Senin, 01 April 2013
HANYA SALAFY BUKAN YANG LAIN (1)
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Sangat banyak dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta perkataan para sahabat yang menjelaskan akan pujian terhadap orang yang mengikuti jalan As-Salaf dan celaan terhadap orang yang tidak melakukan hal demikian. Dan ini merupakan perkara-perkara yang menguatkan kewajiban mengikuti manhaj Salaf serta menegaskan bahwa dia merupakan jalan keselamatan dan kebahagian hidup. Di sini kami melemparkan beberapa belas anak panah kepada orang yang ragu lagi bimbang untuk membentangkan jalan kaum mukminin dari pohon keyakinan sehingga memetik manisnya iman dari atas pohon yang subur dan berteduh dibawah kerindangannya dalam buaian dan wanginya.
Pertama
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]
Sisi pendalilannya adalah, Rabb sekalian manusia telah memuji orang yang mengikuti sebaik-baik manusia maka jelaslah bahwa mereka (Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar ) jika mengatakan satu perkataan lalu diikuti oleh orang yang mengikutinya maka haruslah hal itu merupakan hal yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhoan, dan seandainya mengikuti mereka tidak memiliki keistimewaan dari selain mereka maka dia tidak berhak mendapatkan pujian dan keridhoan.
Kedua
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah" [Ali Imran :110]
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan mereka dalam setiap keadaan ; karena mereka tidak menyimpang dari syari'at yang terang benderang, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kemakrufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran, hal itu menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka adalah hujjah atas orang yang setelah mereka sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala mewarisi bumi dan seisinya.
Jika ditanya : Ini umum pada umat Islam seluruhnya tidak khusus untuk generasi sahabat saja.
Saya jawab : Bahwa merekalah orang yang pertama yang menjadi obyek penderita, dan tidak masuk dalam konteks ini orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan kias (analogi) atau dengan dalil sebagaimana dalil pertama. Dan seandainya konteksnya umum -inipun benar- maka para sahabat adalah yang pertama masuk dalam keumuman konteks ayat, karena mereka orang pertama yang menerima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa perantara (langsung) sedang mereka adalah orang-orang yang langsung berkenaan dengan wahyu, sehingga mereka lebih pantas dimasukkan dalam konteks ayat daripada selainnya karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan sebagai sifat mereka tidak memiliki sifat -sifat tersebut dengan sempurna kecuali mereka. Dan kesesuaian sifat terhadap kondisi yang nyata merupakan bukti bahwa mereka lebih pantas dari selainnya untuk dipuji. Hal itu dijelaskan oleh :
Ketiga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Sabik-baiknya manusia adalah generasiku [1] kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian datang satu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya" [Mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/12 dan Al-Muanawiy dalam Faidhul Qadir 3/478 serta disetujui oleh Al-Kataaniy dalam kitab Nadzmul Mutanatsir hal.127]
Apakah keutamaan yang ditetapkan kepada generasi sahabat ini ada pada warna kulit atau bentuk tubuh atau harta mereka ... dst ?
Tidak akan ragu bagi orang berakal yang telah memahami Al-Kitab dan As-Sunnah bahwa bukan itu semua yang dimaksud ; karena tolak ukur keutamaan dalam Islam adalah ketakwaan hati dan amal shalih, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu" [Al-Hujuraat : 13]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak melihat kepada bentuk kalian dan harta kalian akan tetapi melihat kepada hati-hati kalian dan amalan kalian" [Hadits Shahih Riwayat Muslim 16/121 -Nawawiy]
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkannya sebagai sebaik-baik hati diantara para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian Allah memberikan kepahaman yang tidak didapatkan oleh orang-orang yang menyusul mereka, oleh karena itu apa yang para sahabat pandang sebagai kebaikan maka dia adalah kebaikan di sisi Allah Subahanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang sebagai kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Abdullah bin Mas'ud berkata : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para hambaNya dan mendapatkan hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebaik-baik hati para hamba lalu memilihnya untuk dirinya dan diutus sebagai pembawa risalahNya, kemudian melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkan hati-hati para sahabat beliau sebaik-baik para hamba lalu menjadikan mereka sebagai pembantu NabiNya, mereka berperang di atas agamaNya, maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dia baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subahanhu wa Ta'ala. [2]
Dari Abu Juhaifah, beliau berkata.
