Radio Rodja 756AM

Senin, 06 Juni 2011

Muqaddimah


Oleh
Syaikh Abu Usaamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly

Penyusun : Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi



Mulailah kaum muslimin sadar setelah melihat kenyataan pahit, negeri yang tercabik dan banyaknya orientalis yang mengajak mereka untuk meninggalkan agama dan sumber kejayaannya. Setiap kelompok dari kaum muslimin selanjutnya mulai memandang kenyataan yang ada dari sisi yang berbeda dari pandangan kelompok yang lain. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa jama'ah-jama'ah yang begerak di medan dakwah pada masa ini saling berselisih seputar manhaj dakwah, dari mana memulai dan bagaimana memulainya.

Perselisihan yang paling bebahaya yang menghalangi persatuan mereka diatas satu kata adalah dua hal :

Pertama : Ketidak Tahuan akan Besarnya Kekuatan Mereka.

Kita masih terus melihat hizbiyah yang sempit telah menguasai banyak akal pemikiran dan jama'ah yang bergerak dalam medan dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga mereka tidak melihat kecuali diri mereka sendiri dan meniadakan keberadaan yang lain disekitarnya. Berkembanglah hal ini hingga kita melihat sebagian mereka mengaku sebagai jama'ah muslimin dan pemimpin mereka sebagai imam muslimin, lalu menetapkan dengan dasar itu beberapa prasangka :

Sebagiannya mengklaim kewajban berba'iat kepada imamnya dan yang lain mengkafirkan kaum muslimin setelah generasi-generasi terbaik yang dimuliakan. Sekelompok lainnya mengklaim bahwa merekalah jama'ah induk yang wajib bagi selainnya untuk berhimpun dan berlindung di bawah benderanya. Kebanyakan mereka telah melupakan bahwa mereka bergerak untuk mengembalikan jama'ah muslimin, maka seandainya jama'ah muslimin sudah ada dan imamnya pun ada maka kita tidak akan melihat perselisihan dan berbilangnya kelompok yang tidak diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala keterangan astasnya. Pada hakikatnya mereka yang bergerak untuk Islam tersebut adalah jama'ah dari sebagian kaum muslimin yaitu dari ahlil kiblat dan bukan jamaah muslimin.

Ketahuilah wahai muslim, jama'ah muslimin adalah jama'ah yang seluruh kaum muslimin bergabung dalam menjalankannya dan memiliki seorang imam yang melaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga diwajibkan taat kepadanya dan diberikan kepatuhan dan ketundukan kepadanya. Itulah negara Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah yang melaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun jama'ah-jama'ah yang bergerak untuk mengembalikan daulah kekhilafahan maka dia adalah jama'ah dari sebagian kaum muslimin yang wajib saling tolong menolong di antara mereka dan menghilangkan penghalang yang memisahkan pribadi-pribadi mereka agar berpadu di atas kata yang satu yaitu kalimat tauhid dan assunnah serta pemahaman salaf umat ini.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam Fathul Bariiy 13/37 perkataan Ath-Thabariy Rahimahullah : Masalah ini dan masalah jama'ah telah diperselihkan : berkata satu kaum : itu untuk wajib, dan Al-Jama'ah adalah kelompok yang paling besar, kemudian membawakan dalil dari Muhammad bin Siriin Rahimahullah dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman terbunuh : wajib atas kamu berpegang teguh dengan Al-Jama'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan mengumpulkan umat Muhammad diatas kesesatan. Dan berkata yang lain : yang dimaksud dengan Al-Jama'ah adalah para sahabat dan orang yang setelahnya dan berkata yang lain lagi : yang dimaksud adalah ahli ilmu, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai hujjah atas makhluknya dan manusia ikut mereka dalam masalah agama.

Dan yang benar bahwa maksud dari hadits yang memerintahkan untuk berpegang teguh kepada Al-Jama'ah adalah jama'ah yang manusia bersepakat untuk menjadikan seorang amir atasnya, maka siapa yang melepas ba'iatnya berarti telah keluar dari Al-Jama'ah. Dan dalam hadits disebutkan : Ketika terjadi pada manusia tidak ada imam dan mereka berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah seorang itu ikut dalam perpecahan tersebut dan hendaklah dia meninggalkannya semua kalau mampu, khawatir terjatuh dalam keburukan dan dengan demikian maka semua hadits dapat ditempatkan dan dapat dikompromikan apa yang dianggap berbeda darinya.

Maka wajib atas setiap muslim membantu jama'ah-jama'ah ini pada kebenaran yang dimilikinya dan wajib untuk melakukan nasehat dan arahan pada hal-hal yang menyimpang dari kebenaran atau tidak dapat menunaikannya dengan baik dari kebenaran tersebut. Dan wajib atas jama'ah-jama'ah ini untuk saling tolong menolong pada kebenaran yang telah disepakati dan saling menasehati diantara mereka pada hal-hal yang diperselisihkan serta memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menunjuki mereka dalam hal itu kepada jalan yang lurus. [1]

Wajib bagi jama'ah-jama'ah tersebut untuk menjadi satu tangan dalam membangun istana Islam yang megah dan mengembalikan kejayaannya, karena jika bergerak sendiri-sendiri maka mereka tidak mampu, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala walinya orang-orang yang shalih. Wajib pula atas jama'ah-jama'ah ini untuk mengisi para pengikutnya dengan kebenaran dan kecintaan kepada seluruh kaum muslimin sehingga dapat menghancurkan penghalang hizbiyah (fanatis kelompok) yang telah memporak-porandakan persatuan dan melemahkan kekuatan serta ketangguhan mereka.

Dengan demikian, maka orang yang keluar dari jama'ah-jama'ah ini bukanlah orang yang keluar dari jama'ah muslimin karena jama'ah-jama'ah ini tidak memiliki sifat tersebut dan tidak juga pendirinya pantas mengaku sebagai imam.

Kedua : Perbedaan Mereka dalam Sumber Pengambilan dan Pemahaman Al-Kitab dan Assunnah

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu untuk meninggalkan semua kelompok yang mengajak kepada neraka pada masa-masa keburukan dan fitnah ketika kaum muslimin tidak memiliki jama'ah dan imam.

Beragam perkataan para ulama dalam menjelaskan hadits ini dan yang saya anggap lebih sesuai adalah perintah kenabian ini berisi kewajiban berpegang teguh kepada kebenaran, menolong ahlinya dan tolong menolong di atas dasarnya, dan inilah penjelasannya :

[1]. Ini merupakan perintah berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih, hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Irbaadh bin Saariyah radhiyallahu 'anhu.

"Artinya : Barangsiapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para Khalifah rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) karena hal itu adalah kebid'ahan dan setiap kebid'ahan adalah kesesatan" [Akan datang Takhrijnya]

Dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, terdapat perintah untuk menggigit pokok-pokok ketika terjadi perselisihan dalam rangka berlepas diri dari kelompok-kelompok sesat dan dalam hadits Irbadh Radhiyallahu 'anhu terdapat perintah menggigit As-Sunnah yang Shahih yang dipahami dengan paham As-Salaf Ash-Shalih dengan geraham ketika terjadi perselisihan dan untuk menjauhi dari hal-hal yang baru karena dia adalah kesesatan.

Jika kita kompromikan antara kedua hadits ini akan tampak satu makna yang indah yaitu berpegang teguh kepada sunnah nabi dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih ketika muncul kelompok-kelompok sesat dan lenyapnya jama'ah muslimin dan Imamnya.

[2]. Yang menunjukkan hal itu bahwa perintah menggigit pokok pohon dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu bukanlah yang dimaksud lahiriyahnya, akan tetapi yang dimaksud adalah tetap sabar di atas kebenaran dan berlepas dari kelompok-kelompok sesat yang menyalahi kebenaran. Atau maknanya pohon Islam yang rindang dan subur akan diterpa badai angin sehingga mematahkan ranting-rantingnya dan tidak tingga kecuali pokoknya saja yang kokoh berdiri menantang badai-badai tersebut. Di saat itu wajib atas kaum muslimin untuk memelihara pokok ini dan mengorbankan jiwa dan harta yang berharga karena pokok tadi akan tumbuh kembali walaupun dahsyatnya badai angin tersebut.

[3]. Pada waktu itu wajib atas seorang muslim untuk memberikan bantuan kepada kelompok yang merangkul pokok pohon yang kokoh ini untuk menolak darinya serangan fitnah dan ujian.

Kelompok ini senantiasa menegakkan kebenaran sampai akhir mereka memerangi Dajjal. [Akan datang keterangan tentang hadits-hadits yang ada tentang hal ini]

Dengan ini dapat disimpulkan penutup hadits Hudzaifah dalam tiga hal :

[a]. Kewajiban berpegang teguh kepada jama'ah muslimin dan taat kepada para pemimpin mereka walaupun mereka bermaksiat, bukanlah Rasulullah telah bersabda dalam riwayat yang lain.

"Artinya : Saya bertanya : Apa yang saya perbuat wahai Rasulullah jika hal itu menimpaku ? Beliau menjawab : patuh (dengar) dan taatilah amir (pemimpin) walaupun dia memukul punggungmu dan megambil hartamu, patuhlah (dengarlah) dan taatilah" [Diriwayatkan Muslim 12/236-237]

Ini merupakan perkara yang tidak diketahui kebanyakan dari kaum muslimin ketika mereka melihat kerusakan dan kedzaliman para khalifah terakhir dalam negara kekhalifahan, lalu berusaha bekerja sama dengan orang-orang kafir untuk melenyapkan negara kekhalifahan dan mereka lupa akan larangan memberontak dari para pemimpin selama belum melihat pada mereka kekafiran dan kesyirikan yang jelas sekali yang dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan diputuskan oleh para Ulama robbani berdasarkan kaidah-kaidah fiqih dakwah yang diambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta sikap-sikap As-Salaf Ash-Shalih.

[b]. Jika tidak ada jama'ah muslimin dan imam mereka, maka wajib bagi setiap muslim untuk meninggalkan kelompok-kelompok dan sekte yang sesat tersebut.

[c]. Meninggalkan kelompok-kelompok sesat tidak berarti beruzlah (mengasingkan diri) secara keseluruhan dan membiarkan kebatilan bertebaran dan berkembang tanpa ada yang menghalanginya ; bahkan seharusnya kaum muslimin berpegang teguh kepada pokok-pokok agama ini berdasarkan Kitabullah dan As-Sunnah dan memahami keduanya dengan pemahaman sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang telah berjalan diatas manhaj mereka dari para imam-imam petunjuk, mengajak manusia kepada dua pokok yang agung ini yang akan menjadi hakim bagi bumi dan seisinya dan agar kamu ketahui berita kebenarannya setelah ini karena keberadaan kelompok-kelompok sesat ini tidak berarti kosongnya dunia dari orang yang menegakkan kebenaran dengan hujjah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhabarkan dalam hadits-hadits mutawatir tentang keberadaan kelompok yang membawa kebenaran pada setiap masa hingga datang hari kiamat sedangkan dalam keadaan itu tidak merugikan mereka orang yang menyelisihi dan menghina mereka.


[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_________
Foote Note.
[1] Berbeda dengan kaidah : Kita saling tolong menolong pada apa saja yang kita sepakati dan kita saling memaafkan pada apa yang kita perselisihkan. Dan telah menjelaskan rusak dan bahayanya oleh Al-Akh Hamd Al-Utsmaan dalam kitabnya : Zajrul Mutahaawin bin dhorori qaidah Al-uzru wat Ta'awun. Adapun saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan diantara kaum muslimin merupakan perkara wajib syar'i lebih-lebih pada orang-orang yang bergerak di medan dakwah, akan tetapi tidak sempurna ta'awun ini kecuali dengan dua pokok, yaitu :
[a] Manhaj As-Salaf Ash-Shalih
[b] Meninggalkan Tahazzub (fanatisme golongan).
Jika setiap jama'ah atau kelompok tetap berada pada aqidah mereka yang menyimpang dari As-Salaf dan memiliki tatanan yang terpisah dari yang lainnya maka tidak ada tolong menolong kecuali tolong menolong yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka menganggap bersatu akan tetapi pada kenyataannya hati-hati mereka......, adapaun usaha sekelompok orang yang mengaku ahlus sunnah untuk meremehkan pentingnya permasalahan ini dan mengklaim itu sebagai dakwah salafiyah yang benar maka janganlah kamu termasuk orang yang tertipu, karena ucapan mereka seperti madu dan sikap mereka terhadap manhaj salaf dan ulamanya seperti duri yang tajam.

SEHAT ITU INDAH


NIKMAT SEHAT DAN WAKTU LUANG

Oleh
Ustadz Muslim Al Atsari



Allah Azza wa Jalla telah menciptakan manusia dan memberikan kenikmatan yang tidak terhingga. Manusia tidak akan mampu menghitungnya.

