereka yang berpegang teguh pada Sunnah dan Jamaah di mana sejarah mulai disebarluaskannya nama tersebut ketika timbulnya berbagai macam perpecahan dan perselisihan. Sedangkan dakwah hizbiyah adalah dakwah yang mengajak pada kelompok atau golongan tertentu yang menyimpang dari Sunnah dan manhaj yang shahih yang ditinggalkan oleh Salaful Shalih.

Para da’i yang mengajak untuk mengikuti manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah para da’i yang mengajak umat untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih bukan mengajak kepada kelompok atau golongan tertentu yang menyimpang dari Sunnah dan manhaj yang shahih. Digunakannya nama Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah dalam rangka membedakan dari berbagai kelompok dan golongan sesat yang menyimpang dari Sunnah. Nama ini bukan nama yang dibuat untuk suatu kelompok atau aliran tertentu yang telah menyempal dari Sunnah.

Akan tetapi banyak dari orang-orang jahil yang menuduh dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah hizbiyah. Mereka menuduh para da’i Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengajak kepada Sunnah, mencintai Ahlus Sunnah, dan menjauhi bid’ah serta membenci ahlul bid’ah adalah para da’i yang mengajak kepada hizbiyah. Menurut orang-orang jahil tersebut, Ahlus Sunnah hanya menganjurkan kaum Muslimin untuk mengikuti dakwahnya saja dengan meninggalkan dakwah lainnya yang masih merupakan dakwah Islamiyah. Di samping itu --menurut mereka-- para da’i tersebut mengikat pengikutnya untuk belajar hanya kepadanya saja dan tidak boleh belajar kepada para da’i lain yang berbeda manhaj dengan mereka.

Tuduhan-tuduhan seperti ini sering muncul dari mulut-mulut orang yang benci kepada da’i Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bermanhaj Salaf yang mengajak kaum Muslimin berpegang teguh pada Sunnah dan menjauhi bid’ah serta mencintai Ahlus Sunnah dan membenci ahlul bid’ah. Tuduhan ini sebenarnya timbul hanya karena semata-mata mereka merasa dirugikan baik dari segi pribadi atau dakwah dan kelompoknya. Pribadi-pribadi mereka merasa dirugikan karena ia tidak akan mendapatkan atau paling tidak akan berkurang pengikutnya yang dapat mereka gunakan untuk memenuhi ambisi hawa nafsunya yang disembunyikan di balik nama Islam. Sedangkan kelompok mereka merasa dirugikan karena banyak kaum Muslimin yang akan lari dari dakwah dan kelompok mereka disebabkan adanya para da’i Ahlus Sunnah yang memberikan peringatan agar berhati-hati dari dakwah dan kelompok yang telah menyempal dari Sunnah. Mereka yang melancarkan tuduhan seperti di atas tidak lain adalah para hizbiyyun (orang-orang yang terkena penyakit hizbiyah/fanatik golongan). Para hizbiyun tersebut terdiri dari kalangan Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, NII dan kelompok sempalan yang lainnya.

Oleh karena itu perlu kiranya diterangkan tentang bagaimana sebenarnya hakekat dakwah hizbiyah agar jelas mana dakwah hizbiyah dan mana yang tidak hizbiyah di antara sekian banyak dakwah yang ada sekarang ini. Hal ini mengingat sangat rancunya permasalan tersebut pada kebanyakan kaum Muslimin sehingga muncullah berbagai tuduhan seperti di atas terhadap dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengajak umat untuk berpegang teguh dengan Sunnah. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi timbul pula tuduhan dari sebagian da’i yang mengaku bermanhaj Salaf karena banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran bid’ah Ikhwaniyyah. Mereka menuduh bahwa para da’i Ahlus Sunnah yang bermanhaj Salaf yang selalu men-tahdzir (memperingatkan) umat dari bahaya pemikiran para da’i yang tidak paham manhaj Salaf yang akan dapat menjauhkan umat dari shiratal mustaqim serta menjauhkan umat dari para da’i yang mengajak ke neraka Jahannam dengan cara melarang duduk bermajelis mengambil ilmu dari mereka[14] sebagai da’i yang mengajak sebagai da’i yang mengajak kepada hizbiyah (fanatik golongan) dan mengajarkan taklid. Mereka juga menuduh para pengikutnya sebagai orang-orang yang muqallid. Wallahul Musta’an.

