Radio Rodja 756AM

Selasa, 01 Maret 2011

Muqaddimah


Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

Beberapa waktu lalu, marak pemberitaan di media massa tentang Jemaat Ahmadiyah. Berbagai polemik muncul. Banyak media memberikan pembelaan terhadap Jemaat Ahmadiyah yang berpusat di negeri kafir di London ini, meski ia lahir di India. Perlu di ketahui sayangnya Berbagai kalangan yang menisbatkan diri dari kalangan yang numpang nempel nama, yang nampang seolah-olah ia ahli ilmu yang hakikatnya mereka bodoh, mereka yang mau disebut sebagai cendekiawan muslim, ikut menyuarakan argumen pembelaan. Mereka membela JARINGAN IBLIS Yakni Jaringan Islam Liberal (JIL), yang di motori oleh Mantan Mahasiswa LIPIA yang dipecat secara Hina al Mubtadi' Ulil Abshar Abdalla -konon kehabisan dana ia ikut gabung ke suatu Partai Politik-, lalu mereka begandeng tangan dengan sejumlah aktivis HAM dan sejumlah tokoh gereja, pendeta-pendeta yang kafir -semoga Alloh memberikan Hidayah Kepada mereka semua-, bahkan mereka bermaksud mengajukan gugatan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas fatwa MUI yang menyatakan Jemaat Ahmadiyah Qadiyan sesat dan agar segera dibekukan.

Dan fatwa ini ternyata bukan yang pertama bergulir. Sebelumnya sudah ada fatwa dengan substansi yang sama. Pembelaan yang muncul, semua mengatas namakan HAM dan kebebasan beragama. Santernya sikap pro ini, sempat memojokkan MUI, yang katanya bukan sebagai otoritas yang berhak menghakimi kebenaran beragama. Sementara itu, nyaris tidak satupun media massa yang melakukan balance dalam pemberitaan tersebut. Sungguh ironi. Tulisan berikut, bukan bermaksud mengupas mengenai Jemaat Ahmadiyah yang tengah diperbincangkan tersebut. Banyak yang sudah membahas. Berikut kami sajikan sisi lain. Yaitu mengenal sosok pencetusorang munafiq Jemaat Ahmadiyah ini. Tidak lain, dia adalah Mirza Ghulam Ahmad al Kadzab.

Siapakah dia sebenarnya?
Apakah anda mengenalnya?
Bagaimana Ajaran Kafir dia?
Berhubungankah merekah dengan Inggris? Karna telah membuat tv diinggris bernama AL ISLAM!!
Begitu mudhkah ia mendirikan televisi islam di negeri Kafir?
====???semua nya menjadi tanda tanya besar???============

Tulisan ini kami dalm Edisi Qaulan Sadida Bulan Ini menukil dari Al-Qadiayaniah Dirasat Wa Tahlil, karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Idaratu Turjumani As-Sunnah, Lahore, Pakistan, tanpa tahun.


Meski hanya satu refensi yang kami jadikan pegangan, namun buku yang dikarang oleh Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir ini merupakan buku yang istimewa. Beliau, yang berkebangsaan Pakistan, sangat menguasai dan memahami permasalahan tentang Ahmadiyah sebagaimana tertulis dengan bahasa aslinya, yaitu bahasa Urdu. Rujukan beliau banyak bertumpu pada karya-karya asli Jemaat Ahmadiyah, baik
yang dikarang Mirza Ghulam Ahmad atau para penerusnya.

Dan kami juga akan mengungkap pemikiran yang terjadi dan didakwahkan ABU SALAFY -tiada yang pantas ku ucapkan kepadanya kecuali gelar pengecut pada diriny dan jangnlah katakan dia ABU SALAFY tapi katakanlah Ibu SALAFY, fisiknya lelaki naluri nya wanita- karna itu kita bongkar kesesatanya dalam edisi ini dan alhamdulillah Alloh memudahkan kami.

Ibukota Indonesia, Waktu siang di Ma'had. 28 Januari 2011
Saudara Kalian se Islam

Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan AL Bykazi

Ahmadiyyah menghina NABI


Abu Usaamah Sufyan Al Bykazi


Banyak orang yang celaka muncul di muka bumi karena mencela para rasul, tetapi tidak banyak
yang sekaliber Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya, dalam mencela para rasul,
“mencuri” kenabian. Allah berfirman.
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap
Allah...” (Qs. Al-An’am: 93)
Dia mengklaim sebagai nabi dan rasul-Nya, seperti yang dilakukan oleh Musailamah dan Al-
Aswad An-Ansi. Langkah berikutnya, ia mengaku sebagai orang yang paling utama dari dari
seluruh nabi dan rasul. Sebagaimana ia menyatakan dirinya telah dianugerahi segala yang telah
diberikan kepada seluruh para nabi (Durr Tsamin, hal. 287-288, karya Ghulam Ahmad). Dalam
pernyataan yang lain, ia mengatakan, sesungguhnya Nabi (Muhammad) mempunyai tiga ribu
mukjizat saja. “Sedangkan aku memiliki mukzijat lebih dari satu juta jenis”, kata Ghulam
Ahmad (Tadzkirah Asy-Syahadatain, hal. 72, karya Ghulam Ahmad)
Di lain tempat, katanya, Islam muncul bagaikan perjalanan hilal (bulan, dari kecil), dan
kemudian ditaqdirkan mencapai kesempurnaannya di abad ini menjadi badr (bulan pernama),
dengan dalil (menurutnya)... (Khutbah Al-Hamiyah, hal. 184, karya Ghulam Ahmad), sebuah
tafsiran yang kental nuansa tahrifnya (penyelewengan), layaknya perlakuan kaum Yahudi
terhadap Taurat. Sebuah makna yang tidak dikehendaki Allah, tidak pernah disinggung Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam ataupun terbetik di benak salah seorang sahabat, para imam dan
ulama tafsir. Demikian salah satu trik untuk merendahkan kedudukan Nabi Muhammad
Shallallahu „alaihi wa sallam.
Salah seorang juru dakwah mereka, juga tidak ketinggalan ikut membeo merendahkan martabat
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dengan mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad pernah
sekali datang kepada kami. Pada waktu itu, beliau lebih agung dari bi’tsah yang pertama. Siapa
saja yang ingin melihat Muhammad dengan potretnya yang sempurna, hendaknya ia memandang
Ghulam Ahmad di Qadian.” (Koran milik Qadiyaniah, Badr, 25 Oktober 1902M)

Mengungkap Tabir WAhdah Islamiyyah


FATWA KESESATAN JAMA’AH / ORMAS / YAYASAN WAHDAH ISLAMIYAH (Bag. 1)
Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly [1]– hafidzhohullah –
(Imam Jarh wat Ta’dil)

Wahai penanya yang mulia, pertanyaan-pertanyaan berikut ini seputar jama’ah atau yayasan yang mereka namakan Yayasan Wahdah Islamiyah (YWI-pent). Dari selah-selah apa yang antum ajukan tentang jama’ah ini, maka saya melihat bahwasanya mereka adalah Jama’ah Hizbiyah QutHbiyah Sururiyah berlawanan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan manhaj mereka bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah.

Mereka ikut bersama dengan kelompok-kelompok yang sesat dalam perkataan mereka tentang bolehnya berdemonstrasi dan bolehnya ikut pemilu kadang dengan ber-istisyhad (berpatokan, menjadikannya sebagai penguat) pada fatwa sebagian ‘Ulama Ahlussunnah, tetapi kenyataannya, orang yang memperhatikan fatwa-fatwa tersebut dan mengetahui syarat-syarat yang disebutkan oleh para ‘ulama dalam hal bolehnya ikut pemilu, maka dia akan melihat/mendapati bahwasanya mereka tidak konsisten dengan syarat-syarat tersebut, seandainya mereka konsisten dengannya maka mereka tidak akan ikut Pemilu di negeri manapun di antara negeri-negeri yang ada sekarang.

Dan ucapan mereka tentang Tauhid Hakimiyah, mereka mengambilnya dari Sayyid Quthb. Hakimiyah menurut Sayyid Quthb adalah hal yang paling khusus dari Tauhid Uluhiyah (Tauhid Ibadah) dan dengannya (pemahamannnya tentang tauhid hakimiyah ini-pent) ia mengkafirkan seluruh masyarakat muslim tanpa mengecualikan pribadi dan jama’ah pun kecuali orang-orang yang semodel dengannya, tetapi pada saat yang sama dia tidak memberi perhatian dan tidak peduli dari segala bid’ah-bid’ah kekufuran seperti men-Ta’thil (membatalkan, membuang) sifat-sifat Allah, pemahaman hululiyah (pemahaman kufur yang menganggap bahwa Allah menyatu dengan makhlukNya), (pemahaman) wihdatul wujud (menganggap semua yang ada hakikatnya adalah Allah), mencerca shahabat, menikam (baca: merendahkan) sebagian Nabi-nabi, orang ini tidak peduli dengan semua perkara tadi dan (demikian pula) para pengikutnya tidak peduli dengan segala sesuatu dari bentuk kesesatan yang ia (Sayyid Quthb) dan orang-orang yang semisal dengannya jatuh di dalamnya. Bagaimanapun sesatnya seseorang pada ‘aqidahnya dia tidak memandangnya sebagai kesesatan yang menafikan Laa Ilaha Illallah sebagaimana perbuatan (baca:pandangan) Sayyid Quthb dalam kitabnya Ma’alim fit Thoriq yaitu dia menganggap semua masyarakat Islam sesat dan dia tidak melihat kesesatannya itu dalam ‘aqidahnya ataupun selain ‘aqidah dan dia menganggap bahwa kesesatan itu hanyalah dalam masalah hakimiyah saja. Ini semuanya adalah kebodohan dan kesesatan dan pokok yang paling mendasar dari pemahaman Murji’ah ekstrim. Bahkan manhaj ini yang tidak menganggap bahwa bid’ah Rofidhoh (syiah ekstrim), Khawarij (kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar), Shufiyah Quburiyah yang di dalamnya ada istighoshah (meminta tolong) kepada selain Allah, hululiyah dan wihdatul wujud, dia tidak melihat perkara-perkara ini menafikan Laa Ilaha Illallah. Sesungguhnya ini adalah kesesatan yang paling sesat dan dia menetapkan hal ini dalam kitabnya “Ma’alim fit Thoriq” dia tidak menganggap ada dalam masyarakat kaum muslimin perkara-perkara yang mengkafirkan kecuali kalau menyelisihi Hakimiyah saja. Ini adalah kesesatan yang tiada bandingannya melampaui segala kelompok yang sesat, Wal’iyadzu billah.