Ada sebuah surat di dalam Al Qur’an yang disebut oleh para ulama sebagai surat An Ni’am (surat tentang kenikmatan-kenikmatan Allah), yaitu surat An Nahl. Allah memulai dengan menyebutkan kenikmatan terbesar, yaitu kenikmatan agama. Allah menurunkan wahyu kepada para RasulNya, lewat para malaikat, untuk menyerukan Laa ilaaha illa Allah. Bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah. Wajib meninggalkan seluruh peribadahan kepada selain Allah, dan beribadah dengan ikhlas hanya kepadaNya. Karena sesungguhnya Dia esa di dalam rububiyahNya, esa di dalam menciptakan langit dan bumi, tidak ada sekutu bagiNya.

Kemudian Allah menyebutkan kenikmatanNya yang lain kepada manusia, yaitu Allah menciptakan binatang ternak dengan segala manfaatnya untuk manusia. Demikian juga berbagai binatang yang dapat dijadikan tunggangan dan pengangkutan. Allah menyebutkan kenikmatan-kenikmatanNya yang lain secara berturut-turut, kemudian mengakhirinya dengan berfirman:

وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An Nahl:18].

NIKMAT SEHAT
Sungguh, kesehatan merupakan kenikmatan yang diakui setiap orang. Nikmat ini sangat agung nilainya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan dengan sabdanya :

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Barangsiapa di antara kamu masuk pada waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman pada keluarganya, dia memiliki makanan pokoknya pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya. [HR Ibnu Majah, no. 4141; dan lain-lain; dihasankan oleh Syaikh Al Albani di dalam Shahih Al Jami’ush Shaghir, no. 5918]

Ibnus Samak masuk menemui Khalifah Harun Ar Rasyid memberikan nasihat, sampai Sang Khalifah menangis.

Kemudian Ibnus Samak meminta segelas air dan mengatakan: “Wahai, Amirul Mukminin. Seandainya engkau dihalangi dari (meminum) minuman ini (padahal engkau kehausan), kecuali dengan (membayar) dunia dan seisinya, apakah engkau akan menebus segelas air itu dengannya?”
Khalifah menjawab: “Ya”.
Ibnus Samak pun mengatakan: “Minumlah dengan puas, semoga Allah memberkahi Anda”.
Ketika Khalifah telah minum, Ibnus Samak berkata kepadanya: “Wahai, Amirul Mukminin. Beritahukan kepadaku, seandainya engkau dihalangi mengeluarkan minuman ini dari (diri)mu, kecuali dengan (membayar) dunia dan seisinya, apakah engkau akan menebusnya?”
Khalifah menjawab: “Ya”.
Ibnus Samak mengatakan: “Lalu apakah yang akan engkau lakukan dengan sesuatu (yakni dunia seisinya) yang seteguk air lebih baik darinya?”
Ini menunjukkan bahwa kenikmatan Allah k yang berupa minum air pada saat kehausan lebih besar daripada memiliki dunia seisinya. Kemudian kemudahan di dalam mengeluarkan dengan buang air termasuk kenikmatan yang terbesar! Ini juga menunjukkan besarnya nikmat kesehatan. [Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 366, Imam Ibnu Qudamah, ta’liq dan takhrij Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi].

Kita melihat kenyataan manusia yang rela mengeluarkan biaya yang besar untuk berobat, ini bukti nyata mahalnya kesehatan yang merupakan kenikmatan dari Allah Ta’ala. Akan tetapi kebanyakan manusia lalai dari kenikmatan kesehatan ini, dia akan ingat jika kesehatan hilang darinya.

Diriwayatkan bahwa seseorang mengadukan kemiskinannya dan menampakkan kesusahannya kepada seorang ‘alim. Maka orang ‘alim itu berkata: “Apakah engkau senang menjadi buta dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”
Dia menjawab: “Tidak”.
Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah engkau senang menjadi bisu dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”
Dia menjawab: “Tidak”.
Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah engkau senang menjadi orang yang tidak punya kedua tangan dan kedua kaki dengan mendapatkan 20 ribu dirham?”
Dia menjawab: “Tidak”.
Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah engkau senang menjadi orang gila dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”
Dia menjawab: “Tidak”.
Orang ‘alim itu berkata: “Apakah engkau tidak malu mengadukan Tuanmu (Allah Azza wa Jalla) sedangkan Dia memiliki harta 50 ribu dinar padamu?” [Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 366].

DUA KENIKMATAN, BANYAK MANUSIA TERTIPU
Oleh karena itulah seorang hamba hendaklah selalu mengingat-ingat kenikmatan Allah yang berupa kesehatan, kemudian bersyukur kepadaNya, dengan memanfaatkannya untuk ketaatan kepadaNya. Jangan sampai menjadi orang yang rugi, sebagaimana hadits di bawah ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi n bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhari, no. 5933].

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Kenikmatan adalah keadaan yang baik. Ada yang mengatakan, kenikmatan adalah manfaat yang dilakukan dengan bentuk melakukan kebaikan untuk orang lain”. [Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, penjelasan hadits no. 5933].

Kata “maghbuun”, secara bahasa artinya tertipu di dalam jual-beli, atau lemah fikiran.

Al Jauhari rahimahullah berkata: “Berdasarkan ini, kedua (makna itu) bisa dipakai di dalam hadits ini. Karena sesungguhnya orang yang tidak menggunakan kesehatan dan waktu luang di dalam apa yang seharusnya, dia telah tertipu, karena dia telah menjual keduanya dengan murah, dan fikirannya tentang hal itu tidaklah terpuji”. [Fathul Bari].

Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: “Makna hadits ini, bahwa seseorang tidaklah menjadi orang yang longgar (punya waktu luang) sehingga dia tercukupi (kebutuhannya) dan sehat badannya. Barangsiapa dua perkara itu ada padanya, maka hendaklah dia berusaha agar tidak tertipu, yaitu meninggalkan syukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah Dia berikan kepadanya. Dan termasuk syukur kepada Allah adalah melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Barangsiapa melalaikan hal itu, maka dia adalah orang yang tertipu”. [Fathul Bari].

Kemudian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas “kebanyakan manusia tertipu pada keduanya” ini mengisyaratkan, bahwa orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) untuk itu, orangnya sedikit.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Kadang-kadang manusia itu sehat, tetapi dia tidak longgar, karena kesibukannya dengan penghidupan. Dan kadang-kadang manusia itu cukup (kebutuhannya), tetapi dia tidak sehat. Maka jika keduanya terkumpul, lalu dia dikalahkan oleh kemalasan melakukan kataatan, maka dia adalah orang yang tertipu. Kesempurnaan itu adalah bahwa dunia merupakan ladang akhirat, di dunia ini terdapat perdagangan yang keuntungannya akan nampak di akhirat. Barangsiapa menggunakan waktu luangnya dan kesehatannya untuk ketaatan kepada Allah, maka dia adalah orang yang pantas diirikan. Dan barangsiapa menggunakan keduanya di dalam maksiat kepada Allah, maka dia adalah orang yang tertipu. Karena waktu luang akan diikuti oleh kesibukan, dan kesehatan akan diikuti oleh sakit, jika tidak terjadi, maka itu (berarti) masa tua (pikun).

Sebagaimana dikatakan orang “Panjangnya keselamatan (kesehatan) dan tetap tinggal (di dunia) menyenangkan pemuda. Namun bagaimanakah engkau lihat panjangnya keselamatan (kesehatan) akan berbuat? Akan mengembalikan seorang pemuda menjadi kesusahan jika menginginkan berdiri dan mengangkat (barang), setelah (sebelumnya di waktu muda) tegak dan sehat”. [Fathul Bari].

Ath Thayyibi rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat gambaran bagi mukallaf (orang yang berakal dan dewasa) dengan seorang pedagang yang memiliki modal. Pedagang tersebut mencari keuntungan dengan keselamatan modalnya. Caranya dalam hal itu ialah, dia memilih orang yang akan dia ajak berdagang, dia selalu menetapi kejujuran dan kecerdikan agar tidak merugi. Kesehatan dan waktu luang adalah modal, seharusnya dia (mukallaf) berdagang dengan Allah dengan keimanan, berjuang menundukkan hawa-nafsu dan musuh agama, agar dia mendapatkan keberuntungan kebaikan dunia dan akhirat. Hal ini seperti firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? [Ash Shaf:10], dan ayat-ayat berikutnya.

Berdasarkan itu ia wajib menjauhi ketatan kepada hawa-nafsu dan berdagang / kerja-sama dengan setan agar modalnya tidak sia-sia bersama keuntungannya.

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm di dalam hadits tersebut “kebanyakan manusia tertipu pada keduanya” seperti firman Allah:

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. [Saba’:13].

“Kebanyakan” di dalam hadits itu sejajar dengan “sedikit” di dalam ayat tersebut”. [Fathul Bari]

Al Qadhi Abu Bakar bin Al ‘Arabi rahimahullah berkata: “Diperselisihkan tentang kenikmatan Allah yang pertama (yakni yang terbesar) atas hamba. Ada yang mengatakan ‘keimanan’, ada yang mengatakan ‘kehidupan’, ada yang mengatakan ‘kesehatan’. Yang pertama (yaitu keimanan) lebih utama, karena hal itu kenikmatan yang mutlak (menyeluruh). Adapun kehidupan dan kesehatan, maka keduanya adalah kenikmatan duniawi, dan tidak menjadi kenikmatan yang sebenarnya, kecuali jika disertai oleh keimanan. Dan pada waktu itulah banyak manusia yang merugi, yakni keuntungan mereka hilang atau berkurang. Barangsiapa mengikuti hawa-nafsunya yang banyak memerintahkan keburukan, selalu mengajak rileks, sehingga dia meninggalkan batas-batas (Allah) dan meninggalkan menekuni ketaatan, maka dia telah merugi. Demikian juga jika dia longgar, karena orang yang sibuk kemungkinan memiliki alasan, berbeda dengan orang yang longgar, maka alasan hilang darinya dan hujjah (argumen) tegak atasnya”. [Fathul Bari].

Maka sepantasnya hamba yang berakal bersegera beramal shalih sebelum kedatangan perkara-perkara yang menghalanginya.

Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwa Nabi n bersabda menasihati seorang laki-laki :

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ , شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ , وَصِحَّتِكَ قَبْلَ سَقْمِكَ , وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ , وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ , وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Ambillah kesempatan lima (keadaan) sebelum lima (keadaan). (Yaiutu) mudamu sebelum pikunmu, kesehatanmu sebelum sakitmu, cukupmu sebelum fakirmu, longgarmu sebelum sibukmu, kehidupanmu sebelum matimu. [HR Al Hakim di dalam Al Mustadrak; dishahihkan oleh Syaikh Al Albani di dalam Shahih At Targhib wat Targhib 3/311, no. 3355, Penerbit Maktabul Ma’arif, Cet. I, Th. 1421 H / 2000 M].

JEJAK SALAF DALAM MENGISI WAKTU
Al Hasan Al Bashri t berkata: “Wahai, anak Adam. Engkau hanyalah hari-hari yang dikumpulkan. Setiap satu hari pergi, sebagian dirimu juga pergi”. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/382)

Kami akan sebutkan beberapa riwayat dari Salafush Shalih yang menunjukkan betapa fahamnya mereka terhadap kesempatan dan nilai waktu yang ada.

1. Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari rahimahullah, pemilik tafsir yang sangat mashur, tafsir Ath Thabari. Beliau seorang yang sangat mengagumkan. Seandainya kertas-kertas yang telah beliau tulis dibagi pada umur beliau semenjak lahir, didapati bahwa beliau menulis setiap harinya 60 lembar atau lebih! Ini perkara yang sangat menakjubkan! [Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hlm. 88, karya Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah As Sud-han].

2. Imam Nawawi rahimahullah juga mengagumkan. Umur beliau hanyalah sekitar 45 tahun, namun kitab-kitab karya beliau memenuhi perpustakaan-perpustakaan umat Islam sekitar 20 jilid. Padahal setiap harinya, beliau mengajar 12 mata pelajaran. [Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hlm. 88].

Di antara karya beliau adalah Syarah Shahih Muslim, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Tahdzibul Asma’ Wal Lughaat, Riyadhush Shalihin, Al Adzkar, dan lain-lain.

3. Imam Az Zuhri rahimahullah, seorang imam yang dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah : “Disepakati kebesaran dan keahliannya”, dahulu beliau biasa mendatangi nenek-nenek, kakek-kakek, anak-anak, gadis-gadis pingitan, anak kecil, orang tua, beliau bertanya kepada mereka, mencari (ilmu) dari mereka, sehingga memiliki ilmu yang besar. [Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hlm. 90].

4. Imam Al Anmathi rahimahullah, seorang ahli hadits Baghdad. Beliau menulis (menyalin) kitab Ath Thabaqat karya Ibnus Sa’ad dan kitab Tarikh Baghdad, dengan tangannya. Seandainya kita kumpulkan juz-juz kedua kitab itu, banyak di antara kita yang berat atau susah membawanya. [Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hlm. 91].

