Radio Rodja 756AM

Selasa, 01 Februari 2011

MUQADDIMAH


Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah Jalla Jalaluhu, kami memujiNya, memohon ampunan dan pertolonganNya. Kami berlindung kepadaNya dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Siapa yang ditunjuki Allah Jalla Jalaluhu niscaya tiada yang menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkanNya tiada pula yang menunjukinya, Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah satu-stunya, tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan RasulNya.


Para ulama telah menegaskan bahwa memutuskan keturunan sama sekali adalah haram, karena hal tersebut bertentangan dengan maksud Nabi mensyari'atkan pernikahan kepada umatnya, dan hal tersebut merupakan salah satu sebab kehinaan kaum muslimin. Karena jika kaum muslimin berjumlah banyak, (maka hal itu) akan menimbulkan kemuliaan dan kewibawaaan bagi mereka. Karena jumlah umat yang banyak merupakan salah satu nikmat Allah kepada Bani Israil.
"Artinya : Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar" [Al-Isra : 6]

"Artinya : Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu' [Al-A'raf : 86]

"Artinya : Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat dalam riwayat yang lain : dengan para nabi di hari kiamat)". [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa'i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) ; Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]

Oleh Karna itu berbanggalah kalian dengan banyaknya keturunan, karana Rasululloh pun bangga di hari kiamat kelak, maka kami bukan bermaksud untuk menghalangi suatu program sosial.. akan tetapi kami semata-mata murni keyakinan di agama yang mulia ini.. kami pun menasehatkan semoga pemerintah atau penguasa kaum muslimin -semoga Alloh memberikan Taufiq kepada mereka- untuk bersama-sama menjalankan program KB "KELUARGA BESAR" yang Rasulullloh canangkan hingga hari kiamat.

Jakarta, 1 Februari 2011
Orang yang Faqir saudara kalian
Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

Fenomena TKI SAUDI


Sebuah pemerintahan Islam atau masyarakat Islam bukanlah sebuah kumpulan orang-orang yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali, sehingga kita tidak bisa menuduh para ulama yang membimbing masyarakat tersebut telah gagal atau tidak becus dalam membina negaranya.

Bahkan di masa kepemimpinan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang masyarakatnya adalah generasi terbaik ummat ini, ada orang yang didera karena minum khamar[1], ada yang dirajam karena berzina[2], bahkan ada yang murtad keluar dari Islam[3]. Namun tidak ada satupun yang menuduh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah gagal mendidik para sahabatnya.

Karena memang, tidak ada satu pun manusia yang terjaga dari kesalahan selain para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّ بنِي آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak adam senantiasa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang senantiasa bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 3139)

Pengalaman belajar di Saudi, bergaul dengan sebagian pekerja Indonesia yang kebetulan ketemu di masjid, di jalan, di toko, di majelis-majelis ilmu dan dalam suatu bimbingan ibadah haji tahun 1431 H atas permintaan sebuah travel yang pesertanya lebih dari 90 % pekerja Indonesia, sisanya India, Maroko dan Philipina. Semua itu menyisakan banyak cerita yang mungkin sebagiannya bisa dijadikan pelajaran, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara pekerja dan majikan, yang oleh musuh-musuh Dakwah Tauhid dijadikan senjata untuk menjatuhkan ulama Ahlus Sunnah di negeri ini. Insya Allah akan kami sarikan dalam beberapa poin berikut:

Pertama: Para majikan tidak semuanya memahami agama dengan baik, banyak yang awam, tidak mau belajar agama dan banyak yang zalim terhadap pekerjanya[4]. Kepada mereka para ulama di negeri ini telah menasihati, baik secara pribadi maupun terang-terangan, seperti nasihat Asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Fiyfiy hafizhahullah yang sangat menyentuh di www.sahab.net[5] yang berjudul At-Tahdzir min Zhulmil Khudam wal ‘Ummal(Peringatan Keras dari Perbuatan Zalim kepada para Pembantu dan Pekerja). Demikian pula para khatib dan imam masjid terkadang menyampaikan khutbah tentang bahaya perbuatan zalim terhadap para pekerja

Kedua: Seharusnya TKI diberikan informasi tentang keadaan calon majikannya sebelum dia memutuskan bekerja kepada majikan tersebut, semoga hal ini bisa menjadi catatan untuk semua pihak yang terkait dalam pemberangkatan TKI

Ketiga: Alhamdulillah tidak semua majikan yang zalim, masih banyak yang baik insya Allah, meskipun bukan dari kalangan mutawwa’[6], atau penuntut ilmu, apalagi masyaikh. Bentuk-bentuk kebaikan mereka yang bisa saya ceritakan di sini:

Dari 100 orang yang ikut haji dalam bimbingan kami hampir semuanya dibiayai oleh majikannya, biayanya sekitar 3500 riyal atau senilai kurang lebih 7,5 juta rupiah
Perhatian majikan kepada pekerjanya selama melaksanakan ibadah haji dalam bentuk menelepon dan menanyakan kabar serta bagaimana pelayanan travel terhadap mereka. Jika pekerjanya mengadukan pelayanan travel yang kurang bagus, tidak lama kemudian majikan akan menelepon pengurus travel ini dan memarahinya habis-habisan
Sampai-sampai ada majikan yang berkata kepada pekerjanya, “Sampaikan kepada pengurus travel, berapa saja biaya yang dia minta akan saya berikan, asalkan kamu mendapat pelayanan yang baik”.
Seorang Ikhwan dibebaskan oleh majikannya dari seluruh pekerjaannya demi untuk menuntut ilmu, masih ditambah dengan uang saku per bulan dikirim secara rutin oleh majikannya. Bahkan Ikhwan yang lain, sampai pulang ke Indonesia masih dikirimi uang secara rutin oleh majikannya, demi untuk membiayai kegiatan-kegiatan dakwah.
Seorang pekerja asal Sumbawa, apabila dia cuti pulang kampung majikannya biasa menitipkan uang untuk dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangganya yang miskin.
Pekerja asal Jawa Barat, mengabarkan tentang pembangunan masjid di kampungnya yang belum selesai, langsung dikucurkan dana oleh majikannya tanpa mengecek langsung ke lokasi apakah dananya sampai atau tidak.
Seorang pekerja asal Jawa Barat, majikannya biasa mengantarnya untuk menghadiri pengajian yang diadakan oleh Kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing.
Seorang Ikhwan menceritakan, saudarinya bekerja pada seorang masyaikh, bertahun-tahun bekerja kepada keluarga masyaikh tersebut tidak pernah sekali pun dia berada dalam satu ruangan bersama majikannya yang laki-laki.
Seorang Ustadz menceritakan, bahwa seorang majikan meminta bantuannya untuk menasihati pembantu wanitanya yang sering menggodanya untuk berzina, akhirnya sang Ustadz menelepon dan menasihati pembantu ini.
Banyak majikan yang mensyaratkan supirnya harus disertai istrinya untuk mengantar anak-anak puteri mereka ke sekolah. Demikian pula sebaliknya, pembantu wanita harus datang bersama mahramnya.
Para masyaikh banyak sekali membebaskan pekerja mereka dari semua pekerjaan jika para pekerja ini benar-benar mau menuntut ilmu.
Keempat: Sebenarnya aturan-aturan pemerintah Saudi sangat menjamin para pekerja asing, di antaranya kewajiban majikan untuk membuatkan asuransi kesehatan bagi para pekerjanya dan hukuman yang setimpal bagi para majikan yang zalim terhadap pekerjanya, berikut beberapa kasus yang kami dengarkan:

Seorang majikan memukul supirnya, sang supir ini ditemukan oleh seorang Ikhwan Saudi dan membawanya ke kantor polisi, saat itu juga majikannya langsung dijemput dan ditahan oleh polisi dan wajib diqishah atau membayar sejumlah uang kepada pekerjanya yang dizalimi.
Cerita seorang Ustadz, ada majikan yang dituntut oleh pengadilan untuk membayar berapa pun yang diminta oleh seorang pembantu wanita yang dizalimi oleh si majikan.
Seorang majikan yang membunuh pekerjanya terancam hukuman mati, namun pihak keluarga di Indonesia lebih memilih untuk memaafkan dan menerima ganti rugi (diyah), akhirnya uang milyaran rupiah dititipkan melalui kedutaan Indonesia.
Kelima: Ketika majikan berbuat zalim, masalah terbesar para pekerja Indonesia adalah tidak mampu melapor ke kantor polisi ketika dizalimi, di antaranya karena kendala bahasa, tidak mengerti dengan aturan-aturan yang ada dan tidak adanya pendamping mereka yang siap siaga ketika dibutuhkan. Adapun pemerintah Philipina, sangat terkenal pendampingan dan pembelaannya kepada pekerjanya. Jika ada masalah yang terjadi pada pekerjanya mereka akan langsung turun ke lokasi dan menggunakan kekuatan diplomasinya untuk menekan pemerintah Saudi agar memproses menurut hukum yang berlaku. Sehingga jarang terdengar ada masalah antara majikan dan pekerja Philipina, padahal jumlah mereka (di luar kota suci Makkah dan Madinah) tidak kalah banyak dengan pekerja Indonesia

Keenam: Masalah terbesar dari sisi syari’at adalah datangnya para pekerja wanita (TKW) tanpa disertai mahram atau suami. Hampir semua masalah terjadi pada TKW yang tidak bersama suami atau mahramnya, sehingga dengan mudah mereka dizalimi tanpa ada yang membela mereka atau melaporkan ke kantor polisi. Padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah melarang safar wanita tanpa mahram dalam sabda beliau,

لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم ولا يدخل عليها رجل إلا ومعها محرم

“Janganlah wanita melakukan safar (bepergian jauh) kecuali bersama mahramnya, dan janganlah seorang laki-laki asing menemuinya melainkan wanita itu disertai mahramnya.” (HR. Al-Bukharidari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma)

Ketujuh: Alhamdulillah, dengan sebab kerja di Saudi banyak sekali pekerja yang mendapatkan kebaikan yang sangat besar, di antara bentuknya:

