Radio Rodja 756AM

Minggu, 01 Mei 2011

LEMAHNYA BANTAHAN HIZBUT TAHRIR (3)

Tanggapan Balik HTI: Yang dilarang adalah mengoreksi penguasa yang ditujukan atau diniatkan untuk menghina penguasa, bukan mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Jika mengoreksi penguasa dengan terang-terangan diniatkan untuk menjaga umat dari kejahatan penguasa, maka mengoreksi penguasa secara terang-terangan dalam keadaan seperti itu (untuk menjaga umat dari kejahatan dan kedzaliman penguasa) bukanlah sesuatu yang haram, bahkan fardlu. Sebaliknya, jika mengoreksi penguasa, baik dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan diniatkan untuk menghina penguasa, maka perbuatan itu haram.

Ana perlu tegaskan bahwa perkataan ulama bukanlah dalil syariat. Selain itu, hadits riwayat Imam Ahmad adalah hadits dla’if. Cukuplah bagi kita apa yang dilakukan oleh Nabi saw dan para shahabat yang juga melakukan muhasabah lil hukkam dengan cara terang-terangan. Selain itu, tidak ada satupun ucapan sharih dari ulama-ulama salafush shalih yang menunjukkan bahwa mengoreksi penguasa dengan terang-terangan adalah haram. Larangan yang mereka ucapkan tidak selalu berimplikasi pada hukum haram. Sebab, bentuk kalimat larangan (sighat an-nahyu) tidaklah selalu berimplikasi hukum haram, bisa saja untuk tahdzir, wa’id, taubih, dan lain-lain. Tampaknya hal ini yang antum lupakan, atau sengaja antum sembunyikan. Ghafarallahu lakum.

FAKTA KELEMAHAN HTI :

kami telah menanyakan kepada anda ulama mana yang membolehkan Menasihati dengan terng-terangan tapi tidak menghinanya?? sebutkan siapa ulama nya? nama nya siapa?
SUNGGUH jikalau anda hanya OMDO, seperti itulah yang anda katakan diatas, yang keluar hanya perkataan perkataan KLAIM semata tanpa bukti yang kuat.

dan kata anda bilang tidak ada ulama yang sharih mengatakan haramnya melakukan nashihat kepasda penguasa dengan sembunyi-sembunyi, mungkin ulama-ulama HTI aja kali yang berpendapat boleh coba kitaliat para ulama kaum muslimin berkata, sebelumnya sabda Nabi :

من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadits ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]

Demikianlah bimbingan Nabi yang mulia teladan kita –shallallahu’alaihi wa sallam- dalam menasihati penguasa. Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan terhadap hadits di atas oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni para sahabat dan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah?

Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:

قيل لأسامة لو أتيت فلانا (عند الامام مسلم: عثمان بن عفان –رضي الله عنه-) فكلمته . قال إنكم لترون أنى لا أكلمه إلا أسمعكم ، إنى أكلمه فى السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من فتحه

“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]

Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,

“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin) dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku membuka perkara yang aku tidak suka jika akulah yang pertama membukanya (yakni mencontohkan keburukan),” maknanya adalah, “Terang-terangan dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi pada para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-. Dalam hadits ini terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka agar mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini semua dilakukan jika memungkinkan, namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” [Lihat Syarah Muslim, (18/118)]

Peringatan: Perkataan Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- pada bagian akhir yang kami garisbawahi di atas maksudnya adalah jika keadaan memaksa untuk itu (bukan pada semua keadaan) karena hal tersebut bukanlah kebiasaan para sahabat, sebagaimana perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- yang dijadikan dalil oleh hizbiyun untuk membolehkan menasihati pemerintah secara terang-terangan, yang insya Allah akan kami jawab dalam penjelasan syubhat dan bantahannya.

Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]

Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]

Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]

Dari penjelasan para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa dalam menasihati penguasa tidak boleh dilakukan secara terang-terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang disebarkan secara terbuka di media-media. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan melahirkan mafsadat-mafsadat yang besar diantaranya:

1. Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika nasihat tersebut tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan menceraiberaikan kesatuan kaum muslimin (lihat penjelasan Ibnu Hajar, Al-‘Aini dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahumullah-)
2. Cara mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini dan Al-Imam Al-Qurthubi –rahimahumallah-)
3. Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan masyarakat dan pemerintah muslim (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini –rahimahullah-)
4. Membuat masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal ma’ruf (lihat penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-)
5. Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 99)
6. Menjadi sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah-)
7. Menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada para pembunuh Utsman -radhiyallahu’anhu- (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dan juga penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dalam Mukhtashor Shahih Muslim, hal. 335)
8. Menghinakan sulthan Allah (lihat penjelasan Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah-)
9. Munculnya riya’ dalam diri pelakunya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin -rahimahullah-)
10. Menyelisihi dalil dan jalan As-Salafus Shalih
11. Mengikuti jalan ahlul bid’ah (Khawarij)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Article's :

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!