Wahai saudaraku kaum Muslimin, --semoga Allah merahmati dan menunjuki kita semua kepada jalan yang lurus-- ketahuilah! Jalan yang selamat itu adalah dengan mengikuti Al Quran dan As Sunnah. Hal ini adalah suatu perkara yang sudah maklum di kalangan kaum Muslimin kecuali orang-orang yang Allah palingkan hatinya, baik mereka yang masih mengaku sebagai Muslim atau tidak. Di dalam Al Quran terlalu banyak dalil yang menunjukkan keharusan bagi kita mengikuti petunjuk Al Quran dan As Sunnah demikian pula dalam hadits-hadits yang shahih serta parkataan para ulama[15]. Hanya saja kebanyakan kaum Muslimin --terlebih lagi pada masa sekarang ini-- kebingungan dalam mencari jalan yang benar dalam memahami Al Quran dan As Sunnah. Mereka akhirnya terjerumus ke dalam berbagai jalan yang sesat dalam memahami Al Quran dan As Sunnah. Namun Alhamdulillah dengan segala hidayah dan rahmat-Nya Allah senantiasa membangkitkan di kalangan umat ini pada setiap masanya orang-orang yang akan selalu membela Dien-nya, mengajak umat untuk kembali kepada jalan-Nya dan membimbing umat untuk selalu mengikuti satu jalan yang benar dalam memahami Al Quran dan As Sunnah[16]. Mereka terdiri dari para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di antaranya Khulafaur Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radliyallahu 'anhum kemudian para tabi’in, tabi’ut tabi’in, para Aimmatul Huda (imam-imam yang mendapatkan petunjuk) dan para ulama Ahlus Sunnah pada setiap masa.

Mereka mengajarkan kepada umat ini satu jalan yang selamat dalam memahami Al Quran dan As Sunnah. Jalan itu adalah Sabilul Mukminin (jalannya kaum Mukminin) yakni jalan para shahabat dan generasi awal dari umat ini dalam memahami Al Quran dan As Sunnah. Jalan yang selamat ini yang diterima oleh Salaful Shalih tersebut dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Di atas jalan inilah mereka menegakkan Al Wala’ (loyalitas) dan Al Bara’ (berlepas diri). Sedangkan orang-orang yang menyimpang dari jalan ini adalah orang-orang yang binasa, mereka menegakkan Al Wala’ dan Al Bara’-nya di atas jalan kesesatan yang mereka terjerumus di dalamnya.

Allah Ta’ala berfirman :

“Barangsiapa yang mendurhakai Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)

Pada ayat ini Allah mengancam kepada orang-orang yang mendurhakai Rasul dan yang menyimpang dari jalannya kaum Mukminin yakni para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam sebuah ceramahnya yang dikumpulkan dalam Muhadlarat fi Dakwah Salafiyah dengan ancaman bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memalingkan mereka ke jalan yang sesat sehingga sulit baginya untuk keluar dari jalan tersebut. Kemudian Allah akan memasukkan dia ke neraka Jahannam sedangkan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali[17].

Demikianlah semakin jelas betapa pentingnya mengikuti jalan kaum Mukminin tersebut sebagaimana yang telah diajarkan oleh para ulama Ahlul Hadits kepada umat ini[18]. Kaum Muslimin yang ingin terlepas dari kebingungan hendaknya memilih jalan yang tepat dalam memahami Al Quran dan As Sunnah, harus mengikuti jalan yang selamat ini yakni Sabilul Mukminin. Atas dasar ini pulalah ditegakkannya dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah hingga Dien ini benar-benar seluruhnya untuk Allah dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan pemahaman para shahabatnya radliyallahu 'anhum. Jika tidak demikian berarti Dien ini tidak diserahkan seluruhnya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala karena mereka hanya berdien menurut akal dan hawa nafsunya masing-masing, tidak dengan syari’at yang telah Allah turunkan kepada Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan dengan pemahaman para shahabatnya radliyallahu 'anhu. Akhirnya masing-masing kaum (yang berpecah dan berselisih itu) memiliki sesuatu yang mana mereka membedakan dirinya dari yang lainnya seperti (pemimpin) yang diagungkan dan dikultuskan, sesembahan yang tidak Allah perintahkan untuk mengibadahi dan mentaatinya atau suatu pendapat yang mereka ada-adakan sedangkan Allah tidak mengizinkan dan tidak mensyari’atkannya. (Jami’u Ar Rasaail oleh Ibnu Taimiyah, tahqiq Muhammad Rasyad Salim 2/230)

Selanjutnya masing-masing kelompok tersebut bangga dengan apa yang ada di sisinya sebagaimana firman-Nya :

“Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Ruum : 32)

Mereka menegakkan Al Wala’ dan Al Bara’ di atas sesuatu yang ada pada kelompoknya masing-masing. Oleh karena itu mereka hanya ber-wala’ kepada orang yang simpati atau para pengikut kelompoknya dan mereka ber-bara’ dari setiap orang yang tidak mengikuti kelompoknya. Sesuatu yang mereka bangga-banggakan itu di antaranya adalah pemimpin-pemimpin yang mereka berdien dengan pendapatnya sekalipun pendapatnya itu adalah bid’ah. Masing-masing kelompok senantiasa menyandarkan berbagai macam pujian dan sanjungan kepada pemimpin kelompoknya tersebut meskipun pemimpin-pemimpin mereka adalah orang yang bodoh dan tidak kuat dalam masalah ilmu. (Tanbih Ulil Abshar karya As Suhaimiy halaman 253)

