Radio Rodja 756AM

Jumat, 01 Oktober 2010

Untukmu yang mencela Pemerintah...(2)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” [Lihat Hadyus Sari, oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-, hal. 459, sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, hal. 20]

Bahkan sebenarnya merekalah yang paling berbahaya dan paling dahsyat fitnahnya, karena biasanya orang-orang yang bisa melakukan provokasi adalah yang memiliki sedikit ilmu yang dengannya dia menipu manusia. Seakan ia juga “termasuk dalam jajaran ulama terpandang”, sehingga disebutkan dalam satu atsar dari Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if –rahimahullah-, ia berkata: “Kelompok al-Qa’adiyah ini merupakan pecahan khawarij yang paling jelek!” [Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, (hal. 271), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 21)]

Syubhat kedua: Boleh menasihati penguasa secara terang-terangan jika kemungkaran tersebut dilakukan secara terang-terangan, dengan dalil perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu’anhu- dalam menasihati Marwan, walikota Madinah dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-

Adapun pembolehan menasihati penguasa secara terang-terangan, jika penyimpangan penguasa dilakukan terang-terangan sebagaimana dalam kisah sahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-, beliau berkata dalam salah satu fatwa beliau, “Karenanya, saya memandang jika perkara yang hendak disampaikan sebagai nasihat merupakan perkara zahir, jelas dan nampak dalam artian kemungkaran itu nampak dan jelas, maka tidak mengapa memberi nasehat kepada penguasa dengan cara berhadapan dengannya, atau melalui kolom opini di koran-koran (termasuk artikel), melalui mimbar-mimbar, atau dengan metode-metode lainnya jika kemungkaran tersebut jelas dan nampak di tengah-tengah manusia.”

Syubhat ini kami jawab dari beberapa sisi:

Pertama: Kalau fatwa ini benar dari beliau, maka beliau sendiri (dalam fatwa yang sama) telah memberikan batasan-batasan dan siapa yang berhak melakukannya, diantaranya:

1). Dengan memperhatikan maslahat dan mafsadat. Jika kita lihat mafsadat-mafsadat besar yang sangat mungkin ditimbulkan dari cara menasihati pemerintah dengan terang-terangan, tentunya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan.

2). Bukan semua orang yang boleh melakukannya, tetapi para ulama yang benar-benar memiliki ilmu dalam masalah tersebut dan memiliki kedudukan dalam pandangan pemerintah dan masyarakat. Hal ini jelas dari perkataan beliau dan pendalilan beliau dengan kisah Abu Sa’id al-Khudri -radhiyallahu’anhu-. Siapa Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, seorang ulama besar di kalangan sahabat dibandingkan dengan Marwan seorang Tabi’in[1]? Kedudukannya adalah guru (Sahabat) dan murid (Tabi’in). Demikian pula, tidak semua Sahabat dan Tabi’in yang hadir pada saat itu melakukan pengingkaran secara terang-terangan.

Kedua: Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, maka itu adalah perkara yang sangat mendesak dan sangat terkait dengan waktu yang singkat (yakni pelaksanaan shalat ‘ied) dan terjadi di depan matanya dan di depan khalayak ramai, sehingga tidak mungkin untuk ditunda. Karena kaidah yang disepakati, “Menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh”. Inilah maksud perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- yang kami garis bawahi di atas.

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menjelaskan perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- tersebut, “Perkataan beliau, “Ini semua dilakukan jika memungkinkan”, yakni jika memungkinkan seseorang menasihati penguasa secara rahasia, maka inilah yang wajib atasnya, tidak yang lainnya (yakni tidak boleh terang-terangan).”

“Adapun perkataan beliau (An-Nawawi), “Namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” Maknanya adalah, “Janganlah seseorang mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan, kecuali dalam keadaan sangat genting (daruroh syadidah).”

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) berkata dalam catatan kakinya, “Atas dasar inilah (yakni dalam keadaan darurat) dibawa perbuatan Salaf (dalam mengingkari kemungkaran penguasa terang-terangan), seperti kisah Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- bersama Marwan, walikota Madinah ketika ia mendahulukan khutbah atas shalat ‘ied.” [Lihat Shahih Al-Bukhari (2/449 no. 956 bersama Fathul Bari kitab Al-’Idain, bab Al-Khuruj ilal Musholla bi ghayri Minbar]

“Oleh karenanya, ketika ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- mengingkari perbuatan Hisyam -radhiyallahu’anhu- (yaitu, dengan menyampaikan hadits di atas) karena pengingkaran Hisyam terhadap kemungkaran penguasa secara terang-terangan, tanpa ada kebutuhan mendesak (darurat). Tidaklah yang dilakukan Hisyam -radhiyallahu’anhu-, kecuali tunduk (kepada hadits tersebut), wallahu A’lam.” (Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari www.sahab.net)

Ketiga: Pengingkaran Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu benar-benar di depan penguasa tersebut, sehingga memungkinkan bagi sang penguasa untuk mengambil faedah “secara langsung” dari nasihat beliau, atau sebaliknya sang penguasa bisa memberikan bantahan jika ia memiliki dalil atau pertimbangan khusus sebagai seorang pemimpin.