Dan saya mengetahui banyak dari doktor-doktor dari pengikut manhaj Quthuby yang mentazkiyah Sayyid Quthb bahwasanya tidak ada seorangpun yang menandinginya dalam menjelaskan makna Laa Ilaha Illallah dan saya tidak mengetahui seorangpun sepertinya yang paling merusak makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana dalam kitabnya Fi Dzilalil Qur’an dan Ma’alim Fith Thoriq karena dia tidak melihat ada yang menafikan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah kecuali siapa yang berpaling dari Hakimiyah. Adapun penyimpangan-penyimpangan dalam agama semuanya, maka dia tidak melihatnya sebagai kesesatan. Maka apa yang terdapat pada kelompok-kelompok Islam yang sesat dari aqidah-aqidah yang rusak seperti hululiyah, wihdatul wujud, rhofidhoh, penyembah kuburan, kesyirikan-kesyirikan, kesesatan-kesesatan dan seterusnya semuanya ini sama sekali tidak melihatnya sebagai kesesatan karena (Sayyid Quthb) mengatakan bahwa mereka tidak menyembah kepada selain Allah dan tidak memberikan persaksian ibadah kepada selain Allah. Maka seluruh amalan kesyirikan ini tidak ia anggap sebagai kesyirikan dan amalan-amalan mereka yang bertaqarrub kepada wali-wali dan kuburan-kuburan, dia tidak menganggap mereka menyelisihi manhaj Allah dan menyelisihi Laa Ilaha Illallah. Ini adalah puncak kesesatan dan jika mereka (Yayasan Wahdah Islamiyah) masih berkaitan dengan Tauhid orang ini (Sayyid Quthb) yang ia namakan Tauhid Hakimiyah, maka mereka (Yayasan Wahdah Islamiyah -pent) termasuk kelompok-kelompok sesat yang sangat berbahaya dan jika membela manhaj Sayyid Quthb dan berwala’ dengannya maka dia termasuk kelompok yang paling sesat, waliyadzu billah.

Maka tanyakanlah mereka (Yayasan Wahdah Islamiyah -pent) :

    * Bagaimana pendiriannya terhadap Sayyid Quthb dan sesesatan-kesesatannya?
    * Bagaimana pendirian mereka terhadap celaan Sayyid Quthb terhadap Nabi Allah Musa ‘alaihis Salaam ?
    * Bagaimana pendirian mereka terhadap caci makian Sayyid Quthb kepada shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam ?
    * Bagaimana pendirian mereka dari Ta’thil-nya kepada sifat-sifat Allah Azza wa Jalla ?
    * Bagaimana pendirian mereka tentang ucapannya tentang isytirakiyah (Sosialisme) ?
    * Bagaimanakah pendirian mereka dari ucapan Sayyid Quthb bahwasanya Al-Quran itu Makhluk ?
    * Bagaimana pendirian mereka tentang pengkafirannya terhadap ummat dengan kebodohan dan kedzholiman ?
    * Bagaimana pendiriannya dalam mema’afkan/membiarkan orang-orang sesat yang menisbahkan dirinya kepada Islam dari (perbuatan) syirik akbar seperti menyembelih kepada selain Allah, meminta pertolongan kepda selain Allah, tawaf di kuburan-kuburan, bersujud padanya, menyembelih untuknya, bernazar untuknya, men-Ta’thil sifat-sifat Allah dan banyak diantara mereka berfaham hululiyah, wihdautl wujud dan banyak diatara mereka bathiniyah, bagaimana pendirian mereka (YWI) terhadap mereka ?

Mereka tidak memiliki sikap apapun.

Bahkan ia (Sayyid Quthb) menetapkan semua perkara ini dan tidak memandangnya menafikan Laa Ilaha Illallah, dan kitab ini ada maka bacalah ucapannya dalam Bab Manhajul Hayat. Dia mendatangkan bencana-bencana ini yang dia meletakkan baginya suatu judul yang sangat menarik untuk mengelabui Ahlut Tauhid. Akan tetapi siapa yang membaca dari apa yang dia goreskan di bawah judul ini, maka dia akan melihat bahwa orang ini (Sayyid Quthb) termasuk orang yang paling bodoh terhadap Tauhidullah dan termasuk orang yang paling kuat penetapannya terhadap seluruh kebatilan yang ada pada kelompok-kelompok Islam dan dia tidak mengingkarinya dan tidak melihat adanya penyimpangan kecuali dalam Tauhid Hakimiyah saja. Tauhid Hakimiyah tidaklah sebagaimana yang mereka katakan. Hakimiyah bukanlah hal yang paling khusus dari Uluhiyah. Perkara yang paling khusus dari Uluhiyah adalah apa yang Allah wajibkan dari hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya.

“Dan tidaklah Saya menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahku” (QS. Adz Dzaariyaat : 56)

Dan ibadah adalah perkara yang mencakup segala yang dicintai dan diridhoi oleh Allah berupa perkataan dan perbuatan baik yang zhohir maupun yang batin, dan ibadah adalah sholat, zakat, puasa, haji, sedekah, berbuat baik dan kebajikan. Ini ibadah tersebut dan bukan hakimiyah saja dan hakimiyah di sisi kami mempunyai kedudukan dalam Islam. Tetapi hakimiyah itu punya dalil-dalil tersendiri seperti :

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah : 44)

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zholim” (QS. Al-Ma`idah : 45)

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq”. (QS. Al-Ma`idah : 47)

Dan ayat-ayat yang semakna dengannya. Adapun untuk dianggap sebagai hal yang paling khusus dari makna Laa Ilaha Illalllah maka tidak ada seorangpun yang mengatakannya baik dari orang-orang yang terdahulu maupun orang-orang sekarang kecuali Sayyid Quthb dan orang-orang yang taqlid (membebek buta) kepadanya. Ini adalah penafsiran bid’ah dan sesat yang menyebabkan pengikut-pengikutnya terjerumus dalam puncak kesesatan. Hakimiyah termasuk hak-haknya Laa Ilaha Illallah dan dia adalah perkara yang sangat penting dalam Islam tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang kafir. Tetapi kita tidak mengatakan bahwa Hakimiyah adalah hal yang paling khusus dari uluhiyah dan hal yang paling khusus dari makna Laa Ilaha Illallah dan bahwa makna Laa Ilaha Illallah itu adalah tidak ada Hakim selain Allah. Ini adalah sesat yaitu lebih sesat dari penafsirannya orang-orang mutakallimin (ahli Filsafat) yang sesat yang menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan tidak ada pencipta, tidak ada pemberi rezki kecuali Allah. Benar bahwa tidak ada pencipta, tidak ada pemberi rezki kecuali Allah, akan tetapi ini bukanlah makna Laa Ilaha Illallah. Penciptaan, pemberian rezki dan selainnya dari sifat-sifat Allah, telah ada nash-nashnya tersendiri :

“Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan” (QS. Al-Hasyr : 47)

“Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi Rezki Yang Mempunya Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (Adz-Dzariyat : 58)

Ini adalah dalil-dalilnya. Akan tetapi para ulama salaf menafsirkan Laa Ilaha Illallah dengan tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Dan mereka menafsirkan ibadah-ibadah yaitu syari’at-syari’at Islamiyah yang telah kami sebutkan dan yang selainnya. Maka jika dia tidak beriman terhadap tauhid hakimiyah menurut cara Sayyid Quthb maka dia adalah sesat. Dan bila mereka memiliki sejumlah perkara (yang telah disebutkan-pent) dengan bertumpu pada ahli bid’ah dan orang-orang sesat maka adalah indikasi kesesatan dan penyimpangan mereka.

Dan apa yang disebutkan dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut dari ucapan-ucapan mereka tentang demonstrasi, ikut pemilu dan tanzhim-tanzhim rahasia maupun terang-terangan serta al-wala’ wal baro’ (Cinta dan Benci karena Allah) , semua ini menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Al Wala’ wal Baro’ adalah prinsip yang paling mendasar dalam Islam dan prinsip yang paling mendasar dalam manhaj As-Salaf Ash-Sholeh dan tidaklah agama Allah yang haq bisa tegak kecuali dengan menjaga prinsip yang agung ini. Sesungguhnya itu merupakan pagar (pembatas) bagi Islam dan tembok bagi manhaj Salaf. Jika kita membuangnya dan menelantarkannya sebagaimana Ikhwanul Muslimin dan para pengikutnya dari kalangan sururiyyin menelantarkannya, maka Islam dan manhaj Salaf akan benar-benar hilang, akan hilang bahkan dia (Islam dan manhaj Salaf) telah hilang dari mereka dan tidak akan tinggal –insyaAllah- kecuali pada orang yang menjaganya dan mengerti kedudukannya dan mereka itu adalah Safiyyin yang hakiki, pengikut Salaf yang murni. Tidak ada padanya membebek buta, tidak kepada Sayyid Quthb dan tidak pula kepada selainnya dari ahlul bid’ah dan sesat. Maka Salafiyah berlepas diri kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dari Sayydi Quthb dan tidak pula kepada selainnya dari ahlul bid’ah dan sesat. Dan mereka berwala’ kepada para Nabi dan Rasul yang mulia dan semua shahabat dan tidak mengecualikan seorangpun dari mereka berwala’ kepada para imam yang mendapatkan petunjuk pada periode yang terbaik dan periode lainnya hinga hari ini, mereka berwala’ kepada para imam yang mendapatkan petunjuk dan da’i-da’i tauhid dan menyeru kepada keikhlasan kepada Allah Robb alam semesta. Dan mereka tidak berwala’ kepada ahli bid’ah, tidak membela mereka bahkan mentahdzir (memperingatkan manusia dari) mereka dan dari bid’ah serta kesesatannya.

Dan pembicaraan tentang mereka (YWI-pent) akan panjang, akan tetapi disini disebutkan tentang pimpinan dari yayasan ini (Muh. Zaitun Rasmin-pent) yang berkata ketika mensyarah kitab “Al Ushul Al-‘Ilmiyah fid Da’wah As-Salafiyah” karangan ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq, dan ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq ini mengaburkan da’wah Salafiyah dan mengaburkan pengikutnya dan menyesatkan banyak pemuda di dunia. Dan buku ini termasuk bukunya yang baik dan padanya ada beberapa kritikan. Maka kalau dia (Zaitun-pent) menetapkan tauhid Hakimiyah dengan model seperti ini, maka itu termasuk kesesatan-kesesatan ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq dan para ‘ulama telah membantahnya tatkala dia menjadikan tauhid Hakimiyah sebagai bagian keempat (dari pembagian tauhid), karena tauhid Hakimiyah bukan bagian tersendiri dari bagian manapun dari jenis-jenis tauhid. Akan tetapi dia termasuk atau bagian dari hukum Laa Ilaha Illallah sebagaimana kata Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, atau masuk ke dalam tauhid rububiyyah atau tauhid uluhiyah. Ini (menjadikan tauhid hakimiyah sebagai tauhid keempat-pent) adalah perkara yang baru yang mereka buat-buat. Kadang-kadang (tauhid Hakimiyah) masuk pada tauhid rububiyah dari satu sisi dan masuk pada tauhid uluhiyah dari sisi yang lain. Dia hanya mengikut dan bukanlah pokok yang berdiri sendiri dan bukan pula bagian tersendiri dari bagian-bagian tauhid.

Footnote :

[1] Silahkan klik http://almakassari.com/biografi-syaikh-robi-bin-hady-al-madkhaly untuk mengetahui biografi beliau.