5. Imam Isma’il Al Jurjani rahimahullah. Beliau menulis 90 lembar setiap malam, dengan tulisan yang rapi. Beliau menulisnya pelan-pelan. Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkomentar: “Ini, beliau memungkinkan untuk menulis Shahih Muslim selama sepekan”. [Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hlm. 96]

Inilah sebagian amal para salafush shalih dalam mengisi waktunya. Mungkinkah kita mengikuti jejak kebaikan mereka? Semoga.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

YAHUDI PELOPOR ANTI SUNNAH


YAHUDI PELOPOR FAHAM INGKAR SUNNAH MODERN

Oleh
Ustadz Agus Hasan Bashori


Siapa yang belum kenal Yahudi? Mereka adalah umat yang terkenal kelicikan dan kekejiannya. Terlalu banyak gelar-gelar yang disandang oleh mereka. Yang jelas mereka sangat hasud, iri dan dengki kepada umat Islam, mengingkari, membangkang, dan mendustakan para Nabi, bahkan membunuh banyak nabi dan para penegak kebenaran. Mereka sangat membenci Allah, para malaikat dan kaum muslimin, sangat berani dan lancang kepada Allah dan rasul-Nya, selalu merubah-rubah firman Allah, dan tidak rela sebelum orang Islam mengikuti jejak langkah mereka. Apapun mereka tempuh demi terciptanya tujuan mereka.
Diantara sifat Yahudi yang paten dan laten adalah merusak; merusak agama, manusia, dan dunia. Allah berfirman tentang mereka:

وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ

Dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi [Al-Baqarah: 64]

INGKAR SUNNAH KLASIK
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (telah meramalkan bahwa nanti akan muncul generasi yang mengingkari hadits sebagai sumber hukum Islam. Hal ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat yaitu al-Miqdam Ibn Ma’di Karib al-Kindi, Abu Rafi’ Aslam Maula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Hurairah . Hadits-hadits tersebut terdapat dalam beberapa kitab antara lain Sunan Abu Daud, Sunan Tirmizdi, Sunan Ibnu Majah, Mustadrak Imam Hakim, dan disebutkan oleh al-Khatib dalam al-Fiqh, al-Ajjuri dalam asy-Syari’ah, Ibn Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilmi, dan Ibn Hibban dalam muqaddimah kitabnya.

Pada masa sahabat dan tabi’in, khususnya di daerah Bashrah, Iraq telah muncul beberapa orang yang mengingkari hujjiyah sunnah yang disebabkan karena tidak mengetahui kedudukan sunnah, karena itu setelah dijelaskan merekapun bertaubat. Jadi dalam masalah ini belum berbentuk kelompok, aliran atau faham.
Pada abad kedua hijriyah muncullah kelompok ingkar sunnah, terutama yang tidak mutawaatir, tempatnya juga di Bashrah.

Kemudian pada abad ketiga dan seterusnya pengingkar hadits ahad dipelopori oleh Mu’tazilah dan sebagian Khawarij, akan tetapi gaung mereka tidak sampai mendunia. Berbeda dengan Syi’ah mereka menolak semua hadits-hsdits sunni tetapi hanya berlaku dalam kalangan Syi’ah.

INGKAR SUNNAH DI ABAD MODERN
Sebelas abad setelah itu, tepatnya pada abad ke-14 H, setelah runtuhnya negara-negara Islam ditangan barat, muncullah gerakan faham ingkar sunnah secara mutlak. Faham sesat ini dibidani oleh seorang Yahudi tulen. Aneh tetapi nyata. Seharusnya menjadi maklum bahwa Yahudi itu ingkar Al-Qur`an dan Sunnah. Akan tetapi jalan baru ini dinilai sebagai alternatif jitu untuk membidik leher umat Islam. Dan yang lebih aneh lagi pemikirannya yang jelas-jelas rusak itu diikuti oleh sebagian sarjana muslim.

Yahudi tersebut adalah seorang orientalis terkemuka bernama Ignaz Goldziher. Dia mengingkari sunnah melalui karangannya Muhammadanische Studien yang diterbitkan pada tahun 1890 M di Jerman.

Prof. DR. Goldziher (1850-1921 M) adalah Yahudi Honggaria. Ibu bapaknya adalah tukang mas di Honggaria dan beragama Yahudi tulen. Nenek moyangnya juga beragama Yahudi fanatik. Dalam usia yang sangat muda (19 tahun), ia dilantik menjadi doktor dalam bidang Islamologi di Jerman, dibawah bimbingan Prof. Rodiger. Dia ahli dalam bahasa Ibrani, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Perancis, dan Inggris.

Ia kemudian mendapat beasiswa untuk belajar di Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada tahun 1873-1874 guna memperdalam bahasa Arab dan pengetahuan Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Goldziher selama 30 tahun (1876-1904) menjadi sekertaris masyarakat Israel modern di Post. Dan selama 14 tahun (1900-1914) mengajar filsafat agama Yahudi di Jewish Theological Seminary (Sekolah misi Ketuhanan Yahudi) Bedapost.

Goldziher, bapak aliran sesat ingkar sunnah modern adalah orang yang paling berperan dalam merubah pola studi Islam, dengan perubahan yang sangat radikal dan substansial. Dan kerangka teorinya telah diikuti oleh para orientalis besar lainnya.

Goldziher mengatakan bahwa: "Hadits, sebagian besar adalah hasil dari perkembangan politik dan kemasyarakatan dalam abad kesatu dan kedua Hijriyah, jadi bukan ucapan nabi Muhammad, tetapi hampir semua hadits dibuat oleh orang-orang yang ada pada generasi Bukhari dan Muslim, lalu mereka beri sanad. Para ulama telah membuat banyak hadits dengan tujuan ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multi dimensi, holistik dan komprehensif. Karena itulah hanya al-Qur`an yang bisa dijadikan pijakan".

Yahudi lain yang sangat berpengaruh dalam paham ingkar sunnah adalah Joseph Schacht (1902-1969), seorang orientalis Yahudi dari Jerman. Dia banyak memegang jabatan-jabatan akademis dibeberapa negara seperti Jerman, Mesir, Inggris, Amerika, al-Jazair, dan Belanda. Dia termasuk redaktur The Encyklopedia of Islam, sebagaimana Goldziher sebelumnya. Dan buku Schact yang terkenal adalah The Origin of Muhammadan Jurisprudence dan buku An Introduction to Islamic Law. Dalam buku yang pertama itu, Joseph Schact menyatakan bahwa: “Sanad hadits Nabi hanyalah buatan dan gubahan sandiwara, namun masih ada hadits yang bisa dipercaya”. Dan masih banyak lagi syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para penyeru ingkar sunnah. Kemudian pemikiran Schact dimodifikasi dan diperbaharui oleh orang Islam yang bernama Fazlur-Rahman, dalam bukunya Islamic Methodology in History ia menyatakan bahwa masih banyak hadits yang masih bisa dipercaya. Dari sinilah syubhat-syubhat Yahudi itu tersebar.

GERAKAN INGKAR SUNNAH DI DUNIA ARAB DAN MESIR
Gerakan ingkar sunnah dengan cepat merambah ke Mesir pada masa Muhammad Abduh dan sesudahnya. Diantara tokoh-tokoh yang banyak meenggugat sunnah adalah Ali Abdur-Raziq, Muhammad Ammarah, Hasan Turabi, Fahmi Huwaidi, Hasan Haikal, Qasim Amin, Ahmad Amin, dan lain-lain.

GERAKAN INGKAR SUNNAH DI INDIA
Di India pengaruh minoritas Kristen pada masa penjajahan Inggris sangat kuat. Diantara budak penjajah adalah Mirza Ghulam Ahmad (1907 M) yang mengaku menjadi nabi yang dengan demikian memusuhi sunnah-sunnah nabi.

Tokoh pengingkar sunnah lain adalah Sir sayyid Ahmad Khan (1817-1898). Dia di India mirip Muhammad Abduh di Mesir.

Ahmad Khan menolak mu’jizat dan hadits-hadits shahih bahkan akhirnya hanya iman dengan Al-Qur`an saja. Setelah itu pengingkar sunnah menjamur di India.

GERAKAN INGKAR SUNNAH DI AMERIKA DAN EROPA
Gerakan ini dipimpin oleh Ir Rasyid Khalifah kelahiran Mesir berwarga negara Amerika. Ia menyatakan bahwa hadits-hadits itu adalah buatan Iblis.

Kini gerakan ingkar sunnah sudah menyebar dimana-mana termasuk di Indonesia. Dan banyak orang-orang membawa pikiran-pikiran ingkar sunnah tetapi tidak merasa bahwa dirinya adalah pengingkar sunnah. Ini kebanyakan terjadi pada sarjana-sarjana yang menimba ilmu dari para orientalis anak cucu dari Goldziher yang mengatas namakan penelitian ilmiah ataupun wacana ilmiah.

Mengapa sarjana- sarjana muslim banyak yang terjebak?

Perlu diingat, Goldziher bukanlah seorang diri, semua orang Yahudi ada dibelakangnya. Jumlah Yahudi di dunia sekarang ini sekitar 15 juta jiwa; 6 juta di Amerika Serikat, 6 juta 920 ribu di Amerika Utara dan selatan dan 3 Juta 653 ribu di Israel. 70 % dosen dan guru besar di Amerika Serikat adalah Yahudi. 50% penerbit dan percetakan di Amerika Serikat dikuasai Yahudi, 50% buku-buku sekolahan berisi informasi yang bias dan mendiskreditkan Islam, dan hanya 17% yang berisi informasi benar tentang Islam dan sisanya perlu direvisi dan dibetulkan.

Ketika Barat menjadi kiblat dunia pendidikan dan para para alumninya sudah banyak berperan di negara-negara Islam maka terasalah pengaruh-pengaruh orientalis yahudi semisal Goldziher dengan segala pemikiran yang berkedok modernisme dan penelitian ilmiah itu. Sementara orang-orang muslim yang belajar kesana belum mengerti apa sebenarnya al-Qur`an dan sunnah itu. Maka salah seorang pakar Islam yang mendalami masalah ini menyimpulkan bahwa ada empat faktor yang menyebabkan pikiran-pikiran orientalis Yahudi dan Nashrani (termasuk ingkar sunnah) diikuti oleh sarjana-sarjan muslim.

1. Bodohnya saudara kita, mereka tidak menelaah Islam dari sumber-sumbernya yang jernih, tidak mempelajari Islam dari pintunya.

2. Terkecoh dan tertipu dengan metodologi dan pendekatan yang diklaim sebagai metode ilmiah yang obyektif dan positif.

3. Ambisi mereka untuk tenar dan berpenampilan modernis.

4. Ketidak berdayaan mereka dibawah dominasi pemikiran yang menyimpang. Mereka tidak memiliki daya dan kemampuan untuk melindungi diri melainkan dengan bersandar kepada para orientalis tersebut karena memang mereka jauh dari ulama dan telah dijauhkan dari ulama oleh para orientalis itu.

Coba kita bayangkan misalnya mahasiswa muslim yang lugu itu duduk dihadapan Profesor Yahudi di Amerika, yang nama dan gelarnya telah menyihir banyak orang. Lalu sang Profesor itu berkata bahwa sunnah itu tidak bisa jadi sumber hukum islam sebab ; Hadits-hadits itu baru dikumpulkan setelah seratus tahun dari wafatnya Muhammad. Hadits-hadits maudhu’ telah bercampur aduk dengan yang shahih yang tidak memungkinkan lagi untuk memilah-milahnya.
Metodologi ahli-ahli hadits selama ini belum cukup untuk menemukan yang shahih diantara yang cacat karena kaidah-kaidah itu hanya berbicara sekitar kritik sanad dan rawi, tidak pada matan. Muhammad sendiri telah melarang menulis hadits, karena itu tidak ada catatan hadits pada zamanya bahkan pada Khulafa ar-Rasydin juga melarang, baru seratus tahun kemudian dikumpulkan dari ingatan-ingatan manusia yang “mahallul khata` wan-nisyan” itu?

Kira-kira demikian diantara ucapan Profesor itu, sementara mahasiswa tadi itu lugu tidak tahu apa-apa tentang itu semua. Kira-kira apa yang akan dia lakukan? Apakah diam atau membantah? Atau apa?. Karena pikirannya kosong belum pernah berfikir semacam itu, sebagai seorang muslim pertama kali dia pasti ingin berontak, paling tidak meragukan dengan berkata “masak benar begitu?”. Lama kelamaan setelah Profesor itu menjelaskan dengan bersilat lidah dan bermain kata-kata, maka mehasiswa itupun jatuh dalam pelukannya dengan berkata, “oh……. begitu…. ya… ya… ya... baru mengerti saya… ini baru namanya ilmu..!!”

Ketika orang seperti mahasiswa tadi banyak jumlahnya dan pulang dengan gelar Doktor dan Profesor, maka Goldziher berubah nama menjadi “Ahmad Sarjono”, “Ahmad Khalash” dan lain-lain.