Adapun jika dengan menyebarkan artikel-artikel di media massa dan berorasi di mimbar-mimbar bebas yang tidak dihadiri oleh penguasa, maka belum tentu bisa dibaca atau didengarkan oleh penguasa (sebagai orang yang dinasihati), malah yang terjadi adalah ghibah atau buhtan, pencemaran nama baik dan provokasi untuk memberontak kepada penguasa. Bagaimana bisa seseorang mengharamkan ghibah dan pencemaran nama baik dirinya dan para tokoh idolanya sementara untuk penguasa dia bolehkan…Ma lakum kayfa tahkumun?!

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan, “Sesungguhnya mengingkari kemungkaran yang tersebar adalah hal yang dituntut dan tidak ada masalah dalam hal ini. Tapi yang menjadi masalah dalam pembahasan kita adalah pengingkaran terhadap seorang penguasa, seperti jika seseorang berpidato di masjid, kemudian ia berkata misalnya, “Negara (pemerintahnya) ini telah berbuat zhalim”, “Pemerintah telah melakukan (kesalahan)”, ia terus berbicara tentang kemungkaran penguasa dengan cara terang-terangan ini, padahal para penguasa tersebut tidak hadir dalam majelis itu. Jelas berbeda jika pemimpin atau penguasa yang ingin engkau nasihati itu ada di hadapan Anda dan ketika dia tidak ada. Karena semua pengingkaran secara terang-terangan yang dilakukan oleh generasi Salaf terjadi langsung di hadapan pemimpin atau penguasa. Bedanya, jika ia hadir, memungkinkan baginya untuk membela diri dan menjelaskan sisi pandangnya, dan bisa jadi ia yang benar dan kita yang salah. Akan tetapi jika ia tidak hadir, tentunya ia tidak bisa membela diri dan ini termasuk kezhaliman. Maka wajib bagi setiap kita untuk tidak berbicara tentang kejelekan seorang penguasa tatkala ia tidak hadir. Olehnya, jika engkau sangat menginginkan kebaikan (bagi seorang penguasa) pergilah kepadanya, temuilah ia, lalu nasihati secara empat mata.” [Lihat Liqo’ Al-Babil Maftuh, pertemuan ke-62, hal. 46)

Keempat: Jika fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah- diterima secara mutlak tanpa ada batasan-batasan sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dan batasan-batasan lain yang dijelaskan oleh para ulama lainnya, maka hal tersebut sangat jelas bertentangan dengan dalil dan fatwa-fatwa para ulama lainnya sebagaimana yang kami nukil di atas. Oleh karena itu kami mengingatkan kepada saudara-saudara kami yang menasihati penguasa secara terang-terangan karena mengikuti fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah-. Ketahuilah –kami mencintai kebaikan untuk kalian sebagaimana kami cintai kebaikan itu untuk diri kami-:

Pertama: Kalaupun benar sebagaimana yang kalian katakan (bahwa ada khilaf dalam masalah ini), bukankah yang terbaik bagi kita untuk berhati-hati dengan memilih jalan yang lebih selamat?!

Kedua: Jika kita mencari setiap keringanan para ulama, niscaya kita akan binasa, sebagaimana diriwayatkan dari sebagian Salaf, “Barangsiapa yang mencari-cari keringanan para ulama, maka dia telah mengarah kepada kemunafikan”.

Ketiga: Tidakkah kalian memikirkan mafsadat yang besar –terutama bagi orang-orang awam- jika pintu ini dibuka?!

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menerangkan, sedikitnya tiga kemungkaran besar yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika seseorang menasihati penguasa secara terang-terangan, padahal masih memungkinkan untuk dinasihati secara rahasia,

Pertama: Menyelisihi hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- yang memerintahkan untuk diam-diam dalam menasihati penguasa.

Kedua: Menyelisihi atsar-atsar dan manhaj Salaf, seperti atsar Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa dan selainnya radhiyallahu’anhum.

Ketiga: Menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Al-Bukhari)

(Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari www.sahab.net)

Syubhat ketiga: Tidak mungkin menasihati penguasa seperti hadits ‘Iyadh bin Ganm maupun atsar Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhum- di zaman ini, dikarenakan aturan protokoler pemerintahan modern terlalu berbelit-belit, sehingga tidak memungkinkan setiap orang bisa bertemu empat mata dengan seorang pejabat, maka terpaksa diambil jalan terakhir, yaitu dengan melakukan demonstrasi, tapi demo yang Islami atau aksi damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Article's :

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!