Sumber : Fatwa Imam Jarh wat Ta’dil, Syaikh Robi’ bin Hady Al-Madkhaly (hafidzhahullah) tentang Kesesatan Jama’ah/Yayasan Wahdah Islamiyah, Penerbit : Ma’had As-Sunnah Makassar (2002). Fatwa ini direkam di rumah beliau di Makkah Al-Mukarramah -semoga Allah menjaganya- pada hari Jum’at, tanggal 23 Ramadhan 1420 H / 31 Desember 1999 dan diterjemahkan dari kaset berbahasa Arab oleh pengasuh Pondok Pesantren As-Sunnah Makassar.
http://almakassari.com/artikel-islam/manhaj/fatwa-kesesatan-jamaah-yayasan-ormas-wahdah-islamiyah.html

Membongkar Sesatnya ABU SALAFY


Penulis : Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi


Telah menajadi penghalang dakwah yang mulia ini dan ia memusuhi dakwah ini seorang admin blogger, bernama ABU SALAFY AL KADZAB,, Sungguh manusia satu ini telah di tebas Otaknya oleh lisan-lisan Pendekar Sunnah, Para Assatidz Sunnah, diantaranya Ust. Firanda Andirja, Ust Abul Jauza, dan lain lain.. akan tetapi ia tetap mensyi’arkan pemikiran Busuk nya lewat Blog Cetek alias rendahan milik pribadi nya, yang berisikan nafsu-nafsu dan dusta atas perkataan para ulama, dan orang ini amat sangat pengecut seperti Perempuan –jika tidak mau dikatakan Banci- orang ini diminta langsung diskusi dengan assatidz kita, ia alihkan dengan pembicaraan lain dan tidak merasa dirinya salah..

Oleh Karna itu demi mempersempit sepak terjang dakwah sesatnya lagi dusta nya, al faqir ikut sedikit andil untuk mentahdzir Mubtadi’ ini hingga bertaubat, dan tulisan-tulisan Assatidz kami telah mencukupi untuk menebas otak busuk nya, syubhat-syuhatnya telah di patahkan oleh ustadz ustadz kita maka kami tinggal mengubur otak nya (mengubur pemikiranya) sedalam-dalam nya pasca di tebas otaknya oleh para pendekar sunnah.

NAMA NYA ABU SALAFY

Wahai Abu Salafy – semoga Alloh memberi Hidayah taufiq kepadamu- dirimu tak selurus namamu, sungguh namamu menisbatkan pada manhaj salaf, salaf artinya pendahulu, dalam syara’ adalah pendahulu yang sholeh yakni para shahabat, adapun salafy adalah pengikut jalan yang di tempuh oleh para shahabat Nabi, Masya Alloh sungguh indah nan wibawa namamu.. dan aku berharap orang nya pun indah.. akan tetapi kau membenci shahabat mua’wiyyah, tidakah kau mendengar sabda Nabi “ Jangan kau mencaci shahabatku.. jangan kau mencaci shahabatku.. kiranya kalian infaq emas sebesar satu gunung uhud, tidak akan sebanding dengan infaq mereka yang 1 Mud {dua telapak tangan} atau setengahnya”.

Maka aku tak mengetahui apa maksud kau menamakan dirimu dengan nama “ Abu Salafy” apa karna memang kau ikhlas dengan nama tersebut atau kau tak lain seperti Yahudi yang menamakan “ISRAEL” sedangkan nama ISRAEL adalah nama Nabi Ya’kub dan ternyata di balik nama ISRAEL, ada misi rahasia yakni tipu mushlihat yahudi menamakan dirinya dengan nabi ya’kub diatas kebejadan dan kekejian bombardir mereka kepada kaum muslimin sehingga banyaknya kaum muslimin melaknat atas nama ISRAEL (nabi Ya’kub) bukan Atas Nama Yahudi –manusia Babi lagi kera yang Hina- padahal ketahuilah Yahudi tidak sama sekali pantas dipanggil ISRAEL, mereka lebih pantas dipanggil Manusia Babi dan Monyet.
Kembali ke ABU SALAFY, kami tidak memvonis diri anda seperti Yahudi tapi kami mengkhawatirkan apakah tipu mushlihat anda sama dengan Yahudi? Nama Anda Abu Salafy akan tetapi menghina Ulama-ulama Rabbaniyyin dan para pengikut manhaj salaf, apakah yang anda inginkan untuk menyesatkan umat ini ke jalan yang haq?
Lalu orang awam akan berkata “SALAFY Melawan Salafy” Atau orang awam akan berkata “ sesame Salafy bertengkar” ketahuilah wahai kaum muslimin Nama nya Tak serupa oarangnya dan dia tak pantas dinamakan Abu Salafy tapi lebih pantas dengan Abu Bid’ah, Abu kholafi dst, manusia bernama ABU SALAFY ini adalah Ahlu Bid’ah wal Hawa’, bukan bagian dari orang yang mengikuti manhaj salaf.. kiranya ia bertaubat tentu kami menerima nya Allohuyahdik.

Wahai Abu Salafy Sungguh dirimu tekena syubhat syi’ah karena Blog rendahan yang kau miliki menukil perkataan sampah dari para ulama syi’ah.. kami berhuznudzan kepada mu mungkin kau hanya terkena syubhat syi’ah, BUKAN Pengikut Atau Dedengkot Syi’ah.. ya kami huznudzan saja kepada anda..

Maka ku nashihatkan kembalilah kepada manhaj shahabat seperti namamu.. janganlah kau kobarkan api bid’ah.. dan aku yakin dirimu sempit dan gelisah tiada ketenangan karena tulisan mu menghina Para ulama.. akan tetapi kiranya dirimu tenang dengan menghina para ulama maka patut di pertanyakan mana hatimu..
ABU SALAFY DENGARKANLAH... Bahwa “ALLOH itu DI ATAS Dia Bersemayam”

Wahai Abu Salafy sungguh keimanan seseorang yang masih fitroh, yang masih suci ia menganggap tuhannya berada di atas, Dia bersemayam, Allah itu ada di langit diatas Arsy, diatas semua mahlukNya, Akan tetapi ilmuNya ada dimana-mana (meliputi segala sesuatu).Hal ini sebagaimana disebutkan didalam beberapa ayat Al Qur’an,hadits-hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ,ijma’ dari pendahulu umat ini.Sebgaimana contoh adalah firman Allah:

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy [Surat Al A’raf:54]


Didalam Al Qur’an ayat ini tersebut pada 6 tempat.Yang dimaksud dengan BERSEMAYAM menurut Ahli Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas Arsy sesuai dengan keagungan Allah.Tidak ada yang dapat mengetahui BAGAIMANA bersemayamnya itu,seperti dikatakan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya orang tentang hal ini.Beliau menjawab:

“Kata bersemayam itu telah kita pahami.Akan tetapi ,bagaimana caranya tidak kita ketahui.Mengimana hal ini adalah wajib,tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah.”

Yang beliau maksudkan dengan mempersoalkannya adalah bid’ah yakni mempersoalkan CARA Allah bersemayam diatas Arsy.Pengertian ini beliau peroleh dari gurunya ,Syaikh Rabi’ah bin Abdurrahman yang bersumber dari riawayat Ummu Salamah radhiallahu anha .Hal ini merupakan pendapat semua Ahli Sunnah yang bersumber dari shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan para tokoh Islam sesudahnya.
Oleh Karena itu setidaknya kita harus beriman bahwa Alloh diatas.. sungguh kiranya kita beriman sebagaimana Abu Salafy beriman bahwa Alloh berada di setiap tempat, maka berapa ratus tuhan yang kita sembah, berapa ribu bahkan mungkin Jutaan tuhan yang kita sembah,melebihi Tuhan nya Nashrani yang Trinitas, karna ia menyatakan bahwa Alloh dimana-mana, Mafhum nya disini adalah bahwa Alloh di kamar ada.. di ruang tamu ada.. di Toilet ada.. dan seterusnya jutaan Tuhan yang di miliki Abu Salafy… Allohu yahdik..
Kemudian Allah telah menerangkan pada beberapa ayat lainnya bahwa Dia dilangit dan Dia berada diatas, seperti dalam firmanNya:

Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya [Surat Faathir:10]

…Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Al Baqarah:255]

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku [Surat Al Mulk:16-17]

Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang dengan jelas memuat penegasan bahwa Allah itu ada di langit, Dia berada diatas.
Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang menggunakan kata-kata bersamayam. Dengan demikian dapatlah diketahui perkataan ahlu bid’ah sekelas Abu Salafy ia berkata dengan iman nya :”Allah itu berada dimana-mana,” merupakan hal yang sangat batil.

Perkataan ini merupakan perkataan Sampah, sekaligus pernyataan firqoh yang beranggapan bahwa alam ini penjelmaan Allah, suatu aliran bid’ah lagi sesat,bahkan aliran kafir lagi sesat serta mendustakan Allah dan RasulNya Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam .Dikatakan demikian karena dalam riwayat yang sah dari beliau Shalallahu alaihi wa sallam dinyatakan bahwa Allah ada dilangit, sebagaimana sabda beliau Shalallahu alaihi wa sallam :

ط Alaa ta’manuniy wa anaa amiinu man fis samaa’

“Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit.”

[Bukhari no.4351 kitabul Maghazi ;Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]
Sedikit kami nashihatkan kepada kaum muslimin terkhusus kepada diri kami dan Abu Salafy –semoga Alloh memberi Hidayah Taufiq Kepada nya- kepadamu Abu salafy hendaknya engkau beranikan diri untuk diskusi langsung bersama Assatidz kami sungguh perkataan sampah yang kau miliki lalu kau upload di blog sampah milikmu sungguh sebuah kehinaan terhadap dirimu.. entah bantahan apa lagi yang kau buat setelah tulisan ringkas milik kami telah di pampang di internet ini.. entah kedustaan apa lagi yang kau mau rencanakan setelah al Faqir menjelaskan sedikit bayan agar engkau bertaubat, Hanya Kepada Alloh tempat kita mengadu dan kami berharap pengampunan Kepada Alloh yang Dia Bersemayam di ArsyNya yang Agung.

Wabilahittaufiq
Jakarta, 27 Januari 2011
Al Faqir Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

IMAM SYAFI'I TOLAK BID'AH HASANAH


Ust abu Abdul Muhsin as Soronji

Dari Harmalah bin Yahya berkata, "Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i berkata, "Bid'ah itu ada dua, bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela, maka bid'ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid'ah yang menyelisihi sunnah adalah bid'ah yang tercela", dan Imam Asy-Syafi'i berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" (Hilyatul Auliya' 9/113)

Ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan perkataan Imam As-Syafi'i ini :

Pertama : Sangatlah jelas bahwasanya maksud Imam As-Syafii adalah pengklasifikasian bid'ah ditinjau dari sisi bahasa. Oleh karenanya beliau berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottoob :"Sebaik-baik bid'ah adalah ini (yaitu sholat tarawih berjamaah)". Padahal telah diketahui bersama –sebagaimana telah lalu penjelasannya- bahwasanya sholat tarwih berjamaah pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Kedua : Kita menafsirkan perkataan Imam As-Syafi'i ini dengan perkataannya yang lain sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Tahdziib Al-Asmaa' wa Al-Lughoot (3/23)


"Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk, yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela"(lihat juga manaqib As-Syafi'i 1/469)

Lihatlah Imam As-Syafi'i menyebutkan bahwa bid'ah yang hasanah sama sekali tidak seorang ulama pun yang menyelisihi. Jadi seakan-akan Imam Asy-Syafi'i menghendaki dengan bid'ah hasanah adalah perkara-perkara yang termasuk dalam bab al-maslahah al-mursalah, yaitu perkara-perkara adat yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan tidak terdapat dalil (nas) khusus, karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan kesepakatan para sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara yang baru) atau dinamakan bid'ah jika ditinjau dari sisi bahasa.