Banyak pekerja yang tadinya beraqidah sufiyah quburiyah dan aqidah kesyirikan lainnya dengan berbagai macam bid’ahnya, tidak melaksanakan sholat lima waktu dan tidak memahami adab-adab Islami. Setelah tinggal di Saudi mereka tersentuh dakwah tauhid, meninggalkan semua bentuk syirik dan bid’ah, rajin melaksanakan sholat lima waktu dan mulai berhias dengan adab-adab Islami.
Pekerja-pekerja Philipina, Nepal dan Sri Lanka yang tadinya beragama Nasrani, Hindu dan Budha juga banyak sekali (sampai puluhan ribu orang) yang masuk Islam dengan sebab da’i-da’i dan buku-buku yang dicetak dengan bahasa mereka oleh Kantor-kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing di bawah naungan Kementrian Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Saudi Arabia.
Bisa menghadiri majelis-majelis ilmu para ulama.
Bisa melaksanakan ibadah haji dan umroh.
Kedelapan: Sayang sekali, banyak Kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing disusupi oleh hizbiyyun dari sebuah partai Islam di Indonesia dengan hanya bermodalkan ijazah LC [7], di antara kerusakan yang mereka lakukan:

Fasilitas dakwah digunakan untuk mendakwahkan kebatilan manhaj mereka.
Mengajak kepada perpecahan dengan menjajakan partai mereka di musim Pemilu.
Beberapa orang TKI yang ana temui, telah ikut kajian mereka bertahun-tahun namun tidak nampak adanya perubahan dalam aqidah dan ibadahnya menjadi lebih baik. Berbeda dengan TKI yang mengikuti kajian da’i-da’i Ahlus Sunnah, alhamdulillah banyak yang berubah menjadi lebih baik, seperti yang ana singgung di atas.
Hal itu karena memang tidak ada perhatian mereka terhadap dakwah tauhid dan sunnah kecuali sedikit, malah mereka lebih banyak memanfaatkan para TKI untuk bisnis pengiriman barang dan travel haji, dengan bimbingan haji yang tidak mengikuti petunjuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Kesembilan: Kezaliman yang diderita sebagian TKI bukan hanya oleh majikan di Saudi tapi juga oleh PJTKI maupun calo-calonya di Indonesia. Ana pernah menyaksikan sendiri bagaimana para TKI ini dibentak-bentak dan diperlakukan tidak seperti manusia di tempat penampungan TKI di Jakarta. Bahkan ketika sudah bekerja di Saudi sebagian TKI masih diwajibkan mengirim sejumlah uang setiap bulan kepada calo-calo ini di Indonesia.

Kesepuluh: Kami menghimbau kepada semua pihak yang terkait dalam pemberangkatan TKI (termasuk keluarga para TKI) ataupun yang diberi amanah oleh pemerintah untuk mengurus TKI di Saudi maupun di negara lainnya; hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala, janganlah mengirim TKW tanpa disertai suami atau mahramnya dan hendaklah melaksanakan tugas pembelaan dan pengurusan TKI sesuai amanah pemerintah. Ingatlah pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat!

Inilah catatan ringan kami, hasil dari dialog dengan beberapa TKI, semoga bisa diambil pelajarannya baik oleh TKI, calon TKI maupun semua pihak yang terkait dalam pengurusan TKI. Semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaan kaum muslimin dan pemerintah mereka.

Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Musta’an.

Footnote:

[1] Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya (6391):

عن أنس بن مالك رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه و سلم ضرب في الخمر بالجريد والنعال وجلد أبو بكر أربعين

[2] Seperti kisah Ma’iz bin Malik radhiyallahu’anhu dalam riwayat Al-Bukhari (6438) danMuslim (4520)

[3] Seperti kisah suami Ummu Habibah radhiyallahu’anha yang murtad di negeri Habasyah

[4] Ada juga majikan atau orang Saudi yang Sufi (murid-muridnya Alwi Al-Maliki), Syi’ah dan Hizbi Ikhwani. Salah seorang Ustadz kita, ketika diketahui oleh majikannya yang Ikhwani bahwa Ustadz kita ini pernah belajar di Darul Hadits Dammaj, majikannya mulai mempersulit ruang gerak beliau, sampai saat ini beliau dipaksa pulang ke Indonesia dengan membayar ganti rugi kepada majikannya sebesar 6000 riyal. Adakah yang mau membantu?

[5] http://www.sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=829

[6] Mutawwa’ adalah istilah orang-orang awam di Saudi untuk menyebut orang yang nampak keshalihannya dan menjalankan sunnah seperti jenggot dan memendekkan pakaian (tidak sampai menutupi mata kaki)

[7] Lebih disayangkan lagi, ada seorang Ustadz terkenal, penerjemah buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yang dicetak oleh Kantor Kerjasama Dakwah dan Bimbingan Islam di Riyadh, yang memberikan jalan kepada da’i-da’i hizbi ini untuk masuk menjadi pembina-pembina TKI di Kantor-kantor Dakwah untuk Orang-orang Asing di Saudi

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray

Mungkinkah Alloh Mengampuniku??


Para pembaca yang semoga dirahmati Alloh, mungkin ada yang bertanya, “Aku ingin bertaubat, namun dosaku terlalu banyak. Tidak ada satu macam perbuatan keji pun melainkan telah kukerjakan. Tidak ada satu bentuk dosa pun melainkan aku telah terjerumus ke dalamnya. Mungkinkah Alloh mengampuni dosa-dosaku?!!”

Bagi siapa saja yang merasa dosanya sulit diampuni maka perhatikanlah kisah berikut ini.

Kisah Taubat Pembunuh 100 Jiwa

Kisah ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri rodhiyallohu ‘anhu, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang membunuh 99 jiwa, lalu ia bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi, maka ia ditunjukkan kepada seorang rahib (ahli ibadah), lalu ia mendatangi rahib tersebut dan berkata, ‘Jika ada orang yang membunuh 99 jiwa, apa taubatnya bisa diterima?’ Rahib pun menjawab, ‘Tidak.’ Lalu orang tersebut membunuh rahib itu sehingga genap sudah dia membunuh 100 nyawa. Kemudian ia kembali bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi, lalu ia ditunjukkan kepada seorang yang ‘alim, lalu dia berkata, ‘Jika ada orang telah membunuh 100 jiwa, apakah masih ada pintu taubat untuknya?’ Orang alim itu pun menjawab, ‘Ya Siapakah yang menghalangi nya untuk bertaubat? Pergilah ke daerah ini karena di sana terdapat sekelompok orang yang menyembah Alloh Ta’ala, maka sembahlah Alloh bersama mereka dan janganlah kembali ke daerahmu yang dulu karena daerah tersebut adalah daerah yang jelek.’ Laki-laki ini lantas pergi menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut. Ketika sampai di tengah perjalanan, maut menjemputnya. Maka terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Malaikat rahmat berkata, ‘Orang ini pergi untuk bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Alloh’. Sedangkan malaikat azab berkata, ‘Sesungguhnya orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun’. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai juru damai. Malaikat ini berkata, ‘Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju,pen.), daerah yang jaraknya lebih dekat, maka daerah tersebut yang berhak atas orang ini.’ Mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan teryata orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju, Oleh karena itu ruhnya dibawa oleh malaikat rahmat.” (HR. Bukhori & Muslim)

Wahai saudaraku, siapakah yang dapat menghalangi dari pintu taubat? Laki-laki ini telah membunuh 100 nyawa dan dia telah Alloh ampuni. Jika demikian mengapa Anda berputus asa dari rohmat Alloh dan ampunan-Nya yang begitu luas ??!

Pesan yang Terkandung Dalam Kisah di Atas

Pertama; Pembunuh masih memiliki kesempatan untuk bertaubat. Dalilnya adalah firman Alloh yang artinya, “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, namun Dia mengampuni dosa-dosa di bawah syirik, bagi siapa yang Dia kehendaki.” (An Nisaa’: 48). Yaitu Alloh mengampuni dosa-dosa di bawah syirik, apabila Dia menghendaki. Ini merupakan pendapat mayoritas para ulama. Ayat ini juga menunjukkan tentang keutamaan ikhlas dan ikhlas merupakan sebab dosa terampuni.

Kedua; Hati ahli maksiat lebih mudah tergugah untuk bertaubat kepada Alloh daripada ahli bid’ah karena dia merasa berbuat salah.

Ketiga; Orang yang berilmu lebih utama daripada ahli ibadah karena ahli ibadah yang jahil (bodoh) terkadang dengan kejahilannya bertindak ‘ngawur’ sekalipun menurut dia hal itu baik. Bertitik tolak dari hal ini dapat diketahui bahwa orang yang terjun berdakwah, harus memiliki ilmu agar tidak membuat kerusakan yang lebih besar.

Keeempat; Orang yang bertaubat hendaknya berpindah dari lingkungan yang jelek ke lingkungan yang baik. Karena bergaul dengan orang-orang sholeh merupakan penyebab iman menjadi kuat dan tipu daya syaithon makin lemah.

Luasnya Ampunan Alloh

Pembaca yang semoga dirahmati Alloh, perhatikanlah hadits qudsi berikut yang menceritakan luasnya ampunan Alloh Subhanahu wa Ta’ala!!

Dari Anas rodhiyallohu ‘anhu, “Saya mendengar Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, Alloh Ta’ala berfirman, ‘…Hai anak Adam, sungguh seandainya kamu datang menghadapKu dengan membawa dosa sepenuh bumi, dan kau datang tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatupun. Sungguh Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula’.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani di Shohihul Jaami’)

Semoga Alloh menerima taubat dan membersihkan dosa-dosa kita. Amii

PROFILE ROKOK



Apakah anda termasuk penggemar rokok? Baiklah, sebelum anda merogoh saku anda dan mengambil uang untuk membeli rokok marilah kita berbicara barang sejenak dengan akal yang jernih dan pikiran yang tenang mengenai hal ini. Jangan sampai anda melakukan sesuatu yang justru membahayakan diri anda dan juga orang-orang di sekitar anda.