Setiap kelompok yang membanggakan pemimpinnya dan hanya berdien dengannya akan menjadikan seluruh pendapat pemimpinnya itu sebagai landasan dalam mengukur kebenaran segala sesuatu. Mereka akan menggunakan akal serta pemikirannya untuk membela pendapat (pemimpinnya) tersebut dengan cara mencarikan pendukung dari tiap-tiap kitab dan karangan yang dahulu maupun sekarang. Padahal yang wajib untuk dijadikan sebagai landasan untuk mengukur kebenaran segala sesuatu adalah Al Kitab dan As Sunnah. Kemudian mencocokkan pendapat para syaikh dan pemimpin tersebut kepadanya (Al Kitab dan As Sunnah). (Ath Thaifah fi Bara’ati Ahlis Sunnah Abdul Aziz Al Utaiby halaman 11)

Masing-masing kelompok memiliki nama-nama yang mereka jadikan ukuran untuk mengukur benar atau salah dan dasar untuk saling tolong menolong serta bela membela. Mereka juga saling panggil memanggil dengan nama-nama tersebut sehingga mereka terjatuh dalam panggilan-panggilan jahiliyah. Ibnul Qayyim berkata :

“(Panggilan-panggilan jahiliyah itu) adalah seperti panggilan (yang menunjukkan pembelaan) kepada suku-suku, fanatik kepada seseorang, fanatik terhadap madzhab-madzhab, kelompok-kelompok atau golongan-golongannya, pemimpin-pemimpin, (panggilan yang menunjukkan) pengutamaan sebagian orang dari sebagian yang lain dengan dasar hawa nafsu dan kefanatikan. Dan keadaannya (seseorang) menisbahkan diri pada sesuatu menyeru dan mengajak kepada hal yang demikian. Dia ber-wala’ atas dasar hal itu (hawa nafsu/kefanatikan) demikian pula (keadaannya) ketika dia memusuhi. Mereka juga menimbang/mengukur manusia dengannya (yakni dengan hawa nafsu dan kefanatikan). Maka seluruhnya ini termasuk panggilan-panggilan jahiliyyah[19].” (Dinukil oleh Sulaiman bin Abdullah Alu Asy Syaikh di dalam Taysirul Azizil Hamid halaman 515)

Dari beberapa keterangan di atas kiranya cukup menjelaskan apakah hakikat dakwah hizbiyyah. Yang semua itu timbul akibat penyimpangan dari dakwah Ahlus Sunnah dan mengikuti Sabilul Mukminin. Jadi dapat kita simpulkan dari keterangan di atas bahwa hakikat dakwah hizbiyyah adalah :

1.
Dakwah yang mengajak kepada satu kelompok atau golongan yang menyimpang dari Sabilul Mukminin.

2.
Dakwah yang dipimpin oleh seorang pimpinan atau syaikh yang memiliki pendapat-pendapat bid’ah dan dengannya dakwah tersebut membedakan diri dari dakwah-dakwah yang lain.

3.
Dakwah yang membanggakan para pimpinannya yang mengajak mereka menyimpang dari Sabilul Mukminin. Dakwah tersebut dalam menegakkan Al Wala’ dan Al Bara’ didasarkan cinta kepada pimpinannya. Mereka ber-wala’ kepada orang yang sepaham dengannya dalam mengikuti para pemimpin itu dan bara’ kepada orang yang tidak sepaham dengannya dalam mengikuti pemimpin itu. Akhirnya para pengikut dakwah hizbiyyah ini mengambil seluruh pendapat pemimpinnya tanpa memperhatikan benar salahnya pendapat tersebut menurut Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Apabila mereka mendapatkan pendapat bid’ah pemimpin-pemimpin mereka, mereka akan berusaha mencari berbagai macam alasan agar tetap bisa berpegang kepada pendapat tersebut. Kemudian mereka menyandarkan berbagai macam pujian kepada pimpinannnya walaupun pimpinannya adalah orang-orang yang bodoh dan tidak berilmu dengan ilmu yang shahih dan kokoh.

4.
Dakwah yang memiliki nama tertentu bagi kelompoknya yang dengannya memisahkan diri dari yang lainnya kemudian mereka fanatik dengan nama tersebut dan menjadikannya sebagai landasan kebenaran tolong menolong serta bela membela.


Dakwah-dakwah hizbiyyah biasanya memang memiliki nama-nama tertentu dan masing-masingnya terkenal dengan nama-nama tersebut. Mereka saling panggil memanggil dengan panggilan seperti panggilan yang dilakukan oleh orang Arab terhadap suku-suku mereka pada jaman jahiliyyah ketika terjadi perselisihan di antara mereka.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa seorang laki-laki yang suka bercanda dari kalangan Muhajirin memukul dubur seorang shahabat dari kalangan Anshar hingga shahabat Anshar ini menjadi sangat marah kepadanya. Akhirnya berakibat masing-masing shahabat tersebut memanggil kelompoknya. Shahabat Anshar menyeru kelompoknya dengan berkata : “Wahai (kaum) Anshar.” Sedangkan shahabat Muhajirin berkata : “Wahai (kaum) Muhajirin.” (Setelah mendengar hal ini) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam keluar seraya bersabda : “Ada apa dengan panggilan jahiliyyah ini? Apa urusan mereka?” Kemudian diceritakanlah kepada beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kejadian seorang Muhajirin memukul pantat seorang Anshar. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tinggalkan oleh kalian panggilan-panggilan jahiliyah itu karena sesungguhnya panggilan itu adalah (panggilan) yang jelek.” (HR. Bukhari)

Wahai saudaraku kaum Muslimin! Inilah beberapa point tentang hakekat dakwah hizbiyah. Betapa bedanya dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan dakwah hizbiyah, ibarat putih dengan hitam.