"Artinya : Saya telah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : 'Apakah kalian memiliki kitab ? Beliau menjawab : 'Tidak kecuali Kitabullah atau pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim atau apa yang ada di lembaran ini [3]. Saya bertanya lagi : Apa yang ada di lembaran tersebut ? Beliau menjawab ; Diyat, pembebasan tawanan dan (pernyataan) bahwa seorang muslim tidak di bunuh dengan sebab orang kafir" [Hadits Shahih Riwayat Bukhari 1/204 - Al-Fath]
Dengan demikian maka pemahaman para sahabat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan hujjah atas orang yang setelahnya sampai akhir umat ini, oleh karena itu mereka menjadi saksi Allah Subhanahu wa Ta'ala dipermukaan bumi ini, hal ini dijelaskan berikut.
Keempat
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" [Al-Baqarah : 143]
Di sini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka umat pilihan dan umat yang adil karena mereka adalah umat yang paling utama dan paling adil dalam perkataan, perbuatan dan kehendaknya, sehingga mereka berhak menjadi para saksi atas manusia dan dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji mereka, mengangkat nama mereka dan menerima mereka dengan baik. Dan saksi yang diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang bersaksi dengan ilmu dan kebenaran sehingga mengkhabarkan kebenaran yang berdasarkan ilmunya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)" [Az-Zukhruf : 86]
Apabila persaksian mereka diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam agama merupakan hujjah atas orang yang setelah mereka, karena ayat ini telah menjelaskan penunjukkan tersebut secara mutlak dan umat Islam tidak memutlakkan sifat adil pada satu generasi kecuali kepada generasi sahabat, karena Ahlus Sunnah wal Jama'ah memberikan sifat adil pada mereka secara mutlak dan menyeluruh sehingga mereka mengambil dari sahabat secara riwayat dan ilmu seluruhnya tanpa kecuali. Berbeda dengan selain sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memberikan sifat adil ini kepada mereka kecuali yang telah diakui keimanan dan keadilannya. Kedua hal ini tidak diberikan kepada seseorang kecuali jika dia berjalan di atas jejak para sahabat.
Maka jelaslah dengan demikian bahwa pemahaman para sahabat merupakan hujjah atas selainnya dalam pengarahan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah oleh karena itu diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka, hal ini dijelaskan dalam.
Kelima
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku" [Luqman : 15]
Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada mereka hidayah (petunjuk) untuk mendapatkan perkataan yang baik dan amalan shalih dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira ; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal" [Az-Zumar : 17-18]
Maka wajib mengikuti jalan mereka dalam memahami agama Allah baik Al-Qur'an ataupun As-Sunnah, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'a mengancam orang yang tidak mengikuti jalan mereka dengan neraka jahannam seburuk-buruknya tempat kembali, hal ini dijelaskan.
Keenam
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali" [An-Nisaa : 115]
Sisi pendalilannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin sehingga menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syari'at adalah wajib dan menyelisihinya adalah kesesatan.
Jadi dikatakan : Ini adalah Istidlal (pendalilan) dengan dalil khithaab dan hal itu bukanlah hujjah, maka kami katakan ; Dia itu dalil, dan dibawah ini akan dijelaskan dalilnya.
[a]. Dari Ya'la bin Umaiyah beliau berkata : Saya telah bertanya kepada Umar.