Berbicara soal rokok, ada beberapa hal yang perlu kita pikirkan:

Pertama: Merokok itu tidak penting

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak penting baginya.” (HR. Tirmidzi [2239] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [2317] as-Syamilah). Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Kesimpulan tersirat dari hadits ini adalah orang yang tidak meninggalkan perkara yang tidak penting baginya adalah orang yang jelek keislamannya.” (ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 116).

Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri rahimahullah, beliau mengatakan, “Salah satu tanda Allah telah berpaling meninggalkan seorang hamba adalah ketika Allah menjadikan dia sibuk dalam hal-hal yang tidak penting baginya.” (ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 115).

Menjaga kesehatan merupakan perkara penting bagi setiap muslim. Orang yang dengan sengaja merusak kesehatannya telah melakukan sesuatu yang tidak penting dan bahkan menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan. Padahal, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Qs. al-Baqarah: 195)

Di sisi lain, orang yang merusak kesehatannya sendiri, maka dia telah menyia-nyiakan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah nikmat yang banyak manusia rugi karena tidak bisa menggunakannya yaitu; kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari [6412] dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma). Hadits ini menunjukkan bahwa kesehatan merupakan nikmat dari Allah, oleh sebab itu kita harus mensyukuri nikmat tersebut.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian kufur.” (Qs. al-Baqarah: 152). Syukur adalah mengakui dengan hati kita bahwa nikmat tersebut berasal dari Allah, memuji Allah dengan lisan, kemudian menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan, bukan untuk kemaksiatan. Apakah merokok termasuk maksiat, nanti akan kita bicarakan! Yang jelas semua orang -yang masih sehat akalnya- bahkan para dokter dan pemerintah sekalipun mengakui bahwa merokok merugikan kesehatan.

Kedua: Merokok menyia-nyiakan harta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah membenci untuk kalian; menyebarkan berita yang tidak jelas, terlalu banyak bertanya yang tidak perlu, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Muslim [3236] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu as-Syamilah). Yang dimaksud menyia-nyiakan harta adalah menggunakan harta untuk keperluan yang tidak dibenarkan oleh syari’at, demikian keterangan an-Nawawi rahimahullah (Syarh Muslim [6/144] as-Syamilah).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang melakukan tabdzir itu adalah saudara-saudara syaitan, sedangkan syaitan adalah makhluk yang senantiasa kufur kepada Rabbnya.” (Qs. al-Israa’ : 27). Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Tabdzir adalah membelanjakan harta bukan dalam perkara yang haq.” Ibnu Abbas juga mengatakan demikian. Qatadah mengatakan, “Tabdzir adalah membelanjakan harta untuk bermaksiat kepada Allah ta’ala, untuk keperluan yang tidak benar atau untuk mendatangkan kerusakan.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/53)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa orang yang membelanjakan hartanya untuk keperluan yang sia-sia, menimbulkan kerusakan, atau dalam rangka bermaksiat pada hakikatnya sedang menjalin ukhuwah syaithaniyah. Padahal kita semua tahu bahwa syaitan adalah musuh kita, lalu bagaimana mungkin kita menjadikannya sebagai saudara? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya syaitan adalah musuh kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh. Sesungguhnya dia hanya mengajak kaum pengikutnya agar mereka menjadi penghuni-penghuni neraka.” (Qs. Fathir: 6)

Belum lagi kalau kita perhatikan di antara sekian banyak kasus kebakaran ternyata sumbernya adalah puntung rokok dari ’saudara syaitan’ yang tidak bertanggung jawab! Sungguh bijak para pengelola POM bensin, pemilik Rumah Sakit, dan takmir masjid yang dengan terus terang mengatakan kepada para pengunjung bahwa merokok itu dilarang, dan tidak ada seorang pegunjung pun yang memprotes mereka! Karena mereka sama-sama sepakat bahwa api rokok adalah sumber kebinasaan!

Ketiga: Bau menjijikkan dan asap yang mengganggu kesehatan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah orang yang membuat kaum muslimin yang lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.” (HR. Bukhari [10] dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga dia mencintai bagi saudaranya (atau beliau mengatakan; tetangganya) sebagaimana yang dicintainya bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari [13] dan Muslim [45] dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu). Di dalam riwayat Nasa’i dengan tambahan keterangan yaitu, “[berupa] kebaikan.” (HR. Nasa’i [4931] as-Syamilah)

Menjelang wafatnya, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkhutbah di hadapan para sahabat, di antara isi ceramahnya, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian biasa memakan dua jenis tanaman yang tidak sedap baunya yaitu bawang merah dan bawang putih. Sungguh dahulu aku melihat apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati bau kedua tanaman itu pada [mulut] salah seorang yang ada di masjid maka beliau menyuruhnya untuk keluar ke Baqi’. Maka barangsiapa di antara kalian yang ingin memakannya hendaklah dia memasaknya terlebih dulu (agar berkurang baunya, pent).” (HR. Muslim [567] dari Ma’dan bin Abi Thalhah).

an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sayuran ini -yaitu bawang dan semacamnya- adalah halal berdasarkan ijma’ para ulama yang diakui pendapatnya.” (Syarh Muslim [3/366]). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakan jenis tanaman yang menjijikkan ini maka janganlah dia mendekati kami di masjid.” Setelah mendengar ucapan itu para sahabat mengatakan, “Makanan itu diharamkan, iya diharamkan.” Kemudian sampailah ucapan mereka itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun bersabda, “Hai umat manusia, sesungguhnya aku tidak berhak mengharamkan apa yang Allah halalkan untukku, hanya saja aku tidak menyukai bau tanaman itu.” (HR. Muslim [565] dari Abu Sa’id).

Nah, lihatlah wahai saudaraku, kalau sesuatu yang halal saja -seperti bawang- dapat memunculkan rasa tidak suka pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam gara-gara baunya yang tidak sedap, lantas bagaimana lagi dengan sesuatu yang membahayakan -yaitu rokok- yang menimbulkan bau tak sedap di mulut orang yang menghisapnya dan mengganggu orang dengan asapnya yang membuat orang terbatuk-batuk dan ‘terpaksa’ menyerap racun (baca: nikotin) ke dalam tubuh mereka?

Keempat: Merokok terbukti membahayakan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang tidak berbicara menuruti kemauan hawa nafsunya- bersabda, “Tidak boleh mendatangkan bahaya secara tak sengaja maupun disengaja.” (HR. Ibnu Majah [2331] dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [250])

Syaikh Dr. Muhammad Shidqi mengatakan, “Hadits ini merupakan landasan hukum yang tegas mengenai pengharaman mendatangkan bahaya, sebab penafian di sini menggunakan ungkapan yang mencakup segala objek dan menunjukkan haramnya segala jenis bahaya yang dilarang oleh syari’at. Hal itu disebabkan perbuatan mendatangkan bahaya termasuk dalam kezaliman, kecuali tindakan tertentu yang terdapat dalil yang mengecualikannya seperti hukuman had (potong tangan, dsb) dan dijatuhkannya berbagai bentuk hukuman…” (al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 252)

untukmu PEROKOK ...


Berpikirlah!

Saudaraku, sekarang tanyakanlah kepada dirimu sendiri, apakah rokok itu berbahaya bagi kesehatan? Jawabnya sudah sangat mutawatir bukan? Para produsen rokok pun mengakuinya. Merokok dapat merugikan kesehatan, menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan, dan janin. Itulah peringatan pemerintah kita, semoga kita mengindahkan peringatan ini dengan sebaik-baiknya. Kalau bukan karena rasa sayang pemerintah kepada rakyatnya tentu mereka tidak akan mengharuskan pabrik rokok untuk mencantumkan peringatan ini di dalam iklan-iklan dan bungkus rokok tersebut. Aduhai, alangkah indahnya negeri ini jika rakyatnya mau menaati pemerintahnya dalam hal ketaatan!

Ucapkanlah selamat tinggal untuk rokok, sekarang dan untuk selama-lamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (Disebutkan oleh as-Sakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah [1/214], as-Suyuthi dalam ad-Durrar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah [1/19] as-Syamilah, Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini merupakan bagian dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan sanadnya sahih”, Hijab al-Mar’ah wa Libasuha fi ash-Shalah, hal. 47. al-Maktab al-Islami, islamspirit.com

Mengatur Kehamilan


Editor : ABU USAAMAH

Mengatur kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana untuk mencegah kehamilan, tapi bukan dengan tujuan untuk menjadikan mandul atau mematikan fungsi alat reproduksi, tetapi tujuannya mencegah kehamilan dalam jangka waktu tertentu (bukan selamanya), karena adanya maslahat (kebutuhan yang dibenarkan dalam syariat) yang dipandang oleh kedua suami istri atau seorang ahli (dokter) yang mereka percaya (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114) Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/15)).

Mengatur kehamilan seperti ini -sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad al-’Utsaimin- boleh dilakukan dengan dua syarat:

1). Adanya kebutuhan (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri sakit (sehingga) tidak mampu menanggung kehamilan setiap tahun, atau (kondisi) tubuh istri yang kurus (lemah), atau penyakit-penyakit lain yang membahayakannya jika dia hamil setiap tahun.

2). Izin dari suami bagi istri (untuk mengatur kehamilan), karena suami mempunyai hak untuk mendapatkan dan (memperbanyak) keturunan (Al Fataawal Muhimmah (1/159-160) no. (2764)).

Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “…Demikian pula (diperbolehkan) mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, atau lebih tepatnya penunda kehamilan, untuk jangka waktu tertentu (bukan seterusnya), karena adanya suatu sebab (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri dalam kondisi sakit, atau kelahiran yang banyak berturut-turut yang membuat istri tidak mampu memberi makanan (ASI) yang cukup untuk bayinya, maka dia (boleh) mengonsumsi obat penunda kehamilan, supaya dia bisa berkonsentrasi (untuk mempersiapkan diri) menyambut kehamilan yang baru setelah selesai dari hamil yang pertama, maka dalam kondisi (seperti) ini diperbolehkan (Al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (89/24-25)).