Pada satu sisi dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah menyeru untuk mengikuti Sabilul Mukminun di bawah bimbingan para ulama Ahlul Hadits yang mengajarkan hujjah yang kuat dari Al Quran dan As Sunnah dengan keyakinan bahwa para ulama tersebut tidaklah makshum seperti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Jika mereka mendapatkan pendapat ulama tersebut menyimpang dari Sabilul Mukminin maka mereka siap untuk meninggalkannya. Imam Malik rahimahullah berkata :

“Setiap manusia dapat diambil perkataannya dan dapat dibuang kecuali pemilik kubur ini.” Seraya memberikan isyarat ke kubur Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam[20].

Dakwah Ahlus Sunnah meletakkan dasar Al Wala’ dan Al Bara’ di atas Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf bukan di didasarkan pada fanatik terhadap golongan (kelompok dan pemimpinnya) masing-masing. Dakwah ini juga tidak memiliki nama-nama tertentu melainkan hanya Ahlus Sunnah wal Jamaah, Al Firqatun Najiyah, Ath Thaifah Al Manshurah, As Salaf (yakni dakwah Salafiyah), Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, Al Jamaah, Jamaatul Muslimin. Seluruh nama-nama ini dinisbatkan oleh para ulama Ahlul Hadits dari beberapa riwayat yang shahih tentang perpecahan umat untuk menjelaskan tentang satu kelompok yang selamat dari mereka yaitu Al Jamaah yang mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya serta beberapa riwayat tentang keutamaan Salafus Shalih. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim. Penisbatan itu juga diambil dari penjelasan tentang adanya kelompok kecil (umat Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) yang akan ditolong dan selalu membela kebenaran hingga hari kiamat di antaranya hadits riwayat Imam Muslim dan Imam Ahmad.

Dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah dinisbatkan dengan nama-nama di atas agar dapat dibedakan dari berbagai dakwah-dakwah sesat yang menyempal dari Sunnah di mana dakwah-dakwah sesat tersebut juga mempunyai nama-nama yang mereka fanatik dengan kelompok/golongan dan pemimpin mereka. Seperti syiah rafidlah, jahmiyah, mu’tazilah, sufiyah atau nama kelompok hizbiyah yang sekarang seperti ikhwanul Muslimin, jamaah tabligh, hizbut tahrir, NII, Islam jamaah dan lain-lain.

Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid berkata dalam Kitabnya Hukmul Intima’ :

[ Nama-nama (Ahlus Sunnah) yang mulia ini berbeda dengan berbagai nama yang dimiliki oleh kelompok/golongan mana saja. Hal itu dapat ditinjau dari beberapa segi :

1.
Nama-nama yang diberikan pada Ahlus Sunnah itu adalah penisbatan yang tidak pernah terpisah sedikit pun dari kaum Muslimin semenjak terbentuknya di atas Manhaj Nubuwah. Nama-nama itu mencakup seluruh kaum Muslimin yang berada di atas jalan generasi awal (yakni Salafus Shalih) dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam mengambil ilmu, cara memahaminya dan metode dakwah kepadanya (ilmu).

2.
Nama-nama tersebut tidak memiliki bentuk khusus yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, baik dalam bentuk penambahan atau pengurangan.

3.
Nama-nama tersebut adalah gelar yang di antaranya telah tsabit (tetap) di dalam sunnah yang shahihah. Nama-nama ini disebutkan dalam menghadapi manhaj-manhaj Ahlul Ahwa dan kelompok yang sesat untuk membantah bid’ah-bid’ah mereka, membedakan dirinya dari mereka, menjauhi pergaulan dari mereka dan menyelisihi mereka. Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai bid’ah maka kaum Ahlus Sunnah menampakkan dirinya dengan Sunnah. Tatkala ra’yu (rasio/akal) dijadikan landasan hukum, mereka membedakan dirinya dengan berpegang pada hadits dan atsar. Dan tatkala tersebarnya bid’ah dan hawa nafsu dari para khalaf, mereka membedakan dirinya dengan berpegang pada Hadyus Salaf (bimbingan Salaf). Demikianlah seterusnya.

4.
Ikatan Al Wala’ dan Al Bara’, saling mencintai dan memusuhi bagi mereka adalah berdasarkan Islam tidak dengan yang lainnya. Mereka tidak menyandarkannya pada suatu hizb dengan nama-nama tertentu dan tidak pula memiliki batasan-batasan hizb-nya masing-masing melainkan pada Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.

5.
Nama-nama ini tidak mengajak umat untuk ber-ta’assub (fanatik) terhadap seseorang pun selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3/346-347 berkata : “Oleh karena itulah dia mensifatkan Al Firqatu An Najiyah dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka adalah Al Jumhurul Akbar dan As Sawadul A’zham.”

6.
Nama-nama ini tidak menjerumuskan pada bid’ah, maksiat dan tidak pula ashabiyah (sifat fanatik) terhadap orang dan kelompok tertentu[21].