Begitulah nasib akhir dari sebuah generasi yang jauh dari ulama kemudian berguru kepada orang Yahudi

Semoga umat Islam ini sadar dan menjadi pembela Islam dan sunnah Nabinya berdasarkan bimbingan ulama

Malang, 5 Jumadil Akhir 1422

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

BID'AH-BID'AH DIBULAN RAJAB


Beberapa Kesalahan Yang Terjadi Pada Bulan Rajab
Minggu, 5 Juni 2011 22:47:19 WIB

BEBERAPA KESALAHAN YANG TERJADI PADA BULAN RAJAB


Makalah berikuti ini merupakan penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin, yang diangkat dari muhadharah beliau di Universitas Jami'ah Islamiyah, … pada tanggal 9 Rajab tahun 1419H, kemudian disusun dalam sebuah risalah yang berjudul At Tamassuk Bi Sunnah Wa Atsaruhu, dan diterjemahkan dengan sedikit ta’liq (tambahan) oleh Ustadz Abu Sulaiman Aris S.
________________________________________________________________________

1. Bulan Rajab, adalah satu diantara bulan haram yang empat (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, tiga bulan yang berurutan, kemudian yang keempat adalah Rajab, yang diapit oleh bulan Jumada, yakni Jumada Tsaniah dan Sya’ban). Empat bulan ini memiliki kekhususan yang sama, tanpa terkecuali bulan Rajab.

Para ulama berselisih pendapat, diantara empat ini, mana yang paling baik. Sebagian Syafi'iyah berkata: “Yang paling baik adalah Rajab”. Tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Imam Nawawi dan yang lainnya.

Sebagian ulama berpendapat: “Bulan Muharram”. Ini adalah pendapat Al Hasan dan dikuatkan oleh Nawawi.

Sebagian ulama berkata: ”Bulan Dzulhijjah”. Pendapat ini diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair dan selainnya. Dan inilah yang lebih kuat. Demikian, sebagaimana dinukil dalam kitab Al Latha'if, karya Ibnu Rajab Al Hambali.

Saya berkata (Syaikh Ibnu Utsaimin): Pendapat ini adalah benar. Karena dalam bulan Dzulhijjah terdapat dua keistimewaan. Yaitu, Dzulhijjah termasuk bulan-bulan haji, yang padanya terdapat hari Idul Adha. Dan yang kedua, karena Dzulhijjah termasuk bulan-bulan haram.

2. Bulan Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah, yakni mereka mengharamkan perang pada bulan-bulan tersebut, sebagaimana pada bulan-bulan haram lainnya. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang haramnya berperang pada bulan ini.

Sebagian ulama berpendapat, bahwa haramnya berperang pada bulan ini adalah mansukh (telah dihapus hukumnya) dan boleh memulai berperang. Yaitu memerangi orang-orang kafir pada bulan Rajab dan bulan-bulan haram lainnya, karena adanya dalil-dalil yang umum dalam masalah ini.

Akan tetapi pendapat yang benar, bahwa memulai berperang pada bulan Rajab hukumnya haram. Namun jika mereka (musuh, Red.) memerangi kita, atau perang tersebut merupakan kelanjutan dari bulan-bulan sebelumnya, maka tidaklah mengapa.

3. Bulan Rajab diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah dengan berpuasa. Akan tetapi tidak ada dalil yang shahih dari Nabi dalam masalah mengkhususkan puasa pada bulan Rajab ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa 25/290 berkata: Berpuasa pada bulan Rajab secara khusus diriwayatkan dari hadits-hadits yang semuanya dha'if, bahkan palsu. Sedikitpun tidak diakui oleh para ulama. Tidak termasuk dha'if yang diriwayatkan di dalam fadha'ilul a'mal, bahkan seluruhnya adalah maudhu' …,” hingga Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Telah diriwayatkan dari Umar dengan jalan yang shahih. Bahwa Umar memukul tangan-tangan kaum muslimin, sehingga mereka meletakkannya di atas makanan pada bulan Rajab, sambil mengatakan,”Janganlah kalian menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”

Dan suatu ketika, Abu Bakar Ash Shiddiq masuk ke rumahnya, dan melihat keluarganya telah membeli satu bejana tempat air. Mereka bersiap-siap untuk berpuasa. Kemudian beliau bertanya,”Untuk apakah ini?” Mereka menjawab,”Untuk berpuasa pada bulan Rajab.” Beliau berkata,”Apakah kalian ingin menyerupakannya dengan bulan Ramadhan?” Kemudian beliau memecahkan bejana tersebut.

Al Hafizh Ibnu Rajab menyebutkan atsar dari Umar, seperti yang disebutkan dalam Majmu Fatawa. Beliau menambahkan: “Dahulu, bulan Rajab begitu diagungkan oleh orang Jahiliyah. Ketika datang Islam, kemudian ditinggalkan”.

4. Bulan Rajab diagungkan oleh bangsa Arab. Mereka mengerjakan umrah pada bulan ini. Karena mereka pergi haji pada bulan Dzulhijjah. Sedangkan Rajab adalah pertengahan tahun yang dihitung dari Muharram. Oleh karena itu, mereka mengerjakan umrah, agar Ka'bah menjadi makmur dengan orang yang haji dan umrah pada pertengahan dan akhir tahun.

Ibnu Rajab di dalam Al Latha'if berkata: Disunnahkan oleh Umar untuk umrah pada bulan Rajab. Dan dahulu, 'Aisyah dan Ibnu Umar mengerjakannya. Ibnu Sirin menukilkan, bahwa dahulu, para salaf mengerjakannya. [1]

5. Pada bulan Rajab terdapat shalat yang dinamakan dengan Shalat Raghaib. Dikerjakan malam Jum'at pertama antara Maghrib dan Isya', sebanyak 12 raka'at dengan sifat yang aneh, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar di dalam kitab Tabyinul 'Ajab Bima Warada Fi Fadhli Rajab.

An Nawawi di dalam Syarah Al Muhadzdzab 3/548, berkata: "Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib, yaitu 12 raka’at, dikerjakan antara Maghrib dan Isya' pada malam Jum'at pertama bulan Rajab, dan demikian pula shalat Nishfu Sya'ban 100 raka’at. Kedua macam shalat ini adalah bid'ah yang munkar. Janganlah engkau tertipu dikarenakan kedua shalat ini disebutkan di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya' Ulumuddin. Semua hadits-hadits yang disebutkan di dalamnya adalah batil. Jangan tertipu dengan sebagian ulama yang terkena syubhat dalam masalah ini, yang mengarang suatu risalah disunnahkannya shalat ini; karena mereka salah dalam masalah ini. Dan Al Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma'il Al Maqdisi telah mengarang kitab yang menerangkan mengenai batilnya dua shalat tersebut".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmu Fatawa 23/124, berkata: “Menurut kesepakatan ulama, shalat Raghaib adalah bid'ah, tidak disunnahkan oleh Rasulullah dan (tidak pula) oleh seorangpun dari Khulafaur Rasyidin. Dan tidak dianggap sebagai sunnah oleh para imam, seperti Malik, Asy Syafi'i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsaury, Al Auza'i, Al Laits dan yang lainnya. Sedangkan menurut kesepakatan ahlul hadits, hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah palsu".

Ibnu Rajab di dalam Al Latha'if, berkata: "Tidak ada (riwayat) yang sah pada bulan Rajab suatu shalat tertentu. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan shalat Raghaib pada malam Jum'at pertama dari bulan Rajab adalah palsu dan tidak shahih".

Beliau (Ibnu Rajab) berkata: “Para ulama mutaqaddimin tidak menyebutkannya, karena hal ini ada dan muncul sesudah zaman mereka”. Pertama kali dikenal setelah tahun 400-an hijriah, sehingga tidak dikenal oleh ulama mutaqaddimin.
Asy Syaukani di dalam Al Fawa'id Al Majmu'ah, halaman 48, berkata: “Para huffazh telah sepakat, bahwasanya shalat Raghaib adalah berdasarkan hadits yang palsu. hingga beliau berkata,’Kepalsuan haditsnya tidak diragukan lagi oleh orang yang memiliki sedikit pemahaman terhadap hadits’.

Al Fairuz Abadi di dalam Al Mukhtashar, berkata, bahwa hadits tersebut palsu berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian pula dikatakan oleh Al Maqdisi.
Asy Syaukani menyebutkan di dalam kitab tersebut satu hadits tentang keutamaan shalat pada malam pertengahan bulan Rajab, kemudian beliau mengomentari: “Diriwayatkan oleh Al Jauzqani dari Anas secara marfu'. Tetapi hadits ini adalah maudhu', dan para rawinya adalah orang-orang majhul”.

6. Pada bulan Rajab, banyak orang datang ke kota Madinah untuk berziarah. Mereka menamakannya "Rajabiyah". Mereka berkeyakinan, bahwa hal ini sebagai sunnah mu'akkadah. Mereka pergi untuk berziarah ke beberapa tempat. Sebagian dari ziarah ini disyari'atkan, seperti ziarah ke masjid Nabawi, ke masjid Quba', ke kubur Nabi, dan kubur dua orang sahabatnya (ya'ni Abu Bakar dan Umar, serta kubur para syuhada' Uhud). Dan (ziarah ini) ada yang tidak di syari'atkan, seperti ziarah ke masjid yang dinamakan masjid Ghamamah, masjid kiblatain dan masjid-masjid yang tujuh.

Ziarah Rajabiyah ini tidak ada asalnya di dalam perkataan Ahlul Ilmi. ampaklah, hal ini baru saja muncul pada masa-masa terakhir ini.

Tidak diragukan lagi, bahwa masjid Nabawi merupakan satu diantara tiga masjid yang disyari'atkan untuk ziarah kepadanya, ya'ni Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha’. Akan tetapi, mengkhususkan ziarah pada bulan tertentu, atau hari tertentu, maka hal ini memerlukan dalil, dan (sesungguhnya) tidak ada dalil yang mengkhususkan bulan Rajab dengan hal itu. Sehingga, meyakininya sebagai sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah pada bulan ini, adalah termasuk bid'ah yang tertolak. Karena sabda Rasulullah:

"من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد"

Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintah kami, maka dia akan tertolak.

Dalam lafadz yang lain:

"من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد"

Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara kami yang tidak ada perintah darinya, maka dia tertolak. (Yakni ditolak dari pelakunya).

7. Pada bulan Rajab, terjadi peristiwa Isra' dan Mi'raj, sebagaimana telah masyhur di kalangan kaum muslimin pada masa-masa terakhir ini, (yang terjadi) pada malam ke 27. Mereka mengadakan beberapa perayaan. Dan barangkali mereka menjadikan hari itu sebagai hari libur resmi. Padahal hal ini memerlukan penelitian dua masalah yang penting. Pertama, dari segi tarikh (kepastian peristiwa). Kedua, apakah dengan mengadakan perayaan ini termasuk ibadah?

Masalah yang pertama, para ulama telah berselisih pendapat. Ibnu Katsir menyebutkan di dalam kitab Al Bidayah Wan Nihayah 3/119, Cetakan Al Fajjalah, dari Az Zuhri dan Urwah: “Bahwa Isra' Mi'raj terjadi satu tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah”. Yakni pada bulan Rabi'ul Awwal.

Dari As Suddi, beliau berkata: “Terjadi 16 bulan sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madinah”. Yakni pada bulan Dzulqa'dah.

Al Hafizh Abdul Ghani bin Surur Al Maqdisi membawakan satu hadits, namun tidak sah sanadnya, bahwasanya Isra' Mi'raj (terjadi) pada malam 27 bulan Rajab.
Sebagian orang berkeyakinan, bahwa Isra' Mi'raj terjadi pada malam Jum'at pertama bulan Rajab. Mereka menamakan malam raghaib, yang disyari'atkan untuk shalat (shalat Raghaib), padahal tidak ada dalilnya. Wallahu a'lam. Sampai disini perkataan Ibnu Katsir.

As Saffarini menyebutkan di dalam Syarah Aqidah-nya 2/280, dari Al Waqidi dari rijalnya: Bahwa Isra' Mi'raj (terjadi) pada malam Sabtu, 17 Ramadhan tahun ke12 dari kenabian, 18 bulan sebelum hijrah. Dan diriwayatkan pula dari para gurunya, mereka berkata: Rasul diisra'kan pada malam 17 bulan Rabi'ul Awwal, satu tahun sebelum hijrah. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengaku adanya Ijma'. Demikian ini pendapat Ibnu Abbas dan 'Aisyah.

Kemudian As Saffarini menyebutkan satu perkataan dari Ibnul Jauzi: Isra' Mi'raj terjadi pada bulan Rabi'ul Awwal, atau Rajab, atau Ramadhan.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari 7/203, bab Al Mi'raj, dari Shahih Al Bukhari: Bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini (terdapat) lebih dari 10 pendapat.

Diantaranya, satu tahun sebelum hijrah. Demikian ini pendapat Ibnu Sa'ad dan lainnya, dan (yang) dianggap tepat oleh An Nawawi.

Pendapat yang lain, 8 bulan sebelum hijrah, atau 6 bulan, atau 11 bulan, atau 1 tahun 2 bulan, atau 1 tahun 3 bulan, atau 1 tahun 5 bulan, atau 18 bulan, atau 3 tahun sebelum hijrah, atau 5 tahun.