Dalam fatwa Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Syaikh Bin Baz: “…Adapun mengatur keturunan yaitu (dengan) menunda kehamilan karena alasan yang benar (sesuai syariat), seperti (kondisi) istri yang lemah (sehingga) tidak mampu (menanggung) kehamilan, atau kebutuhan untuk menyusui bayi yang sudah lahir, maka ini diperbolehkan untuk kebutuhan tersebut (Fatawal Lajnatid Daaimah (19/428) no (16013)).

Yang perlu diperhatikan di sini, bahwa kondisi lemah, payah dan sakit pada wanita hamil atau melahirkan yang dimaksud di sini adalah lemah/sakit yang melebihi apa yang biasa dialami oleh wanita-wanita hamil dan melahirkan pada umumnya, sebagaimana yang diterangkan dalam fatwa Lajnah Daimah (Fatawal Lajnatid Daaimah (19/319) no (1585)). Karena semua wanita yang hamil dan melahirkan mesti mengalami sakit dan payah, Allah berfirman:

حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً

“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula)” (Qs. al-Ahqaaf: 15)

DIMANA ALLOH?


Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ahmad ibnu Taimiyyah rohimahulloh pernah ditanya mengenai dua orang yang berselisih tentang masalah akidah/keyakinan. Seorang di antaranya berkata, “Orang yang tidak meyakini Alloh Subhanahu wa Ta’ala di atas langit adalah orang sesat.” Sedangkan yang satunya berkata, “Sesungguhnya Alloh itu tidak dibatasi oleh suatu tempat.” Padahal mereka berdua adalah sama-sama pengikut mazhab Syafi’i. Maka, jelaskanlah kepada kami tentang akidah Imam Syafi’i rodhiallohu ‘anhu yang kami ikuti dan bagaimanakah akidah yang benar?

Jawaban Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

Segala puji bagi Alloh, keyakinan Asy Syafi’i rohimahulloh dan keyakinan para pendahulu Islam seperti Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Ibnu Mubarak, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan juga menjadi keyakinan para guru yang ditiru seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Abu Sulaiman Ad Darani, Sahl bin Abdullah At Tusturi dan selain mereka adalah sama. Sesungguhnya di antara ulama tersebut dan yang seperti mereka tidak terdapat perselisihan dalam pokok-pokok agama.

Begitu pula Abu Hanifah rohmatullohi ‘alaihi, sesungguhnya keyakinan beliau dalam masalah tauhid, takdir dan perkara lainnya adalah sesuai dengan keyakinan para ulama di atas. Sedangkan keyakinan yang dipegang oleh para ulama itu adalah keyakinan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, itulah keyakinan yang dikatakan oleh Al Kitab dan As Sunnah. Asy Syafi’i mengatakan di bagian awal Muqoddimah Kitab Ar Risalah:

الحمد لله الَّذِي هُوَ كَمَا وصف بِهِ نفسه، وفوق مَا يصفه بِهِ خلقه.

“Segala puji bagi Alloh yang (terpuji) sebagaimana sifat yang Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri. Sifat-sifat yang tidak bisa digambarkan oleh makhluknya.”

Dengan demikian beliau rohimahulloh menerangkan bahwa Alloh itu memiliki sifat sebagaimana yang Dia tegaskan di dalam Kitab-Nya dan melalui lisan rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Begitu pula yang dikatakan oleh Ahmad bin Hambal. Beliau mengatakan: Alloh tidak diberi sifat kecuali dengan yang Dia tetapkan sendiri, atau sifat yang diberikan oleh Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam tanpa disertai tahrif (penyelewengan makna), tanpa takyif (memvisualisasikan), tanpa tamsil (menyerupakan dengan makhluk), tetapi mereka menetapkan nama-nama terbaik dan sifat-sifat luhur yang Dia tetapkan bagi diri-Nya. Mereka yakini bahwasanya:

لَيْسَ كمثله شيء وَهُوَ السميع البصير

“Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai dengan-Nya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” baik dalam sifat-sifatNya, Zat-Nya maupun dalam perbuatan-perbuatanNya. Kemudian beliau berkata: Dialah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan segala yang ada di antara keduanya dalam waktu enam masa kemudian Dia bersemayam di atas Arsy; Dialah yang telah benar-benar berbicara dengan Musa; Dialah yang telah menampakkan diri kepada gunung dan gunung itu pun menjadi hancur terbelah karenanya, tidak ada satu makhluk pun yang memiliki sifat sama persis dengan-Nya, ilmu-Nya tidak sama dengan ilmu siapa pun, kemampuan-Nya tidak sama dengan kemampuan siapa pun, dan kasih sayang-Nya juga tidak sama dengan kasih sayang siapa pun, bersemayam-Nya juga tidak sama dengan bersemayamnya siapa pun, pendengaran dan penglihatan-Nya juga tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan siapa pun. Ucapan-Nya tidak sama dengan ucapan siapa pun, penampakan diri-Nya tidak sebagaimana penampakan siapa pun.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menginformasikan kepada kita di surga itu ada daging, susu, madu, air, sutera dan emas. Dan Ibnu Abbas telah berkata,

لَيْسَ فِي الدُّنْيَا مما فِي الآخرة إِلاَّ الأسماء.

“Tidak ada suatu pun di dunia ini yang ada di akhirat nanti kecuali hanya sama namanya saja.”

Apabila makhluk-makhluk yang gaib ini ternyata tidak sama dengan makhluk-makhluk yang tampak ini -padahal namanya sama- maka Sang Pencipta tentu sangat jauh berbeda dibandingkan dengan makhluk-Nya, inilah perbedaan Pencipta dengan makhluk yang diciptakan, meskipun namanya sama.

Alloh telah menamai diri-Nya Hayyan ‘Aliiman (Maha Hidup, Maha Mengetahui), Samii’an Bashiiran (Maha Mendengar, Maha Melihat), dan nama-Nya yang lain adalah Ra’uuf Rahiim (Maha Lembut, Maha Penyayang); Alloh itu hidup tidak seperti hidup yang dialami oleh makhluk, pengetahuan Alloh tidak seperti pengetahuan makhluk, pendengaran Alloh tidak seperti yang dialami pendengaran makhluk, penglihatan Alloh tidak seperti penglihatan makhluk, kelembutan Alloh tidak seperti kelembutan makhluk, kasih sayang Alloh tidak seperti kasih sayang makhluk.

Nabi bersabda dalam konteks hadits budak perempuan yang cukup populer: “Di mana Alloh?” Budak tersebut menjawab, “(Alloh) di atas langit.” Akan tetapi bukan berarti maknanya Alloh berada di dalam langit, sehingga langit itu membatasi dan meliputi-Nya. Keyakinan seperti ini tidak ada seorang pun ulama salaf dan ulama yang mengatakannya; akan tetapi mereka semuanya bersepakat Alloh berada di atas seluruh langit ciptaan-Nya. Dia bersemayam (tinggi) di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya; tidak terdapat sedikit pun unsur Dzat-Nya di dalam makhluk-Nya, begitu pula, tidak terdapat sedikit pun unsur makhluk-Nya di dalam Dzat-Nya.

Malik bin Anas pernah berkata:

إن الله فَوْقَ السماء، وعلمه فِي كلّ مكان

“Sesungguhnya Alloh berada di atas langit dan ilmu-Nya berada (meliputi) setiap tempat.”

Maka barang siapa yang meyakini Alloh berada di dalam langit dalam artian terbatasi dan terliputi oleh langit dan meyakini Alloh membutuhkan ‘Arsy atau butuh terhadap makhluk lainnya, atau meyakini bersemayamnya Alloh di atas ‘Arsy-Nya sama seperti bersemayamnya makhluk di atas kursinya; maka orang seperti ini adalah sesat, pembuat bid’ah dan jahil (bodoh). Barang siapa yang meyakini kalau di atas ‘Arsy itu tidak ada Tuhan yang disembah, di atas ‘Arsy itu tidak ada Tuhan yang orang-orang sholat dan bersujud kepada-Nya, atau meyakini Muhammad tidak pernah diangkat menghadap Tuhannya, atau meyakini kalau Al Quran tidak diturunkan dari sisi-Nya, maka orang seperti ini adalah Mu’aththil Fir’auni (penolak sifat Alloh dan pengikut Fir’aun), sesat dan pembuat bid’ah.

Ibnu Taimiyah berkata setelah penjelasan yang panjang, Orang yang mengatakan, “Barang siapa tidak meyakini Alloh di atas langit adalah sesat”, jika yang dimaksudkan adalah “barang siapa yang tidak meyakini Alloh itu di dalam lingkup langit sehingga Alloh terbatasi dan diliputi langit” maka perkataannya itu keliru. Sedangkan jika yang dimaksudkan dengan ucapan itu adalah “barang siapa yang tidak meyakini apa yang tercantum di dalam Kitab dan Sunnah serta telah disepakati oleh generasi awal umat ini dan para ulamanya -yaitu Alloh berada di atas langit bersemayam di atas ‘arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya- maka dia benar. Siapa saja yang tidak meyakininya berarti mendustakan Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti selain orang-orang yang beriman. Bahkan sesungguhnya dia telah menolak dan meniadakan Tuhannya; sehingga pada hakikatnya tidak memiliki Tuhan yang disembah, tidak ada Tuhan yang dimintainya, tidak ada Tuhan yang ditujunya.”

Padahal Alloh menciptakan manusia -baik orang Arab maupun non-Arab- yang apabila berdoa maka akan mengarahkan hatinya ke arah atas, bukan ke arah bawah. Oleh karena itu ada orang bijak mengatakan: Tidak pernah ada seorang pun yang menyeru: “Ya Alloh!!” kecuali didapatkan di dalam hatinya -sebelum lisan tergerak- dorongan ke arah atas dan hatinya tidak terdorong ke arah kanan maupun kiri.