Demikianlah keadaan dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah. ]

Pada sisi yang lain, dakwah hizbiyah merupakan kebalikan dari dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagaimana yang telah kami jelaskan pada point hakekat dakwah hizbiyah. Wallahu Al Musta’an.

Jalan Keluar Dari Dakwah Hizbiyah

Timbulnya berbagai macam dakwah hizbiyah adalah akibat menyimpang dari Sunnah dan terjatuhnya mereka ke dalam bid’ah. Hal ini terlihat ketika munculnya golongan sesat yang membawa pemikiran bid’ah dimulai dari syiah rafidlah, khawarij, qadariyah, jabariyah dan yang lainnya. Pada saat itu muncul dakwah yang mengajak untuk mengikuti golongan sesat yang memiliki pemikiran bid’ah tadi dan menyimpang dari Sunnah. Keadaan ini terus berlanjut hingga masa kita sekarang ini. Oleh karena itu tidak ada jalan keluar dari dakwah hizbiyah melainkan mengembalikannya pada Sabilul Mukminin yaitu Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memimpin kalian) seorang budak Habsyi. Barangsiapa di antara kalian hidup (setelahku) maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Jauhilah oleh kalian mengada-adakan perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya hal itu adalah sesat. Barangsiapa yang mendapatkan keadaan demikian di antara kamu maka wajib atasnya berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, gigitlah oleh kamu sekalian (Sunnah-Sunnah) tersebut dengan gigi gerahammu.” (HR. Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan yang selain mereka, lihat Shahih Turmudzi 2/341-342)

Ibnu Qudamah setelah menyebutkan beberapa dalil dalam masalah kewajiban mengikuti Salafus Shalih mengatakan dalam kitabnya :

“Telah tetap kewajiban mengikuti para Salaf rahimahullah dengan (dalil) Al Quran, Sunnah, dan ijma[22].”

Selanjutnya beliau berkata :

“Jadi sesungguhnya satu-satunya jalan untuk terlepas dari bid’ah dan atsar-atsar yang jelek adalah dengan berpegang teguh pada Al Quran dan As Sunnah, baik dalam bentuk keyakinan, ilmu ataupun amal[23].”

Semua itu dengan bimbingan Salaf, pemahaman dan manhaj serta praktek mereka terhadap dua wahyu yang mulia (Al Quran dan As Sunnah). Dengan demikian mereka adalah orang yang paling besar kecintaannya pada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, paling kuat mengikuti beliau, paling banyak keinginannya (untuk itu) dan paling dalam ilmu dan luas pengetahuannya[24].

Jalan keluar dari hizbiyah seperti yang disebutkan di sini sebenarnya adalah jalan yang mudah dan gampang bagi orang yang Allah mudahkan baginya untuk mengikuti Al Haq. Akan tetapi hal ini membutuhkan kesungguhan untuk berilmu dan berdakwah kepadanya. Saling bahu membahu dan tolong-menolong dengan landasan rasa cinta dan persaudaraan di atas Sunnah untuk menjalaninya dan menjauhkan diri dari berbagai macam penyakit hizbiyah (fanatik terhadap golongan/kelompok yang menyempal dari Sunnah) di dalam mengikutinya. Hal itu sesuai dengan firman Allah :

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al Maidah : 2)

Penutup

Kami sebagai Muslim Sunny Salafy[25] mengajak kepada saudara-saudaraku sesama Muslim dalam rangka memberikan nasehat kepada mereka untuk senantiasa kembali kepada yang hak, dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan meninggalkan dakwah-dakwah hizbiyyah yang akan membuat kita semua menyimpang dari jalan yang lurus yang telah digariskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan Salafus Shalih radliyallahu 'anhum.

Ketahuilah! Dakwah-dakwah hizbiyyah itu adalah jalan-jalan setan yang akan menjauhkan kita dari Sabilul Mukminin[26] dan menjerumuskan kita ke dalam lubang perpecahan dan perselisihan karena setiap dakwah yang menyimpang dari Sabilul Mukminin merupakan penyebab perpecahan dan perselisihan walaupun yang mengikuti dakwah tersebut banyak dan berkumpul dalam satu organisasi, satu perkumpulan, satu tandhim (peraturan) atau satu negeri dan selalu mendengungkan persatuan. Akan tetapi sebaliknya dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah jalan yang lurus karena ditegakkan di atas hujjah yang kokoh yang datang dari Allah yakni Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah dakwah yang mengajak kepada Al Jamaah (persatuan) lawan dari Al Firqah (perpecahan) atas dasar berpegang teguh dengan tali Allah sekalipun orang yang mengikutinya hanya satu atau beberapa orang dan tidak berada dalam satu organisasi, kumpulan, tempat, tandhim atau satu negeri. Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud :

“Al Jamaah adalah apa-apa yang mencocoki Al Haq walaupun kamu sendirian.” (Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Al Madkhal)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Jikalau Rabbmu menghendaki tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabb-mu.” (QS. Huud : 118-119)

Berkata Imam Qatadah :

“Orang-orang yang dirahmati Allah adalah Ahlul Jamaah meskipun terpisah negeri-negeri dan badan-badan mereka. Sedangkan ahlul maksiat (orang-orang yang bermaksiat) kepada-Nya adalah ahlul firqah walaupun berkumpul negeri-negeri dan badan-badan mereka[27].”