Ada (pula) pendapat yang mengatakan, terjadi pada bulan Rajab. Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, dan dikuatkan oleh An Nawawi di dalam kitab Raudhah. Akan tetapi sebagian ulama tidak menjumpainya di dalam Raudhah.

Syaikhul Islam berkata, seperti dinukil oleh muridnya Ibnul Qoyyim di dalam Zaadul Ma'ad, ketika menyebutkan keistimewaan hari-hari dan bulan tertentu daripada yang lainnya, beliau menjawab: “Orang yang mengatakan bahwa malam Isra' lebih mulia daripada malam lailatul qadar, yakni dia berkeyakinan bahwa shalat dan berdo'a pada malam Isra' yang dikerjakan setiap tahunnya lebih afdhal, maka pendapat ini adalah batil. Belum pernah dikatakan oleh seorangpun dari ummat ini. Sangat jelas kebatilannya menurut agama Islam. Hal ini, jika telah diketahui waktu terjadinya malam Isra' mi'raj dengan pasti. Namun, bagaimana jika belum diketahui dalil ynag menetapkan bulannya atau detailnya? Bahkan nukilan-nukilan dalam masalah ini terputus dan berbeda-beda. Tidak terdapat kepastian padanya, dan tidak disyari'atkan bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan suatu shalat atau ibadah lainnya pada malam yang diyakini sebagai malam Isra' dan Mi'raj …, hingga beliau berkata: Tidak seorangpun dari kaum muslimin yang meyakini malam Isra' lebih lebih baik dari yang lainnya, terlebih dengan malam lailatul qadar. Demikian pula para shahabat dan tabi'in, mereka tidak mengkhususkan malam ini, dan mereka tidak mengenalnya. Bahkan tidak dikenal kapan terjadinya malam itu".

Ini masalah pertama yang ada kaitannya dengan Isra' Mi'raj. Telah jelas bahwa malam tersebut belum diketahui kapan terjadinya.

Adapun masalah yang kedua, yaitu menjadikan malam tersebut sebagai 'id, yang dirayakan dan diadakan muhadharah, serta dibacakan hadits-hadits yang dha'if atau palsu tentang kisah Isra' Mi'raj. Maka, tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan bid'ah yang diada-adakan di dalam agama Islam. Apabila seseorang berlepas diri dari hawa dan mengetahui dengan sebenarnya, maka perayaan-perayaan seperti ini tidak pernah dikenal pada zaman sahabat dan para tabi'in. Dalam Islam tidak ada hari raya, kecuali tiga. Yaitu idul fithri dan idul adha. Keduanya adalah ‘id yang berulang setiap tahun, sedangkan yang ketiga adalah hari Jum'at, hari raya setiap pekan. Tidak ada hari raya selain tiga ini.

Hendaknya diketahui, bahwa ittiba' Rasulullah yang sebenarnya adalah dengan berpegang teguh terhadap sunnahnya, mengerjakan yang Beliau kerjakan, meninggalkan sesuatu yang Beliau tinggalkan. Barangsiapa menambah atau mengurangi, maka telah berkurang kadar mutaba'ahnya (ketaatan) kepada Rasulullah. Menambah (permasalahan) di dalam agama lebih berat …………, karena mendahului Allah dan RasulNya. Orang yang berakal, adalah orang yang mengetahui bahwa perbuatan seperti ini merupakan bencana yang besar. Sehingga seorang mukmin yang sempurna adalah orang yang beribadah kepada Allah dengan syari'at Rasulullah. Dan seseorang mempunyai kekurangan yang besar, apabila ia menambah (sesuatu) pada syari'at Allah dan RasulNya.

Hendaknya seorang mukmin berhati-hati dari perbuatan bid'ah yang dianggap baik oleh hawa nafsunya. Karena Nabi memperingatkan kita dari hal itu, dan Beliau menyampaikannya dalam khutbah Jum'at. Beliau berkata:

أما بعد:فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة

Adapun sesudah itu, maka sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat. (Seperti ini diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Dan dalam riwayat An Nasa'i (disebutkan):

وكل ضلالة في النار

Dan setiap kesesatan adalah di neraka.

Saya berdo'a kepada Allah untuk meneguhkan kita dengan perkataan yang kuat di dunia maupun di akhirat. Dan semoga Allah melindungi kita dari berbagai fitnah, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi dan Maha Pemurah.

Tanggal 11 Rabi'ul Awwal 1425H, bertepatan tanggal 1 Mei 2004M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh berkata: “Bahwasanya para ulama mengingkari pengkhususan adanya memperbanyak ibadah umrah pada bulan Rajab”. Dan Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At Tuwaijiri di dalam kitab Al Bida' Al Hauliyah, halaman 238, berkata: “Yang rajah, menurut saya -wallahu a'lam- bahwasanya mengkhususkan bulan Rajab dengan umrah itu tidak ada asalnya, karena tidak ada dalil syar'i yang mengkhususkannya. Dan Rasulullah tidak pernah mengerjakan umrah pada bulan Rajab. Seandainya hal ini terdapat keutamaan, pasti Beliau menganjurkan ummatnya, karena Beliau orang yang bersemangat untuk (berbuat) kebaikan, sebagaimana Beliau menganjurkan untuk mengerjakan umrah pada bulan Ramadhan.

Adapun yang dikatakan sunnah oleh sahabat Umar bin Khathab, maka saya belum menemukan sanadnya. Dan yang dinukil oleh Ibnu Sirin, bahwa para salaf dahulu mengerjakannya, maka tidak terdapat dalil yang mengkhususkan umrah pada bulan Rajab. Karena maksud mereka tidak untuk mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah umrah, tetapi maksud mereka -wallahu a'lam- ialah untuk mengerjakan haji pada satu kali safar dan mengerjakan umrah pada safar tersendiri, untuk menyempurnakan haji dan umrah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam uraiannya yang dinukil Ibnu Sirin dari para salaf”.

Rabu, 01 Juni 2011

FATWA SYAIKH BIN BAZ TENTANG OSAMAH BIN LADEN


الفتوى الأولى للعلامة الإمام عبد العزيز بن باز – رحمه الله

Penyusun : Abu Usaamah Sufyan Al Bykazi -

Terdengar khabar sebulan yang lalu tentang wafatnya dedengkot khawarij yang bernama Usamah bin Laden atau yang kita kenal dengan Osamah bin laden,tokoh khawarij yang menjadi cikal bakal buruknya citra islam dihadapan dunia, tentu kami tidak pecaya 100% akan tewasnya osamah bin laden karena pemberitaan dari kaum kafir, yang mungkin bisa benar, mungkin juga rekayasa politik mereka, dan kita sebagai umat muslim hanya berharap kepada Alloh shubhanahu wata'ala kiranya osamah masih hidp "Tunjukilah dia kejalan yang lurus, berilah dia ya Rabb hidayah taufiq", akaan tetapi jika osamah wafat maka kami katakan "kami bersedih atas wafatnya osamah, karena 1 orang muslim meninggal akan tetapi semoga Alloh menyadarkan para pengikutnya yang mengikuti pemehaman Sesat osamah bin laden tokoh khawarij abad ini", oleh karna itu kami akan menukilkan fatwa al 'alamah Asy Syaikhuna al imam Abdul Aziz bin Abdillah alu Baz,dalam rangka menyadarkan para pengikutnya dari pemahaman bahaya milik osamah bin laden yang menimbulkan kefasadan / kerusakan dimuka bumi ini

Imam Ibnu Bazz rahimahullahu berkata : "Adapun (aktivitas) yang dikerjakan
saat ini oleh Muhammad al-Mis'ari dan Sa'ad al-Faqih serta orang-orang yang
serupa dengan mereka, dari aktivitas penyebaran propaganda-propaganda yang
rusak dan menyesatkan,

maka tidak syak lagi hal ini merupakan keburukan yang
dahsyat. Mereka-mereka ini adalah para da'i (penyeru) yang menyeru kepada
keburukan yang besar dan kerusakan yang hebat. Maka wajiblah berhati-hati
dari selebaran-selebaran mereka, membuang dan memusnahkannya, serta
jangan mau berta'awun (bekerja sama) dengan mereka dalam segala perkara
yang mengajak kepada kerusakan, keburukan, kebatilan dan fitnah. Karena Allah
memerintahkan untuk bekerja sama di dalam kebajikan dan ketakwaan, tidak
bekerja sama di dalam kerusakan dan keburukan di dalam menyebarkan
kedustaan dan di dalam menyebarkan propaganda-propaganda batil yang
menyebabkan terjadinya perpecahan, hilangnya rasa aman dan (keburukankeburukan)
lainnya.


Selebaran-selebaran ini yang berasal dari al-Faqih, al-Mis'ari atau selain mereka
dari kalangan para penyeru kebatilan dan penyeru keburukan dan perpecahan,
wajib dibuang, dimusnahkan dan tidak boleh berpaling kepadanya sedikitpun.
Wajib pula menasehati dan mengarahkan mereka kepada kebenaran serta
mentahdzir mereka dari kebatilan ini. Dan tidaklah boleh bagi seorangpun untuk
bekerja sama dengan mereka di dalam perkara buruk ini, namun wajib bagi
mereka untuk bertaubat dan kembali kepada jalan yang lurus serta wajib bagi
mereka meninggalkan kebatilan ini dan menjauhinya.


Dan nasehatku untuk al-Mis'ari, al-Faqih dan Ibnu Laden serta seluruh orang
yang menempuh jalan mereka supaya mau meninggalkan jalan yang jelek ini.
Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berhati-hati dari murka dan
amarah Allah, hendaklah mereka kembali ke jalan yang lurus dan bertaubat
kepada Allah dari dosa-dosa mereka yang telah lalu, karena sesungguhnya Allah
menjanjikan bagi hamba-hamba-Nya yang bertaubat pada-Nya untuk menerima
taubat mereka, berbuat baik pada mereka,

sebagaimana firman Allah Subhanahuwata'ala
: "Katakanlah wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, (karena)
sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa kalian semua. Sesungguhnya Dialah
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kepada Rabb
kalian dan berserahdirilah kepadanya sebelum datangnya adzab kemudian
tidak dapat ditolong lagi." Dan firman-Nya : "Bertaubatlah kalian semua wahai
orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung." Dan ayat-ayat yang
semakna dengan hal ini sangatlah banyak. (Majalah al-Buhuts al-
Islamiyyah, no. 10, hal. 7-17).

HAKIKAT DAKWAH SALAFIYYAH



Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain Bin Sanusi
.: :.
Pertanyaan :
Berkembangnya dakwah Salafiyyah di kalangan masyarakat dengan pembinaan yang mengarah kepada perbaikan ummat di bawah tuntunan Rasulullah shallallahu 'alahi wa alihi wa sallam adalah suatu hal yang sangat disyukuri. Akan tetapi di sisi lain, orang-orang menyimpan dalam benak mereka persepsi yang berbeda-beda tentang pengertian Salafiyah itu sendiri sehingga bisa menimbulkan kebingunan bagi orang-orang yang mengamatinya, maka untuk itu dibutuhkan penjelasan yang jelas tentang hakikat Salafiyah itu. Mohon keterangannya !

Jawab (Cukup mewakili untuk membantah tuduhan bahwa dakwah salaf, salaf adalah muhdats, red) :
Salafiyah adalah salah satu penamaan lain dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.
Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata سَلَفٌ (Salaf) yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan jalan Salaf. Dikenal juga dengan nama سَلَفِيُّوْنَ (Salafiyyun). Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy yang berarti orang yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para 'ulama Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholeh (pendahulu yang sholeh).

Dari keterangan di atas secara global sudah bisa dipahami apa yang dimaksud dengan Salafiyah. Tapi kami akan menjelaskan tentang makna Salaf menurut para 'ulama dengan harapan bisa mengikis anggapan/penafsiran bahwa dakwah Salafiyah adalah suatu organisasi, kelompok, aliran baru dan sangkaan-sangkaan lain yang salah dan menodai kesucian dakwah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wa alihi wa sallam ini.
Kata Salaf ini mempunyai dua definisi ; dari sisi bahasa dan dari sisi istilah.

Definisi Salaf secara bahasa
Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul 'Arab : “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi'in mereka dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh”.
Berkata Al-Manawi dalam At-Ta'arif jilid 2 hal.412 : “As-Salaf bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah أََسْلاَفٌ (aslaf)”.
Masih banyak rujukan lain tentang makna salaf dari sisi bahasa yang ini dapat dilihat dalam Mauqif Ibnu Taimiyyah minal 'asya'irah jilid 1 hal.21.

Jadi arti Salaf secara bahasa adalah yang terdahulu, yang awal dan yang pertama. Mereka dinamakan Salaf karena mereka adalah generasi pertama dari ummat Islam.

Definisi Salaf secara Istilah
Istilah Salaf dikalangan para 'ulama mempunyai dua makna ; secara khusus dan secara umum.