Ahlu ta’thil dan ta’wil (penolak dan penyeleweng sifat Alloh) memiliki syubhat dalam hal ini. Mereka benturkan Kitabullah dan Sunnah Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan syubhat ini, mereka tentang kesepakatan salaful ummah dan para ulama. Mereka tentang fitrah yang telah Alloh anugerahkan kepada hamba-hambaNya, mereka tentang sesuatu yang telah terbukti dengan akal sehat. Dalil-dalil ini semua bersepakat bahwa Alloh itu berada di atas makhluk-Nya, tinggi di atasnya. Keyakinan semacam ini Alloh anugerahkan sebagai fitrah yang dimiliki oleh orang-orang tua bahkan anak-anak kecil dan juga diyakini oleh orang badui; sebagaimana Alloh menganugerahkan fitrah berupa pengakuan terhadap adanya (Alloh) Pencipta Yang Maha tinggi. Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih:

كلّ مولود يولد عَلَى الفطرة؛ فأبواه يهودانه، أَوْ ينصّرانه، أَوْ يمجسانه، كَمَا تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هَلْ تحسّون فِيهَا من جدعاء؟

“Semua bayi itu dilahirkan dalam keadaan fitrah; Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana seekor binatang melahirkan anak dengan utuh tanpa ada anggota tubuh yang hilang, apakah menurutmu ada yang hilang telinganya (tanpa sebab sejak dari lahirnya)?”

Kemudian Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu berkata: Jika kalian mau bacalah,

فطرة الله الَّتِي فطر النَّاس عَلَيْهَا، لاَ تبديل لخلق الله

“Itulah fitrah Alloh yang manusia diciptakan berada di atasnya, tidak ada penggantian dalam fitrah Alloh.”

Inilah maksud dari perkataan Umar bin Abdul ‘Aziz: “Ikutilah agama orang-orang badui dan anak-anak kecil yang masih asli, yakinilah fitrah yang telah Alloh berikan kepada mereka, karena Alloh menetapkan bahwa fitrah hamba fitrah dan untuk memperkuat fitrah bukan untuk menyimpangkan dan juga bukan untuk mengubahnya.”

Sedangkan musuh-musuh para rosul seperti kaum Jahmiyah Fir’auniyah dan lain-lain itu bermaksud mengganti dan mengubah fitrah yang Alloh berikan, mereka lontarkan berbagai syubhat/kerancuan dengan kalimat-kalimat yang tidak jelas sehingga banyak orang itu tidak mengerti maksudnya; dan tidak bisa membantah mereka.

Sumber kesesatan mereka adalah penggunaan istilah-istilah yang bersifat global dan tidak bersumber dari Al Quran dan Sunnah Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah pula dikatakan oleh salah seorang ulama kaum muslimin, seperti istilah tahayyuz, jisim (jasad/raga), jihhah (arah) dan lain sebagainya.

Barang siapa yang mengetahui bantahan syubhat mereka hendaklah dia menjelaskannya, namun barang siapa yang tidak mengetahuinya hendaknya tidak berbicara dengan mereka dan janganlah menerima kecuali yang berasal dari Al Kitab dan As Sunnah, sebagaimana yang difirmankan Alloh,

وَإِذَا رأيت الَّذِينَ يخوضون فِي آياتنا فأعرض عنهم حتّى يخوضوا فِي حديثٍ غيره

“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Kami maka berpalinglah dari mereka hingga mereka mengganti pembicaraan.”

Barang siapa berbicara tentang Alloh, Nama dan Sifat-Nya dengan pendapat yang bertentangan dengan Al Kitab dan As Sunnah maka dia termasuk orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Alloh secara batil.

Kebanyakan dari mereka itu menisbatkan kepada para ulama kaum muslimin pendapat-pendapat yang tidak pernah mereka katakaberbagai hal yang tidak pernah mereka katakan, kemudian mereka katakan kepada para pengikut imam-imam itu: inilah keyakinan Imam Fulan; oleh karena itu apabila mereka dituntut untuk membuktikannya dengan penukilan yang sah dari para imam niscaya akan terbongkar kedustaannya.

Asy Syafi’i mengatakan, “Hukuman yang seharusnya dijatuhkan kepada Ahli ilmu kalam (baca: ahli filsafat) menurutku adalah dipukuli dengan pelepah kurma dan sandal lalu diarak mengelilingi kabilah-kabilah dan kaum-kaum sambil diumumkan: ‘Inilah balasan/hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan malah menekuni ilmu kalam.’”

Abu Yusuf Al Qadhi berkata, “Barang siapa menuntut ilmu agama dengan belajar ilmu kalam dia akan menjadi zindiq (baca: sesat).”

Ahmad mengatakan “Tidak akan beruntung orang yang menggeluti ilmu kalam.”

Sebagian ulama mengatakan: Kaum mu’aththilah/penolak sifat Alloh itu pada hakikatnya adalah penyembah sesuatu yang tidak ada, sedangkan kaum mumatstsilah/penyerupa sifat Alloh dengan sifat makhluk itu adalah penyembah arca. Mu’aththil itu buta, dan mumatstsil itu rabun; padahal agama Alloh itu berada antara sikap melampaui batas/ghuluw dan sikap meremehkan.

Alloh ta’ala berfirman,

وكذلك جعلناكم أمّة وسطاً

“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan.”

Posisi Ahlusunnah di dalam Islam seperti posisi Islam di antara agama-agama.

Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.

(Majmu’ Fatawa V/256-261)

***

Dialihbahasakan oleh: Abu Muslih Ari Wahyudi

Sya'ir Sufyan

JIWA YANG BERKABUT DOSA
Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

Terangkanlah…!!
Terangkanlah.. Yaa Rabb..
Jiwa Yang Berkabut lagi Penuh dosa
Jiwa Raga Yang gagah tiada manfaat kiranya di Neraka..
Setumpuk harta yang bergelimangan tiada peduli di tanah petak dan sehelai kain putih..
Sanak saudara yang dulu di bina.. tiada setia lagi untuk menemani di dalam tanah..
Sedangkan diri ini berlumuran dosa..
Diri ini telah berumur..
Mana… umur 20 tahun..
Mana…. umur 30 tahun..
Semua berlalu.. semua lenyap nan fatamorgana..
Sedangkan hari ini hanya menikmati sisa hidup diterpa detik-detik kematian tiba..
Ya Alloh ku makhluk dilumuri dosa,
sehari satu dosa saja dikali tahunku di dunia itu telah besar bagiku….
Akan tetapi rasanya itu tidak mungkin aku sehari satu dosa…
Dalam Harapan.. dengan setumpuk Dosa
Aku berharap pengampunan dan Surga di sana…

Sumber : Maktabah Sufyan Bin Ranan
dalam Tulisan
Syi'rus SUFYAN Fid Diiwaanu Syi’ri

Hukum Suap

HUKUM SYARI’AT TERHADAP SUAP

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apa hukum syari’at terhadap risywah (suap) ?


Jawaban.
Risywah (suap) haram hukumnya berdasarkan nash (teks syari’at) dan ijma’ (kesepakatan para ulama). Ia adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang Hakim dan selainnya untuk melencengkan dari al-haq dan memberikan putusan yang berpihak kepada pemberinya sesuai dengan keinginan nafsunya.

Dalam hal ini, terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau : “Artinya : Melaknat penyuap dan orang yang disuap” [Hadits Riwayat Abu Dawud, kitab Al-Aqdiiyah 3580, At-Tirmidzi, kitab Al-Ahkam 1337 dan Ibnu Majah, kitab Al-Ahkam 2313]

Terdapat riwayat yang lain, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat Ar-Ra’isy juga [1]. Yakni, perantara antara keduanya. Dan, tidak dapat diragukan lagi bahwa dia berdosa dan berhak mendapatkan cacian, celaan dan siksaan karena membantu di dalam melakukan perbuatan dosa dan melampui batas, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertawaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya” [Al-Ma’idah : 2]

[Kitab Ad-Da’wah, Juz I ,hal 156 dari Fatwa Syaikh Ibn Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 5-6 Darul Haq]
_________
Foote Note.
[1] Hadits Riwayat Ahmad 21893, Al-Bazzar 1353, Ath-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 1415, Al-Haitsamiy berkata di dalam Majma’ Az-Zawa’id (IV : 199), “Di dalam riwayat tersebut terdapat Abul Haththab, seorang yang tidak diketahui identitasnya (anonym)”.

Ustadz Koq Dongeng??


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada penutup para rasul, kepada para keluarga dan sahabat beliau.

Sidang pembaca yang dimuliakan Allah ta’ala, sungguh fenomena yang teramat menyedihkan tatkala kita melihat berbagai media cetak lebih mengedepankan kisah-kisah, hikayat-hikayat yang validitasnya patut dipertanyakan sebagai bahan dakwah ke masyarakat. Tidak hanya di media massa, di lapangan dakwah pun, ceramah para da’i sering kita temui lebih sering dipenuhi kisah-kisah dongeng dan digunakan sebagai dalil, bahkan di satu kesempatan seorang ustadz penceramah selama satu jam lebih berceramah dengan berdalilkan kisah tanpa sedikitpun menyebut ayat Al Quran dan hadits nabi!

Sidang pembaca yang dirahmati Allah ta’ala, meski tujuan mereka baik, tapi ekses dari penyampaian kisah-kisah tersebut sebenarnya adalah memalingkan manusia dari Al Quran dan sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah kita tidak tahu bahwa Allah ta’ala mengingatkan kita untuk mempergunakan Al Quran ketika mendakwahi?!

Banyak ayat-ayat Allah yang mensiyalir akan hal itu. Allah ta’ala berfirman,

فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ مَنْ يَخَافُ وَعِيدِ (٤٥)

Maka beri peringatanlah dengan Al Quran orang yang takut dengan ancaman-Ku. (Qaaf: 45).

فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (٥٢)

Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan Jihad yang besar. (Al Furqan: 52).

إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَيْءٍ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ (٩١)وَأَنْ أَتْلُوَ الْقُرْآنَ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَقُلْ إِنَّمَا أَنَا مِنَ الْمُنْذِرِينَ (٩٢)

Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Rabb negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang beragama Islam. Dan supaya aku membacakan Al Quran (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah: “Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan. (An Naml: 91-92).