"Artinya : Maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir" [An-Nisaa : 101]
Padahal manusia telah aman ? Umar berkata : "Saya telah heran seperti yang kamu herankan, lalu saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal tersebut dan beliau menjawab :
"Artinya : Shadaqah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada kalian maka terimalah shadaqahNya" [Hadits Riwayat Muslim 5/196 - An-Nawawiy]
Kedua sahabat ini yaitu Ya'la bin Umaiyah dan Umar bin Al-Khathab memahami dari ayat ini bahwa qashar shalat terkait dengan syarat takut, sehingga jika manusia telah aman wajib menyempurnakan shalat dan ia adalah dalil khithaab yang dinamakan juga dengan Mafhum Mukhalafah.
Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu 'alihi wa sallam menyetujui pemahamannya akan tetapi beliau jelaskan kepada Umar bahwa hal itu tidak dipakai disini ; karena Allah Subahanahu wa Ta'ala telah bershadaqah kepada kalian maka terimalah shadaqahnya tersebut.
Seandainya pemahaman Umar tidak benar tentunya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak awal tidak mendiamkannya kemudian mengarahkan pengarahan ini dan ada pepatah yang mengatakan : Taujih (pengarahan) bagian dari penerimaan.
[b]. Dari Jabir dari Ummu Mubasyir bahwa dia telah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di hadapan Hafshah.
"Artinya : Tidaklah masuk neraka seorangpun -insya Allah- dari Ashhab Syajaroh yang berbaiat dibawahnya"
Dia berkata : benar wahai Rasulullah, lalu beliau menghardiknya lalu berkata Hafshah :
"Artinya : Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu" [Maryam : 71]
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : Allah telah berfirman.
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam naar dalam keadaan berlutut" [Maryam : 72]
Di sini Ummul Mukminin Hafshah memahami dari ayat ini bahwa semua manusia akan masuk neraka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan hal itu dengan lanjutan ayat tersebut yaitu :
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa" [Maryam : 72]
Pada awalnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakui kebenaran pemahaman Hafshah, kemudian menjelasakan bahwa konteks kata " tidak masuknya neraka" (dalam hadits itu) berbeda dengan konteks kata "wurud" (datangnya orang ke neraka yan ada dalam ayat tersebut) dan menjelaskan bahwa yang pertama itu khusus untuk orang-orang shalih yang bertaqwa yakni mereka tidak merasakan adzab neraka dan masuk ke syurga dengan melewatinya tanpa disentuh sedikitpun siksaan dan adzab, sedangkan selain mereka tidak demikian.
Maka jelaslah Alhmadulillah bahwa dalil khithaab adalah hujjah yang diakui dan dapat disandarkan dalam pemahaman.
Cukuplah bagimu bahwa firman Allah :
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-Nisaa : 115]
Bukanlah dalil khithab akan tetapi hal itu merupakan argumentasi dengan Taqsiimin Aqliy (pembagian secara logika), karena tidak ada pilihan yang ketiga antara mengikuti jalan orang-orang mukmin dan mengikuti selain jalan mereka.
Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang ikut selain jalan mereka maka wajiblah mengikuti jalan mereka, ini sudah sangat jelas sekali.
Jika ada yang membantah : Ada di antara dua pilihan tersebut pilihan yang ketiga yaitu tidak ikut kedua-keduanya.
Maka saya jawab : Ini merupakan pendapat yang sangat lemah sekali ; karena tidak mengikuti keduanya sama sekali berarti mengikuti jalan selain mereka (orang-orang mukmin) secara pasti karena firman Allah :
"Artinya : Maka tidak ada sesudah kabenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)" [Yunus : 32]
Jelaslah di sini bahwa hanya ada dua pilihan dan tidak ada pilihan yang ketiga. Jika dikatakan : Kami tidak setuju bahwa mengikuti selain jalan orang-orang mukmin berhak mendapat ancaman tersebut (dalam ayat) kecuali dibarengi dengan penentangan terhadap Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam sehinnga hal itu tidak menunjukkan pengharaman mengikuti selain jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi harus ada penentangan Rasulnya.