Pertama : Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi'in (murid-murid para Shahabat), Tabi'ut Tabi'in (murid-murid para Tabi’in) dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, Muslim dan lain-lainnya dimana Rasulullah shallallahu 'alahi wa alihi wa sallam menyatakan :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”.

Makna khusus inilah yang diinginkan oleh banyak ‘ulama ketika menggunakan kalimat Salaf dan saya akan menyebutkan beberapa contoh dari perkataan para 'ulama yang mendefinisikan Salaf dengan makna khusus ini atau yang menggunakan istilah Salaf dan mereka inginkan dengannya makna Salaf secara khusus.

Berkata Al-Bajury dalam Syarah Jauharut Tauhid hal.111 : “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu dari para Nabi dan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka”.

Berkata Al-Qolasyany dalam Tahrirul Maqolah Syarah Ar-Risalah : “As-Salaf Ash-Sholeh yaitu generasi pertama yang mapan di atas ilmu, yang mengikuti petunjuk Nabi shollahu 'alahi wa alihi wa sallam lagi menjaga sunnah-sunnah beliau. Allah memilih mereka untuk bersahabat dengan Nabi-Nya dan memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan mereka itulah yang diridhoi oleh para Imam ummat (Islam) dan mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad dan mereka mencurahkan (seluruh kemampuan mereka) dalam menasehati ummat dan memberi manfaat kepada mereka dan mereka menyerahkan diri-diri mereka dalam menggapai keridhoan Allah”.

Dan berkata Al-Ghazaly memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf dalam Iljamul 'Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal.62 : “Yang saya maksudkan dengan salaf adalah madzhabnya para shahabat dan Tabi'in”.

Lihat Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy hal.31 dan Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal.18-19.

Berkata Abul Hasan Al-Asy'ary dalam Kitab Al-Ibanah Min Ushul Ahlid Diyanah hal.21 : “Dan (diantara yang) kami yakini sebagai agama adalah mencintai para ‘ulama salaf yang mereka itu telah dipilih oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan kami memuji mereka sebagaimana Allah memuji mereka dan kami memberikan loyalitas kepada mereka seluruhnya”.

Berkata Ath-Thahawy dalam Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah : “Dan ulama salaf dari generasi yang terdahulu dan generasi yang setelah mereka dari kalangan Tabi'in (mereka adalah) Ahlul Khair (ahli kebaikan) dan Ahli Atsar (hadits) dan ahli fiqh dan telaah (peneliti), tidaklah mereka disebut melainkan dengan kebaikan dan siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka dia berada di atas selain jalan (yang benar)”.

Dan Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I'tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama'ah jilid 2 hal.334 ketika beliau membantah orang yang mengatakan bahwa Al-Qura dialah yang berada di langit, beliau berkata : “Maka dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya dan menolak mukjizat Nabi-Nya dan menyelisihi para salaf dari kalangan Shahabat dan tabi'in dan orang-orang setelahnya dari para ‘ulama ummat ini".

Berkata Al-Baihaqy dalam Syu'abul Iman jilid 2 hal.251 tatkala beliau menyebutkan pembagian ilmu, beliau menyebutkan diantaranya : “Dan mengenal perkataan-perkataan para salaf dari kalangan shahabat, Tabi'in dan orang-orang setelah mereka”.

Dan berkata Asy-Syihristany dalam Al-Milal Wa An-Nihal jilid 1 hal.200 : "Kemudian mengetahui letak-letak ijma' (kesepakatan) shahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in dari Salafus Sholeh sehingga ijtihadnya tidak menyelisihi ijma' (mereka)".

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Bayan Talbis Al-Jahmiyah jilid 1 hal.22 : "Maka tidak ada keraguan bahwasanya kitab-kitab yang terdapat di tangan-tangan manusia menjadi saksi bahwasanya seluruh salaf dari tiga generasi pertama mereka menyelesihinya".

Dan berkata Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzy jilid 9 hal.165 : "…Dan ini adalah madzhab Salafus Sholeh dari kalangan shahabat dan Tabi'in dan selain mereka dari para 'ulama -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka seluruhnya-".

Dan hal yang sama dinyatakan oleh Al-’Azhim Abady dalam 'Aunul Ma'bud jilid 13 hal.7.

Kedua : Makna salaf secara umum adalah tiga generasi terbaik dan orang-orang setelah tiga generasi terbaik ini, sehingga mencakup setiap orang yang berjalan di atas jalan dan manhaj generasi terbaik ini.

Dan berkata Al-'Allamah Muhammad As-Safariny Al-Hambaly dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi' Al-Asrar Al-Atsariyyah jilid 1 hal.20 : “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para shahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya dan para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dan para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”.

Berkata Ibnu Abil 'Izzi dalam Syarah Al ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal.196 tentang perkataan Ath-Thohawy bahwasanya Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala : "Yakni merupakan perkataan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan mereka itu adalah Salafus Sholeh".

Dan berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan dalam Nazharat Wa Tu'uqqubat 'Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal.21 : “Dan kata Salafiyah digunakan terhadap jama'ah kaum mukminin yang mereka hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya : "Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya....".

Dan beliau juga berkata dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah 'An As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah hal.103-104 : "As-Salafiyah adalah orang-orang yang berjalan di atas Manhaj Salaf dari kalangan Shahabat dan tabi'in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah".

Dan berkata Syaikh Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql dalam Mujmal Ushul I'tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama'ah hal.5 : "As-Salaf, mereka adalah generasi pertama ummat ini dari para shahabat, tabi'in dan imam-imam yang berada di atas petunjuk dalam tiga generasi terbaik pertama. Dan kalimat As-Salaf juga digunakan kepada setiap orang yang berada pada setelah tiga generasi pertama ini yang meniti dan berjalan di atas manhaj mereka".

Asal Penamaan Salaf Dan Penisbahan Diri Kepada Manhaj Salaf

Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radihyallahu ‘anha :

فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya". Dikeluarkan oleh Bukhary no.5928 dan Muslim no.2450.

Maka jelaslah bahwa penamaaan salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan sesuatu yang telah lama dikenal tapi karena kebodohan dan jauhnya kita dari tuntunan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu aliran, ajaran, atau pemahaman baru, dan anggapan-anggapan lainnya yang salah.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149 : “Tidak ada celaan bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbahkan diri kepadanya dan merujuk kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf itu adalah tak lain kecuali kebenaran”.

Berikut ini saya akan memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa penggunaan nama salaf sudah lama dikenal.

Berkata Imam Az-Zuhry (wafat 125 H) tentang tulang belulang bangkai seperti bangkai gajah dan lainnya : “Saya telah mendapati sekelompok dari para ulama salaf mereka bersisir dengannya dan mengambil minyak darinya, mereka menganggap (hal tersebut) tidak apa-apa”. Lihat : Shohih Bukhary bersama Fathul Bary jilid 1 hal.342.

Tentunya yang diinginkan dengan ‘ulama salaf oleh Az-Zuhry adalah para shahabat karena Az-Zuhry adalah seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat).

Dan Sa’ad bin Rasyid (wafat 213 H) berkata : “Adalah para salaf, lebih menyenangi tunggangan jantan karena lebih cepat larinya dan lebih berani”. Lihat : Shohih Bukhary dengan Fathul Bary jilid 6 hal.66 dan Al-Hafizh menafsirkan kata salaf : “Yaitu dari shahabat dan setelahnya”.

Berkata Imam Bukhary (wafat 256 H) dalam Shohihnya dengan Fathul Bary jilid 9 hal.552 : “Bab bagaimana para ‘ulama salaf berhemat di rumah-rumah mereka dan di dalam perjalanan mereka dalam makanan, daging dan lainnya”.

Imam Ibnul Mubarak (wafat 181 H) berkata : “Tinggalkanlah hadits ‘Amr bin Tsabit karena ia mencerca para ‘ulama salaf”. Baca : Muqoddimah Shohih Muslim jilid 1 hal.16.

Tentunya yang diinginkan dengan kata salaf oleh Imam Bukhary dan Ibnul Mubarak tiada lain kecuali para shahabat dan tabi’in.

Dan juga kalau kita membaca buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan nasab, akan didapatkan para ’ulama yang menyebutkan tentang nisbah Salafy (penisbahan diri kepada jalan para ‘ulama salaf), dan ini lebih memperjelas bahwa nisbah kepada manhaj salaf juga adalah sesuatu yang sudah lama dikenal dikalangan para ‘ulama.

Berkata As-Sam'any dalam Al-Ansab jilid 3 hal.273 : "Salafy dengan difathah (huruf sin-nya) adalah nisbah kepada As-Salaf dan mengikuti madzhab mereka".

Dan berkata As-Suyuthy dalam Lubbul Lubab jilid 2 hal.22 : "Salafy dengan difathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penyandaran diri kepada madzhab As-Salaf".

Dan saya akan menyebutkan beberapa contoh para ‘ulama yang dinisbahkan kepada manhaj (jalan) para ‘ulama salaf untuk menunjukkan bahwa mereka berada diatas jalan yang lurus yang bersih dari noda penyimpangan :

1. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.183 setelah menyebutkan hikayat bahwa Ya'qub bin Sufyan Al-Fasawy rahimahullah menghina ‘Utsman bin 'Affan radhiyallahu ‘anhu : “Kisah ini terputus, Wallahu A’lam. Dan saya tidak mengetahui Ya'qub Al-Fasawy kecuali beliau itu adalah seorang Salafy, dan beliau telah mengarang sebuah kitab kecil tentang As-Sunnah”.

2. Dan dalam biografi ‘Utsman bin Jarzad beliau berkata : “Untuk menjadi seorang Muhaddits (ahli hadits) diperlukan lima perkara, kalau satu perkara tidak terpenuhi maka itu adalah suatu kekurangan. Dia memerlukan : Aqal yang baik, agama yang baik, dhobth (hafalan yang kuat), kecerdikan dalam bidang hadits serta dikenal darinya sifat amanah".

Kemudian Adz-Dzahaby mengomentari perkataan tersebut, beliau berkata : "Amanah merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh (penghafal hadits) adalah : Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy, cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap”. Lihat dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.280.

3. Dan Adz-Dzahaby berkata tentang Imam Ad-Daraquthny : “Beliau adalah orang yang tidak akan pernah ikut serta mempelajari ilmu kalam (ilmu mantik) dan tidak pula ilmu jidal (ilmu debat) dan beliau tidak pernah mendalami ilmu tersebut, bahkan beliau adalah seorang salafy". Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 16 hal.457.

4. Dan dalam Tadzkirah Al-Huffazh jilid 4 hal.1431 dalam biografi Ibnu Ash-Sholah, berkata Imam Adz-Dzahaby : “Dan beliau adalah seorang Salafy yang baik aqidahnya". Dan lihat : Thobaqot Al-Huffazh jilid 2 hal.503 dan Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.142.

5. Dalam biografi Imam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Beliau adalah seorang yang terpercaya, tsabt (kuat hafalannya), pandai, seorang Salafy…". Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.18.

6. Dan dalam Biografi Abul Muzhoffar Ibnu Hubairah, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dia adalah seorang yang mengetahui madzhab dan bahasa arab dan ilmu 'arudh, seorang salafy, atsary". Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal.426.

7. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam biografi Imam Az-Zabidy : “Dia adalah seorang Hanafy, Salafy". Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 20 hal.316.

8. Dan dalam Biografi Musa bin Ibrahim Al-Ba'labakky, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dan demikian pula beliau seorang perendah hati, seorang Salafy”. Lihat : Mu'jamul Muhadditsin hal.283.

9. Dan dalam biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrony, Imam Adz-Dzahaby Berkata : "Dia seorang yang beragama, orang yang sangat baik, seorang Salafy”. Lihat : Mu'jam Asy-Syuyukh jilid 2 hal.280 (dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.18).

10. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam Lisanul Mizan Jilid 5 hal.348 dalam biografi Muhammad bin Qasim bin Sufyan Abu Ishaq : "Dan Ia adalah Seorang yang bermadzhab Salafy”.

Penamaan-Penamaan Lain Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Sebelum terjadi fitnah bid'ah perpecahan dan perselisihan dalam ummat ini, ummat Islam tidak dikenal kecuali dengan nama Islam dan kaum muslimin, kemudian setelah terjadinya perpecahan dan munculnya golongan-golongan sesat yang mana setiap golongan menyerukan dan mempropagandakan bid'ah dan kesesatannya dengan menampilkan bid'ah dan kesesatan mereka di atas nama Islam, maka tentunya hal tersebut akan melahirkan kebingungan ditengah-tengah ummat. Akan tetapi Allah Maha Bijaksana dan Maha Menjaga agama-Nya. Dialah Allah yang berfirman :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya”. (Q.S. Al Hijr ayat 9).

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.

Maka para ‘ulama salaf waktu itu yang merupakan orang-orang yang berada di atas kebenaran dan yang paling memahami aqidah yang benar dan tuntunan syari'at Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang murni yang belum ternodai oleh kotoran bid'ah dan kesesatan, mulailah mereka menampakkan penamaan-penamaan syari’at diambil dari Islam guna membedakan pengikut kebenaran dari golongan-golongan sesat tersebut.