Saudaraku, sidang pembaca yang dirahmati Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya banyak menyampaikan kisah-kisah ketika berdakwah merupakan perkara baru yang tidak berdalil!! Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwasanya beliau mengatakan,

لم يُقَص – بضم الياء وفتح القاف – على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ولا عهد أبي بكر ولا عهد عمر ولا عهد عثمان إنما كان القصص حيث كانت الفتنة

“Kisah tidak pernah disampaikan di zaman Abu Bakr, tidakpula di zaman ‘Umar dan ‘Utsman. Kisah hanya disampaikan ketika fitnah tersulut.”[1]


Mengapa Berdakwah dengan Dongeng?

Saudaraku tercinta, sidang pembaca yang dimuliakan Allah. Pertanyaannya, apakah motif yang mendorong para da’i mengganti ayat-ayat Al Quran dan hadits nabi dengan membawakan kisah-kisah ketika berdakwah? Berikut beberapa motif yang mengakibatkan hal tersebut.

Minimnya kemampuan para da’i dalam berdalil dengan ayat Al Quran dan hadits nabi yang shahih.
Anda dapat melihat para da’i tersebut, imma mereka tidak mampu menghafalnya atau tidak mampu bagaimana berdalil dengannya (beristidlal)! ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu pernah membicarakan perihal mereka,

«أعيتهم الاحاديث أن يحفظوها….»

Hadits-hadits melemahkan mereka sehingga mereka tidak mampu menghafalnya.[2]

Ketahuilah mereka tidak mampu menghafalnya karena Al Quran sangat berat dan agung sebagaimana firman-Nya,

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلا ثَقِيلا (٥)

Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (Al Muzammil: 5).

Demikianlah para da’i tukang dongeng, mereka tidak mampu memikulnya, karena harus dihafal dan ditilawahi dengan benar, tidak hanya itu, juga harus digunakan sebagai dalil dengan metode yang tepat. Berbeda dengan kisah yang sering mereka bawakan, jika kisah-kisah tersebut direkayasa sedemikian rupa, mereka berpikir siapa kiranya yang akan mengoreksi mereka ?

Ingin tenar dan menarik perhatian manusia.
Sahabat Tamim ad Daari pernah berkata kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhuma,

دعنى ادع الله وأقص واذكَّر الناس

Biarkan saya, saya berdo’a kepada Allah, membawakan kisah dan mengingatkan manusia.

‘Umar menolak dan tatkala Tamim ad Daari mengulangi permintaannya, ‘Umar menjawab,

أنت تريد أن تقول انا تميم الداري فاعرفوني!!

Saya tidak akan mengijinkanmu, karena engkau ingin mengatakan kepada manusia, Wahai manusia, saya Tamim ad Daari, kenalilah diriku!![3]

Abul Fadhl Al ‘Iraqi rahimahullah mengatakan,

فانظر توقف عمر في اذنه في حق رجل من الصحابة يعني تميماً الداري الذين كل واحد منهم عدل مؤتمن واين مثل تميم في التابعين ومن بعدهم؟

Lihatlah bagaimana ‘Umar tidak mengijinkan seorang sahabat, Tamim ad Daari, padahal status setiap sahabat adalah adil dan tepercaya. Bagaimana kiranya dengan tabi’in dan generasi setelahnya?![4]


Memenuhi pesan sponsor dan keinginan mayoritas orang awam
Jiwa yang lemah gemar akan kisah dan hikayat karena kelemahannya untuk menerima nasehat, peringatan, perintah dan larangan yang berlandaskan dalil, apatah lagi diharapkan untuk mengenal halal dan haram. Tatkala para da’i pendongeng takjub akan kuantitas khalayak yang memperhatikan, maka mereka pun beranggapan alangkah baiknya pada momen tersebut menambah kisah-kisah aneh yang lain!!

Tatkala disebutkan perihal Maimun, seorang pendongeng, Abul Malih rahimahullah mengatakan,

لا يخطئ القاص ثلاثاً: إما ان يُسَمِّنَ قوله بما يَهْزُل دينه واما ان يعجب بنفسه واما ان يأمر بما لا يفعل

Tiga hal yang benar terdapat dalam diri seorang pendongeng, yaitu dia memperbanyak perkataannya dengan sesuatu yang mengerdilkan agamanya; takjub akan diri sendiri; dan memerintah manusia untuk mengerjakan sesuatu yang justru tidak dilakukannya.[5]

Tipudaya setan
Benar, setan telah menghias-hiasi metode ini sehingga para da’i tertarik. Anda dapat menjumpai para da’i yang menggunakan metode ini menyebarluaskan semua kisah aneh yang dipenuhi kebatilan karena terkesan akan kisah tersebut. Akhirnya mereka dengan mudah berdusta, bahkan dengan tindakan tersebut mereka dapat digolongkan sebagai manusia yang paling pendusta! As Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya Tahdzirul Khawwash, telah menyebutkan beberapa golongan pendusta tersebut. Beliau mengatakan,

قال الامام احمد بن حنبل رحمه الله تعالى: «اكذب الناس القصاص والسُّؤَال» – بضم السين وفتح الهمزة مشددة – أي الذين يسألون الناس اموالهم فيخترعون القصص ليتصدقوا عليهم

Imam Ahmad in Hambal rahimahullah mengatakan, “Manusia pendusta yang paling parah adalah tukang dongeng dan pengemis. Mereka itulah golongan yang meminta-minta harta manusia dengan merekayasa berbagai kisah agar diberi sedekah[6].”[7]


Kerusakan yang Ditimbulkan

Banyak sekali dampak negatif yang timbul dari perbuatan da’i-da’i yang menjadikan hikayat sebagai bahan dakwahnya. Diantaranya adalah:

Dengan berbagai kisah dan hikayah tersebut, para da’i tukang dongeng justru memalingkan kaum muslimin untuk membaca, mentadabburi, memetik ilmu, nasihat, dan petunjuk dari Al Quran dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Membiasakan orang awam dengan perbuatan rekayasa, kedustaan, tidak bersikap tatsabbut (cek dan ricek), kisah yang berlebih-lebihan dan penuh khayalan yang menjerumuskan.
Memalingkan perhatian manusia kepada para da’i tukang dongeng dan justru lari dari para ulama dan da’i yang kredibel dan kapabel. Anda dapat melihat bahwa saat ini masyarakat awam lebih senang duduk di majelis da’i-da’i tukang dongeng daripada duduk di majelis ilmu ilmiah yang dibawakan para ulama.
Menipu mayoritas manusia karena mengira da’i tukang dongeng tersebut memiliki ilmu dan layak diminta fatwanya. Akhirnya mereka pun bertanya mengenai problematika kehidupan dan meminta fatwa kepada mereka, dan seringkali para da’i tersebut berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka pun sesat lagi menyesatkan.
Seringkali para da’i tukang dongeng menyampaikan berbagai kisah dan dongeng dengan berpegang pada hadits-hadits palsu dan lemah. Padahal, perbuatan ini merupakan dosa besar.
Memalingkan manusia dari kisah-kisah yang tertera dalam Al Quran, yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai kisah terbaik. Allah ta’ala berfirman,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ (٣)

Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (Yusuf: 3).

Kerusakan terbesar yang diperbuat oleh para da’i tersebut adalah sikap mereka terhadap kisah para nabi. Dengan gampangnya mereka memberi tambahan cerita sehingga menyifati para nabi dengan berbagai sifat yang tidak pantas.
Terkadang para da’i tersebut menyampaikan berbagai kejadian fitnah yang terjadi di antara para sahabat ridwanullahi ‘alaihim ajma’in. Tidak sedikit mereka mencaci dan melanggar kehormatan para sahabat, padahal kewajiban kita kaum muslimin untuk menahan diri, tidak berkomentar negatif mengenai segala fitnah yang terjadi di antara para sahabat.
Akhir kata

Saudaraku, anda telah mengetahui bahwa sebenarnya para da’i pendongeng tersebut justru berbuat buruk terhadap Islam. Bahaya yang ditimbulkan teramat besar bagi kaum muslimin. Maka kita berkewajiban memegang teguh Al Quran dan hadits, memotivasi kaum muslimin yang lain untuk memperhatikan para ulama rabbani, mendorng mereka untuk menuntut ilmi, dan bukan memalingkan pandangan kepada para da’i pendongeng tersebut. Kita wajib waspada terhadap da’i-da’i pendongeng dan memperingatkan umat akan dampak yang ditimbulkan oleh mereka.

Hanya kepada Allah semata kami memohon untuk memberikan taufik-Nya agar kaum muslimin mampu melaksanakan segala perbuatan yang mendatangkan kebaikan bagi diri mereka. Walhamdu lillahi rabbil ‘alamin.

Diterjemahkan dari artikel Dr. Salim ath Thawil, “Dzammul Qashshashin” dengan beberapa penyesuaian.

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

[1] Mawariduzh Zham-an hlm. 58 dan disebutkan oleh As Suyuthi dalam Tahdzirul Khawwas hlm. 245.
[2] Syarhul Laalikaai li Ushulis Sunnah 1/139 dan Sunan Ad Darimi 1/47.

[3] Disebutkan oleh Ath Thurthukhi di hlm. 109.

[4] Tahdzirul Khawwash hlm. 223.

[5] Tahdzirul Khawwash hlm. 251-252.

[6] Tahdzirul Khawwash hlm. 265.

[7] Contoh akan hal ini, -ditinjau dari keanehan dan keinginan para da’i tersebut untuk mengumpulkan khalayak-seperti tindakan mereka yang terkadang menyampaikan kisah-kisah yang mengundang ketawa, di waktu lain menyampaikan kisah-kisah yang membuka aib seseorang, atau kisah-kisah yang memasyhurkan pelaku maksiat.

Kenapa ikut KB?



