Radio Rodja 756AM

Minggu, 01 Agustus 2010

Orang-Orang yang dibolehkan Tidak Puasa

WANITA YANG SEDANG HAIDH DAN WANITA YANG SEDANG NIFAS, WANITA HAMIL DAN WANITA MENYUSUI, ORANG YANG SUDAH SANGAT TUA RENTA DAN ORANG YANG DIPAKSA

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pengantar Tentang Beberapa Alasan Yang Membolehkan Seseorang Untuk Tidak Berpuasa

Puasa merupakan ibadah yang cukup berat, dalam menjalankannya membutuhkan ketegaran dan kesabaran. Sebagian orang tidak sanggup menjalankannya. Dan untuk menjalankan Sunnah Islam yang berdiri di atas kemudahan dan peniadaan kesulitan dari umat manusia, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan keringanan kepada sebagian hamba-Nya untuk meninggalkan puasa serta membolehkan mereka untuk tidak berpuasa sebagai bentuk kasih sayang yang Dia berikan kepada mereka sekaligus sebagai upaya memberikan keringanan kepada mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

"Karena itu barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian." [Al-Baqarah: 185]

Allah Jalla wa Ala telah memberikan keringanan kepada orang yang sakit, orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), orang yang sudah tua, wanita haidh, wanita yang sedang nifas, wanita hamil, wanita menyusui, dan lain-lain. Mereka itulah orang-orang yang boleh untuk tidak berpuasa dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan. Bahkan di antara mereka ada yang harus berbuka dan diharamkan baginya berpuasa, seperti wanita yang sedang haidh dan wanita yang sedang menjalani masa nifas. Ditambah lagi dengan orang yang makan dan minum karena lupa pada saat sedang berpuasa dan juga yang lainnya. Hal tersebut akan kami jelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya, insya Allah.

Pembahasan 5
WANITA YANG SEDANG HAIDH DAN WANITA YANG SEDANG NIFAS

Diharamkan bagi wanita yang sedang haidh atau tengah menjalani nifas untuk berpuasa. Jika keduanya tetap berpuasa, maka puasa keduanya tidak sah. Dalil yang menjadi dasar hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Bukankah jika dia haidh, dia tidak mengerjakan shalat dan tidak juga berpuasa? Yang demikian itu merupakan bentuk kekurangan agamanya."[1]

Tetapi keduanya harus mengqadha'puasa selama hari-hari yang dia tinggalkan dalam menjalani haidh atau nifas tersebut. Hal itu didasarkan pada firman-Nya: "Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."

Dan juga pada hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha yang di dalamnya disebutkan: "Kami pernah menjalani haidh pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat..." [2]

Perintah itu disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pemberi perintah secara mutlak.[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "Demikian juga telah ditetapkan melalui as-Sunnah dan kesepakatan ulama-ulama Islam bahwa darah haidh itu bertentangan dengan puasa sehingga wanita yang sedang haidh tidak boleh berpuasa, tetapi dia tetap berkewajiban mengqadha' puasa..."[4]

Jika ada darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita sedang dia dalam keadaan berpuasa meskipun sejenak sebelum matahari terbenam, maka puasanya pada hari itu batal dan dia harus mengqadha'nya.

Dan jika dia telah suci dari haidh pada siang hari di bulan Ramadhan, maka puasa yang dikerjakannya selama sisa waktu yang ada pada hari itu tidak sah, karena adanya sesuatu yang bertentangan dengan puasa pada hari itu.

Jika dia suci pada malam hari di bulan Ramadhan, meskipun sejenak sebelum fajar, maka dia wajib menjalankan puasa, karena ia sudah wajib menunaikannya. Dan tidak ada halangan untuk mengerjakannya meskipun dia belum sempat mandi, kecuali setelah terbit fajar, menurut pendapat yang shahih dari penjelasan para ulama. [5]

Pembahasan 6
WANITA HAMIL DAN WANITA MENYUSUI

Jika ada seorang wanita yang tengah hamil atau menyusui sedang ia khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila ia berpuasa, maka ia boleh untuk tidak berpuasa. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik al-Ka’bi Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah melepaskan kewajiban dari musafir setengah shalat dan puasa, serta dari wanita yang sedang hamil dan wanita yang menyusui dari puasa..." [6]

Wanita hamil dan wanita menyusui harus mengqadha' puasa yang ditinggalkan itu pada hari di mana dia mampu menjalankannya, serta tidak ada kekhawatiran pada dirinya, sebagaimana halnya orang yang sakit jika sudah sembuh.

Jika pada keduanya masih terdapat kekhawatiran terhadap anak keduanya sehingga mereka tidak berpuasa, maka selain qadha, keduanya juga harus membayar kaffarat, menurut pendapat yang shahih dari ungkapan para ulama.