Berkata Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah :

لَمْ يَكُوْنُوْا يَسْأَلُوْنَ عَنِ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوْا سَمّوْا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ

“Tidaklah mereka (para ‘ulama) bertanya tentang isnad (silsilah rawi). Tatkala terjadi fitnah mereka pun berkata : “Sebutkanlah kepada kami rawi-rawi kalian maka dilihatlah kepada Ahlus Sunnah lalu diambil hadits mereka dan dilihat kepada Ahlil bid’ah dan tidak diambil hadits mereka””.

Maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selain dikenal sebagai Salafiyah, mereka juga mempunyai penamaan lain yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.

Berikut ini kami akan mencoba menguraikan penamaan-penamaan tersebut dengan ringkas.

1. AL-FIRQOH AN-NAJIYAH

Al-Firqoh An-Najiyah artinya golongan yang selamat. Penamaan ini diambil dari apa yang dipahami dari hadits perpecahan ummat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan :

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَ فِيْ رِوَايَةٍ : مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيِوْمَ وَأَصْحَابِيْ.

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah dalam satu riwayat : “Apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya sekarang ini”. Hadits shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain rahimahumullah.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As-sunnah jilid 3 hal.345 : “Maka apabila sifat Al-Firqoh An-Najiyah mengikuti para shahabat di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu adalah syi'ar (ciri, simbol) Ahlus Sunnah maka Al-Firqoh An-Najiyah mereka adalah Ahlus Sunnah”.

Dan beliau juga menyatakan dalam Majmu' Al Fatawa jilid 3 hal.345 : “Karena itu beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyifati Al-Firqoh An-Najiyah bahwa ia adalah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan mereka adalah jumhur yang paling banyak dan As-Sawad Al-A’zhom (kelompok yang paling besar)”.

Berkata Syaikh Hafizh Al-Hakamy : “Telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang selalu benar dan dibenarkan- bahwa Al-Firqoh An-Najiyah mereka adalah siapa yang di atas seperti apa yang beliau dan para shahabatnya berada di atasnya, dan sifat ini hanyalah cocok bagi orang-orang yang membawa dan menjaga sifat itu, tunduk kepadanya lagi berpegang teguh dengannya. mereka yang saya maksud ini adalah para imam hadits dan para tokoh (pengikut) Sunnah”. Lihat Ma'arijul Qobul jilid 1 hal.19.

Maka nampaklah dari keterangan di atas asal penamaan Al-Firqoh An-Najiyah dari hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam.

Diringkas dari : Mauqif Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Min Ahli Ahwa`i Wal Bid’ah jillid 1 hal.54-59.

Dan Berkata Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wad'iy rahimahullah setelah meyebutkan dua hadits tentang perpecahan ummat : “Dua hadits ini dan hadits-hadits yang semakna dengannya menunjukkan bahwa tidak ada yang selamat kecuali satu golongan dari tujuh puluh tiga golongan, dan adapun golongan-golongan yang lain di Neraka, (sehingga) mengharuskan setiap muslim mencari Al-Firqoh An-Najiyah sehingga teratur menjalaninya dan mengambil agamanya darinya”. Lihat Riyadhul Jannah Fir Roddi 'Ala A’da`is Sunnah hal.22.

2. ATH-THOIFAH AL MANSHUROH

Ath-Thoifah Al-Manshuroh artinya kelompok yang mendapatkan pertolongan. Penamaan ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”. Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Tsauban dan semakna dengannya diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari hadits Mughiroh bin Syu’bah dan Mu’awiyah dan diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah. Dan hadits ini merupakan hadits mutawatir sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho` Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/69, Imam As-Suyuthy dalam Al-Azhar Al-Mutanatsirah hal.216 dan dalam Tadrib Ar-Rawi, Al Kattany dalam Nazhom Al-Mutanatsirah hal.93 dan Az-Zabidy dalam Laqthul `Ala`i hal.68-71. Lihat : Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf.

Berkata Imam Bukhary tentang Ath-Thoifah Al-Manshuroh : “Mereka adalah para 'ulama”.

Berkata Imam Ahmad : “Kalau mereka bukan Ahli Hadits saya tidak tahu siapa mereka”.

Al-Qodhi Iyadh mengomentari perkataan Imam Ahmad dengan berkata : “Yang diinginkan oleh (Imam Ahmad) adalah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan siapa yang meyakini madzhab Ahlul Hadits”. Lihat : Mauqif Ahlus Sunnah Wal Jama'ah 1/59-62.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Muqoddimah Al ‘Aqidah Al Washitiyah : “Amma ba’du ; Ini adalah i’tiqod (keyakinan) Al Firqoh An-Najiyah, (Ath-Thoifah) Al-Manshuroh sampai bangkitnya hari kiamat, (mereka) Ahlus Sunnah”.

Dan di akhir Al ‘Aqidah Al Washitiyah ketika memberikan definisi tentang Ahlus Sunnah, beliau berkata : “Dan mereka adalah Ath-Thoifah Al-Manshuroh yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka : “Terus menerus sekelompok dari ummatku diatas kebenaran manshuroh (tertolong) tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi dan mencerca mereka sampai hari kiamat” mudah-mudahan Allah menjadikan kita bagian dari mereka dan tidak memalingkan hati-hati kita setelah mendapatkan petunjuk”.

Lihat : Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal. 97-110.

3. AHLUL HADITS

Ahlul Hadits dikenal juga dengan Ashhabul hadits atau Ashhabul Atsar. Ahlul hadits artinya orang yang mengikuti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan istilah Ahlul hadits ini juga merupakan salah satu nama dan kriteria Salafiyah atau Ahlus Sunnah Wal Jama'ah atau Ath-Thoifah Al-Manshurah.

Berkata Ibnul Jauzi : “Tidak ada keraguan bahwa Ahlun Naql Wal Atsar (Ahlul Hadits) yang mengikuti jejak-jejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam mereka di atas jalan yang belum terjadi bid'ah".

Berkata Al-Khathib Al-Baghdady dalam Ar-Rihlah Fii Tholabil Hadits hal.223 : “Dan sungguh (Allah) Rabbul ‘alamin telah menjadikan Ath-Thoifah Al-Manshurah sebagai penjaga agama dan telah dipalingkan dari mereka makar orang-orang yang keras kepala karena mereka berpegang teguh dengan syari’at (Islam) yang kokoh dan mereka mengikuti jejak para shahabat dan tabi’in”.

Dan telah sepakat perkataan para ‘ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahwa yang dimaksud dengan Ath-Thoifah Al-Manshurah adalah para ‘ulama Salaf Ahlul Hadits. Hal ini ditafsirkan oleh banyak Imam seperti ‘Abdullah bin Mubarak, ‘Ali bin Madiny, Ahmad bin Hambal, Bukhary, Al-Hakim dan lain-lainnya,. Perkataan-perkataan para ‘ulama tersebut diuraikan dengan panjang lebar oleh Syaikh Robi’ bin Hady Al-Madkhaly dan juga Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah hadits no.270.

Lihat : Haqiqitul Bid'ah 1/269-272, Mauqif Ibnu Taymiyah 1/32-34, Ahlul Hadits Wa Ath- Thoifah Al-Manshurah An-Najiyah, Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf dan Al-Intishor Li Ashhabil Hadits karya Muhammad ‘Umar Ba Zamul.

4. Al-Ghuraba`

Al-Ghuraba` artinya orang-orang yang asing. Asal penyifatan ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah riwayat Muslim No.145 :

بَدَأَ الْإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. Dan hadits ini adalah hadits yang mutawatir.

Berkata Imam Al-Ajurry dalam Sifatil Ghuraba` Minal Mu’minin hal.25 : “Dan perkataan (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan akan kembali asing” maknanya Wallahu A’lam sesungguhnya hawa nafsu yang menyesatkan akan menjadi banyak sehingga banyak dari manusia tersesat karenanya dan akan tetap ada Ahlul Haq yang berjalan diatas syari’at islam dalam keadaan asing di mata manusia, tidakkah kalian mendengar perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Akan terpecah ummatku menjadi 73 golongan semuanya masuk neraka kecuali satu, maka dikatakan siapa mereka yang tertolong itu? maka kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apa-apa yang saya dan para shahabatku berada di atasnya pada hari ini””.

Berkata Imam Ibnu Rajab dalam Kasyful Kurbah fi washfi hali Ahlil Ghurbah hal 22-27 : “Adapun fitnah syubhat (kerancuan-kerancuan) dan pengikut hawa nafsu yang menyesatkan sehingga hal tersebut menyebabkan terpecahnya Ahlul Qiblah (kaum muslimin) dan menjadilah mereka berkelompok-kelompok, sebagian dari mereka mengkafirkan yang lainnya dan mereka menjadi saling bermusuhan, bergolong-golongan dan berpartai-partai setelah mereka dulunya sebagai saudara dan hati-hati mereka diatas hati satu orang (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) sehingga tidak akan selamat dari kelompok-kelompok tersebut kecuali satu golongan yang selamat. Mereka inilah yang disebut dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Terus menerus ada diantara ummatku satu kelompok yang menampakkan kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang-orang yang menghinakan dan membenci mereka sampai datang ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala (hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan tersebut”. Mereka inilah al-Ghuraba` di akhir zaman yang tersebut dalam hadits-hadits ini…”.



Demikianlah penamaan-penamaan syari’at bagi pengikut Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman para 'ulama salaf, yang apabila dipahami dengan baik akan menambah keyakinan akan wajibnya mengikuti jalan para 'ulama salaf dan kebenaran jalan mereka serta keberuntungan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.

Cukuplah sebagai satu keistimewaan yang para salafiyun berbangga dengannya bahwa penamaan-penamaan ini semuanya dari Islam dan menggambarkan Islam hakiki yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tentunya hal ini sangat membedakan salafiyun dari ahlu bid'ah yang bernama atau dinamakan dengan penamaan-penamaan yang hanya sekedar menampakkan bid'ah, pimpinan atau kelompok mereka seperti Tablighy nisbah kepada Jama'ah Tabligh yang didirikan oleh Muhammad Ilyas, Ikhwany nisbah kepada gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipelopori oleh Hasan Al-Banna, Surury nisbah kepada kelompok atau pemikiran Muhammad Surur Zainal ‘Abidin, Jahmy nisbah kepada Jahm bin Sofwan pembawa bendera bid'ah keyakinan bahwa Al-Qur`an adalah makhluk. Mu'tazily nisbah kepada kelompok pimpinan 'Atho` bin Washil yang menyendiri dari halaqah Hasan Al-Bashry. Asy'ary nisbah kepada pemikiran Abu Hasan Al-Asy'ary yang kemudian beliau bertobat dari pemikiran sesatnya. Syi'iy nisbah kepada kelompok Syi'ah yang mengaku mencintai keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih ada ratusan penamaan lain, sangat meletihkan untuk menyebutkan dan menguraikan seluruh penamaan tersebut, maka nampaklah dengan jelas bahwa penamaan Salafiyun-Ahlus Sunnah Wal Jama'ah-Ath-Thoifah Al-Manshurah-Al-Firqoh An-Najiyah-Ahlul Hadits adalah sangat berbeda dengan penamaan-penamaan yang dipakai oleh golongan-golongan yang menyimpang dari beberapa sisi :

Satu : Penamaan-penamaan syari'at ini adalah nisbah kepada generasi awal ummat Islam yang berada di atas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka penamaan ini akan mencakup seluruh ummat pada setiap zaman yang berjalan sesuai dengan jalan generasi awal tersebut baik dalam mengambil ilmu atau dalam pemahaman atau dalam berdakwah dan lain-lainnya.

Dua : Kandungan dari penamaan-penamaan syari'at ini hanyalah menunjukkan tuntunan Islam yang murni yaitu Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikit pun.

Tiga : Penamaan-penamaan ini mempunyai asal dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Empat : Penamaan-penamaan ini hanyalah muncul untuk membedakan antara pengikut kebenaran dari jalan para pengekor hawa nafsu dan golongan-golongan sesat, dan sebagai bantahan terhadap bid'ah dan kesesatan mereka.

Lima : Ikatan wala' (loyalitas) dan baro' (kebencian, permusuhan) bagi orang-orang yang bernama dengan penamaan ini, hanyalah ikatan wala' dan baro' di atas Islam (Al-Qur`an dan Sunnah) bukan ikatan wala' dan baro' karena seorang tokoh, pemimpin, kelompok, organisasi dan lain-lainnya.

Enam : Tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang memakai penamaan-penamaan ini kecuali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbeda dengan orang-orang yang menisbahkan dirinya ke penamaan-penamaan bid'ah fanatismenya untuk golongan, kelompok / pemimpin.

Tujuh : Penamaan-penamaan ini sama sekali tidak akan menjerumuskan ke dalam suatu bid'ah, maksiat maupun fanatisme kepada seseorang atau kelompok dan lain-lainnya.

Lihat : Hukmul Intima` hal 31-37 dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama'ah 1/46-47.