Ust Muhammad Abduh Tausikal

Berbagai alasan mengapa ber-KB dalam tinjauan syariat Islam

Adapun alasan-alasan yang di kemukakan oleh kebanyakan orang yang melakukan KB, seperti kekhawatiran tidak cukupnya rezeki atau kesulitan mendidik anak, maka ini adalah alasan-alasan yang sangat bertentangan dengan petunjuk Islam, bahkan mengandung buruk sangka kepada Allah ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “…Kalau yang menjadi pendorong melakukan pembatasan keturunan adalah kekhawatiran akan kurangnya rezeki, maka ini (termasuk) berburuk sangka kepada Allah ta’ala. Karena Allah ta’ala Dialah yang menciptakan semua manusia, maka Dia pasti akan mencukupkan rezeki bagi mereka…

Allah berfirman:

وكأين من دابة لا تحمل رزقها الله يرزقها وإياكم وهو السميع العليم

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-’Ankabuut: 60)

Adapun jika pendorong melakukannya adalah kekhawatiran akan susahnya mendidik anak, maka ini adalah (persangkaan) yang keliru, karena betapa banyak (kita dapati) anak yang sedikit jumlahnya tapi sangat menyusahkan (orang tua mereka) dalam mendidik mereka, dan (sebaliknya) betapa banyak (kita dapati) anak yang jumlahnya banyak tapi sangat mudah untuk dididik jauh melebihi anak yang berjumlah sedikit. Maka yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah ta’ala. Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4) (Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin, 4/14).

Bahkan alasan membatasi keturunan seperti ini termasuk tindakan menyerupai orang-orang kafir di jaman Jahiliyah, yang membunuh anak-anak mereka karena takut miskin, hanya saja orang-orang di jaman sekarang mencegah kelahiran anak karena takut miskin, adapun orang-orang di jaman Jahiliyah membunuh anak-anak mereka yang sudah lahir karena takut miskin. (Lihat ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan dalam al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (89/19), dan syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 65)).

Allah ta’ala berfirman:

ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم إن قتلهم كان خِطْأ كبيراً

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Qs. al-Israa’: 31)

Dan masih banyak alasan-alasan lain yang di kemukakan khususnya oleh para pengekor musuh-musuh Islam, yang mempropagandakan seruan untuk membatasi jumlah keturunan. Semua alasan yang mereka kemukakan itu disebutkan dan dibantah secara terperinci oleh Lajnah Daimah yang dipimpin oleh imam syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Syaikh. (Lihat Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (5/115-125)).

Kesimpulannya, semua alasan yang mereka kemukakan sangat menyimpang jauh dari kebenaran dan petunjuk Islam, bahkan bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan fitrah kemanusiaan, bahkan lebih dari pada itu, (upaya) untuk membatasi (jumlah keturunan) atau mencegah kehamilan dengan cara apapun akan menimbulkan banyak bahaya dan kerusakan, baik dari segi agama, ekonomi, politik, sosial, jasmani maupun rohani. (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah, (5/127), dengan sedikit penyesuaian)

Perbedaan antara membatasi (jumlah) keturunan dan mencegah kehamilan atau mengaturnya

Setelah kita mengetahui bahwa hukum asal Keluarga Berencana adalah diharamkan karena sebab-sebab tersebut di atas, kecuali dalam keadaan darurat dan dengan alasan yang benar menurut syariat, maka dalam hal ini para ulama membedakan antara membatasi keturunan dan mencegah kehamilan atau mengaturnya, sebagai berikut:

Membatasi (jumlah) keturunan: adalah menghentikan kelahiran (secara permanen) setelah keturunan mencapai jumlah tertentu, dengan menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa mencegah kehamilan. Tujuannya untuk memperkecil (membatasi) jumlah keturunan dengan menghentikannya setelah (mencapai) jumlah yang ditentukan. (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114, Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh (31/133)).

Membatasi keturunan dengan tujuan seperti ini dalam agama Islam diharamkan secara mutlak, sebagaimana keterangan Lajnah daaimah yang dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (Fatawal Lajnatid Daaimah, (9/62) no (1584)), demikian juga Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin (Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh, (31/133)), syaikh Shaleh al-Fauzan (Al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (69/20)) dan Keputusan majelis al Majma’ al Fiqhil Islami (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286)). Karena ini bertentangan dengan tujuan-tujuan agung syariat Islam, seperti yang diterangkan di atas

Hukum AZL ?



Penyusun Abu Usaamah Al Bykazi

Mencegah kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa menghalangi seorang perempuan dari kehamilan, seperti: al-’Azl (menumpahkan sperma laki-laki di luar vagina), mengonsumsi obat-obatan (pencegah kehamilan), memasang penghalang dalam vagina, menghindari hubungan suami istri ketika masa subur, dan yang semisalnya (Fatwa Haiati Kibarul ‘Ulama’ (5/114 – Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah)).

Pencegahan kehamilan seperti ini juga diharamkan dalam Islam, kecuali jika ada sebab/alasan yang (dibenarkan) dalam syariat.

Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “Aku tidak menyangka ada seorang ulama ahli fikih pun yang menghalalkan (membolehkan) mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, kecuali jika ada sebab (yang dibenarkan) dalam syariat, seperti jika seorang wanita tidak mampu menanggung kehamilan (karena penyakit), dan (dikhawatirkan) jika dia hamil akan membahayakan kelangsungan hidupnya. Maka dalam kondisi seperti ini dia (boleh) mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, disebabkan dia tidak (mampu) menanggung kehamilan, karena kehamilan (dikhawatirkan) akan membahayakan hidupnya, maka dalam kondisi seperti ini boleh mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, karena darurat (terpaksa)… Adapun mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan tanpa ada sebab (yang dibenarkan) dalam syariat, maka ini tidak boleh (diharamkan), karena kehamilan dan keturunan (adalah perkara yang) diperintahkan dalam Islam (untuk memperbanyak jumlah kaum muslimin). Maka jika mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan itu (bertujuan untuk) menghindari (banyaknya) anak dan karena (ingin) membatasi (jumlah) keturunan, sebagaimana yang diserukan oleh musuh-musuh Islam, maka ini diharamkan (dalam Islam), dan tidak ada seorang pun dari ulama ahli fikih yang diperhitungkan membolehkan hal ini. Adapun para ahli kedokteran mungkin saja mereka membolehkannya, karena mereka tidak mengetahui hukum-hukum syariat Islam (al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan (89/25)).

Dalam fatwa Lajnah Daimah: “…Berdasarkan semua itu, maka membatasi (jumlah keturunan) diharamkan secara mutlak (dalam Islam), (demikian juga) mencegah kehamilan diharamkan, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang jarang (terjadi) dan tidak umum, seperti dalam kondisi yang mengharuskan wanita yang hamil untuk melahirkan secara tidak wajar, dan kondisi yang memaksa wanita yang hamil melakukan operasi (caesar) untuk mengeluarkan bayi (dari kandungannya), atau kondisi yang jika seorang wanita hamil maka akan membahayakannya karena adanya penyakit atau (sebab) lainnya. Ini semua dikecualikan dalam rangka untuk menghindari mudharat (bahaya) dan menjaga kelangsungan hidup (bagi wanita tersebut), karena sesungguhnya syariat Islam datang untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah kerusakan… (Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (5/127)).

FATWA ROKOK??


Fatwa Ulama

Dengan melihat realita dan bukti-bukti medis yang ada maka Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah dalam fatwanya menegaskan haramnya mengkonsumsi rokok (lihat al-Adillah wa al-Barahin ‘ala Hurmat at-Tadkhin). Demikian juga al-Lajnah ad-Da’imah (Komite tetap urusan fatwa Kerajaan Arab Saudi) menyatakan haramnya hal itu dalam Fatwanya (Fatawa Lajnah [7/283] pertanyaan kedua dari fatwa no 3623, as-Syamilah). Kita tidak menafikan adanya sebagian ulama yang menyatakan kebolehannya [dan anda telah melihat bahwa dalil-dalil yang ada dan bukti medis berseberangan dengan pendapat mereka], meskipun demikian mereka juga mengatakan bahwa meninggalkan rokok itulah yang lebih baik! (lihat Mathalib Uli an-Nuha fi Syarhi Ghayat al-Muntaha [18/212] as-Syamilah). Dan perlu diketahui bahwa mereka menyatakan bolehnya hal itu dengan alasan; [1] hukum asal segala sesuatu adalah halal, dan [2] tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa merokok dapat merusak kesehatan tubuh, sementara pada jaman sekarang bukti itu telah tampak bagi setiap orang!! Dan kita pun telah paham berdasarkan dalil yang ada bahwa segala sesuatu yang membahayakan adalah dilarang dalam agama. Bahkan, hal itu merupakan kaidah yang populer di kalangan para ulama.

KB ISLAMI


Semua orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian wajib meyakini bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah ta’ala untuk kebaikan dan kebahagiaan hidup Manusia. Karena Allah ta’ala mensyariatkan agama-Nya dengan ilmu-Nya yang maha tinggi dan hikmah-Nya yang maha sempurna, maka jadilah syariat Islam satu-satunya pedoman hidup yang bisa mendatangkan kebahagiaan hakiki bagi semua orang yang menjalankannya dengan baik.


Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan) hidup bagimu.” (Qs. al-Anfaal: 24). (Lihat “Tafsir Ibnu Katsir”, 4/34)

Imam Ibnul Qayyim -semoga Allah ta’ala merahmatinya- berkata: “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan, yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin.” (Kitab al-Fawa-id, hal. 121- cet. Muassasatu Ummil Qura’)

Semakna dengan ayat di atas Allah ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. an-Nahl: 97)

Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan hidup” atau “rezeki yang halal” dan kebaikan-kebaikan lainnya. (Lihat “Tafsir Ibnu Katsir”, 2/772)

Oleh karena itulah, jalan keluar dan solusi dari semua masalah yang kita hadapi, tidak terkecuali masalah dalam rumah tangga dan problema pendidikan anak, hanya akan dicapai dengan bertakwa kepada Allah ta’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Qs. ath-Thalaaq: 2-3).

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4)

Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya) (Tafsir Ibnu Katsir, 4/489).

