Radio Rodja 756AM

Jumat, 01 April 2011

SETETES AIR DARI SYAIKH ABDUL MUHSIN (2)


Semoga Alloh merahmati syaikh kami, asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz
bin Bâz yang menghabiskan hidupnya dengan ilmu syar’i, mempelajarinya, mendakwahkannya. mengamalkan, Beliau adalah mengajarkan orang yang dan paling menganjurkan masyaikh dan para penuntut ilmu agar (sibuk) mengajar dan berdakwah.

Saya pernah mendengar beliau menasehati salah satu masyaikh tentang hal ini, dan syaikh
tersebut mengemukakan alasan yang tidak diridhai oleh syaikh Ibnu Baz, beliau rahimahullâhu mengatakan : "rabun tidaklah
(sama dengan) buta". Maksudnya adalah, sesuatu yang tidak
bisa diperoleh seluruhnya tidaklah ditinggalkan sebagiannya.
Apabila tidak ada penglihatan yang kuat dan hanya ada
pengelihatan yang lemah yaitu rabun, maka sesungguhnya
rabun itu masih lebih baik daripada kebutaan.
Syaikh (Ibnu Bâz) kehilangan pengelihatannya semenjak usia 20
tahun, akan tetapi Alloh menganugerahkan kepada beliau
cahaya bashirah, yang orang khusus (para ulama) dan awam
pun sudah mengetahui hal ini.

Syaikhul Islam berkata di dalam Majmû’ Fatawa (10/364) :
"Apabila tidak ada cahaya yang bersih/murni dan hanya ada
cahaya yang masih belum bersih sedangkan manusia masih dalam
kegelapan, maka tidak sepatutnya mencela seseorang dan
mencegah dari cahaya yang masih tercampur kegelapan tersebut
16
kecuali apabila sudah ada cahaya yang tidak tercampur lagi
dengan kegelapan. Jika tidak, betapa banyak orang yang
menyimpang darinya akan keluar dari cahaya keseluruhannya."
Dan yang juga semisal dengan ini adalah ucapan sebagian
orang: "Kebenaran itu seluruhnya tidak bertingkat/bercabang,
ambillah seluruhnya atau tinggalkan seluruhnya", jadi jika
mengambil seluruhnya adalah haq dan meninggalkan seluruhnya
adalah bathil. Barang siapa yang ada padanya kebenaran maka
dinasehati untuk tetap pada kebenaran tersebut dan berupaya
untuk memperoleh kebenaran yang belum ada padanya.
Hajr yang terpuji adalah yang bermaslahat bukannya malah
menyebabkan mafsadat.