Jadi dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebenarnya mengajak kepada Al Jamaah (persatuan) atas dasar Al Haq dan menjauhi perpecahan. Dengan ini pula berarti menunjukan kedustaan dakwah-dakwah hizbiyyah seperti ikhwanul Muslimin, jamaah tabligh dan lain-lain dalam ajakan mereka untuk bersatu. Kalaupun seandainya mereka dapat mengumpulkan massa kemudian mereka menamakannya dengan persatuan pada hakekatnya itu hanyalah merupakan perpecahan dari Sabilul Mukminin dan merupakan persatuan dalam subul (jalan jalan syaithan).

Dengan penjelasan di atas telah terbantah seluruh tuduhan yang menyatakan bahwa dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah dakwah hizbiyyah karena Ahlus Sunnah mengajak kembali kepada Sunnah dan bahkan memerangi hizbiyyah. Terbantah pula seluruh tuduhan terhadap para da’i Salafy yang mengajak untuk mengikuti manhaj Salaf, memperingatkan umat agar berhati-hati dari pemikiran-pemikiran ahlul bid’ah yang menyimpang dari manhaj Salaf dan dari para da’i yang tidak memahami manhaj Salaf dengan benar karena seruan itu bukanlah menyeru kepada hizbiyyah. Padahal mereka (para da’i Salafy) bermaksud dengan dakwah mereka yang demikian adalah agar umat terlepas dari belenggu-belenggu hizbiyyah yang telah dipasang oleh dakwah hizbiyyah.

Adapun tuduhan kepada para pengikut da’i-da’i Salafy tadi bahwa mereka adalah para muqallid adalah tuduhan yang keliru dan batil. Karena para pengikut da’i-da’i Salafy tadi mengikuti mereka bukan semata-mata fanatik tetapi karena mereka berada di atas manhaj Salaf dan jauh dari hizbiyyah. Justru orang-orang yang menuduh mereka muqallid itulah sebenarnya para muqallid, fanatik buta terhadap para pemimpin mereka yang menyimpang dari Sunnah. Para pengikut da’i-da’i Salafy tersebut tidak belajar selain kepada mereka adalah untuk menjaga akal dan pikiran mereka agar tidak dimasuki pemikiran bid’ah yang dilontarkan para ahlul bid’ah dan para da’i yang tidak paham manhaj Salaf, bukan ingin menjadi muqallid. Wallahul Musta’an.

Para Salafus Shalih telah mengajarkan kepada kaum Muslimin cara pengambilan ilmu sebagaimana telah diriwayatkan di dalam Sunan Ad Darimi dari Abul Aliyah dia berkata :

[ Kami apabila mendatangi seorang laki-laki untuk mengambil (ilmu) daripadanya maka kami melihat apabila dia shalat. Maka apabila dia baik dalam shalatnya, kami duduk bersamanya (untuk mengambil ilmu). Kami katakan : “Dia untuk amal yang selainnya lebih baik.” Dan apabila dia buruk dalam shalatnya, kami meninggalkannya (untuk tidak mengambil ilmu). Kami katakan : “Dia untuk amalan yang selainnya lebih buruk lagi.” ] (Sunan Ad Darimi 1/93-94)

Ibrahim An Nakha’i rahimahullah berkata :

“Mereka (Salafus Shalih) apabila mendatangi seseorang untuk mengambil ilmu darinya maka mereka melihat shalatnya, ittiba’-nya terhadap Sunnah dan keadaannya. Kemudian mereka mengambil ilmu darinya.” (Dharuratul Ihtimam Abdus Salam bin Barjas halaman 12)

Inilah manhaj Salafus Shalih dalam pengambilan ilmu. Hal ini juga telah mereka terapkan di dalam pengambilan hadits. Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu berkata :

[ Sesungguhnya kami dahulu apabila mendengar seseorang berkata :

“Bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.”

Maka pandangan-pandangan kami segera tertuju kepadanya dan kami hadapkan telinga-telinga kami kepadanya. (Akan tetapi) tatkala manusia dalam keadaan yang rusak dan hina maka kami tidak menerima dari mereka kecuali apa yang kami ketahui. ]

Ibnu Sirin rahimahullah berkata :

[ Mereka dulunya tidak bertanya tentang isnad (ketika menerima hadits). Maka tatkala terjadi fitnah, mereka berkata (ketika menerima hadits) :

“Sebutkan rijal (perawi-perawi)nya pada kami.”

Maka dilihat jika Ahlus Sunnah diambil hadits mereka dan jika ahlul bid’ah tidak diambil hadits mereka. ] (Muqadimah Shahih Muslim 1/13-15. Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Fi Naqdi Ar Rijal DR. Rabi’ Al Madkhaly halaman 37)

Perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu Sirin ini memberitahukan kepada kita bahwasanya hal ini adalah madzhab keumuman para Salaf di masa terakhir para shahabat dan orang-orang sesudah mereka dari kalangan tabi’in.