Wallahu Ta’ala A’lam.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain, judul asli Hakikat Dakwah Salafiyah. URL Sumber http://www.an-nashihah.com/isi_berita.php?id=39)

DAKWAH VIA FILM.


Dakwah memakai media Industri perfilman ?


Penulis: Syaikh Abdussalam bin Barjas bin Nashir
.: :.
Harus dimaklumi bahwa agama ini memiliki dua pijakan dasar. Tidak ada agama kecuali apa yang telah disyariatkan Allah. Tidak ada keharaman kecuali apa yang telah diharamkan Allah. Allah mencela kaum musyrikin oleh sebab mereka mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah dan mensyariatkan agama tanpa ijin dari Allah.

Inilah apa yang telah ditetapkan oleh Syaikhul Islam rahimahullah dan hal tersebut sangatlah jelas dan terang, tentang hakikat pertanyaan yang ditujukan kepada beliau, apakah diperkenankan untuk syaikh tersebut, yang menghendaki kebaikan para pelaku kemaksiatan tersebut, menggunakan cara apa saja dalam rangka untuk memperbaiki mereka? Adakah cara yang dipakai itu akan mengantarkan kepada keharaman datau sekedar dimakruhkan atau memang dibolehkan (mubah) untuk menggunakan cara apa saja guna mencapai apa yang diinginkan?

Beliau rahimahullah telah menegakkan hujjah-hujjah yang tegas atas keharaman menggunakan sarana / cara apa saja yang tidak disyariatkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan penggunaanya, sehingga kalaulah dibolehkan niscaya ada dalam prinsip dasar (ushul) agama.

Itu dalam rangka berpegang kepada kaidah yang inti di dalam pemahaman Ahlu Sunnah wal Jamaah, yaitu kita tidak melakukan ibadah kecuali kepada Allah. Hendaknya kita tidak mengibadahi-Nya kecuali dengan sesuatu yang telah disyariatkan Allah melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yangtelah ditetapkan Syaikhul Islam dan banyak ulama al-muhaqqiq menetapkannya.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengatakan :
“Telah dimaklumi bahwa aktifitas ini telah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah walnya dan kemudian Madinah. Tidak akan bisa menjadi baik akhir dari umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah menjadikan baik orang-orang awalnya. Sebagaimana telah berkata ahlu ilmu dan iman, diantara mereka adlah al-Imam Malik bin Anas telah melontarkan ucapan ini dan ucapannya diambil oleh para ahlu ilmu pada jamannya dan setelahnya. Mereka menyetujui atas ucapan tersebut, bahwa akhir dari umat ini tidak akan bisa menjadi baik kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik awalnya. Maknanya bahwa yang telah menjadikan baik kondisi generasi pertama (salafush shalih) tiada lain dengan mengikuti Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang akan memperbaiki keadaan akhir umat ini sampai hari kiamat.

Barangsiapa menghendaki kebaikan masyarakat Islam, atau masyarakat lainnya di bumi ini, dengan menggunakan selain cara yang telah melahirkan orang-orang terdahulu (salaf) menjadi baik, sungguh telah salah dan ia telah berkata dengan tanpa kebenaran.
Tidak ada jalan lain, sesungguhnya jalan untuk memperbaiki manusia dan menegakkannya diatas jalan kebenaran, ialah melalui jalan yang telah dilalui oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya yang mulia serta orang-orang yang mengikutinya dengan baik sampai hari ini.”

Masalah ini telah ditetapkan dengan sangat indah oleh Syaikh Hamud bin Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah didalam kitabnya Tahdziru an-Nabil Mimma li fiqhi al-Mubihunli at-Tamtsil. Meskipun dalam buku itu topik yang diangkat hanya satu wasilah, yaitu drama atau sandiwara sebagai perkara baru yang diada-adakan, namun bantahan beliau bisa menjadi dasar yang kokoh untuk membantah semua wasilah dakwah bid’ah lainnya.

Telah berkata rahimahullah saat membantah penulis artikel “Hukum Drama dalam Dakwah kepada Allah” : Pasal, diantara kekeliruan penulis artikel adalah adanya anggapan (sebagaimana tercantum di hlm.13), bahwa drama / sandiwara itu termasuk salah satu sarana dakwah dan pembelajaran yang disyariatkan. Jawaban terhadap kekeliruan yang besar ini dilihat beberapa sisi :


Pertama
Bahwa sesuatu itu disyariatkan bila telah disyariatkan Allah dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedang dalam Al-Quran dan sunnah tidak dijumpai satu nash pun yang menunjukkan pensyariatan drama/ sandiwara. Kalau memang tidak dijumpai nash yang mensyariatkan perkara tersebut, dari Al-Quran dan As-Sunnah, maka anggapan drama itu disyaratkan adalah batil dan tertolak.

Kedua
Pernyataan bahwa film drama/sandiwara itu disyariatkan adalah sangat berbahaya. Karena mengandung kedustaan dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian itu sebesar-besar kezhaliman dan keharaman.

Ketiga
Pernyataan bahwa drama/sandiwara itu disyariatkan, mengandung perbuatan memasukkan suatu perkara di dalam agama. Padahal Allah telah menyempurnakan dan meridhai agama bagi para hamba-Nya. Tindakan ini termasuk melakukan penambahan dalam agama dengan sesuatu yang tidak diijinkan Allah. Untuk ini telah diancam keras dan dinash-kan bahwa perbuatan ini termasuk tindakan zhalim. Allah Ta’ala berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak di ijinkan Allah ? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan……..” (Asy-Syura :21)

Keempat
Adanya pernyataan drama / sandiwara itu disyariatkan, berarti melakukan tindakan penikaman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada para sahabatnya. Mereka dituduh telah menelantarkan salah satu perkara yang telah disyariatkan dalam mendakwahi dan mengajari manusia. Mereka lalai tidak mengajari dan membimbing manusia dengan wasilah itu.

Betapa besar dan dahsyat bahaya melakukan tikaman terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Asya-Syathibi telah menyebutkan dalam kitab Al-I’thisam seperti yang telah diriwayatkan Ibnu Hubaib dari Ibnu Al-Majisyun, ia mengatakan “Aku telah mendengar Malik berkata :
“Barangsiapa melakukan sebuah bid’ah dalam Islam lalu dipandangnya perbuatan tersebut sebagai suatu kebaikan, sungguh dengan perbuatannya itu dia telah menganggap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghinati risalah lantaran Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(Al-Maidah :3)
Yang pada hari itu bukan termasuk agama, maka pada hari ini pun tidak dianggap sebagai agama.”

Asy-Syathibi juga menyebutkan di tempat lain dalam kitab Al-I’thisam, lafazhnya “Malik berkata,”barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam umat dengan sesuatu yang tidak dijumpai pada salaful umah ini, sungguh ia telah menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghianati risalah.” Beliau menyebutkan lainnya seperti yang di muka.

Apabila ucapan Imam Malik ini ditujukan kepada orang yang telah berbuat bid’ah di dalam Islam yang dianggapnya sebagai kebaikan, maka bagaimana dengan orang yang memandang kepada bid’ahnya drama yang telah diada-adakan oleh orang-orang akhir umat ini. Bahkan dinyatakan hal itu termasuk salah satu dari sarana dakwah dan pembelajaran yang disyariatkan. Maka ini adalah tindakan serampangan (berbicara tanpa aturan) tanpa tatsabbut dan tanpa berpikir sebelumnya. Masalah ini lebih besar dari yang telah disikapi oleh Imam Malik rahimahullah. Hati-hati dan waspadalah, hai penulis artikel atas apa yang ditetapkan sebagai perkara yang sngat berbahaya sekali. Yaitu, tindakan yang mengarah kepada penikaman terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perhatikan ucapan al-Imam Malik di muka karena sesungguhnya sangat penting sekali. Hendaknya ia bertakwa kepada Allah dan mengetahui bahwa membuat syariat baru dalam agama adalah perkara yang sangat berbahaya sekali dan tidaklah akan merasa aman menjadi bagian dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatka untuk mereka agama yang tidak diijinkan Allah ............. (Asy-Syura :21)

Juga tidaklah akan merasa aman mendapat bagian yang cukup dari firman Allat Ta’ala :
“(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan……..” (An-Nahl :25)

Juga akan mendapatkan bagian dari yang telah datang dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Barangsiapa menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tidak akan mengurangi dari dosa mereka sedikitpun.”
Diriwayatkan al-Imam Ahmad dan Abu Dawud juga dengan sanad yang jayyid, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa berfatwa dengan sebuah fatwa tanpa didasari ilmu maka dosanya bagi orang yang berfatwa.” (Diriwayatkan al-Hakim dengan lainnya, ia mengatakan ,’Shahih’, berdasar syarat Syaikhain dan telah disetujui oleh adz-Dzahabi dalam Talkhish-nya)

Diriwayatkan al-Imam Ahmad juga Ibnu Majah dan ad-Darimi dengan sanad yang jayyid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa berfatwa tanpa didasari yang kuat, maka dosanya bagi orang yang berfatwa.”

Seorang mukmin yang mensehati diri sendiri agar hati-hati dari ketergesa-gesaan dalam berfatwa tanpa didasari ilmu. Bahwa akibat tergesa-gesa dalam melontarkan fatwa bakal membahayakan bagi ahli ilmu itu sendiri. Tidak akan dicela seoarng yang berakal untuk mengatakan tentang sesuatu yang tersembunyi baginya (dengan mengatakan), ”Saya tidak mengerti atau saya tidak tahu”. Sungguh sebagian orang-orang salaf telah mengatkan, bahwa berkata, ”Saya tidak tahu” merupakan setengah ilmu.

Kelima
Dinyatakan bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyeru kepada jalan-Nya dengan al-hikmah dan al-mauizah al-hasanah(mengingatkan secara baik). Sebagian ahli tafsir telah mengemukakan,”al-hikmah adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Sedang al-Mauizah al-Hasanah ialah segala sesuatu yang berasal dari Al-Quran, berupa ancaman dan peringatan untuk manusia”.

Inilah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dakwah dan pengajaran. Adapun mengadakan drama yang dilakukan oleh sebagian manusia pada jaman kita dan dianggap sebagai salah satu sarana dakwah dan pembelajaran yang disyariatkan, bukanlah termasuk yang diperintahkan Allah di dalam Kitab-Nya dan bukan dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semacam itu bukan pula berasal dari amalan para Sahabat dan Tabi’in serta orang-orang yang mengikutinya dengan baik. Barangsiapa telah menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan para sahabatnya di dalam dakwah dan pembelajaran sesungguhnya dikhawatirkan dia termasuk ke dalam keumuman firman Allah :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (an-Nisa : 115)

Hendaknya seorang mukmin yang menasehati dirinya waspada dan hati-hati agar tidak termasuk menjadi orang yang dinyatakan dalam ayat tadi. Yaitu orang yang dia mengira bahwasannya dia termasuk orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk.

Telah ditetapkan, bahwa sarana-sarana dakwah itu Tauqifiyyah. Asy-Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid hafizahullah mengatakan, bahwa dakwah itu terangkai dari sarana dan tujuan. Hakikat dakwah adalah tujuan yang bersifat tauqifiyyah dan tidak ada peluang untuk berijtihad di dalamnya.

Hakekat dakwah itu merupakan perkara yang tetap dan tidak akan berubah.
Hakekat dakwah itu merupakan perkara yang tetap dan tidak akan bergeser.
Hakekat dakwah itu merupakan perkara yang tetap dan tidak akan berubah dengan perubahan jaman, tempat dan kondisi.
Dasar di dalam sarana dakwah juga berdiri diatas manhaj (metode) kenabian.

Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda :
“Barangsiapa telah mengadakan perkara baru di dalam urusan kami, sesuatu yang bukan darinya maka perkara tersebut tertolak”
Dalam lafazh lain :
“Barangsiapa beramal dengan sebuah amal yang bukan dari urusan kami maka amalan tersebut tertolak”.

Yang demikian adalah contoh-contoh yang telah digariskan oleh para ulama tentang ketauqifiyyah-an sarana-sarana dakwah. Menerangkan sebab berakarnya sesuatu yang telah mengendap di dalam hati, berupa kekotoran bid’ah-bid’ah dalam dakwah. Juga menetapkan seseorang yang berdiri secara adil di atas keselamatan pendalilan dengan dasar-dasar yang disyariatkan atas larangan menggunakan cara apapun yang dimasukkan ke dalam medan dakwah salafiyyah. Betapapun besar manfaat dan dapat dirasakan sumbangannya. Allah Dzat yang memberi taufik serta petunjuk ke jalan yang lurus

(Dinukil dari buku “Menyingkap Syubhat Dakwah”, judul asli Al Hujjaju al Qowiyyah 'ala anna wasa'il ad Dakwah Tauqifiyyah, penerbit Daar as Salaf, Riyad, KSA. Penulis Syaikh Abdussalam bin Barjas bin Nashir Al-Abdulkarim rahimahullahP
QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!