Syaikhul Islam berkata didalam Majmû’ al-Fatâwâ (28/173) :
"Jikalau setiap kali dua orang muslim berselisih pendapat
terhadap suatu hal dan langsung saling menghajr, niscaya tidak
ada ada lagi keterpeliharaan dan persaudaraan di antara kaum
muslimin."
Beliau juga berkata (28/206) :
17
)) :
.((
"Syariat hajr itu berbeda-beda dilihat dari fihak yang menghajr,
dari sisi kuat dan lemahnya, banyak dan sedikitnya, dan
tujuannya adalah untuk membuat jera dan mendidik orang yang
dihajr serta agar masyarakat tidak melakukan perbuatannya.
Apabila maslahat dari hajr itu lebih kuat, menyebabkan keburukan semakinlemah dan memudar, maka hajrnya disyariatkan. Namun jika baik yang dihajr ataupun orang lain
tidak mendapatkan manfaat dari hajr dan bahkan malah semakin
menambah keburukan, sedangkan fihak yang menghajr dalam
posisi lemah dan mafsadat dari hajr lebih besar daripada
maslahatnya, maka hajr tidak disyariatkan..." Sampai ucapan,
"jika hal ini telah diketahui, maka hajr yang syar’i itu termasuk
18
perbuatan yang diperintahkan oleh Alloh dan Rasul-Nya. Oleh
karena itu, ketaatan itu haruslah ikhlas karena Alloh dan haruslah
sesuai dengan perintah-Nya. Sehingga ketaatan itu murni untuk
Allah dan benar pelaksanaannya. Maka barangsiapa yang
melakukan hajr karena hawa nafsunya, atau melakukan hajr yang
tidak diperintahkan, maka ia telah keluar dari syariat. Betapa
banyak perbuatan dilakukan karena mempertutkan hawa nafsu,
namun acapkali dikira karena ketaatan kepada Alloh."
Para ulama menyebutkan bahwa jika seorang alim melakukan
kekeliruan, tidak diikuti kesalahannya dan tidak pula berlepas
diri darinya (dari alim tersebut), kesalahannya diampuni karena masih banyaknya kebenaran padanya. Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam "Majmû’ Fatawa" (3/349) setelah perkataan sebelumnya :
...
̄
"Orang-orang seperti mereka jika ucapan bid'ah dari para ulama
tidak dijadikan sebagai pemecah belah jama'ah kaum muslimin,
19
dan dasar menerapkan kecintaan dan permusuhan, maka mereka
anggap termasuk bentuk kesalahan, padahal Alloh Subhânahu wa
Ta’âlâ mengampuni kesalahan orang-orang mukmin dalam hal
seperti ini. Karena itulah, banyak para imam salaful ummah,
mereka berpendapat dengan ijtihadnya, namun menyelisihi al-
Qur'an as as-Sunnah,( tetapi mereka tidak berwala' kepada yang
menyepakatinya, memusuhi orang yang menyelisihinya). Berbeda
dengan orang yang loyal karena sepakat dengannya, benci karena
menyelisihinya dan memecah belah jama'ah kaum muslimin..."
Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A'lâmin Nubalâ' (14/39) :
"Sekiranya setiap imam yang keliru di dalam ijtihadnya pada
suatu masalah yang seharusnya mereka dimaafkan atasnya,
namun kita malah membid'ahkan dan menghajr mereka, niscaya
tidak akan ada seorang alim pun yang selamat, baik itu Ibnu
Nashr, Ibnu Mandah dan ulama selain mereka yang lebih senior.
Dan Alloh, Dia-lah yang memberi petunjuk makhluk-Nya kepada
kebenaran dan Dia-lah yang paling maha pemurah. Kita
20
memohon perlindungan kepada Alloh dari hawa nafsu dan sikap
keras."
Beliau juga berkata (14/376) :
"Sekiranya setiap ulama yang bersalah di dalam ijtihadnya,
dengan keimanan yang benar dan bermaksud untuk mengikuti
kebenaran, kita tinggalkan dan kita vonis bid'ah, niscaya akan
sangat sedikit para imam yang selamat darinya. Semoga Alloh
merahmati mereka semua dengan anugerah dan kemuliaan-Nya."
Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa terkadang tajrih (mencela
kredibilitas perawi) itu didorong oleh hawa nafsu. Beliau berkata
di dalam bukunya, "Shayidul Khâthir" (hal. 143) :
...
...
21
"Saya menjumpai banyak masyaikh, dan keadaan mereka
berbeda-beda tingkatan keilmuannya. Yang paling bermanfaat
diantara mereka yang kusertai adalah mereka yang mengamalkan
ilmunya walaupun ada dari selain mereka lebih alim darinya. Saya
juga menjumpai segolongan ulama hadits yang menghafal dan
mengenal (ilmu hadits), akan tetapi mereka memperbolehkan
ghibah dan menganggapnya bagian dari cakupan Jarh wa Ta'dil...
Saya pernah bertemu dengan ‘Abdul Wahhab al-Anmâthi dan
beliau berada di atas pokok salaf, namun tidak pernah didengar di
dalam majlisnya beliau melakukan ghibah..."
Beliau juga berkata di dalam bukunya "Talbîs Iblîs" (2/689) :
"Termasuk perangkap Iblis terhadap ahli hadits adalah, mereka
saling mencela satu sama lainnya untuk menuntut balas, dan
mereka menganggap hal ini dari cakupan jarh wa ta'dil, yang mana para ulama sebelumnya menggunakannya sebagai pembelaan terhadap syariat, dan hanya Allohlah yang mengetahui
maksud tujuan mereka"
22

Apabila ini terjadi di zaman Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun
597 atau sekitar itu, lantas bagaimana kiranya dengan orang-
orang di abad ke-15?!
Baru-baru ini ada sebuah risalah bermutu berjudul "al-Ibânah
'an Kaifiyatit Ta'âmul ma'al Khilâf baina Ahlis Sunnah wal
Jamâ'ah" karya Syaikh Muhammad bin 'Abdillâh al-Imâm dari
Yaman, dan risalah ini dipuji oleh lima ulama Yaman. Di
dalamnya terkandung banyak nukilan dari ulama ahli sunnah
baik terdahulu maupun sekarang, terutama Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim rohimahumâllâh, tentang
nasehat bagi ahlus sunnah untuk saling berbuat baik diantara
mereka.