Berkata Ibnu Rojab, "Adapun maksud dari Imam Asy-Syafi'i adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwasanya pokok dari bid'ah yang tercela adalah perkara yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam syari'ah yang bisa dijadikan landasan, dan inilah bid'ah yang dimaksudkan dalam definisi syar'i (terminology). Adapun bid'ah yang terpuji adalah perkara-perkara yang sesuai dengan sunnah yaitu yang ada dasarnya dari sunnah yang bisa dijadikan landasan dan ini adalah definisi bid'ah menurut bahasa bukan secara terminology karena ia sesuai dengan sunnah" (Jami'ul 'Ulum wal Hikam 267)

Ketiga : Oleh karena itu tidak kita dapati Imam Asy-Syafii berpendapat dengan suatu bid'ahpun dari bid'ah-bid'ah yang tersebar sekarang ini dengan dalih hal itu adalah bid'ah hasanah. Karena memang maksud beliau dengan bid'ah hasanah bukanlah sebagaimana yang dipahami oleh para pelaku bid'ah zaman sekarang ini.

Diantara amalan-amalan yang dianggap bid'ah hasanah yang tersebar di masyarakat namun diingkari Imam As-Syafii adalah :

- Acara mengirim pahala buat mayat yang disajikan dalam bentuk acara tahlilan.

Bahkan masyhuur dari madzhab Imam Asy-Syafii bahwasanya beliau memandang tidak sampainya pengiriman pahala baca qur'an bagi mayat. Imam An-Nawawi berkata:

"Dan adapun sholat dan puasa maka madzhab As-Syafi'i dan mayoritas ulama adalah tidak sampainya pahalanya kepada si mayat…adapun qiroah (membaca) Al-Qur'aan maka yang masyhuur dari madzhab As-Syafi'I adalah tidak sampai pahalanya kepada si mayat…" (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 1/90)

- Meninggikan kuburan dan dijadikan sebagai mesjid atau tempat ibadah

Imam As-Syafi'I berkata :

وأكره أن يعظم مخلوق حتى يُجعل قبره مسجداً مخافة الفتنة عليه وعلى من بعده من الناس

"Dan aku benci diagungkannya seorang makhluq hingga kuburannya dijadikan mesjid, kawatir fitnah atasnya dan atas orang-orang setelahnya" (Al-Muhadzdzab 1/140, Al-Majmuu' syarhul Muhadzdzab 5/280)

Bahkan Imam As-Syafii dikenal tidak suka jika kuburan dibangun lebih tinggi dari satu jengkal. Beliau berkata :

وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُزَادَ في الْقَبْرِ تُرَابٌ من غَيْرِهِ وَلَيْسَ بِأَنْ يَكُونَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ بَأْسٌ إذَا زِيدَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ ارْتَفَعَ جِدًّا وَإِنَّمَا أُحِبُّ أَنْ يُشَخِّصَ على وَجْهِ الْأَرْضِ شِبْرًا أو نَحْوَهُ وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ... وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك

"Aku suka jika kuburan tidak ditambah dengan pasir dari selain (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah pasir dari selain (galian) kuburan jika ditambah tanah dari yang lain akan sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikan diatas tanah seukuran sejengkal atau yang semisalnya. Dan aku suka jika kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan…

Aku telah melihat di Mekah ada diantara penguasa yang menghancurkan apa yang dibangun diatas kuburan, dan aku tidak melihat para fuqohaa mencela penghancuran tersebut"(Al-Umm 1/277)

- Pengkhususan Ibadah pada waktu-waktu tertentu atau cara-cara tertentu

Berkata Abu Syaamah :

"Imam As-Syafi'i berkata : Aku benci seseroang berpuasa sebulan penuh sebagaimana berpuasa penuh di bulan Ramadhan, demikian juga (Aku benci) ia (mengkhususkan-pent) puasa suatu hari dari hari-hari yang lainnya. Hanyalah aku membencinya agar jangan sampai seseorang yang jahil mengikutinya dan menyangka bahwasanya perbuatan tersebut wajib atau merupakan amalan yang baik" (Al-Baa'its 'alaa inkaar Al-Bida' wa Al-Hawaadits hal 48)

Perhatikanlah, Imam As-Syafii membenci amalan tersebut karena ada nilai pengkhususan suatu hari tertentu untuk dikhususkan puasa. Hal ini senada dengan sabda Nabi

« لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ »

"Janganlah kalian mengkhususkan malam jum'at dari malam-malam yang lain dengan sholat malam, dan janganlah kalian mengkhususkan hari jum'at dari hari-hari yang lain dengan puasa, kecuali pada puasa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian" (yaitu maksudnya kecuali jika bertepatan dengan puasa nadzar, atau ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, atau puasa qodho –lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaaj 8/19)

Perhatikanlah, para pembaca yang budiman, puasa adalah ibadah yang disyari'atkan, hanya saja tatkala dikhususkan pada hari-hari tertentu tanpa dalil maka hal ini dibenci oleh Imam As-Syafi'i.

Maka bagaimana jika Imam As-Syafii melihat ibadah-ibadah yang asalnya tidak disyari'atkan??!

Apalagi ibadah-ibadah yang tidak disyari'atkan tersebut dikhususkan pada waktu-waktu tertentu??

Beliau juga berkata dalam kitabnya Al-Umm

"Dan aku suka jika imam menyelesaikan khutbahnya dengan memuji Allah, bersholawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, menyampaikan mau'izhoh, dan membaca qiroa'ah, dan tidak menambah lebih dari itu".

Imam As-Syafii berkata : "Telah mengabarkan kepada kami Abdul Majiid dari Ibnu Juraij berkata : Aku berkata kepada 'Athoo : Apa sih doa yang diucapkan orang-orang tatkala khutbah hari itu?, apakah telah sampai kepadamu hal ini dari Nabi?, atau dari orang yang setelah Nabi (para sahabat-pent)?. 'Athoo berkata : Tidak, itu hanyalah muhdats (perkara baru), dahulu khutbah itu hanyalah untuk memberi peringatan.

Imam As-Syafii berkata, "Jika sang imam berdoa untuk seseorang tertentu atau kepada seseorang (siapa saja) maka aku membenci hal itu, namun tidak wajib baginya untuk mengulang khutbahnya" (Al-Umm 2/416-417)

Para pembaca yang budiman, cobalah perhatikan ucapan Imam As-Syafi'i diatas, bagaimanakah hukum Imam As-Syafii terhadap orang yang menkhususkan doa kepada orang tertentu tatkala khutbah jum'at?, beliau membencinya, bahkan beliau menyebutkan riwayat dari salaf (yaitu 'Athoo') yang mensifati doa tertentu dalam khutbah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya dengan "Muhdats" (bid'ah). Bahkan yang dzohir dari perkataan Imam As-Syafii diatas dengan "aku benci" yaitu hukumnya haram, buktinya Imam Syafii menegaskan setelah itu bahwasanya perbuatan muhdats tersebut tidak sampai membatalkan khutbahnya sehingga tidak perlu diulang. Wallahu A'lam.

Keempat : Para imam madzhab syafiiyah telah menukil perkataan yang masyhuur dari Imam As-Syafii, yaitu perkataan beliau;

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ

"Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari'at"

(Perkataan Imam As-Syafi'i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi'i, diantaranya Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur'aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)

Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakekatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut syari'at yang baru.


Kesimpulan :

Pertama : Ternyata banyak ulama yang menyebutkan mashlahah mursalah dengan istilah bid'ah hasanah. Karena memang dari sisi bahasa bahwasanya perkara-perkara yang merupakan mashlahah mursalah sama dengan perkara-perkara bid'ah dari sisi keduanya sama-sama tidak terdapat di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh karenanya semua sepakat bahwa ilmu jarah wa ta'dil hukumnya adalah wajib, demikian juga mempelajari ilmu nahwu, namun sebagian mereka menamakannya bid'ah hasanah atau bid'ah yang wajib (sebagaimana Al-Izz bin Abdissalam) dan sebagian yang lain menamakannya maslahah mursalah (sebagaimana Imam As-Syathibi dalam kitabnya Al-I'tishoom). Demikian juga semuanya sepakat bahwa membangun madrasah-madrasah agama hukumnya adalah mandub (dianjurkan) namun sebagian mereka menamakannya bid'ah hasanah (bid'ah mandubah) dan sebagian yang lain menamakannya maslahah mursalah.

Meskipun terjadi khilaf diantara mereka tentang hukum permasalahan tertentu maka hal itu adalah khilaf dalam penerapan saja yang khusus berkaitan dengan permasalahan itu saja yang khilaf itu kembali dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, khilaf mereka bukan pada asal (pokok kaidah) tentang pencelaan terhadap bid'ah dan pengingkarannya.

Namun bagaimanapun lebih baik kita meninggalkan istilah klasifikasi bid'ah menjadi bid'ah dholalah dan bid'ah hasanah karena dua sebab berikut

a. Beradab dengan sabda Nabi, karena bagaimana pantas bagi kita jika kita telah mendengarkan sabda Nabi ((semua bid'ah itu sesat)) lantas kita mengatakan ((tidak semua bid'ah itu sesat, tapi hanya sebagian bid'ah saja))

b. Pengklasifikasian seperti ini terkadang dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk melegalisasikan sebagian bid'ah (padahal para imam yang berpendapat dengan pengkasifikasian bid'ah mereka berlepas diri dari hal ini), yang hal ini mengakibatkan terancunya antara sunnah dan bid'ah

Kedua : Para ulama yang dituduh mendukung bid'ah hasanah (seperti Imam As-Syafii dan Imam Al-Izz bin Abdis Salaam As-Syafi'i) ternyata justru membantah bid'ah-bid'ah yang tersebar di masyarakat yang dinamakan dengan bid'ah hasanah

Ketiga : Imam As-Syafii dan Imam Al-Izz bin Abdis Salaam yang juga bermadzhab syafiiyah yang dituduh mendukung bid'ah hasanah ternyata tidak mendukung bid'ah-bid'ah hasanah yang sering dilakukan oleh orang-orang yang mengaku bermadzhab syafi'i. Oleh karenanya saya meminta kepada orang-orang yang melakukan bid'ah -dan berdalil dengan perkataan Imam As-Syafii atau perkataan Al-Izz bin Abdisalaam- agar mereka memberikan satu contoh atau dua contoh saja bid'ah hasanah yang dipraktekan oleh kedua imam ini !!???

Sebagai tambahan penjelasan, berikut ini penulis menyampaikan perbedaan antara bid'ah hasanah dengan maslahah mursalah :

Maslahah mursalah harus memenuhi beberapa kriteria yaitu

1 Maslahah mursalah sesuai dengan maqosid syari'ah yaitu tidak bertentangan dengan salah satu usul dari usul-usul syari'ah maupun dalil dari dalil-dalil syar'i, berbeda dengan bid'ah

2 Maslahah mursalah hanyalah berkaitan dengan perkara-perkara yang bisa dipikirkan kemaslahatannya dengan akal (karena sesuatu yang bisa diketahui memiliki maslahah yang rajihah atau tidak adalah seauatu yang bisa dipikirkan dan dipandang dengan akal), artinya jika maslahah mursalah dipaparkan kepada akal-akal manusia maka akan diterima

Oleh karena itu maslahah mursalah tidaklah berkaitan dengan perkara-perkara peribadatan karena perkara-perkara peribadatan merupakan perkara yang tidak dicerna oleh akal dengan secara pasti (jelas) dan secara terperinci (hanyalah mungkin diketahui hikmah-hikmahnya), seperti wudhu, tayammum, sholat, haji, puasa, dan ibadaah-ibadah yang lainnya.