Jawabannya ; Telah diketahui bahwa menentang Rasul diharamkan secara tersendiri dan terpisah karena adanya peringatan atas hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya" [Al-Anfaal : 13]
Maka ayat ini menunjukkan ancaman tersebut ada untuk setiap dari keduanya secara tersendiri dan pensifatan ini (mengikuti selain jalan kaum mukminin) termasuk yang mendapat ancaman secara tersendiri dan hal itu ditinjau dari hal-hal berikut ;
[a]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak diharamkan secara tersendiri maka tidak diharamkan bersama penentangan seperti penyelamat yang lainnya.
[b]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak termasuk dalam ancaman tersebut secara tersendiri maka (pensifatan tersebut) hanyalah sia-sia dan tidak ada faedahnya untuk disebutkan, maka jelaslah bahwa penghubungannya (dalam konteks ayat tersebut) adalah dalil tersendiri seperti yang awal.
Jika ada yang mengatakan : Kami tidak sependapat jika ancaman tersebut berlaku untuk semua orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi hal itu berlaku setelah jelas baginya petunjuk, karena Allah menyebut penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mensyaratkan padanya kejelasan petunjuk kemudian dihubungkan dengan mengikuti selain jalan kaum mukminin, hal itu menunnjukkan bahwa kejelasan petunjuk merupakan syarat dalam ancaman terhadap orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin.
Jawabanya : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-Nisaa : 115]
Ma'thuf (disandarkan/dihubungkan) dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya" [An-Nisaa : 115]
Maka hal itu menunjukkan bahwa kait (syarat) pada awal ayat bukanlah syarat bagi yang kedua akan tetapi kata hubung tersebut hanya untuk menunjukkan kesatuan dan kesamaan dalam hukum yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisaa : 115]
Hal ini menunjukkan bahwa setiap sifat dari kedua sifat tersebut mendapatkan ancaman tersendiri.
Hal ini di bawah ini dapat menunjukkannya.
Kejelasan petunjuk (kebenaran) merupakan syarat dalam (hukum) penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang tidak mengetahui petunjuk (kebenaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dikatakan menentang sedangkan mengikuti jalan kaum mukminin merupakan petunjuk (kebenaran) itu sendiri.
Konteks ayat ini adalah untuk mengagungkan dan memuliakan kaum mukminin, maka seandainya mengikuti jalan mereka disyaratkan dengan datangnya kejelasan petunjuk (kebenaran) maka tidaklah mengikuti jalan mereka ini lantaran sebagai jalan mereka akan tetapi karena telah datang kejelasan petunjuk (kebenaran) dan jika demikian tidak ada faedah mengikuti jalan mereka.
Dengan demikian jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mukminin merupakan jalan keselamatan dan pemahaman para sahabat dalam agama adalah hujjah atas selain mereka, sehingga orang yang menentangnya maka telah menghendaki kesesatan dan berjalan di tempat yang berbahaya, maka cukuplah Jahanam (neraka) sebagai sejelek-jeleknya tempat tinggal dan kembalinya. Inilah kebenaran maka berpegang teguhlah kepadanya dan tinggalkanlah jalan-jalan yang menyimpang, dan hal itu juga dijelaskan oleh.
Ketujuh
Firman Allah Subhnahu waa Ta'ala
"Artinya: Barangsiapa berpegang teguh kepada Dienullah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus".[Ali Imran : 101]
Para sahabat merupakan orang-orang yang berpegang pada tali Allah, karena Allah adalah wali orang-orang yang berpegang teguh kepadaNya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya: Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu,maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong".[Al-Hajj :78]
Dan telah diketahui kesempurnaan perlindungan dan pertolongan Allah kepada mereka yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah orang-orang yang memberi petunjuk dengan persaksian Allah dan menyampaikan kebenaran merupakan satu kewajiban menurut syariat, akal dan fitrah, oleh karena itu menjadikan mereka sebagai imam-imam bagi kaum mutaqin (orang-orang yang bertaqwa ) karena kesabaran dan keyakinan mereka dan itu dijelaskan oleh: (BERSAMBUNG....)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar