Radio Rodja 756AM

Jumat, 01 Juli 2011

NASEHAT UNTUK HIZBUT TAHRIR ( NISHFU SYA'BANAN )


Terdapat tulisan dalam buletin Al-Islam yang diterbitkan Hizbut Tahrir Indonesia pada edisi 31/ tahun XVI berjudul : Sya’ban: Jembatan Meraih Keutamaan Ramadhan. Pada tulisan tersebut juga dikupas tentang Malam Nishfu Sya’ban. (Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]” adalah isi tulisan dari buletin Al-Islam terbitan Hizbut Tahrir Indonesia).

NASEHAT UNTUK HIZBUT TAHRIR TERKAIT HADITS NISHFU SYA’BAN

Alhamdulillah, segenap puji hanya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam, keluarga, para Sahabat, dan seluruh kaum mukminin yang mengikuti beliau dengan baik sampai menjelang datangnya hari kiamat.
Terdapat tulisan dalam buletin Al-Islam yang diterbitkan Hizbut Tahrir Indonesia pada edisi 31/ tahun XVI berjudul : Sya’ban: Jembatan Meraih Keutamaan Ramadhan. Pada tulisan tersebut juga dikupas tentang Malam Nishfu Sya’ban. (Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]” adalah isi tulisan dari buletin Al-Islam terbitan Hizbut Tahrir Indonesia).
Disebutkan dalam buletin Al-Islam tersebut:
[[
6. Malam Nishfu Sya’ban.
Pada bulan Sya’ban terdapat malam yang mulia dan penuh berkah, yaitu malam Nishfu Sya’ban. Pada malam ini Allah SWT mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang minta belas kasihan, mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah, memerdekakan orang-orang dari api neraka, dan mencatat bagian rezeki dan amal manusia.
Banyak hadis yang menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ini, sekalipun di antaranya ada yang dha’if (lemah).
Namun demikian, Al-Hafizh Ibn Hibban telah menyatakan kesahihan sebagian hadis-hadis tersebut, di antaranya, bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Allah melihat kepada semua makhluknya pada malam Nishfu Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR ath-Thabrani dan Ibnu Hibban).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika tiba malam Nishfu Sya’ban, shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena sesungguhnya Allah SWT menurunkan rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari. Lalu Dia berfirman: Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni? Adakah orang meminta rezeki, maka akan Aku beri rezeki? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka akan Aku selamatkan? Adakah begini atau begitu? Sampai terbitlah fajar.” (HR Ibnu Majah).

]]

Nasehat dan Koreksi:
1) Kelemahan hadits riwayat Ibnu Majah
Penulis buletin Al-Islam tersebut mengarahkan pemahaman pembaca bahwa memang di antara hadits-hadits yang menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ada yang dhaif, namun ada juga yang shohih. Hadits yang dianggap shohih oleh penulis buletin Al-Islam paling tidak ada 2, yaitu : i) Riwayat Ath-Thabrani dan Ibnu Hibban, dan ii) Riwayat Ibnu Majah. Penulis buletin Al-Islam tersebut benar-benar menguatkan hadits riwayat Ibnu Majah bahkan pada paragraf pertama kalimat-kalimatnya bersumber dari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut. Coba kita perhatikan paragraf pertama, penulis menyatakan: “ Pada bulan Sya’ban terdapat malam yang mulia dan penuh berkah, yaitu malam Nishfu Sya’ban. Pada malam ini Allah SWT mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang minta belas kasihan, mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah, memerdekakan orang-orang dari api neraka, dan mencatat bagian rezeki dan amal manusia”. Sisi pendalilan kalimat tersebut banyak diambilkan dari hadits riwayat Ibnu Majah.
Bagaimana kedudukan hadits riwayat Ibnu Majah tersebut? Mari kita simak kajiannya.
Secara lafadz haditsnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
(Ibnu Majah berkata): telah mengkhabarkan kepada kami al-Hasan bin ‘Ali al-Khollaal (dia berkata): telah mengkhabarkan kepada kami Abdurrazzaq (dia berkata): telah memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Sabroh dari Ibrohim bin Muhammad dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far dari ayahnya dari Ali bin Abi Tholib, beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika datang malam pertengahan dari Sya’ban maka bangunlah (lakukan qiyamul lail) pada malamnya dan shaumlah pada siang harinya karena Allah turun padanya ketika terbenam matahari ke langit dunia, kemudian Ia berkata: Siapakah yang meminta ampunan aku akan ampuni, siapa yang meminta rezeki aku akan beri rezeki, siapakah yang terkena musibah aku akan berikan ‘afiat padanya, adakah yang begini atau begini? Demikian berlangsung sampai terbit fajar” (riwayat Ibnu Majah).
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany –rahimahullah- menjelaskan panjang lebar sisi kelemahan hadits tersebut dalam Silsilah al-Ahaadits Ad-Dhaifah juz 5 halaman 131:
Sanad hadits ini disepakati kelemahannya, dan menurut saya ini adalah maudlu’ (palsu), karena Ibnu Abi Sabroh dituduh oleh para Ulama’ Ahlul hadits sebagai pemalsu (hadits), sebagaimana disebutkan dalam kitab AtTaqriib. AlBushiri menyatakan dalam kitab Az-Zawaaid : sanad hadits ini lemah karena kelemahan Ibnu Abi Sabroh, dan namanya adalah Abu Bakr bin Abdillah bin Muhammad bin Abi Sabroh. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’ain menyatakan tentangnya : “ia memalsukan hadits”. Ibnu Rajab menyatakan dalam kitab Lathaiful Ma’arif halaman 143: sanad hadits ini lemah. AlMundziri juga mengisyaratkan pada hal yang demikian dalam kitab AtTarghib (2/81).

2) Kesalahan dalam menerjemahkan hadits riwayat Ibnu Majah
Kita lihat penulis buletin Al-Islam Hizbut Tahrir Indonesia juga salah dalam menerjemahkan hadits riwayat Ibnu Majah tersebut. Dia menerjemahkan:
“karena sesungguhnya Allah SWT menurunkan rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari”
Diartikan bahwa Allah menurunkan rahmatNya pada malam tersebut, padahal sebenarnya, lafadz haditsnya adalah:
فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا
“ karena sesungguhnya Allah turun padanya”
Kesalahan menerjemahkan ini bukanlah kesalahan yang ringan, tapi dilatarbelakangi kekeliruan aqidah dalam Asma’ Was Sifat. Penulis buletin Al-Islam telah melakukan takwil yang batil terhadap dzhahir nash, yang nash tersebut dianggapnya sebagai hadits yang shahih.

3) Tidak disampaikannya pemahaman yang benar terhadap hadits yang shohih tentang Nishfu Sya’ban.
Hadits yang diisyaratkan oleh penulis buletin Al-Islam yang diriwayatkan oleh AtThabarani dan Ibnu Hibban, sebagian Ulama menshahihkannya. Di antaranya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany dalam Silsilah al-Ahaadits AshShohiihah. Beliau menguatkan jalur-jalur periwayatan yang banyak terkait hadits tersebut. Terjemahan hadits riwayat AtThabarany dan Ibnu Hibban tersebut adalah: “Allah melihat kepada semua makhluknya pada malam Nishfu Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”
Jika kita cenderung pada Ulama’ yang menshahihkan hadits ini, hadits tersebut memberikan faidah bagi kita:
a) Menjauhi kesyirikan, sehingga kita termasuk yang Allah ampuni pada malam Nisfu Sya’ban tersebut.
b) Tidak melakukan permusuhan dengan sesama muslim dalam urusan pribadi, agar kita juga termasuk orang yang Allah ampuni pada malam Nisfu Sya’ban.
Tidak ada hadits-hadits shahih terkait malam Nisfu Sya’ban yang menganjurkan kita melakukan amalan ibadah tertentu (Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif).
Hadits riwayat AtThabarani dan Ibnu Hibban tersebut sebenarnya mirip dengan hadits tentang keutamaan hari Senin dan Kamis sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dibukakan pintu surga pada hari Senin dan Kami, maka diampunilah semua hamba yang tidak berbuat syirik terhadap Allah sedikitpun, kecuali seorang laki-laki yang ada kebencian antara dirinya dengan saudaranya. Kemudian dikatakan: Beri tangguhlah 2 orang tersebut samapai mereka berdamai, beri tangguhlah keduanya sampai mereka berdamai, beri tangguhlah mereka sampai mereka berdamai (H.R Muslim).
Yang sedikit membedakan adalah bahwa pada hari Senin dan Kamis juga disunnahkan untuk melakukan shaum sunnah, karena adanya hadits shahih lain yang memerintahkannya, sedangkan malam nishfu sya’ban tidak ada hadits yang shahih yang mensunnahkan ibadah khusus padanya.
Terkait puasa hari Senin, disebutkan dalam hadits:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
“ dan Rasul ditanya tentang shaum pada hari Senin, beliau berkata: Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus, dan hari diturunkannya wahyu padaku” (H.R Muslim dari Abu Qotadah).
Demikian juga shaum pada hari Senin dan Kamis, disebutkan dalam suatu hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ditunjukkan amalan-amalan hamba (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku ditunjukkan dalam keadaan aku shaum(puasa) (H.R AtTirmidzi, AnNasaa’i, dan Ahmad),
Demikianlah sedikit koreksi terhadap isi buletin Al-Islam yang juga menyinggung masalah Nisfu Sya’ban, sekedar sebagai nasehat bagi kaum muslimin. Sebenarnya, pemahaman terhadap hadits tersebut juga menunjukkan sisi lain kerancuan aqidah Hizbut Tahrir dalam masalah hadits. Mereka menganggap hadits ahad sekalipun shahih tidak bisa dianggap sebagai hujjah dalam aqidah, namun di sini hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah tersebut sebenarnya mengandung 2 hal sekaligus: aqidah dan hukum. Dari sisi aqidah, mereka akan meyakini bahwa Allah pada malam tersebut akan berkata: Siapa yang memohon ampun akan Aku ampuni, dan seterusnya. Sedangkan dari sisi hukum, hadits itu sebagai dalil bahwa semestinya disunnahkan bagi seseorang untuk qiyamul lail pada malam harinya, dan shaum pada siang harinya. Terbukti dari kajian kita bahwa hadits Ibnu Majah itu tidaklah shohih, Namun, sekalipun hadits itu adalah lemah, tetap saja dijadikan dalil pendukung oleh mereka. Lihatlah kontradiksi yang nampak jelas ini.
Kami nasehatkan kepada Hizbut Tahrir untuk mengkaji Dien ini dengan pemahaman Salafus Sholih, mengkaji hadits-hadits yang shahih dengan pemahaman para Ulama’ Ahlul hadits, memahami ayat dan hadits dengan pemahaman para Sahabat Nabi dan para Ulama’ yang mengikuti jejak para Sahabat tersebut. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan hidayahNya kepada kita semua.

Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Article's :

QAULAN-SADIDA.BLOGSPOT.COM

SEKOLAH YUUK..!!