Contohnya thoharoh (tata cara bersuci) dengan berbagai macamnya yang dimana setiap macamnya berkaitan khusus dengan peribadatan yang mungkin tidak sesuai dengan pemikiran. contohnya keluarnya air kencing dan kotoran yang merupakan najis maka penyuciannya tidak hanya cukup dengan membersihkan tempat keluar kedua benda tersebut namun harus juga dengan berwudhu (meskipun anggota tubuh untuk berwudhu dalam keadaan bersih dan suci), kenapa demikian ??, sebaliknya jika anggota tubuh untuk berwudhu kotor namun tanpa disertai hadats maka tidak wajib untuk berwudhu, kenapa demikian?? kita tidak bisa mencernanya secara terperinci. Demikian juga halnya dengan tayammum, tanah yang sifatnya mengotori bisa menggantikan posisi air (yang sifatnya membersihkan) tatkala tidak ada air, kenapa demikan??, tidak bisa kita cerna dengan jelas, pasti dan terperinci. Demikan juga ibadah-ibadah yang lainnya seperti sholat dan haji terlalu banyak perkara-perkara yang tidak bisa kita cernai. Contohnya tentang tata cara sholat, jumlah rakaat, waktu-waktu sholat, hal-hal yang dilarang tatkala berihrom, dan lain sebagainya. Sungguh benar perkataan Ali لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لكان أَسفَلُ الخُفِّ أولى بالمسحِ من أعلاه ((Kalau memang agama dengan akal tentu yang lebih layak untuk di usap adalah bagian bawah khuf dari pada mengusap bagian atasnya)).

3 Maslahah mursalah kembali pada salah satu dari dua perkara dibawah ini

a. Bab wasilah (perantara) bukan tujuan, dan termasuk dalam kaidah مَا لاَ يَتِمُّ الوَلجبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجب ((sesuatu yang wajib jika tidak bisa sempurna pelaksanaannya kecuali dengan perkara yang lain maka perkara tersebut juga hukumnya wajib)), hal ini jika maslahah mursalah dalam rangka penyempurnaan pelaksaan salah satu dari dhoruriaat dalam agama. Contohnya seperti pengumpulan Al-Qur'aan, pemberian harokat pada Al-Qur'aan, mempelajari ilmu nahwu, mempelajari ilmu jarh wa ta'diil, yang semua ini merupakan perkara-perkara yang tidak ada di zman Nabi hanya saja merupakan maslahah mursalah

b. Bab takhfif (peringanan), hal ini jika maslahah mursalah dalam rangka menolak kesulitan yang selalu melazimi.

Jika demikian maka kita mengetahui bahwa bid'ah berbeda bahkan bertentangan dengan maslahah mursalah, karena obyek dari maslahah mursalah adalah perkara yang bisa dicerna dan ditangkap dengan akal secara terperinci seperti perkara-perkara adat, berbeda dengan perkara-perkara ibadat, oleh karena peribadatan sama sekali bukanlah obyek dari maslahah mursalah. Adapun bid'ah adalah sebalikinya yang menjadi obyeknya adalah peribadatan. Oleh karena itu tidak butuh untuk mengadakan peribadatan-peribadatan yang baru karena tidak bisa dicerna secara terperinci berbeda dengan perkara-perkara adat yang berkaitan tata cara kehidupan maka tidak mengapa diadakannya perkara-perkara yang baru. Para ulama telah menjelaskan bahwa asal hukum dalam peribadatan adalah haram hingga ada dalil yang menunjukan akan keabsahannya, berbeda dengan perkara-perkara adat asal hukumnya adalah boleh hingga ada dalil yang mengharamkannya. Demikian juga perkara-perkara bid'ah biasanya maksudnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah karena pelakunya tidak puas dengan syariat yang dibawa oleh Nabi, maka ia bukanlah termasuk maslahah mursalah karena di antara tujuan dari maslahah mursalah adalah untuk peringanan.

Dan perbedaan yang paling jelas bahwasanya masalahah mursalah adalah wasilah untuk bisa melaksanakan seeuatu perkara dan bukan tujuan utama, berbeda dengan bid'ah.

UNTUKMU.. ABU SALAFY


Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

Saudaraku se Iman yang dimuliakan Alloh subhanahu wa ta'ala kesyirikan adalah dosa yang paling besar diantara dosa-dosa lainya, sungguh sadarlah kita diwaktu-waktu shalat kita mengucapkan “

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang Kami sembah (QS Al-Faatihah : 5)
Hanya Alloh lah rabb kita.....
Alloh yang menciptakan kita....
Alloh yang mematikan kita...
Alloh Semata yang kita sembah dengan Benar dan tiada sekutu baginya...
Namun amatlah disayangkan sebagian umat islam belum sepenuhnya mengenal tauhid, sehingga yang ada sdi fikiran sebagian kaum muslimin adalah “yang penting sholat,,, kedukun monggo..” “yang penting yakin Alloh satu.. ramalan bintang its OK!!” dan seterusnya mungkin kalimat-kalimat demikian yang mewakili kalimat kebodohan dari orang-orang yang belum mengenal konsekwensi Tauhid.
Dengan Demikian Banyak sebagian umat islam yang dibodoh-bodohi oleh orang yang berfikir agama hanya dengan ro'yu mereka, hanya dengan akal-akal mereka, sebagaimana yang didakwahkan oleh dedengkot Ahli Bida' ia adalah Abu Salafy seorang yang mendakwahkan pemikiran SUFI Sekaligus RAFIDHAH, dan ia adalah pencela ulama, ketahuilah wahai abu salafy “Daging ulama beracun niscaya kau mendapatkan racun nya di akhirat kelak, bertaubatlah dari sekarang sebagaimana Abul Hasan Asy'ari bertaubat, bertaubatlah sebagaimana Al Ghazali bertaubat niscaya anda beruntung”
Akan tetapi kiranya kau masih memercikan api kesesatan maka, Ahlil Haq Tidak tinggal diam “Karna kau bicara maka kami pun bicara”. Kita lihat paparan Abu Salafy dalam blog pribadi nya ia berkata masalah Kesyrikan dan anehnya ia mengatakan diakhir kalimat, Ia berkata “Dengan pengaruh di luar izin dan kontrol Allah SWT. Mereka meyakini bahwa sesembahan mereka mampu menyembuhkan orang sakit, menolong dari musuh, menyingkap bencana dan kesusahan dll tanpa izin dan restu Allah!” Allohu yahdik
1. Kesyirikan menurut Abu Salafy

((Abu Salafy berkata:

Syirik adalah sudah jelas, ia menyekutukan Allah SWT. dalam:

A) Dzat, dengan meyakini ada tuhan selain Allah SWT.

B) Khaliqiya, dengan meyakini bahwa ada pencipta dan ada pelaku yang berbuat secara independen di alam wujud ini selain Allah SWT.

C) Rububiyah, dengan mayakini bahwa ada kekuatan selain Allah SWT yang mengatur alam semesta ini secara independen. Adapun keterlibatan selain Allah, seperti para malaikat, misalnya yang mengaturan alam adalah dibawah kendali Allah dan atas perintah dan restu-Nya.

D)Tasrî’, dengan meyakini bahwa ada pihak lain yang memiliki kewenangan secara independen dalam membuat undang-undang dan syari’at.

E) Hâkimiyah, dengan meyakini bahwa ada kekuasaan yang dimiliki oleh selain Allah secara independen.

F) Ibadah dan penyembahan, dengan menyembah dan bersujud kepada arca dan sesembahan lain selain Allah SWT, meminta darinya sesuatu dengan kayakinan bahwa ia mampu mendatangkannya secara independen dan dengan tanpa bantuan dan izin Allah SWT.

Batasan-batasan syirik, khususnya syirik dalaam ibadah dan penyembahan adalah sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dari ayat-ayat Al Qur’an yang mengisahkan kaum Musyrikin dapat dimengerti bahwa kendati kaum Musyrikin itu meyakini bahwa Allah lah yang mencipta langit dan bumi, pemberi rizki dan pengatur alam, akan tetapi tidak ada petunjuk bahwa mereka tidak meyakini bahwa sesembahan mereka itu; baik dari kalangan Malaikat maupun Jin memiliki pengaruh di dalam pengaturan alam semesta ini! Dengan pengaruh di luar izin dan kontrol Allah SWT. Mereka meyakini bahwa sesembahan mereka mampu menyembuhkan orang sakit, menolong dari musuh, menyingkap bencana dan kesusahan dll tanpa izin dan restu Allah!)) (http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/31/kitab-kasyfu-asy-sybubuhat-doktrin-takfir-wahhabi-paling-ganas-23/))

BANTAHAN :
Sungguh perkataan abu salafy sangat lemah jiddan lebih lemah dari sarang laba-laba, dan sekaligus konyol terhadap Alloh, bahwa Alloh tidak dapat mengontrol kesyirikan masyarakat jahiliyyah..
kami meluruskan pernyataan abu salafy bahwa inilah yang dimaksud hakikat kesyirikan:

Pertama : Bahwasanya hakekat kesyirikan adalah menyerahkan ibadah kepada selain Allah. Kita telah mengikrarkan dalam sholat kita

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang Kami sembah (QS Al-Faatihah : 5)

Oleh karenanya seluruh peribadatan kepada selain Allah adalah bentuk kesyirikan.

Contoh-contoh ibadah seperti sujud, ruku', bernadzar, menyembelih, dan merupakan ibadah yang sangat agung adalah berdoa, demikian juga istigotsah yang merupakan bentuk berdoa tatkala dalam keadaan genting.

Oleh karenanya sebagaimana sujud, ruku, menyembelih jika diserahkan kepada selain Allah merupakan kesyirikan maka demikian pula berdoa. Bahkan ayat-ayat yang menunjukan akan larangan berdoa kepada selain Allah lebih banyak daripada ayat tentang larangan sujud dan menyembelih kepada selain Allah.

Kedua : Hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab adalah menjadikan sesembahan mereka sebagai perantara untuk mendekatkan mereka kepada Allah dan juga sebagai pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah (sebagaimana telah dijelaskan oleh al Ustadz Abu Abdil Muhsin)
Ar-Roozii berkata : "Mereka (kaum kafir) mereka menjadikan patung-patung dan arca-arca dalam bentuk para nabi-nabi mereka dan orang-orang mulia mereka, dan mereka menyangka bahwasanya jika mereka beribadah kepada patung-patung tersebut maka orang-orang mulia tersebut akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah. Dan yang semisal ini di zaman sekarang ini banyak orang yang mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia dengan keyakinan bahawasanya jika mereka mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia tersebut maka mereka akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah" (Mafaatiihul Goib/At-Tafsiir Al-Kabiir 17/63)
Ambil Contoh kuburan Gusdur, menangis rasanya ketika melihat kaum muslimin sjud dan ruku' disebuah makam yang diyakini membawa barokah dan hal seperti ini adalah kesyirikan yang nyata, waiyyadzulbillah.