Anjuran memperbanyak keturunan

Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Seorang lelaki pernah datang (menemui) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: Sesungguhnya aku mendapatkan seorang perempuan yang memiliki kecantikan dan (berasal dari) keturunan yang terhormat, akan tetapi dia tidak bisa punya anak (mandul), apakah aku (boleh) menikahinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak (boleh)”, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan umat-umat lain (pada hari kiamat nanti).” Bagi seorang perempuan yang masih gadis. kesuburan ini diketahui dengan melihat keadaan keluarga (ibu dan saudara perempuan) atau kerabatnya, lihat kitab ‘Aunul Ma’buud, 6/33-34). (HR Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (6/65) dan al-Hakim (2/176), dishahihkan oleh Ibnu Hibban (no. 4056- al-Ihsan), juga oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

Hadits ini menunjukkan dianjurkannya memperbanyak keturunan, yang ini termasuk tujuan utama pernikahan, dan dianjurkannya menikahi perempuan yang subur untuk tujuan tersebut. Lihat kitab Zaadul Ma’aad (4/228), Aadaabuz Zifaaf (hal. 60) dan Khataru Tahdiidin Nasl (8/16- Muallafaatusy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).

Dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Ibuku (Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha) pernah berkata: (Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu). Anas berkata: Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan: “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah apa yang Engkau berikan kepadanya.” Anas berkata: Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang. (HSR. al-Bukhari (no. 6018) dan Muslim (no. 2481), lafazh ini yang terdapat dalam Shahih Muslim)

Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak keturunan yang diberkahi Allah ta’ala, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. (Lihat Syarah Shahih Muslim, 16/39-40)

Demikian pula keumuman hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan memiliki anak yang saleh, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika seorang manusia mati, maka terputuslah (pahala) amal (kebaikan)nya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya dengan diwakafkan), atau ilmu yang diambil manfaatnya (terus diamalkan), atau anak shaleh yang terus mendoakan kebaikan baginya.” (HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah, no. 1598)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu.” (Kitab al-Maudhuuaat (2/281), al-’Ilal mutanaahiyah (2/636) keduanya tulisan imam Ibnul Jauzi, dan Silsilatul Ahaaditsidh Dha’iifah” (no. 3580))

Adapun hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan membatasi keturunan, seperti hadits “Sebaik-baik kalian setelah dua ratus tahun mendatang adalah semua orang yang ringan punggungnya (tanggungannya); (yaitu) yang tidak memiliki istri dan anak”, dan yang semakna dengannya, semua hadits tersebut adalah hadits yang lemah bahkan beberapa diantaranya batil (palsu).

Demikian pula hadits-hadits yang menunjukkan tercelanya memiliki keturunan, semuanya hadits palsu. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Hadits-hadits (yang menunjukkan) tercelanya (memiliki) anak semuanya dusta (hadits palsu) dari awal sampai akhir.” (Kitab al-Manaarul Muniif, no. 206)

Banyak anak tidak berarti banyak masalah

Setelah jelas bagi kita bahwa agama Islam menganjurkan untuk memperbanyak keturunan, maka dengan ini kita mengetahui kelirunya anggapan kebanyakan orang awam yang jahil (tidak paham agama), yang mengatakan bahwa banyak anak berarti banyak masalah. Karena tidak mungkin agama Islam yang diturunkan untuk kebaikan hidup manusia, menganjurkan sesuatu yang justru menimbulkan masalah bagi mereka. Hal ini disebabkan agama Islam tidak hanya menganjurkan memperbanyak keturunan, tapi juga menekankan kewajiban untuk mendidik keturunan dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. at-Tahriim: 6)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.” (Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 640)

Bahkan kalau kita amati dengan seksama, menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini justru merupakan faktor utama -setelah taufik dari Allah ta’ala- yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak, sekaligus sebagai penjagaan bagi anak dari setan yang selalu berupaya untuk memalingkan manusia dari jalan yang lurus sejak mereka dilahirkan ke dunia ini. (Dalam hadits shahih riwayat Muslim (no. 2367) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan”)

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4). (Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin, 4/14)

Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca doa:

بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami.” Maksud Rezeki pada hadits ini termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab Faidhul Qadiir (5/306).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya.” (HSR al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim, no. 1434)

Konsep Islam tentang Keluarga Berencana

Berdasarkan dalil-dalil yang tersebut di atas, maka hukum asal membatasi atau mengatur jumlah keturunan (baca: Keluarga Berencana) dalam Islam adalah diharamkan, karena menyelisihi petunjuk syariat Islam yang melarang keras perbuatan tabattul (hidup membujang selamanya) (Dalam hadits shahih Riwayat Ahmad (3/158 dan 3/245) dan Ibnu Hibban (no. 4028), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil (6/195)), dan memerintahkan untuk menikahi perempuan yang subur (banyak anak). Oleh karena itu, mengonsumsi pil pencegah kehamilan atau obat-obatan lainnya untuk mencegah kehamilan tidak diperbolehkan (dalam agama Islam), kecuali dalam kondisi-kondisi darurat (terpaksa) yang jarang terjadi (Fatawa Lajnah Daaimah (19/319) no (1585) yang dipimpin oleh syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dengan sedikit penyesuaian).

Ketika menjelaskan hikmah agung diharamkannya membatasi keturunan, imam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Barangsiapa yang memperhatikan keterangan yang telah kami sampaikan dan keterangan para ulama yang kami nukilkan (sebelumnya), dia akan mengetahui (dengan yakin) bahwa pendapat yang membolehkan untuk membatasi keturunan adalah pendapat yang berseberangan dengan syariat Islam yang sempurna, yang (selalu berusaha) mewujudkan dan menyempurnakan kemaslahatan (kebaikan bagi manusia), serta menolak dan memperkecil kemudharatan (keburukan/kerusakan bagi manusia). (Bahkan pendapat ini) bertentangan dengan fitrah manusia yang suci, karena Allah ta’ala menjadikan fitrah suci manusia untuk mencintai anak-anak dan mengusahakan sebab-sebab untuk memperbanyak keturunan. Sungguh Allah dalam al-Qur-an telah menjadikan banyaknya keturunan sebagai anugerah (bagi manusia) dan menjadikannya termasuk perhiasan (kehidupan) dunia. Allah ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ

“Allah menjadikan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik.” (Qs. an-Nahl: 72)

Allah ta’ala juga berfirman:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia.” (Qs. al-Kahfi: 46)

(Kemudian) barangsiapa yang memperhatikan pembahasan masalah ini (dengan seksama) dia akan mengetahui bahwa pendapat yang membolehkan untuk membatasi keturunan adalah pendapat yang bertentangan dengan kemaslahatan (kebaikan) umat Islam (sendiri). Karena sungguh banyaknya keturunan (kaum muslimin) termasuk sebab kekuatan, kemuliaan, keperkasaan dan kewibawaan umat Islam (di hadapan umat-umat lain). Sedangkan membatasi keturunan bertentangan dengan semua (tujuan) tersebut, karena menjadikan sedikitnya (jumlah) dan lemahnya kaum muslimin, bahkan menjadikan musnah dan punahnya umat ini. Ini adalah perkara yang jelas bagi semua orang yang berakal dan tidak butuh argumentasi (untuk membuktikannya) (Majmu’u Fatawa wa Maqaalaat Syaikh Bin Baaz (3/19). Lihat juga tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Bahayanya Membatasi Keturunan dalam “Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu” (8/16)).

Oleh karena itulah, Syaikh Shaleh al-Fauzan menegaskan bahwa pembatasan jumlah keturunan adalah pemikiran buruk yang disusupkan musuh-musuh Islam ke dalam tubuh kaum muslimin, dengan tujuan untuk melemahkan dan memperkecil jumlah kaum muslimin (Al-Muntaqa Min fatawa al-Fauzan, 69/20

Kiranya KB Menjadi pilihan



Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.

Penggunaan alat kontrasepsi dan obat pencegah hamil


1) Sebelum menggunakan alat kontrasepsi/obat anti hamil hendaknya berkonsultasi dengan seorang dokter muslim yang dipercaya agamanya, sehingga dia tidak gampang membolehkan hal ini, karena hukum asalnya adalah haram, sebagaimana penjelasan yang lalu. Ini perlu ditekankan karena tidak semua dokter bisa dipercaya, dan banyak di antara mereka yang dengan mudah membolehkan pencegahan kehamilan (KB) karena ketidakpahaman terhadap hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan di atas. (Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam Khataru Tahdiidin Nasl (8/16) Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu), dan keputusan Majelis al Majma’ al Fiqhil Islami dalam Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (30/286))

2) Pilihlah alat kontrasepsi yang tidak membahayakan kesehatan, atau minimal yang lebih ringan efek sampingnya terhadap kesehatan (Lihat keterangan Syaikh al-’Utsaimin dalam al-Fatawal Muhimmah (1/160) dan kitab Buhuutsun Liba’dhin Nawaazilil Fiqhiyyatil Mu’aashirah (28/6)).

3- Usahakanlah memilih alat kontrasepsi yang ketika memakai/memasangnya tidak mengharuskan terbukanya aurat besar (kemaluan dan dubur/anus) di hadapan orang yang tidak berhak melihatnya. Karena aurat besar wanita hukum asalnya hanya boleh dilihat oleh suaminya (Lihat Tafsir al-Qurthubi (12/205) dan keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (10/175)), adapun selain suaminya hanya diperbolehkan dalam kondisi yang sangat darurat (terpaksa) dan untuk keperluan pengobatan (Lihat kitab an-Nazhar Fi Ahkamin Nazhar (hal. 176) tulisan Imam Ibnul Qaththan al-Faasi, melalui perantaraan kitab Ahkaamul ‘Auraat Linnisaa’ (hal. 85)). Berdasarkan keumuman makna firman Allah ta’ala:

والذين هم لفروجهم حافظون، إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين

“…Dan mereka (orang-orang yang beriman) adalah orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Qs. al-Mu’minuun: 5-6)

Penutup

Inilah keterangan yang dapat kami sampaikan tentang hukum KB, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta penjelasan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita dan bagi semua orang yang membaca dan merenungkannya. Dan semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kaum muslimin agar mereka selalu kembali kepada petunjuk-Nya dalam menjalani kehidupan mereka.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 4 Jumadal uula 1430 H

***
QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!