Saya telah menelaah sebagian besar isi risalah ini, dan memetik
faidah darinya berupa sumber rujukan sebagian penukilan yang
dipaparkan di dalam risalah ini, dari dua imam Ibnu Taimiyah
dan Ibnul Qoyyim. Oleh karena itu saya menasehatkan untuk
membaca risalah ini dan mengambil manfaat darinya.
Alangkah bagusnya apa yang beliau (Syaikh Muhammad al-
Imâm) katakan di dalam risalah ini (hal 170) :
23
"Terkadang seorang ulama mu'tabar (yang diakui) menjarh
sebagian ahlis sunnah yang mengakibatkan merebaknya fitnah
hajr, mengoyak (barisan) dan kekacauan, terkadang juga
menyebabkan peperangan diantara ahli sunnah sendiri, apabila
konsekuensi (jarh tersebut) seperti ini, maka diketahui bahwa
jarh ini menghantarkan kepada fitnah, oleh karena itu wajib
mengevaluasi kembali cara tajrih dan melihat kepada maslahat,
kerusakannya dan apa yang bisa membuat persaudaraan tetap
terjaga, dakwah tetap terpelihara dan kesalahan bisa terobati.
Tidak benar tetap bersikeras menggunakan cara jarh yang secara
nyata lebih menimbulkan madharat.”

Tidak ada keraguan bahwa para masyaikh dan penuntut ilmu
lainnya dari ahli sunnah juga turut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara dari Yaman ini, mereka mengeluhkan terjadinya perpecahan dan perselisihan ini, dan
mengharapkan untuk lebih mengedepankan nasehat kepada
saudara-saudara mereka, dan saudara-saudara kita dari Yaman
telah mendahului dalam hal ini, semoga Alloh membalas mereka
dengan kebaikan.
24
Semoga nasehat ini merupakan bagian dari sabda Nabi SAW :
"Keimanan dan hikmah dari arah kanan (dari arah negeri
Yaman) " (HR Bukhari (3499) dan Muslim (188).
Diharapkan nasehat dari saudara kita di Yaman ini dapat memberikan kontribusi positif dari penulisan dan penyebarannya. Saya tidaklah mengira akan ada seseorang dari
ahli sunnah yang mendukung bentuk tajrih seperti ini (yang menyebabkan mafsadat, pent) dan berkonsentrasi mengikutinya, dimana hal ini tidak akan membuahkan sesuatu melainkan sikap permusuhan dan kebencian diantara ahli sunnah serta kerasnya hati.

Keheranan orang yang berakal tidak berhenti sampai di sini, di
saat kaum westernis lagi giat-giatnya merusak negeri Haramain
setelah Allah memperbaikinya. Terutama bencana moral di
forum-forum mereka yang diadakan di Jeddah, yang mereka sebut secara dusta dengan nama "Forum Khadijah binti khuwailid", yang saya menulis tentang hal ini sebuah risalah berjudul "Laa Khuwailid Yalîqu 'Unwânan ittikhâdza Linfilâtin Ism Khadîjah binti Nisâ'" (Tidaklah layak
menjadikan nama Khadijah Binti Khuwailid sebagai nama untuk
kebebasan wanita). Saya katakan, di saat seperti ini, ada ahlus
25
sunnah yang menyibukkan diri dengan saling mencela satu
dengan lainnya dan mentahdzir mereka.
Saya memohon kepada Alloh Azza wa Jalla agar memberikan
taufiq kepada Ahlus sunnah di setiap tempat, agar tetap
berpegang teguh dengan sunnah, saling menyatu dan
bekerjasama di dalam kebaikan dan takwa, dan menghilangkan
segala bentuk perpecahan dan perselisihan diantara mereka.
Saya juga memohon kepada Alloh agar memberi taufiq kepada
seluruh kaum muslimin agar mau memahami agama dan tetap
di atas kebenaran. Semoga shalawat, salam dan keberkahan
senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
beliau dan sahabatnya.

16 Muharam 1432 H.
‘Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Article's :

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!