Camkan perkataan Ibnu Katsiir berkata : "Mereka membuat patung-patung di atas bentuk para malaikat yang mendekatkan (kepada Allah-pen) menurut persangkaan mereka. Maka merekapun menyembah patung-patung berbentuk tersebut dengan menempatkannya sebagai peribadatan mereka kepada para malaikat, agar para malaikat memberi syafaat bagi mereka di sisi Allah dalam menolong mereka dan memberi rizki kepada mereka dan perkara-perkara dunia yang menimpa mereka…

Oleh karenanya mereka berkata dalam talbiyah mereka tatkala mereka berhaji di zaman jahiliyyah : "Kami Memenuhi panggilanmu Ya Allah, tidak ada syarikat bagiMu kecuali syarikat milikMu yang Engkau memilikinya dan ia tidak memiliki"

Syubhat inilah yang dijadikan sandaran oleh kaum musyrikin zaman dahulu dan zaman sekarang" (Tafsiir Al-Qur'aan Al-'Adziim 12/111-112)

Para pembaca yang budiman dalam pernyataannya di atas Ar-Roozi dan Ibnu Katsir dengan tegas menyatakan bahwa syubhat mencari syafaat inilah yang telah menjerumuskan kaum muysrikin zaman dahulu dan zaman sekarang.

Ketiga : Beristigotsah kepada selain Allah yaitu kepada para wali yang sudah meninggal atau kepada Rasulullah dengan meyakini bahwa para wali tersebut hanyalah sebagai sebab dan pada hakekatnya Allah-lah yang menolong…itulah hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena beristigotsah kepada selain Allah adalah bentuk berdoa kepada selain Allah. Dan doa merupakan ibadah yang sangat agung, maka barangsiapa yang menyerahkan kepada selain Allah berarti ia telah beribadah kepada selain Allah, dan barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah maka dia adalah seorang musyrik.

Maka inilah kebodohan yang abu salafy dakwahkan kepada umat ini, sungguh kebenaran telah tegak dan nyata dan kebathilan lagi kesesatan pun nyata jua.. oleh karna itu kami nasihatkan kepada kaum muslimin hendaknya untuk menuntut ilmu syar'i, belajarlah tauhid dengan benar karna ilmu adalah tameng bagi kita, dengan ilmu kita tidak akan terserang penyakit kebodohan yakni taklid buta, fanatik dan seterusnya, semoga Alloh menentramkan hati kami diatas al haq.

Jakarta, 24 Februari menjelang ashar
Abu Usaamah Sufyan Al Bykazi

BIODATA MIRZA GHULAM


Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

Keluarga Ghulam Ahmad


Dia (Mirza Ghulam Ahmad )menceritakan, Dia Berkata “namaku Ghulam Ahmad. Ayahku Atha Murthada. Bangsaku Mongol. (Kitab
Al-Bariyyah, hal. 134, karya Ghulam Ahmad). Namun dalam kesempatan lain, ia mengatakan,
“keluargaku dari Mongol..”. Atau riwyat lain “ tapi berdasarkan firman Allah, tampaknya keluargaku berasal dari
Persia, dan aku yakin ini. Sebab tidak ada seorang pun yang mengetahui seluk-beluk keluargaku
seperti pemberitaan yang datang dari Allah Ta’ala (Hasyiah Al-Arbain, no. 2 hal. 17, karya
Ghulam Ahmad).

Dia juga pernah berkata: “Aku membaca beberapa tulisan ayah dan kakek-
kakekku, kalau mereka berasal dari suku Mongol, tetapi Allah mewahyukan kepadaku, bahwa
keluargaku dari bangsa Persia.” (Dhamimah Haqiqati Al-Wahyi, hal. 77, karya Ghulam Ahmad).
Yang mengherankan, Orang Kafir Ini juga pernah mengaku sebagai keturunan Fathimah binti Muhammad
(Tuhfah Kolart, hal. 29)

Begitulah, banyak versi tentang asal-usul Mirza Ghulam Ahmad yang berasal dari pengakuannya
sendiri. Dan dengan berbagai versi asal usul dirinya secara tidak sadar atau sadar ia telah menelanjangi kesesatan dirinya dan Maha Benar Allah dengan firman-Nya.
“Kalau sekiranya Al-Qur‟an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka menjumpai pertentangan
yang banyak di dalamnya.” (Qs. An-Nisa: 82)


Setelah itu, ia menceritakan tentang ayahnya: “Ayahku mempunyai kedudukan di kantor
pemerintahan. Dia termasuk orang yang dipercaya pemerintah Inggris. Dia pernah membantu
pemerintah untuk memberontak penjajah Inggris dengan memberikan bantuan pasukan dan kuda.
Namun sesudah itu, keluargaku mengalami krisis dan kemunduran, sehingga menjadi petani

yang melarat.” [*] (Tuhfah Qaishariyah, hal. 16, karya Ghulam Ahmad)


[*] Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, penulis kitab Al-Qadiayaniyah, Dirasat Wa Tahtil mengatakan, hal

itu kemungkinan lantaran pengkhianatannya kepada penduduk pribumi dan kerjasamanya

dengan kekuatan kolonialis yang aniaya lagi kafir. (hal. 103)

Dari keluarga yang tidak jelas garis keturunan lagi melarat, Ghulam dilahirkan. Dia berkisah:

“Aku dilahirkan pada tahun 1839M atau tahun 1840M di akhir masa Sikh di Punjab.” (Kitab Al-

Bariyyah, hal. 134, karya Ghulam Ahmad)

Perkembangan AHMADIYYAH


Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir


Permulaan ketenarannya dimulai dengan seolah-olah membela Islam. Setelah ia meninggalkan
pekerjaan kantornya, ia mulai mempelajari buku-buku India Nasrani, sebab pertentangan dan
perdebatan pemikiran begitu santer terjadi antara kaum Muslimin, para pemuka Nasrani dan
Hindu. Kebanyakan kaum Muslimin sangat menghormati orang-orang yang menjadi wakil Islam
dalam perdebatan tersebut. Segala fasilitas duniawi pun diberikan kepadanya. Ghulam Ahmad
berfikir, bahwa pekerjaan itu sangat sederhana dan mudah, mampu mendatangkan materi lebih
banyak dari pendapatannya saat bekerja di kantor.

Untuk mewujudkan gagasan yang terlintas dalam benaknya, maka pertama kali yang ia lakukan
ialah menyebarkan sebuah pengumuman yang menentang agama Hindu. Berikutnya, ia menulis
beberapa artikel di beberapa media massa untuk mematahkan agama Hindu dan Nasrani. Kaum
Muslimin pun akhirnya memberikan perhatian kepadanya. Itu terjadi pada tahun 1877-1878M.
Pada gilirannya, ia mengumumkan telah memulai proyek penulisan buku sebanyak lima puluh
jilid, berisi bantahan terhadap lontaran-lontaran syubhat yang dilontarkan oleh kaum kuffar
terhadap Islam. Oleh karena itu, ia mengharapkan kaum Muslimin mendukung proyek ini secara
material. Sebagian besar kaum Muslimin pun tertipu dengan pernyataannya yang palsu, bahwa ia
akan mencetak kitab yang berjumlah lima puluh jilid.

Sejak itu pula, ia menceritakan beberapa karomah (hal-hal luar biasa) dan kusyufat tipuan yang
ia alami. Sehingga orang-orang awam menilainya sebagai wali Allah, tidak hanya sebagai orang
yang berilmu saja. Orang-orang pun bersegera mengirimkan uang-uang mereka yang begitu
besar kepadanya guna mencetak kitab yang dimaksud. (Majmu‟ah I‟lanat Ghulam Al-Qadiyani,
1/25)

Volume pertama buku yang ia janjikan terbit tahun 1880M, dengan judul Barahin Ahmadiyah.
Buku ini sarat dengan propaganda dan penonjolan karakter penulisnya. Cerita tentang alam ghaib
yang berhasil ia ketahui, juga berisi karomah dan kusyufatnya.

Kitab-kitab volume berikutnya pun bermunculan. Namun, tatkala sampai kepada masyarakat,
mereka keheranan, karena mendapat isi buku tersebut tidak seperti yang dikatakan penulis
pertama kali, yaitu bantahan terhadap agama Hindu dan Nasrani, tetapi justru dipenuhi dengan
cerita-cerita tentang karamah dan sanjungan terhadap kolonialis Iggris.

Dari sini, masyarakat kemudian mengetahui, ternyata lelaki ini hanyalah seorang pendusta dan
pencuri harta manusia. Buku yang telah diterbitkan hanya untuk mendapatkan popularitas dan
memanfaatkan kaum Muslimin, menguras harta mereka, bukan untuk membela Islam. Apalagi
setelah kaum Muslimin menemukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam
dalam buku yang ia terbitkan tersebut.

Banyak para ulama yang mendapat informasi, bahwa lelaki itu, sebenarnya tidak mempunyai
keinginan, kecuali untuk membuat sebuah toko semata. Andai ada orang lain yang mampu
membayarnya dengan jumlah yang lebih besar, maka ia akan mendukungnya, meskipun dengan
melakukan pelanggaran terhadap Islam. Dan memang seperti itulah yang dikatakan oleh para
ulama. Sebab, pada waktu itu, penjajah Inggris membutuhkan orang yang dapat memporak-
porandakan kekuatan kaum Muslimin. Sehingga sang penjajah ini mencari orang dari kalangan
kaum Muslimin untuk diperalat. Tatkala sudah mendapatkannya, kolonial ini akan
memanfaatkan semaksimal mungkin. Demikian yang terjadi dengan Mirza Ghulam Ahmad. Oleh
karena itu, ia penuhi kitab volume ketiganya dengan pujian-pujian kepada kolonialis Inggris.
Perhatikan pengakuannya dalam volume tersebut, tatkala ia menghadapi penentangan dari kaum
Muslimin

Dia menyatakan, ada sebagian orang dari kalangan kaum Muslimin yang menulis kepadaku,
mengapa engkau memuji penjajah Inggris dalam volume ketiga? Mengapa engkau berterima
kasih kepada pemerintah Inggris? Sebagian kaum muslimin mencaci-maki dan mecelaku karena
sanjungan ini. Hendaknya setiap orang mengetahui, bahwa aku tidak memuji pemerintah Inggris,
kecuali berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. (Barahin Ahmadiyah, vol. 4)
Ringkasnya, penjajah telah memanfaatkannya dengan memberikan segala yang berharga
untuknya karena pengkhianatannya kepada agama dan umat Islam. Persis seperti ayahnya yang
dahulu juga berkhianat, tetapi kepada negeri India dan penduduknya.
Pada tahun 1885M, ia memproklamirkan diri sebagai mujaddid dengan mendapat bantuan dan
dukungan penuh dari penjajah. Enam tahun berikutnya, tahun 1891M, ia mengklaim diri sebagai
Imam Mahdi. Pada tahun itu juga, ia mengaku sebagai Al-Masih. Dan klimaksnya pada tahun
1901M, ia mendeklarasikan statusnya sebagai nabi yang mandiri, dan lebih mulia dari seluruh
pada nabi dan rasul.