Karena adanya beberapa keterangan di atas inilah orang-orang yang mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak belajar kepada para ahlul bid’ah dan para da’i yang telah menampakkan penyimpangan mereka dari manhaj Salaf. Wallahu A’lam.

Maka dengan adanya tuduhan-tuduhan di atas, saya menegaskan kembali bahwa seluruh tuduhan tersebut adalah tuduhan yang muncul dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka hanya ingin merongrong dakwah Salafiyah dengan cara membuat keraguan bagi umat terhadap kebenaran dakwah Salafiyah dan menjatuhkan kepercayaan umat terhadap para da’inya dengan tuduhan yang batil untuk menjelek-jelekkan mereka. Hal ini mereka lakukan untuk mengumbar hawa nafsu hizbiyyah mereka. Mereka lupa dengan prinsip persatuan umat yang ada pada mereka yang melarang untuk saling menjelek-jelekkan di antara kaum Muslimin yang berakibat timbulnya perpecahan serta mengajak untuk saling mengakui keutamaan masing-masing dan saling memaafkan kesalahan masing-masing walaupun kesalahan itu terdapat pada dasar-dasar dien. Akhirnya karena lupa terhadap prinsip mereka ini, mereka menuduh para da’i Salafy dengan tuduhan yang jelek karena dirasa bahwa para da’i itu merugikan hawa nafsu mereka.

Akan tetapi anehnya mereka tidak melakukan hal yang sama terhadap ahlul bid’ah bahkan mereka justru mengajak untuk inshaf (adil menurut mereka) terhadapnya dengan menutup mata dari kesesatan-kesesatannya dan menonjolkan kebaikan-kebaikannya serta mencari beribu alasan untuk membelanya. Karena ahlul bid’ah tersebut menguntungkan hawa nafsu mereka.

Bertaubatlah kepada Allah wahai para penuduh-penuduh, pengumbar hawa nafsu yang tidak bertanggung jawab sebelum datang ajal kalian dalam keadaan kalian berada di tepi jurang-jurang neraka Jahannam. Kembalilah kepada dakwah Salafiyah! Dan tinggalkan seluruh penyakit hizbiyyah! Apa yang memberatkan kalian untuk meninggalkan para pemimpin kalian yang sesat itu? Apakah kalian tergiur dengan berbagai macam kesenangan dunia yang mereka tawarkan? Maka jangan kalian ganti Dien ini dengan kesenangan dunia yang menipu dan harga dirinya yang sedikit. Apalah artinya dana yang berbentuk uang atau kesenangan dunia yang menipu dan harga dunia yang sedikit jika dibandingkan dengan pahala yang Allah janjikan bagi kaum Mukminin yang teguh di atas kebenaran di akhirat nanti? Pahala yang berbentuk Surga yang penuh dengan kesenangan dan kenikmatan yang tidak pernah dilihat dengan mata, tidak terdengar dengan telinga, dan tidak pernah terbetik sedikitpun dalam hati manusia selama di dunia. Maka kalau kalian masih memiliki akal yang sehat dan fitrah yang suci, bersegeralah untuk menyelamatkan diri kalian dari adzab Allah yang pedih yang kalian tidak akan sanggup menahannya sedikitpun. Tinggalkanlah para pemimpin kalian terombang-ambing dalam kesesatan mereka karena kalian tidak akan ditanya pada hari kiamat tentang kesesatan mereka.

Ya Allah Yang Maha Hidup dan senantiasa mengurus para makhluk-Nya, Maha Pengampun lagi Penyayang, ampunilah dosa-dosa kami dan perbaikilah amal-amal kami. Serta tunjukilah kami kepada jalan yang Engkau ridlai. Amien ya Rabbal Alamien. Wallahu A’lamu bis Shawab.


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Lihat Al Hikmah Fi Dakwah Ilallah. Sa’id Ibnu Ali bin Wahaf Al Qahthany halaman 117.

[2] Lihat Muhaadharah Fi Dakwah Salafiyah. Syaikh Al Albany (Muhadharah yang kedua halaman 10).

[3] Lihat Ushulun Fil Bida’i was Sunnan. Ahmad Muhammad Al Adawy halaman 16.

[4] Pembagian dien pada Ushul dan Furu’ adalah pembagian yang bathil dan merupakan dasar dari dasar-dasar penyebab sesatnya suatu kaum. Lihat Dlaruratu Al Ihtimam bi As Sunnani An Nabawiyah, Abdus Salam Barjas halaman 110-118.

[5] Lihat pula Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi halaman 16-17.

[6] Imam Ibnu Abdil Izzi Al Hanafy mengatakan dalam Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, diriwayatkan dari Abu Hanifah (tentang) pengutamaan Ali di atas Utsman padahal dhahir madzhabnya adalah mengutamakan Utsman di atas Ali dan ini adalah pendapat kebanyakan Ahlus Sunnah. (Syarh Aqidah Thahawiyah halaman 483)

Ibnu Taimiyah mengatakan dalam fatwanya : “Dan permasalahan ini --masalah pengutamaan antara Utsman dan Ali-- tidaklah termasuk dari ushul-ushul (dasar-dasar) yang disesatkan orang yang menyelisihi padanya. Akan tetapi masalah yang disesatkan orang yang menyelisihi padanya adalah permasalahan Khilafah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 153)

[7] Lihat Al I’tisham karya Imam Syathibi jilid 2 halaman 264.