Al-Qurthubi mengatakan, "....Ibnu Abbas mengatakan, 'Dan sebagai bentuk keringanan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada laki-laki dan wanita yang sudah tua sedang keduanya tidak mampu menjalankan puasa, maka keduanya boleh untuk tidak berpuasa, tetapi harus mengganti hal itu dengan memberi makan kepada satu orang miskin setiap harinya. Sedangkan wanita yang hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir terhadap anak keduanya, maka mereka boleh untuk tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan seorang miskin setiap hari..."[7]

Pembahasan 7
ORANG YANG SUDAH SANGAT TUA RENTA DAN ORANG YANG DIPAKSA

Para fuqaha rahimahullah telah menyebutkan sejumlah orang yang juga termasuk dari orang-orang yang mempunyai udzur (halangan) untuk tidak berpuasa selain dari orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya:

Pertama: Orang Yang Sudah Tua Renta
Yaitu orang yang kemampuan berfikirnya sudah hilang dan hilang pula kemampuannya untuk membedakan sesuatu, maka tidak wajib baginya untuk berpuasa dan tidak juga ada kewajiban baginya untuk memberi makan seorang miskin setiap hari sebagai gantinya. Yang demikian itu disebabkan karena telah gugurnya taklif (beban syari'at) dari dirinya dengan hilangnya kemampuan untuk membedakan sesuatu. Sehingga ia sama seperti anak kecil sebelum memiliki kemampuan untuk membedakan sesuatu (sebelum usia tamyiz). Dan jika dia seorang yang terkadang mampu membedakan sesuatu dan terkadang tidak mampu berfikir, maka dia masih diwajibkan berpuasa pada saat dia mampu membedakan sesuatu di luar ketidakmampuannya dalam berfikir.

Kedua: Orang yang Terpaksa Harus Tidak Berpuasa Karena Menghindarkan Bahaya Dari Orang Lain
Orang yang terpaksa harus berbuka (tidak berpuasa) karena menghindarkan bahaya dari orang lain, seperti tindakan seseorang menyelamatkan orang lain dari tenggelam, kebakaran, reruntuhan atau yang lainnya. Jika tindakan penyelamatan itu menuntut diri-nya untuk tidak berpuasa, maka dibolehkan baginya untuk tidak berpuasa.

Ketiga: Orang Yang Benar-Benar Dicekam Rasa Lapar Dan Haus
Orang yang benar-benar dicekam rasa lapar dan haus maka dibolehkan baginya untuk tidak berpuasa, sebagai upaya menghindari mudharat (bahaya) yang mungkin akan menimpanya jika berpuasa. Hal tersebut didasarkan pada beberapa dalil umum yang menafikan kesulitan dan diganti dengan kemudahan serta pencegahan dari hal-hal yang memberatkan.

Keempat: Orang Yang Dipaksa Untuk Tidak Berpuasa
Orang yang dipaksa untuk tidak berpuasa, di mana dia dipaksa oleh orang lain untuk makan atau minum, lalu dia melaku-kan hal tersebut dalam rangka menghindari mudharat dari dirinya, maka dia harus mengqadha' puasa yang ditinggalkan itu, dan tidak ada dosa baginya, insya Allah, dengan syarat orang yang memaksanya itu mampu menghilangkan mudharat darinya meskipun dia tidak melakukannya. [8]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/31))
[2]. Shahiih Muslim (no. 335 (69)).-red.
[3]. Shahiih al-Bukhari dengan Fat-hul Baari (I/420).
[4]. Majmuu' Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/220).
[5]. Lihat kitab al-Mabsuuth (III/80), asy-Syarhush Shaghiir (II/242), Nihaayatul Muhtaaj (III/184), al-Inshaaf (III/283).
[6]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunan Abi Dawud (II/796) bab Ikhtiyaar al-Fithr), an-Nasa-i (Sunan an-Nasa-i (IV/190) bab Wadh’ush Shiyaam 'anil Hublaa wal Murdhi'), at-Tirmidzi (Sunan at-Tirmidzi (II/109) bab Maa Jaa-a fir Rukhshah lil Hublaa wal Murdhi'), Ibnu Majah (Sunan Ibni Majah (I/533) bab Maa Jaa-a fil Fithr lil Hublaa wal Murdhi'). Hadits ini dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dia mengatakan, "....Pada rawi Ibnu Malik tidak diketahui hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selain dari hadits ini." Ibnu Abi Hatim di dalam 'ilalnya mengatakan: "Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang masalah itu -yakni hadits tersebut- maka dia berkata, 'Masih terjadi perbedaan pendapat mengenai hal tersebut, dan yang benar adalah dari Anas bin Malik al-Qusya-iri." Lihat Sunan at-Tirmidzi (II/109), juga Tahdziibut Tahdziib (I/379).
[7].Al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan karya al-Qurthubi (II/288) dan lihat kitab al-Majmuu' (VI/267).
[8]. Al-Mughni (IV/377), al-Inshaaf (III/312), asy-Syarhush Shaghiir (II/259), al-Majmuu’ (VI/329), Mughni al-Muhtaaj (I/430).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Article's :

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!