Sebagian ulama dapat mendeteksi keinginannya sebelum ia mengaku sebagai nabi (palsu). Tetapi
dengan segera ia mencoba menepisnya dengan berkata: “Aku juga beraqidah Ahlus Sunnah. Aku
berkeyakinan Muhammad adalah penutup para nabi. Barangsiapa mengaku sebagai nabi, maka ia
kafir, pendusta. Karena aku beriman bahwa risalah itu bermula dari Adam dan berakhir dengan
kedatangan Rasulullah Muhammad.” (Pernyataan Ghulam Ahmad pada 12 Oktober 1891 yang
terdapat dalam kitab Tabligh Risalah, 2/2)

Kemudian dengan bisikan dari penjajah ia mengatakan untuk mengecoh: “Aku bukan nabi, tetapi
Allah menjadikannku orang yang diajak bicara (kalim), untuk memperbaharui agama Al-
Musthafa (Muhammad)” (Mir-atu Kamalati Al-Islam, hal. 383)
Keterangan lain darinya: “Aku bukan nabi yang menyerupai Muhamamad atau datang dengan
ajaran yang baru. Justru yang ada dalam risalahku, aku adalah nabi yang mengikutinya
(nabiyyun muttabi)” (Tatimmah Haqiqati Al-Wahyi, hal. 68, karya Ghulam Ahmad)
Dia juga mengatakan: “Demi Allah yang ruh-ku berada di genggaman-Nya, Dialah yang
mengutusku dan menyebutku sebagai nabi.... Aku akan memperlihatkan kebenaran
pengakuanku dengan mukjizat-mukjizat yang jumlahnya tidak kurang dari tiga ratus ribu
mukjizat.” (Tatimmah Haqiqati Al-Wahyi, hal. 68, karya Ghulam Ahmad)

Coba perhatikan pernyataan-pernyataannya. Dia betul-betul berusaha mengecoh kaum Muslimin.
Padahal sebelumnya, ia mengatakan: “Siapa saja yang mengklaim diri sebagai nabi setelah
Muhammad, berarti ia saudara Musailamah Al-Kadzdzab, kafir lagi busuk.” (Anjam Atsim, hal.
28, karya Ghulam Ahmad). Dia juga mengatakan: “Kami melaknat orang-orang yang mengaku
sebagai nabi setelah Muhammad.” (Tabligh Risalah, 26/2)
Perlu juga disebutkan, kitab yang ia janjikan berjumlah lima puluh jilid, tidak ia selesaikan
kecuali lima jilid saja. Sehingga ketika ditanya oleh para donatur, ia menjawab: “Tidak ada
bedanya antara angka lima dan lima puluh, kecuali pada nolnya saja.” (Muqaddimah Barahin
Ahmadiyah, 5/7, karya Ghulam Ahmad)

KEMATIAN MIRZA GHULAM


ABU USAAMAH SUFYAN BIN RANAN AL BYKAZI

Kematian Mirza Ghulam Ahmad TEWAS DI WC

Menyaksikan sepak terjangnya yang kian menjadi, maka para ulama saat itu berusaha
menasehati Mirza Ghulam Ahmad, agar ia bertaubat dan berhenti menyebarkan dakwahnya yang
sesat. Nasihat para ulama AHLUSSUNNAH ternyata tidak membuahkan hasil. Dia tetap bersikukuh tidak
memperdulikan. Akhirnya, para ulama sepakat mengeluarkan fatwa tentang kekufurannya. Di
antara para ulama yang sangat kuat menentang dakwah Mirza Ghulam Ahmad, adalah Syaikh
Tsanaullah.

Mirza Ghulam Ahmad sangat terusik dengan usaha para ulama yang mengingatkannya. Akhirnya
dia mengirimkan surat kepada Syaikh Tsanaullah. Dia meminta agar suratnya ini dimuat dan
disebarkan di majalah milik Syaikh Tsanaullah.

Di antara isi suratnya tersebut, Mirza Ghulam Ahmad tidak menerima gelar pendusta, dajjal yang
diarahkan kepadanya dari para ulama masa itu. Mirza Ghulam Ahmad menganggap dirinya, tetap
sebagai seorang nabi, dan ia menyatakan bahwa para ulama itulah yang pendusta dan
penghambat dakwahnya.

Sang nabi palsu ini menutup suratnya dengan do’a sebagai berikut:
“Wahai Allah Azza wa Jalla Yang Maha Mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan di hati. Jika
aku seorang pendusta, pelaku kerusakan dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas
nama-Mu pada waktu siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Ustadz Tsanaullah
masih hidup, dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan sebab kematianku.
“Wahai Allah! Dan jika saya benar, sedangkan Tsanaullah berada di atas kebathilan, pendusta
pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan penyakit ganas, seperti
tha’un, kolera atau penyakit lainnya, saat aku masih hidup. Amin.”

Begitulah bunyi do’a Mirza Ghulam Ahmad. Sebuah do’a mubahallah. Dan benarlah, do’a yang
ia tulis dalam suratnya tersebut dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla. Yakni 13 bulan lebih
sepuluh hari sejak do’anya itu, yaitu pada tanggal 26 bulan Mei 1908M, Mirza Ghulam Ahmad
ini dibinasakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan penyakit kolera, yang dia harapkan menimpa
Syaikh Tsanaullah. Di akhir hayatnya, saat meregang nyawa, dia sempat mengatakan kepada
mertuanya: “Aku terkena penyakit kolera.” Dan setelah itu, omongannya tidak jelas lagi sampai
akhirnya meninggal. Sementara itu, Syaikh Tsanaullah masih hidup sekitar empat puluh tahun
setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad.

Meski kematian telah menjemput Mirza Ghulam Ahmad, tetapi bukan berarti ajarannya juga ikut
mati. Ternyata kian tersebar di tengah masyarakat. Karenanya, sebagai seorang muslim,
hendaklah lebih berhati-hati, agar tidak terjerat dengan berbagai ajaran sesat.
Ya, Allah. Perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai sebuah kebenaran, dan berilah
kami kekuatan untuk melakukannya. Ya, Allah. Perlihatkanlah kepada kami kebatilan sebagai
sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.

Hukum Tawasul ?


Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]



Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Di negeri kami terdapat kuburan seseorang yang disebut-sebut sebagai orang shalih. Diatas kuburan itu dibangun sebuah bangunan yang indah dan dihiasi dengan hiasan-hiasan yang sempurna. Ada orang-orang yang menjadi penunggunya yang disebut sebagai pewaris jabatan penunggu kubur tersebut secara turun temurun. Mereka menyeru manusia dengan berkata : “Sesungguhnya penghuni kuburan ini pada malam ini telah berkata begini dan begitu, dan meminta ini”. Orang-orang yang tinggal di sekitar kuburan itu kemudian terpikat hatinya dan meyakini setiap yang dikatakan penunggu kuburan tersebut. Akhirnya, mereka melakukan taqarrub (mendekatkan diri), thawaf (berkeliling), dan penyembelihan hewan (di kuburan tersebut) serta hal-hal lain. Apa hukum mereka yang meyakini bahwa wali (penghuni kuburan) tersebut mampu mendatangkan manfaat atau madharat ? Apa saja kewajiban orang yang mengetahui bahwa hal-hal yang seperti itu bertentangan dengan syariat, sementara dia tinggal bersama mereka ?

Jawaban.
Petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tenatng ziarah kubur telah dijelaskan di dalam hadits-hadits yang shahih. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahih-nya dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengajarkan kepada mereka (para sahabatnya) jika mendatangi pekuburan agar mengucapkan.

“Artinya : Keselamatan atas kalian, wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Kami insya Allah akan menyusul kalian. Kalian adalah pendahulu kami. Aku meminta kepada Allah kesejahteraan untuk kami dan kalian” [Ahmad II/300, 375,408. V/353,359,360. VI/71,76,111,180,221. Muslim dengan Syarh Nawawi VII/44,45. Nasa’i IV/94 dan Ibnu Majah I/494]

Imam Ahmad dan Tirmidzi –dan dia menyatakan hasan- meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pekuburan Madinah, maka beliau menghadapkan wajahnya ke arah pekuburan itu dan berkata.

“Artinya : Keselamatan atas kalian, wahai penghuni kubur. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian pendahulu kami dan kami akan mengikuti” [Hadits Riwayat Tirmidzi III/369]

Para Khalifah yang Empat dan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain serta Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik telah menjalankan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.

Mereka yang mendatangi penghuni kubur itu, jika mereka melakukannya untuk berdoa kepada Allah di sisi kubur tersebut dengan sangkaan bahwa yang demikian itu lebih bermanfaat dalam berdo’a, sekaligus dengan tujuan ber-tawassul (menjadikannya sebagai perantara) dan meminta syafaat dengannya, maka yang demikian ini tidak ada dalam syariat agama. Sedangkan wasilah (sarana/perantara) memiliki hukum yang sama dengan hukum tujuan dalam hal pelarangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Katakanlah, ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagiNya” [Saba : 22]

Ayat ini menunjukkan bahwa (ilah/sesembahan) yang diseru (selain Allah) bisa jadi memiliki (kekuasaan di langit dan bumi) atau bisa pula tidak. Jika dia tidak memiliki, maka bisa jadi dia adalah sekutu (bagi Allah dalam kekuasaanNya itu), atau bisa juga bukan. Jika dia bukan sekutu (bagi Allah), bisa jadidia pembantu (bagi Allah), atau bisa juga bukan. Jika dia bukan pembantu (bagi Allah), maka bisa jadi dia adalah pemberi syafaat tanpa –harus mendapat- izin dari Allah, atau bisa pula bukan. Dan keempat macam (yang diseru) ini adalah batil, tidak bisa diterima. Lalu yang terakhir jelas bahwa pemberi syafaat tidaklah dapat memberi syafaat melainkan denan izin-Nya (dan ini syarat pertama, pent). Sedangkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berikut.

“Artinya : Dan mereka tidak memberi syafa’at melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah” [Al-Anbiya : 28]

Menunjukkan bahwa keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada yang disyafaati –juga- merupakan sarat. Inilah dua syarat (dalam memperoleh) syafaat.

Para sahabat Radhiyallahu ‘ajmain dahulu tidaklah ber-tawassul dengan zat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang mereka lakukan adalah meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya mendo’akan mereka. Jadi, memita tolong kepada orang yang hadir (ada di tempat), masih hidup lagi mampu memberi bantuan adalah dibolehkan, namun tidak boleh meminta sesuatu yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla. Ini untuk orang yang masih hidup. Adapun orang yang sudah mati, tidak boleh ber-tawassul dan meminta syafaat kepadanya secara mutlak, bahkan itu merupakan salah satu di antara perantara-perantara menuju kesyirikan.

Adapun orang yang ber-I’tikaf (tinggal berdiam) di kuburan tersebut, maka (keadaannya) tidak lepas dari dua perkara yang berikut.

Pertama.
Tujuannya, ber-it’ikaf disana adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka yang seperti ini tidak boleh dilakukan karena padanya terkumpul dua bentuk kemaksiatan (penyelewengan), yaitu bermaksiat ber-ukuf (tinggal dikuburan) dan maksiat beribdah kepada Allah di kuburan karena yang demikian itu merupakan wasilah (mengantarkan kepada) syirik yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun tentang keharaman ber-‘ukuf, Tirmidzi di dalam kitab Jami-nya dalam sebuah hadits yang dinyatakan shahih meriwayatkan dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menujua Hunain ketika kami belum lama (meninggalkan) kekafiran. Sementara itu, orang-orang musyrik memiliki sebatang Sidrah (jenis pohon) yang biasa mereka jadikan tempar ber-ukuf (berdiam) dan menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, yang mereka sebut dengan Dzatu Anwat, maka (ketika) kami melewati sebatang pohon Sidrah (yang lain), kami berkata : “Ya Rasulullah Shalallallahu ‘alaihi wa sallam adakan untuk kami Dzatu Anwat sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwat, maka berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam.