[8] Lihat Fathul Bary karya Ibnu Hajar Al Asqalany jilid 13 halaman 63.

[9] Lihat Al Farqu bainal Firaq karya Abdul Qahir bin Thahir Al Baghdady halaman 361.

[10] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah jilid 3 halaman 157.

[11] Disadur dari Kitab Mas’alat Taqrib baina Ahlus Sunnah was Syiah DR. Nashir bin Abdullah bin Ali Al Qaffary halaman 23-24.

[12] Lihat Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 3 halaman 159.

[13] Disadur dari Kitab Mas’alat Taqrib Baina Ahlus Sunnah was Syi’ah oleh DR. Nashir bin Abdullah bin Ali Al Qaffary halaman 35-43.

[14] Lihat sikap Salaf dalam masalah ini dalam Kitab Ilmu Ushulul Bida’ karya Syaikh Ali bin Hasan Abdul Hamid Al Atsary, hal. 295-308.

[15] Lihat Salafy edisi perdana rubrik Tafsir halaman 18-26.

[16] Hal ini seperti yang dikabarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim, Ahmad, dan yang lain-lain tentang adanya Thaifah Al Manshurah yang akan selalu membela kebenaran hingga datangnya hari kiamat.

[17] Lihat keterangan lebih lanjut dalam masalah ini pada Salafy edisi 2 rubrik Tafsir halaman 32-37.

[18] Para ulama Ahlul Hadits ini adalah Ath Thaifah Al Manshurah yang akan selalu membela kebenaran sebagaimana yang dikabarkan dalam hadits riwayat Imam Muslim, Ahmad, dan lainnya. Pendapat ini adalah pendapat Ibnul Mubarak, Yazid bin Harun, Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Khathib Al Baghdady, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Rajab. Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Fi Naqdir Rijaal karya Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly halaman 18.

[19] Lihat Ad Da’wah Illallah karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsary halaman 20,73, dan 81.

[20] Sebenarnya perkataan ini adalah perkataan yang pernah diucapkan Ibnu Abbas sebagaimana yang disebutkan oleh Taqiyuddin As Sabky dalam Al Fataawiy 1/148. Kemudian Imam Mujahid mengambil perkataan ini dari beliau sebagaimana disebutkan Ibnul Abdil Baar dalam Jami’ul Bayaanil Ilmu wa Fadllihi 1/191 dan Al Ihkam fi Ushulil Ahkam 1/145. Lalu Imam Malik mengambilnya dari Imam Mujahid. Imam Ahmad bin Hambal juga pernah mengatakan perkataan yang semakna sebagaimana yang telah disebutkan Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad halaman 276. (Lihat Hal lil Muslimin Mulzamun Bit Tiba’i Madzhabin Mu’ayyan karya Muhammad Sulthan Al Ma’shumi, tahqiq Syaikh Salim Al Hilali halaman 42)

[21] Lihat Hukmul Intima’ Ilal Firaq wal Ahzab wal Jama’atil Islamiyah oleh Bakr bin Abdullah Abu Zaid halaman 41-43.

[22] Lihat Dzammut Ta’wil oleh Ibnu Qudamah halaman 35.

[23] Lihat Hurmatul Ibtida’ Fid Dien oleh Abu Bakr Al Jazairy halaman 44.

[24] Lihat Ilmu Ushulil Bida’ Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid halaman 314.

[25] Seorang yang menisbatkan pemahamannya kepada para Salaf dengan menyebutkan dirinya sebagai Salafy tidak dapat dikatakan hizbiyah bahkan semestinya seorang Ahlus Sunnah yang mengaku mengikuti Salaf harus menyebutkan dirinya salafy. Karena penisbatan ini adalah penisbatan yang dituntut ketika munculnya berbagai macam kelompok bid’ah. Hal ini serupa dengan orang yang menamakan dirinya Ahlus Sunnah. (Al Ashalah nomor 9 tahun 1414 halaman 86, dinukil dari tulisan Syaikh Al Albany rahimahullah. Lihat Salafy edisi perdana rubrik Mabhats halaman 8-10)

[26] Hal ini semakna dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika menggariskan satu garis lurus lalu mengatakan hal ini jalan Allah yang lurus dan menggariskan garis-garis lain di sebelah kanan dan kini garis lurus tersebut. Lalu mengatakan, ini jalan-jalan yang tidak ada satu jalan pun melainkan ada setan yang menyeru kepadanya. (HR. Ahmad 1/453 dan 465, Ath Thayalisi 244, dan An Nasa’i dalam Al Kubra sebagaimana dalam At Tuhfah 7/49, sanadnya lihat Al Hawadits wal Bida’ Imam Ath Thurthusy tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Atsary halaman 32)

[27] Lihat Tafsir Ibnu Katsir cetakan Darul Faiha (Damsyiq) dan Darus Salam (Riyadl) jilid 2 halaman 611.


(http://assunnah.cjb.net/)

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!