“Artinya : Allahu Akbar, sesungguhnya yang demikian adalah tradisi. Perkataan kalian, demi zat yang jiwaku di tangannya, sebegaimana perkataan Bani Israil kepada Musa. ‘Jadikan untuk kami tuhan-tuhan sebagaimana mereka memiliki tuhan-tuhan. (Musa) berkata, ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh [1]” Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian” [Hadits Riwayat Ahmad V/218, Tirmidzi IV/475]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa perkara yang mereka minta, yaitu menjadikan pohon sebagai temopat ‘ukuf (berdiam) dan menggantungkan senjata untuk mendapatkan berkah, adalah serupa dengan permintaan yang diajukan oleh Bani Israil kepada Musa “Alaihis Salam, maka demikian pula ‘ukuf (berdiam) di kubur. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Janganlah kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan dan jangan jadikan kuburku senagai tempat perayaan, dan bersalawatlah atasku, sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku bagaimanapun keadaan kalian” [Hadits Riwayat Tirmidzi V/157, Abu Dawud II/534, dan Ibnu Majah I/348 di dalam Sunan]


[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/1492-498, Fatwa no. 315 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 3/I/Dzulqa’dah 1423H]

Hukum Membangun kuburan


Syaikh Abdul Aziz bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya perhatikan, sebagian kuburan ada yang dibuatkan batu nisan dengan semen sekitar setengah meter kali satu meter dengan tulisan nama si mayat, tanggal meninggal dan kalimat lainnya seperti (Ya Allah, rahmatillah Fulan bin Fulan..). Apa hukum perbuatan semacam ini ?

Jawaban.
Tidak boleh membuat bangunan di atas kuburan, baik berupa batu nisan ataupun lainnya, dan tidak boleh menuliskan tulisan padanya, karena telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang membuat bangunan pada kuburan dan menulisinya. Imam Muslim Rahimauhullah meriwayatkan dari hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk memagari kuburan, duduk-duduk di atasnya dan membuat bangunan di atasnya”. [1]

Lagi pula, hal ini merupakan sikap berlebihan sehingga harus dicegah, dan karena tulisan itu bisa menimbulkan akibat yang mengerikan, yaitu berupa sikap berlebihan dan bahaya-bahaya syar’iyah lainnya. Seharusnya adalah dengan meratakan kuburan, boleh ditinggikan sedikit sekitar satu jengkal untuk diketahui bahwa itu adalah kuburan. Demikian yang disunnahkan mengenai kuburan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu ‘ajmain. Tidak boleh mendirikan masjid di atas kuburan, tidak boleh membungkusnya dan tidak boleh pula membuatkan kubah diatasnya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid” [Disepakati keshahihannya : Al-Bukhari dalam Al-Janaiz (1330), Muslim dalam Al-Masajid (529)]

Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan, dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, bahwa ia berkata, “Lima hari sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, aku mendengar beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya aku telah meminta kepada Allah agar aku mempunyai khalil di antara kalian, karena Allah telah menjadikan aku sebagai khalil(Nya) sebagaimana Allah telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil(Nya). Seandainya aku (dibolehkan) mengambil seorang khalil dari umatku, tentu aku menjadikan Abu Bakar sebagai khalil(ku). Ingatlah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan-kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid-masjid. Ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan itu” [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Masajid 532]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna dengan ini. Semoga Allah menunjukkan kaum muslimin untuk senantiasa berpegang teguh dengan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan konsisten padanya serta mewaspadai semua yang menyelisihinya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mahadekat. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 4. hal.329, Syaikh Ibnu Baz]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 477- 479 Darul Haq]

HUKUM MENGHADIRI MAULID NABI


Pertanyaan:

Bolehkah seseorang menghadiri perayaan yang bid’ah seperti perayaan maulid nabi, isro’ mi’roj, malam nishfu sya’ban, namun ia tidak meyakini bahwa perayaan-perayaan tadi disyari’atkan, ia cuma bertujuan menjelaskan kebenaran?

Jawaban:

Pertama, perayaan yang disebutkan dalam pertanyaan di atas adalah perayaan yang tidak boleh dirayakan bahkan perayaan yang bid’ah yang mungkar.

Kedua, jika memang kita bermaksud untuk menghadiri perayaan-perayaan tersebut dalam rangka menasehati dan mengingatkan bahwa perayaan tersebut termasuk bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama), maka itu adalah suatu hal yang disyari’atkan, lebih-lebih lagi jika yakin memiliki argumen yang kuat dan yakin selamat dari fitnah. Namun jika menghadirinya tidak dalam rangka demikian, hanya bersenang-senang saja, maka seperti itu tidak dibolehkan karena termasuk dalam berserikat dengan mereka dalam hal yang mungkar dan malah menambah tersebar serta semakin meriahnya bid’ah mereka.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 6524, 3/38

Fatwa ini ditandatangani oleh:

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi

Anggota: Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal

HUKUM MERAYAKAN MAULID NABI


Pertanyaan:

Bolehkah seseorang menghadiri perayaan yang bid’ah seperti perayaan maulid nabi, isro’ mi’roj, malam nishfu sya’ban, namun ia tidak meyakini bahwa perayaan-perayaan tadi disyari’atkan, ia cuma bertujuan menjelaskan kebenaran?

Jawaban:

Pertama, perayaan yang disebutkan dalam pertanyaan di atas adalah perayaan yang tidak boleh dirayakan bahkan perayaan yang bid’ah yang mungkar.

Kedua, jika memang kita bermaksud untuk menghadiri perayaan-perayaan tersebut dalam rangka menasehati dan mengingatkan bahwa perayaan tersebut termasuk bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama), maka itu adalah suatu hal yang disyari’atkan, lebih-lebih lagi jika yakin memiliki argumen yang kuat dan yakin selamat dari fitnah. Namun jika menghadirinya tidak dalam rangka demikian, hanya bersenang-senang saja, maka seperti itu tidak dibolehkan karena termasuk dalam berserikat dengan mereka dalam hal yang mungkar dan malah menambah tersebar serta semakin meriahnya bid’ah mereka.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 6524, 3/38

Fatwa ini ditandatangani oleh:

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi

Anggota: Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

HUKUM BACA "“shadaqallahul ‘azhim”



Bacaan “shadaqallahul ‘azhim” setelah membaca Al Qur’an merupakan perkara yang tidak asing bagi kita tetapi sebenarnya tidak ada tuntunannya, termasuk amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, bahkan menyelisihi amalan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam ketika memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk berhenti dari membaca Al Qur’an dengan kata “hasbuk”(cukup), dan Ibnu Mas’ud tidak membaca shadaqallahul’adzim.

Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan:
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam telah berkata kepadaku, “Bacakan kepadaku (Al Qur’an)!” Aku menjawab, “Aku bacakan (Al Qur’an) kepadamu? Padahal Al Qur’an sendiri diturunkan kepadamu.” Maka Beliau menjawab, “Ya”. Lalu aku membacakan surat An Nisaa’ sampai pada ayat 41. Lalu beliau berkata, “Cukup, cukup.” Lalu aku melihat beliau, ternyata kedua matanya meneteskan air mata.

Syaikh Muhammad Musa Nashr menyatakan, “Termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah) yaitu mayoritas qori’ (orang yang membaca Al Qur’an) berhenti dan memutuskan bacaannya dengan mengatakan shadaqallahul ‘azhim, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud dengan mengatakan hasbuk (cukup). Inilah yg dikenal para salaf dan tidak ada keterangan bahwa mereka memberhentikan atau mereka berhenti dengan mengucapkan shadaqallahul ‘azhim sebagaimana dianggap baik oleh orang-orang sekarang”. (Al Bahtsu wa Al Istiqra’ fi Bida’ Al Qurra’, Dr Muhammad Musa Nashr, cet 2, th 1423H)

Kemudian beliau menukil pernyataaan Syaikh Mustafa bin Al ‘Adawi dalam kitabnya Shahih ‘Amal Al Yaumi Wa Al Lailhlm 64 yang berbunyi, “Keterangan tentang ucapan Shadaqallahul’azhim ketika selesai membaca Al Qur’an: memang kata shadaqallah disampaikan Allah dalam Al Qur’an dalam firman-Nya,

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah:’Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.’ Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs Ali Imran:95)

Memang benar, Allah Maha Benar dalam setiap waktu. Namun masalahnya kita tidak pernah mendapatkan satu hadits pun yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri bacaannya dengan kata “Shadaqallahul’azhim.”

Di sana ada juga orang yang menganggap baik hal-hal yang lain namun kita memiliki Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam sebagai contoh teladan yang baik. Demikian juga kita tidak menemukan satu atsar, meski dari satu orang sahabat walaupun kita mencukupkan pada hadits-hadits Nabi shallallanhu’alaihi wa sallam setelah kitab Allah dalam berdalil terhadap masalah apa pun. Kami telah merujuk kepada kitab Tafsir Ibnu Katsir, Adhwa’ Al Bayan, Mukhtashar Ibnu katsir dan Fathul Qadir, ternyata tak satu pun yang menyampaikan pada ayat ini, bahwa Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam pernah mengakhiri bacaannya dengan shadaqallahul ‘azhim.(Lihat Hakikat Al Maru Bil Ma’ruf Wa Nahi ‘Anil munkar, Dr Hamd bin Nashir Al ‘Amar,cet 2)

Bila dikatakan “Cuma perkataan saja, apa dapat dikatakan bid’ah?” Perlu kita pahami,bahwa perbuatan bid’ah itu meliputi perkataan dan perbuatan sebagaimana sabda Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim)

Sehingga apa pun bentuknya, perkataan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk ibadah yang tidak ada contohnya dalam agama, maka ia dikategorikan bid’ah. Bid’ah ialah tata cara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, yang menyelisihi syariat dan dalam mengamalkannya dimaksudkan sebagai ibadah kepada Allah.

Wallahu a’lam.

Sya'ir Sufyan

MISKIN AKHLAK
Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi

Sungguh ilmu adalah keindahan…
Lebih indah kiranya di amalkan..
Sedangkan Kebodohan adalah kehancuran…
Lebih Hancur kiranya di pelihara…
Amal Ibadah adalah kemuliaan…
Lebih Mulia disertai akhlakul kharimah..
Tidak ada Amalan adalah kehampaan jiwa..
Lebih Hampa jika akhlak tidak menghiasinya…
Beramal tanpa akhlak suram rasanya..
Sedangkan manusia zaman ini miskin akhlak..
Manusia saling mengandalkan yang lain, padahal ia mampu melakukanya..
Bukankah Rasulullah tidak mengandalkan seseorang selama ia bisa mengerjakannya?
Manusiapun saling dengki dan hasad serta Baghyu antar sesama..
Demi Alloh kiranya mereka mngetahui akhlak niscaya ia akan menghiasi amalan mereka..
Akan tetapi semua nya nihil..
Semoga ku berharap kepadaNya agar aku tetap mengamalkan amalan bi’idznillah.. di sertai akhlakul kharimah..
Niscaya bagaikan Bunga yang dihinggap lebah..
Karana selain indah di pandang.. manis pula ia dirasa…

Article's :

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!